LESSON I: SOMETIMES, A SMILE FROM THE ONE YOU LOVE IS BRIGHTER THAN THE SUN

Disclaimer: Gintama is not mine! It's Sorachi-sensei masterpiece.

.

.

.

Langit senja dengan warna yang hampir semerah darah, warna yang sangat tidak normal mencerminkan bahwa langit sedang berduka atas peperangan yang telah terjadi di Bumi. Kesedihan akibat banyaknya darah yang gugur membasahi permukaan Bumi setelah pertempuran telah usai.

Seorang pria terduduk diantara tumpukan mayat, manusia, Amanto, alien dalam diam. Masih menggunakan pakaian Changsan tempur yang berlumuran darah, entah itu darahnya atau darah lawannya. Langit yang tidak lagi sewarna dengan warna rambutnya seakan mengajaknya berbicara, membuatnya merenung dalam tatapan kosong.

Samar-samar terdengar suara langkah lembut yang menghampirinya dari belakang, langkah yang bahkan tanpa melihatnya dia tahu kalau itu langkah seorang wanita yang bahkan tidak terjaga dalam kewaspadaan.

Walau tidak menolehkan pandangannya, dia membuka lebar-lebar gendang telinganya dari suara yang menghampirinya itu. Saat dia yakin siapakah yang mendekatinya, dia hanya berkata dengan suara berat karena kelelahannya.

"Aku tidak akan bisa memaafkan diriku, setelah melalui semua ini mengapa aku baru sadar kalau apa yang kuperbuat selama ini salah."

"Kau tidak perlu mencari pengampunan dari siapapun, kau hanya perlu membayar semua perbuatanmu itu dengan hal yang sepadan, benar kan?" sahut sosok wanita itu dengan suara ber-kharisma tinggi.

Kamui yang mendengar semua itu melepaskan pandangannya dari langit, dan mengalihkan pandangannya ke Bumi (baca: menunduk)

"Ne, apa kau menyukai tempat ini? Memang disini terkadang banyak hal yang tidak nyaman, tapi juga banyak hal baik didalamnya." Tambah suara wanita tersebut.

"Semua sudah terlambat, semua kehidupan disini sudah hancur. Bahkan negara ini sudah tidak memiliki pemimpin. Bagaimana aku bisa menemukan keindahan didalamnya."

"Kalau begitu kita hanya perlu membangun semuanya kembali, kita hanya perlu menambahkan sendiri kebahagiaan didalamnya, dan tentunya kita akan melindungi itu semua, benar?" sekilas pernyataan itu membuat Kamui sang lelaki dibawah senja itu tertegun,

"Ne, maukah kamu melindungi Bumi ini?" tambah suara wanita tersebut dan sukses membuat Kamui menatap wajahnya.

.

.

.

[Empat Tahun Kemudian]

Kamui terbangun dari tidurnya, cahaya mentari pagi dimusim gugur menggerayangi kelopak matanya dan membuatnya mencoba mengumpulkan kesadarannya. Suara kicau burung yang hinggap dipelataran beranda kamar membuatnya terduduk dari posisi tidurnya, pandangannya berlari kesetiap sudut tubuhnya dan mendapati tak ada sehelai pakaian pun dikenakannya pagi itu.

Dia menghela nafas, meletakkan telapak tangan kanan diwajahnya. Mencoba memperjelas ingatan yang baru saja dia dapat dalam tidurnya, namun semakin dia memperjelas ingatan itu, maka semakin dia sadar kalau dirinya bukanlah orang yang pantas berada ditempat saat ini dia berada.

Semua penyesalan itu semakin membuat nafasnya terengah-engah dan memacu jantungnya lebih kencang, sampai dia merasakan telapak tangan kirinya menghangat akan sebuah sentuhan. Sebuah sentuhan yang sangat halus, telapak tangan yang bahkan sangat kecil dan lembut jika dibandingkan telapaknya yang kasar.

"Hei, ada apa? Anata, mengapa keringatmu begitu banyak, daijobu?

Suara yang bahkan lebih merdu dari kicauan burung pagi itu meruntuhkan semua sensasi yang dirasakannya akibat ingatan masa lalunya itu, perlahan disapunya keringat diwajahnya dan mengendarkan pandangannya kearah pemilik suara. Seorang wanita cantik berambut panjang yang bahkan wangi tubuhnya memenuhi ruangan itu.

