Naruto © Masashi Kishimoto

Witch and Wolf © Nuansa_Jingga (wattpad)

SasuSaku. OOC. Fantasy. Romance. Western. Sakura POV.

.

.

"Kau terlihat manis. Percayalah," Ino mencoba meyakinkan.

Aku menatap ragu pada pantulan bayangan, gadis kurus-pucat dengan rambut merah muda sepundak, dan mata hijau gelap yang ada di dalam cermin.

"A-aku tetap merasa ... buruk," ucapku sambil memilin ragu sweater orange yang kukenakan.

Perasaanku tidak enak, ini hari pertamaku dan Ino masuk sekolah dan menjadi murid baru di sebuah SMA di kota baru tempat keluargaku pindah. Aku merasa iri pada Ino, dia begitu pirang, cantik, dan menarik, memiliki raga sempurna yang mampu menawan hati semua lelaki. Dia sangat percaya diri. Aku tidak akan heran jika di hari pertama dia bisa langsung populer dan menjadi Ratu di sekolah baru kami nanti.

"Ayolah Sakura, jangan rendah diri seperti itu. Kau manis dan juga anggun. Rasa tidak percaya dirimulah yang membuat aura kecantikanmu tenggelam selama ini."

Aku tersenyum miris mendengar perkataan Ino. Dia mencoba menghiburku. Kenyataan bahwa kami begitu berbeda bagai langit dan bumi, saat kami berdiri berdampingan seperti ini membuat hatiku tenggelam.

Di sekolah lama kami, di Amegakure, Ino selalu bersinar dan menjadi matahari besar yang menerangi dan menarik semua orang untuk memperhatikannya, sementara aku ... hanya sebuah matahari kecil yang tidak bercahaya, ah tidak, aku hanya sebuah bintang kecil nun jauh di angkasa yang cahayanya redup tak terlihat mata.

Setiap hari aku selalu dibully oleh teman-teman di Sekolah lamaku, mereka mengataiku mayat hidup, kerangka berjalan, dan bahkan ada yang mengatakan aku ini Babi Anoreksia. Menyedihkan ya? Untuk ukuran kaumku, tubuhku memang terbilang sangat kurus, dengan tulang tangan yang tidak lebih besar dari potongan belahan bambu. Dan juga aku selalu terlihat pucat, seperti orang yang penyakitan.

Orang tua angkatku bahkan pernah melakukan beberapa penelitian—mulai dari yang ilmiah, sampai yang 'mitos'—mengenai kondisiku, tapi mereka tidak pernah mendapatkan jawabannya.

"Sakura Hatake!"

Pantulan bayanganku dan Ino yang tiba-tiba menghilang dari dalam cermin, perubahan warna cermin menjadi hitam, dan juga suara teguran Ino mengagetkanku. Dia menggunakan sihirnya untuk menyadarkanku dari lamunan.

"Daripada kau terus mengasihani dirimu sendiri, sebaiknya kita segera pergi kalau tidak kita akan terlambat."

Aku mendengus, mengambil tas selempangku, aku kemudian mengikuti Ino keluar kamar.

###

"Aku harap kalian bisa berhati-hati dan tidak mencolok," Inoichi Yamanaka lelaki pirang yang masih tampak begitu tampan dan gagah, di usianya yang sudah tidak muda lagi, memberiku dan Ino petuah sebelum berangkat ke sekolah.

Dia Ayah angkatku dan juga Ayah kandung Ino. Telah menjadi wali kami selama bertahun-tahun, sejak aku pertama kali mengenal sihir.

"Tentu Papa, kami mengerti," jawab Ino sambil memutar mata. Bosan mendengar nasihat Inoichi yang selalu sama selama bertahun-tahun.

"Sakura," Inoichi menatapku dengan sorot hangat dan kebapakan, "aku harap kau bisa sedikit lebih percaya diri. Jangan biarkan orang-orang menindasmu, seperti yang sudah-sudah."

Aku terdiam lalu mengangguk ragu.

"Apapun yang orang-orang katakan tentangmu, percayalah bahwa kau istimewa."

"I-iya," aku mengangguk lagi.

"Dan kau Ino ...," Inoichi mendelik ke arah Ino, "aku harap kau ..."

"Tidak terpancing emosi dan menggunakan sihir sembarangan," potong Ino cepat. Dia sudah hafal dengan nasihat Inoichi padanya.

"Kalau sudah mengerti kenapa kau selalu mengulang kesalahanmu?" Inoichi menggerutu.

"Aku benci ketika para manusia bodoh itu membully Sakura. Memangnya mereka pikir mereka siapa? Kalau di sekolah ini Sakura kembali dibully, aku akan mengubah para manusia bodoh itu menjadi tikus!" sungut Ino.

Alasan kami selalu pindah sekolah selama beberapa tahun ini, adalah karena Ino sering kelepasan memakai sihirnya di depan para manusia untuk membelaku. Pernah sekali dia membuat sekumpulan gadis cheerleader cantik menjadi botak dan berkumis, karena sudah berbuat jahat padaku. Inoichi sampai harus menyegel kekuatan sihir Ino selama satu bulan, sebagai hukuman.

Yah, sebenarnya bukan masalah jika hanya Inoichi yang tahu kalau kami menggunakan sihir pada manusia, tapi kalau Ketua Dewan sihir di Circewitch tahu Ino memakai sihir pada manusia, hukumannya akan lebih parah.

"Kendalikan dirimu Ino, merubah anak-anak perempuan manusia menjadi tikus bukanlah hal yang baik. Aku tahu kau menyayangi Sakura, tapi sihir dan tindakan kasar tidak akan menyelesaikan masalah," nasihat Inoichi, "aku tidak mau mereka muncul dan membawamu ke Circewitch."

"Hmm. Oke."

"Bagus."

"Kami boleh pergi sekarang?" Kelihatannya Ino sudah mulai gerah dengan semua nasihat dan ceramah Inoichi.

"Ya, tentu."

Kami berdua baru berbalik untuk masuk ke dalam sebuah Rover merah darah, ketika Inoichi memanggil kami.

"Sakura, Ino!"

"Iya, Ayah?/Apa Papa?" kami berdua menoleh dan menjawab bersamaan.

"Berhati-hatilah terhadap para werewolf, ada sebuah pack yang tinggal di sini dan menganggap kota ini sebagai wilayah mereka."

Aku dan Ino saling berpandangan.

Werewolf? Manusia serigala? Apakah itu ... Son of the moon?

###

Aku benci menjadi pusat perhatian, apalagi saat bersama Ino. Diskriminasi akan begitu jelas terasa. Aku sangat tidak suka dibanding-bandingkan dengan Ino—bukan berarti aku tidak sayang padanya. Rasa percaya diriku yang sudah anjlok, jika mendengar mereka membandingkanku dengan Ino, yang luar biasa cantik dan seksi, akan makin tenggelam ke dasar samudra.

Ketika kami tiba di sekolah dan Ino keluar dari Rover, perhatian hampir semua anak laki-laki yang ada di tempat parkir langsung tertuju padanya, pada anak perempuan hanya bisa menatapnya iri. Yeah, dia memang seperti Barbie berjalan, pirang, seksi, berkaki panjang, dan bermata biru. Aku pikir jika model dan aktris hollywood melihatnya, mereka juga pasti akan ikut iri.

Jangan tanyakan apa mereka juga memperhatikanku atau tidak, karena seperti biasa sebagai bintang kecil nun jauh di langit yang cahaya tidak terlihat, aku sama sekali tidak diperhatikan. Bahkan aku ragu, apa mereka melihatku berjalan di samping Ino atau tidak.

"Percaya diri, jalan terus, dan tegakan badanmu. Jangan pedulikan anggapan orang," bisik Ino sambil meremas erat tanganku.

Aku menggangguk, mengikutinya dengan gelisah.