"Ah, tidak apa-apa… Hanya teringat masa lalu sedikit… Ohaiyo Soyo…" jawabnya dengan senyuman semanis madu. Senyum yang selalu terpancar diwajahnya namun kali ini hanya untuk orang yang ada disampingnya.

"Hm, ohaiyo… Ngomong-ngomong apa yang kau ingat, maukah kau menceritakannya padaku?" sahut wanita bernama Soyo, yang bahkan lebih muda dari Kamui itu.

Ditodong dengan pertanyaan itu, membuat senyum manisnya memudar. Sempat berpikir beberapa saat untuk merangkai kata.

"Aku hanya merasa tak pantas untuk berada disini saat ini bersamamu, aku masih sangat menyesali semua perbuatanku sebelum empat tahun yang lalu."

Mendengar jawaban nan suram tersebut, Soyo menggembungkan pipinya, melepaskan genggamannya dari tangan Kamui dan segera berdiri dan menarik selimut yang membungkus mereka untuk menutupi tubuhnya yang ternyata juga tak mengenakan sehelai benang pun juga.

"E-eh…" Kamui yang bingung dengan tindakan tiba-tiba rekan se-futon-nya itu langsung membelalakkan matanya. Mengabaikan kondisi tubuhnya yang mulai dirasuki angin pagi musim gugur yang lumayan dingin, bahkan bagi Yato yang tidak mengenakan satu pakaian pun, matanya terus menatap lekat wanita itu.

Soyo, seorang puteri pewaris dan penerus ke-shogun-an ke-14, tubuhnya yang dibalut oleh selimut itu berjalan kearah jendela dan segera membuka tirainya perlahan. Membiarkan cahaya pagi yang mulanya nampak malu memasuki kamar itu masuk dan menerangi semuanya.

Kamui yang menatap Soyo, menyaksikan sebuah fenomena yang sangat tidak masuk akal baginya. Bagaimana sebuah senyuman yang terpancar dari gadis *ehm* wanita yang sangat dicintainya itu, bahkan bisa lebih menyilaukan dari cahaya mentari. Aneh, namun entah mengapa senyuman itu menular kepadanya dan membuat semua bebannya terangkat.

.

.

.

[Flashback yang Menyambung Kepada Scene Awal]

"Ne, maukah kamu melindungi Bumi ini?"

Sebuah pertanyaan yang mampu membuat pandangan kosong Kamui beralih kepada Soyo sang wanita pemilik suara, dia mengertakkan giginya, terdengar kesal dengan pertanyaan itu.

"Melindungi? Aku bahkan tidak bisa melindungi ibuku, tidak bisa melindungi anggota Klan-ku, bahkan akulah yang merusak keluargaku jauh sebelum kau mengenalku dan kau menawarkanku untuk melindungi planet terpencil ini?"

Walau kata-kata itu terdengar sangat menusuk, namun nada pengucapannya entah mengapa tidak menunjukkan sebuah amarah, lebih seperti lelah dengan pertanyaan itu.

"Jaa, kalau begitu ku ganti pertanyaanku maukah kau menemaniku untuk membangun, membahagiakan negeri ini dan melindunginya?" sambungnya dengan senyuman serasa tak gentar dengan penolakan Kamui sebelumnya.

Raut wajah Kamui terlihat berubah, nampak bingung, tak mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh Soyo.

"Apa maksudmu?"

"Kau tahu, kakakku (Tokugawa Shigeshige a.k.a. Sho-chan a.k.a. Sho-Sho-Shogun-ka-yoo!) pernah mengatakan bahwa negeri ini tidak butuh pemimpin lagi. Namun kurasa kepemimpinan itu memang harus ada, agar masyarakat tetap terikat pada suatu Hirarki. Hanya saja jalan kepemimpinan itulah yang harus diubah."