Betapapun aku berusaha berjalan tegak dan tidak menunduk, tetap saja rasa percaya diriku yang minim membuatku menunduk menatap lantai. Aku merasa jengah dengan para murid yang memperhatikan kami di sepanjang koridor, dan saling berbisik tentang 'betapa jauh berbedanya kami berdua'. Selain itu sebagian besar murid laki-laki tampak berusaha menggoda Ino, walau jelas-jelas dia tak acuh.

"Dongakan kepalamu, Sakura, jangan pikirkan apapun." Ino Yamanaka masuk dan berteriak dalam kepalaku, salah satu keahliannya adalah manipulasi pikiran.

Aku mendengus, "Oke Sista," gumamku pelan.

Aku terus berjalan mengikuti Ino, menuju ruang kepala sekolah.

"Dia ...," suara berat seorang laki-laki disusul suara geraman seekor hewan buas menakutkan, menggema dalam pikiranku. Membuatku terkejut dan langsung menoleh ke sebuah arah—yang seakan aku diperintahkan untuk melihat ke arah sana.

Seorang murid laki-laki bertubuh besar dan berotot, dengan wajah yang sangat tampan—aku pikir dia berasal dari ras asia, atau mungkin kaukasia—memiliki rambut hitam berantakan, kulit bersih, dan mata gelap yang setajam elang, tampak serius menatapku—atau mungkin Ino?—dari Cafetaria. Murid laki-laki itu sedang duduk bersama beberapa temannya yang juga memiliki tubuh yang sama besarnya, dan juga seorang gadis brunnette cantik yang bergelayut manja di lengan berototnya.

Dia menatapku—atau mungkin kami?—intens, hingga membuatku salah tingkah. Aku bersyukur dengan tikungan koridor yang membuatku berbelok hingga menghilang dari pandangan murid laki-laki itu. Aku tidak mengerti dengan jantungku yang tiba-tiba berdetak aneh saat melihat si murid laki-laki bertubuh besar.

###

Ino marah padaku. Aku memilih banyak jadwal mata pelajaran yang berbeda dengannya, kami masuk kelas yang sama hanya di dua mata pelajaran, yaitu olah raga dan biologi.

Aku rasa sekarang saatnya aku mandiri dan tidak bergantung lagi pada Ino. Lagipula dia tidak selamanya akan ada untuk melindungiku.

Jika di beberapa sekolah lama, aku dan Ino selalu berperan sebagai sepupu, maka di sekolah yang sekarang kami berperan sebagai kakak-adik angkat. Sepasang yatim-piatu malang dari Panti Asuhan yang diangkat anak oleh seorang Chef tampan.

"Jangan lakukan ini padaku, Sakura!" dia masih terus merengek dalam perjalanan menuju kelasnya.

"Masuk saja ke kelasmu, Ino," gumamku pelan sambil terus berjalan menunduk menuju ke kelasku, menghindari tatapan aneh para murid-murid.

Untuk jam pertama hari ini Ino harus masuk kelas Aljabar, sementara aku ke kelas Fisika.

"Aku harus berada disana, kalau tidak mereka akan 'menghabisi'mu."

"Aku tahu kau ingin melindungiku, tapi kali ini aku ingin melakukannya sendiri. Aku mau mencoba untuk mandiri."

Ino mendesah.

"Aku mau belajar mengasah kepercayaan diriku tanpa bantuanmu. Kumohon," bujukku.

"Hmmm. Baiklah, tapi kalau ada yang berani macam-macam padamu, langsung beritahu aku ya?"

Aku terdiam sejenak, "Oke," tapi tidak janji sih.

###

"Itu murid barunya?"

"Yah, kenapa tidak yang pirang saja sih yang masuk ke kelas ini. Dia seksi. Yang ini ... haaah."

"Tapi yang ini adiknya kan? Tanyakan saja padanya berapa nomer ponsel si pirang, dan apa saja akun sosial medianya?"

"Dekati adiknya untuk mendapatkan si Kakak? Itu ide yang bagus."

"Apa dia sakit, dia kelihatan tidak sehat."

"Dia tampak seperti penderita anoreksia, kasihan sekali."

"Mayat hidup berjalan. Hihihi!"

"Oh, lihatlah dia benar-benar seperti tengkorak."