Kamui mendengarkan penjelasan dari Soyo dengan tatapan penasaran mengubah tatapan ragu yang diperlihatkannya sebelumnya. Kemudian Soyo melanjutkan,

"Matsudaira-san sudah merencanakan ini semua dan akan mengangkatku menjadi Puteri penguasa negeri ini diusiaku yang masih sangat muda ini, walau hanya sebatas pengganti dari Shogun, namun aku juga harus banyak belajar. Kudengar kalau Kamui-san itu sosok pimpinan yang baik, anggotamu mengatakannya padaku, bahkan Kagura juga mengatakannya (bohong sih)-

-ne, maukah kau mengajariku bagaimana menjadi pimpinan yang seharusnya. Mengajarkanku agar bisa lebih kuat menanggung beban negara ini. Mungkin bersamamu aku bisa-" kata-katanya langsung dipotong oleh Kamui.

"Aku bahkan mencoba membunuh kakakmu dan menyakitimu, mengapa kau memintaku untuk membantumu."

Soyo tambah tersenyum dengan jawaban itu, "Hah? Kau menyakitiku? Kapan? Aku merasa tidak mengingat apapun, te-he~" Jawabnya tak berdosa seakan melupakan semua kejadian saat masa percobaan pembunuhan Shogun.

Kamui yang mendengar itu langsung mendengus, bingung ingin berkata apalagi, namun baginya tidak buruk juga. Mungkin hanya ini satu-satunya kesempatan baginya untuk menebus semua dosa dimasa lalunya.

"Yare-yare" sahut Kamui menutup wajahnya dengan telapak tangannya, menutupi dirinya yang tersenyum seakan dia menemukan sesuatu yang akan mengubah hidupnya.

.

.

.

[Kembali dalam Kastil Edo, 4 Tahun Setelahnya]

Cuaca yang cerah terpapar dilangit Edo, panorama kota Edo nampak sangat indah terlihat dari balkon Istana yang berada dikamar sang tuan puteri. Semua aktifitas masyarakat berjalan tanpa ada kendala yang berarti. Semua saling menegur sapa sesamanya. Sang tuan puteri yang baru saja terbangun dari tempat tidurnya menatap pemandangan itu dengan senyum bahagia.

"Ne, Kamui. Kau tahu? Dulu aku tidak pernah keluar dari tempat ini dan hanya bisa memandang Edo dari sini. Sampai aku kabur dan bertemu dengan Kagura. Dia mengajarkan semua perihal kehidupan yang pernah dia rasakan, dia bebas, tidak seperti aku, seorang burung yang terkurung dalam sangkarnya."

"Heeh" Kamui menyimak kisah itu dengan seksama tetap tanpa menutupi tubuhnya yang kedinginan tanpa sehelai kain ditubuhnya itu.

"Saat itu, aku belajar banyak kalau diluar Istana ini juga banyak kebahagiaan yang bisa kita dapat bahkan dari hal kecil. Kagura sangat baik padaku, dan aku berpikir itu pasti karena dia memiliki keluarga yang baik juga. Aku terus meyakini akan hal itu sampai tak terasa aku sekarang bahkan bisa jatuh cinta pada kakaknya. Ehehe…"

Mendengar Soyo yang sangat sayang dengan Kagura, Kamui mulai teringat kembali dengan adiknya itu. Lagi-lagi rasa bersalah menyelubunginya dan membuatnya menatap kosong tatami dikamar itu.

"Saat aku melihat tatapanmu sesaat setelah perang, disore hari yang kelam itu. Aku melihat tatapan kosongmu, dan aku merasakan kesedihan yang mendalam dibaliknya. Aku teringat Kagura, mungkin jika aku Kagura, aku juga tidak ingin melihat kakakku sedih seperti itu. Jadi aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan membuatmu tersenyum dan membuatmu dan Kagura bahagia seeeelamanya!"

Masih dalam tatapan kosongnya, mata Kamui terasa basah, dan menjatuhkan air mata tepat kepipinya. Sebuah kejadian yang hanya pernah terjadi dua kali dalam hidup seorang Kamui. Saat dia kehilangan ibunya dan saat ini. Soyo yang melihat itu langsung melempar selimut yang menutupi tubuhnya dan bersorak ceria mendekati Kamui.