Suara-suara itu kudengar ketika aku memasuki kelas pertamaku. Sebagian diantara mereka mengatakannya dengan suara keras, dan sebagiannya lagi dengan bisik-bisik. Walaupun mereka berbisik bukan berarti aku tidak mendengar. Aku memiliki indra pendengaran yang sensitif.

Aku mulai menyesal menolak permintaan Ino untuk sekelas denganku. Beberapa gadis cantik, salah satunya adalah gadis yang kulihat bergelayut manja pada lengan murid laki-laki di Cafetaria tadi, mengejekku terang-terangan. Mengejekku busung lapar, dan mengataiku sebagai pengungsi perang dari benua sebelah. Benar-benar diskriminasi yang buruk.

Perasaanku menjadi makin kacau, saat Mr. Saratobi, si guru fisika menyuruhku maju ke depan kelas untuk memperkenalkan diri. Sesi tanya-jawabnya sangat tidak mengenakan hati. Kalau Ino mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan padaku, aku jamin dia akan kehilangan kendali dan menggunakan sihir sembarangan lagi.

"Apa kau sakit?"

"Kenapa kau begitu pucat?"

"Kau hantu atau manusia?"

"Kau penderita anoreksia?"

Aku menunduk, menggenggam kedua tanganku sendiri, mencoba mengendalikan emosi agar tidak sembarangan mengeluarkan kekuatan untuk menyihir seisi kelas menjadi binatang terburuk yang ada di pikiranku.

"Apa kau menderita busung lapar? Kau pengungsi perang yang beruntung diadopsi Chef kaya raya," si gadis brunnette kembali mengejekku.

"Ms. Fuma, jaga bicaramu!" Mr. Saratobi menegur Sasame Fuma karena ketidak sopanannya padaku.

Suara teguran Mr. Saratobi yang berbarengan dengan suara geraman binatang buas mengerikan, seperti yang kudengar tadi, membuatku menoleh—seakan aku dipanggil—duntuk melihat ke arah kanan.

Murid laki-laki yang kulihat di Cafetaria tadi, tampak duduk sendiri di pojok belakang bagian kanan kelas. Dia memandangku dengan ekspresi aneh. Sejak kapan dia ada di sana? Aku tidak melihatnya ketíka masuk kelas tadi.

"Ms. Hatake, kau boleh duduk. Bangku kosong ada di samping Mr. Uchiha, kau bisa duduk dengannya," kata Mr. Saratobi.

Mr. Uchiha?

Mataku mengamati seluruh penjuru kelas untuk mencari bangku kosong. Bangku kosong hanya satu, yaitu di pojok kanan belakang, di samping murid laki-laki ras kaukasia berambut gelap itu.

Jadi nama belakangnya Uchiha? Dengan gugup aku berjalan menuju bangku yang dimaksud Mr. Saratobi.

Aku merasakan aura membunuh dan permusuhan yang menguar kuat dari para murid perempuan di dalam kelas, ketika aku menghenyakan bokongku untuk duduk di kursi di samping Mr. Uchiha.

"Sasuke Uchiha."

Aku menoleh, bergantian menatap tangan besar yang terulur dan juga wajah tampan Sasuke Uchiha yang duduk di sampingku.

Dengan gugup dan ragu aku membalas jabatan tangannya, "S-Sakura Hatake," jawabku pelan.

Dia tersenyum manis. Hatiku meleleh.

"Nama yang cantik," katanya hangat.

Menghindari rasa malu, aku tertunduk dan berpura-pura mengeluarkan buku dari dalam tas.

"Terimakasih."

"Tak perlu berterimakasih, namamu memang cantik, secantik kau."

Apa dia buta?

...

"Katakan sesuatu tentang dirimu, atau ceritakan tentang apapun. Aku ingin mendengarnya."

Aku ingin mengubur diriku sendiri. Serius! Seorang Sasuke Uchiha, murid laki-laki tertampan dan yang paling digilai di sekolah ini mengajakku berbicara banyak dan bertanya tentang berbagai hal. Bukannya aku tidak merasa senang diperhatikan dan diajak bicara oleh seorang laki-laki tampan, ini baru terjadi sekali dalam seumur hidupku. Tapi, aku hanya merasa aneh. Murid laki-laki populer dan cassanova seperti Sasuke, mau berbicara dengan ... gadis sepertiku?

Sasuke memiliki banyak penggemar yang siap memutilasiku hidup-hidup. Sekarang saja aku harus menahan ngeri dari pelototan tajam para gadis pemujanya di dalam kelas. Sejak Mr. Saratobi keluar kelas, Sasuke terus mengajakku bicara. Bertanya tentang ini dan itu.

Aku mencoba untuk tidak tersanjung dengan ulahnya, aku pikir dia mendekatiku karena ingin berkenalan dengan Ino. Menyakitkan hati. Tapi apa boleh buat? Memangnya untuk alasan apalagi seorang laki-laki rupawan mengajakku bicara?

"Hei!"

Aku tersentak mundur saat tangan besarnya yang hangat, meraih helaian rambut hitamku lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Aku mengerjap linglung, sementara dia tersenyum hangat.

"Cobalah untuk sedikit menghilangkan perasaan rendah dirimu. Memiliki kekurangan fisik, tidak berarti harus membuatmu bersembunyi di balik cangkang yang rapuh."

Tanda tanya besar berbayang di atas kepalaku. Darimana laki-laki ini tahu soal masalah kepercayaan dirikuu yang minus? Dan kenapa juga dia harus menunjukan ketertarikan pada gadis sepertiku.

"B-baiklah," aku tidak mengerti kenapa aku harus mengatakan itu dan mengangguk patuh padanya.

Sasuke terlihat ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi tiba-tiba dia tersentak, dia terdiam selama beberapa detik dengan mata menerawang jauh.

"Sial," dia mengeluh kesal, "sampai jumpa Sakura," dia bangun dan berlari cepat keluar kelas diikuti si gadis brunnette.

Kepergian Sasuke, membuatku merasa makin tak enak. Bukan karena aku kehilangan perhatiannya, tapi karena ...

"Memangnya apa bagusnya dia sampai seorang Sasuke Uchiha, bicara dengannya?"

Penggemar yang dia tinggalkan membuatku merinding. Mereka menatapku seakan ingin menyantapku. Ya ampun Ino, tolong aku!

Saat salah satu diantara mereka akan menghampiriku, untuk melakukan sesuatu—yang kupikir—kekerasan, tanpa sengaja aku mengucapkan mantra sihir yang membuatku menghilang dari hadapan mereka, berteleportasi cepat ke suatu tempat yang tenang di sekitar area sekolah itu.

Sial! Tadi sebagian diantara murid-murid di kelas melihatku menghilang kan? Mereka pasti sedang kebingungan sekarang. Ya ampun, ya ampun, ya ampun. Kalau Inoichi tahu aku pasti akan kena hukuman!

Aku segera mengeluarkan ponsel dan mengirimkan pesan singkat pada Ino untuk membereskan kekacauan yang kubuat. Menghapus sedikit ingatan manusia bukanlah hal yang sulit bagi Ino, walau dia mahir dalam menggunakan semua sihir tapi manipulasi pikiran adalah hal yang bisa dia lakukan bahkan dengan mata tertutup dan jarak yang jauh.

Jika keahlian sihir Ino adalah manipulasi pikiran, lain halnya dengan keahlianku yang menurut Inoichi adalah sihir berbahaya, aku bisa mengendalikan elemen api kapanpun dan dimanapun aku mau. Tapi menurut Inoichi aku tidak boleh melakukannya, karena itu berbahaya, dan bisa melukai orang lain secara fisik.

'From : Ino

Dasar anak nakal. Baiklah aku akan melakukannya, kau tidak perlu khawatir. ;)'

Aku tersenyum membaca pesan Ino, yang beberapa detik lalu masuk ke ponselku.