"Are??? Are-re??? Kamui, apa kau menangis???" godanya seraya mengangkat wajah Kamui dengan kedua tangannya. Lalu mengambil HP kamera yang ada didekat bantal mereka. "Aku mau foto boleh? Hahahaha, nanti kutunjukkan kepada Kagura aaah~"

Bukannya terusik, Kamui malah menepis tangan Soyo yang memegang kamera dan memeluknya erat.

"Hentikan, sayang… Aku tak ingin si lemah itu melihat wajahku yang seperti ini, cukup kau saja, ok? Masih dalam memeluk sang pujaan hati.

Soyo terkejut, tiga tahun mereka bersama, satu tahun mereka tidur bersama namun baru kali ini Kamui memanggilnya sayang, baginya itu sudah lebih dari cukup walaupun selama ini dia dan Kamui sama-sama tidak memperjelas tentang apa atau bahkan bagaimana hubungan mereka ini.

Mereka bukan pasangan, bukan kekasih atau bahkan suami istri. Tidak ada seorangpun yang tahu sejauh apa hubungan mereka. Walau Abuto sang wakil tahu, jika Kaptennya menghilang itu artinya dia ada bersama Soyo, tapi tidak ada yang mampu menjelaskan bagaimana hubungan mereka, bahkan diri mereka sendiri. Yang mereka tahu adalah mereka saling mencintai satu sama lain.

Masih terbungkus dalam pelukan tanpa sehelai benang, sang wanita mengusap air mata dipipi sang pria. Tanpa sadar kedua bibir sudah saling mendekat untuk melengkapi momen itu hingga…

Tok… Tok… Tok…

Terdengar suara pintu kamar dimana dua insan yang sedang ingin memadu cinta mereka itu berbunyi, suara wanita pesuruh istana menggema setelahnya.

"Hime-sama, Wakil Komandan Angkatan Militer, Abuto-sama ingin menemui Anda, beliau sedang menunggu di aula penjamuan istana… Maaf atas kelancangan saya Hime-sama, permisi" langkah sang pesuruh pun terdengar mulai menjauh.

Bahkan sang pesuruh tidak tahu jika Kamui berada didalam kamar bersama sang tuan puteri, Kamui dan Soyo menjauhkan masing-masing wajah mereka kemudian saling menatap dan tertawa pelan.

"Dasar Abuto, tidak bisakah dia meneleponku saja…" Kamui terlihat kesal dengan senyuman khasnya.

"Ma, ma… Bagaimana kalau kita mandi dulu… Bisa gawat kan kalau Abuto-san ngomel lagi, ehehe…"

"Ide bagus, mari kuantar kau kesurga penuh busa Dai-hime…" sahut Kamui seraya menggendong sang tuan puteri menuju kamar mandi. "Ne, hime, bagaimana kalau malam ini kita kencan di Kabuki-cho? Aku yang akan mengawalmu, jadi tak perlu orang lain, hanya kita."

"Hontou desu-ka? Yatta!" Soyo yang kegirangan langsung melemparkan ciuman penuh hasrat menuju pipi Kamui. Akhirnya setelah empat tahun bersama, mereka akan pergi kencan untuk pertama kalinya. Sebuah perkembangan dan perasaan bahagia yang sangat berharga untuk ditunggu selama itu.

Pertama kalinya dia merasakan sensasi kencan, bukan sebagai seorang puteri. Hanya gadis biasa yang sedang jatuh cinta.

-LESSON I END-

To be Continue

.

.

.

Author Note:

Hey! I'm back with my brand new story! Mana nih suaranya para shipper KamuSoyo???

Hehehe, Cerita ini masih bersangkutan dengan FF pertama saya "A Family Couldn't Seperated by Distance Even Time." Maaf kalau masih garing di pendahuluan ini. Okikagu juga belum muncul nih. Jadi sabar yah.

Untuk FF saya yang pertama sudah saya rilis dalam bahasa Inggris, FF kedua masih dalam proses pembuatan skrip. Eh, malah ini yang muncul lagi. Hahaha.

So, mind to review this story. You know, review anda sangat memacu saya. Salah satunya fanfic ini. Hehehe, kabar baik (mungkin), saya juga mengerjakan skrip untuk Special chapter dari "A Family Couldn't Seperated by Distance Even Time.", So stay tuned yah di fandom Gintama!

Thank You

~Justaway-Madao