Ngomong-ngomong di mana ini? Aku memperhatikan sekeliling, mendapati diriku berada di sebuah padang rumput luas diantara pepohonan rimbun. Aku berbalik untuk melihat bagian belakang gedung sekolah yang letaknya lumayan jauh dari tempatku berdiri.

Bagian belakang sekolah? Tempat yang bagus.

Aku baru saja akan berbaring dan bersantai di rerumputan, ketika suara geraman binatang buas—mungkin srigala—yang sejak tadi kudengar dalam pikiranku, menggema keras dan nyata di sekitar hutan.

Geraman binatang buas itu terdengar banyak, tidak hanya satu ekor. Suara bedebum keras disusul jatuhnya sebuah tubuh dalam jarak seratus meter di depanku, membuatku tersentak.

Seorang laki-laki tampan tinggi, bertubuh ramping, dan berkulit sangat pucat dengan rambut cokelat gondrong tak terawat, tampak kesakitan dia mencoba bangkit dari posisi jatuhnya. Pakaiannya berantakan, tampak seperti seorang pendaki dengan jins kusam, kaos yang warnanya telah tak jelas, dan sweater biru gelap. Dia tidak memakai alas kaki.

Matanya yang merah tampak menatap awas ke arah pepohonan. Geraman buas terdengar dari tenggorokannya.

Tak perlu menjadi seekor anjing pengendus [re: werewolf] untuk mengetahui bahwa orang ini adalah vampir.

Aku ingin pergi dari sini, tapi kakiku tak dapat bergerak. Tubuhku membeku saat melihat sekawanan serigala besar setinggi kuda pacu, yang muncul dari antara pepohonan yang rimbun. Seekor serigala berbulu hitam lebat dan bertubuh paling besar diantara yang lain, berdiri di barisan depan. Aku pikir dia alpha-nya.

Tanpa sadar aku menarik napas keras ketika melihat si serigala berbulu hitam, membuat perhatian dua jenis mahluk mitos mengerikan itu tertuju padaku.

Sial!

Serigala berbulu hitam itu tampak terkejut melihatku, sementara si vampir memperlihatkan seringai menyeramkannya yang menunjukan sepasang taring tajam. O'ow, Ino, help me!

...

Semua terjadi begitu cepat. Si Vampir—yang entah kenapa memiliki keinginan untuk—menyerangku, diterjang cepat oleh si serigala berbulu hitam lebat. Mereka berkelahi, saling menggigit, mencakar, dan mencabik. Si serigala Hitam membenamkan taringnya ke leher si vampir, lalu terdengar suara sobekan daging, disusul lolongan kesakitan si vampir.

Aku perlahan mundur, saat kawanan serigala lain mulai ikut mengerubungi si vampir. Mereka mematahkan dan mengoyaknya menjadi potongan kecil.

Tak ingin ikut dikoyak dan dipatahkan oleh sekelompok mahluk mitos menyeramkan, aku segera berlari menjauh dari sana.

###

"Sakura, apa yang terjadi? Kenapa wajahmu pucat begitu?" tanya Ino saat aku menemui dia di kelasnya, dan menyeret paksa dia keluar dari sana untuk bicara, "Ya Tuhan, kau ketakutan. Badanmu gemetar begitu. Ada apa?" dia cemas.

"Aku ... aku ...," aku tergagap, sulit menyelesaikan perkataan.

"Sakura tenanglah dulu. Tarik napas perlahan, kemudian keluarkan. Oke, bagus seperti itu," dia menepuk-nepuk punggungku setelah aku mengikuti instruksinya, "apa yang membuatmu seperti ini? Apa kau dijahili lagi oleh para manusia bodoh itu?" tanyanya geram.

Aku menggeleng, "Tidak. Tidak ada seorang pun yang menjahiliku, tapi tadi aku melihat ...," kudekatkan mulutku ke telinga Ino lalu berbisik, "werewolf," ucapku sembari menjauhkan kepala darinya.

Mata biru Ino membelalak ngeri, "K-kau serius?" dia terlihat tak percaya.

Aku mengangguk.

Ino menoleh ke kiri dan ke kanan, memperhatikan sekeliling, banyak siswa-siswi yang tampak tertarik melihat pembicaraan kami dua bersaudara murid baru di SMA itu. Dia kemudian berinisiatif menyeretku ke tempat sepi. Bagian belakang gedung sains.

"Kau serius melihatnya?" dia bertanya sekali lagi.

"Ya. Kau tak percaya padaku?"

"Aku percaya padamu, Sakura. Tapi biasanya werewolf selalu muncul pada saat bulan purnama."

Aku menggaruk kepalaku bingung, "Begitukah?"

"Tentu!"

Kami berdua terdiam sejenak.

"Katakan padaku ada berapa jenis werewolf di dunia ini?"

Ino mendesah, "Papa bisa memberitahu kita saat pulang nanti," katanya.

Yah, Inoichi memang mengetahui segalanya, tentang seluk-beluk seluruh mahluk mitos yang tinggal di dunia manusia, dan juga dunia bawah. Dunia bawah adalah sebutan untuk dunianya para mahluk mitos, seperti penyihir, peri, orc, dracula/vampir, dan juga werewolf. Di dunia bawah semua mahluk itu memiliki wilayahnya masing-masing yang tidak boleh dilanggar atau dilewati oleh mahluk lain. Contohnya penyihir yang menguasai dua wilayah besar, seperti Circewitch dan kerajaan Frigardr.

Aku belum pernah pergi ke dunia bawah. Inoichi melarangku ke sana. Aku hanya mengetahui semua itu dari semua buku-buku tua milik Inoichi yang berderet rapi di perpustakaan pribadinya.

"Apa yang kalian lakukan di sini?"

Aku dan Ino menoleh saat mendengar suara teguran sinis itu. Si Brunnete Sasame Fuma, tampak berdiri bersidekap di depan kami, sambil melayangkan tatapan penuh kebencian padaku.

Memangnya apa sih yang sudah kulakukan pada gadis ini?

Sebelah alis Ino terangkat melihat kelakuan Sasame, "Apapun yang kami lakukan di sini tidak ada hubungannya denganmu. Miss ..."

"Fuma. Sasame Fuma," aku melanjutkan kalimat Ino yang tak tahu nama asli Sasame.

Sasame mendengus, dia mendelik ke arahku, "Tak perlu diberitahu aku tahu apa yang kalian lakukan. Adikmu pasti sedang memberitahu khayalan gilanya. Semua omong-kosong tentang werewolf dan sejenisnya."

Keningku berkerut. Darimana dia tahu soal ini? Apa dia ...

Dia salah satu dari mereka, kata Ino dalam pikiranku.

Sepertinya Sasame tidak tahu kalau kami termasuk orang yang percaya pada mahluk mítos, karena kami juga salah satu dari mereka.

Ino menyeringai, "Aku pikir kau yang gila dengan semua khayalan dan omong kosongmu itu."

Sasame tersentak, "Apa?"

"Sakura sedang memberitahuku tentang beberapa anak bersikap kasar padanya di kelas, tapi kau malah datang dan berkata yang tidak-tidak."

Mata Sasame menyipit tak percaya menatapku dan Ino.

"Ayo kita pergi Sakura," Ino mengajakku pergi dari sana.

Baru sekitar sepuluh langkah kami berjalan.

"Sakura!"

Suara berat seorang laki-laki memanggil namaku. Aku menoleh dan mendapati Sasuke yang tengah berlari ke arah kami. Ekspresi wajahnya terlihat khawatir, namun Sasame menahannya.

"Siapa dia?" tanya Ino sambil terus membawaku pergi dari sana tanpa mempedulikan panggilan Sasuke.

Aku mengangkat bahu, "Hanya teman sekelas," jawabku pura-pura tak acuh.

Ino menyeringai.

Sisa hari di sekolah kuhabiskan dengan bersembunyi dan menghindari Sasuke, yang entah kenapa selalu ingin bicara dan dekatku. Bukannya aku tidak mau bicara dengannya, hanya saja aku merasa ada yang salah, tap aku tak tahu itu apa.

Aku baru merasa tenang saat bel tanda pelajaran hari itu selesai, berbunyi. Aku dan Ino langsung menggunakan teleportasi untuk ke mobil, agar bisa secepatnya pergi dari sekolah.

###

"Ino bilang kau melihat werewolf?"

Sore itu Inoichi menemuiku yang sedang membaca buku di perpustakaan.

Aku mengangguk, "Iya. Aku melihat mereka di belakang sekolah, sekawanan werewolf yang sedang mengeroyok vampir."

Inoichi mendesah, dia menarik kursi di depanku lalu duduk, "Ino juga bilang kalau salah satu diantara mereka—werewolf betina—sekelas denganmu."

Aku mengangguk lagi, "Sasame Fuma."

"Apa dia tahu kau dan Ino penyihir?"

"Sepertinya tidak," aku menggeleng. Inoichi terlihat lega.

"Bagus. Teruslah seperti itu, jangan sampai mereka tahu kalau kalian penyihir. Dan ... jaga jarak dengan para werewolf. Mereka berbahaya untukmu, maksudku untuk kita."

Aku mengerutkan kening, "Apa ini karena peraturan yang dibuat Raja Harashima dan diperbahrui oleh Raja Tobirama, tentang kaum penyihir yang tidak boleh memiliki hubungan apapun dengan kaum serigala?"

"Salah satunya itu, tapi lebih baik bagi kalian untuk menjaga jarak." Inoichi terlihat cemas, dia tampak berpikir. "Aku tahu mereka ada di kota ini, tapi aku tidak pernah menyangka kalau mereka akan berada sangat dekat dengan kalian," dia seperti berkata pada dirinya sendiri.

"Ayah ...?"

"Apa Sakura?"

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Silakan."

"Kenapa ada werewolf yang bisa muncul di siang hari, sebelum bulan purnama? Bukankah manusia serigala selalu berubah ke wujud binatangnya pada saat bulan purnama?" tanyaku bingung.

Inoichi mendesah, "Ada dua jenis manusia serigala, Quillete dan Son of the mon. Quillete adalah manusia serigala, yang mendapatkan wujud serigalanya secara turun-temurun berdasarkan gen. Pada dasarnya mereka adalah manusia biasa, namun mereka memiliki kemampuan bertransformasi ke wujud serigala untuk melindungi diri dan juga orang-orang di sekitarnya.

Aku tidak tahu pasti sejarah tentang mereka, hanya saja menurut desas-desus, ratusan tahun yang lalu ada beberapa orang lelaki manusia, dari sebuah suku di dunia bawah yang mengadakan semacam perjanjian dengan serigala, memohon kepada hewan itu untuk memberi mereka kekutan, agar bisa melindungi anak-anak dan perempuan suku mereka dari kerasnya hidup di dunia bawah. Kau tahu kan? Dracula, vampir, orc, ditambah penyihir hitam yang gemar menculik dan memakan anak-anak manusia."

"Jadi mereka mendapatkan wujud serigalanya itu dari para serigala dunia bawah?" tanyaku, Inoichi mengangguk.

"Werewolf jenis Quillete tidak berbahaya. Banyak diantara mereka yang pindah dari dunia bawah ke dunia manusia, membentuk kelompok yang disebut pack di wilayah tempat tinggal masing-masing.

Sementara Son of the moon, adalah jenis werewolf yang berbahaya. Jika Quillete mendapatkan wolfnya karena perjanjian dengan serigala, maka son of the moon mendapatkan wujud wolf karena keserakahan dan ketamakan. Membuat perjanjian dengan iblis untuk mendapatkan kekuatan, kekayaan, dan kehidupan yang abadi," jelas Inoichi.

"Bisa dibilang mereka [son of the moon] dikutuk untuk menghabiskan hidup mereka sebagai monster berwujud serigala. Saat mereka berada dalam wujud werewolf son of the moon, mereka membantai dan membunuhi siapapun yang berada di sekitar mereka."

Aku mengangguk mendengar penjelasan Inoichi, kagum akan pengetahuannya.

"Seperti merinci tentang perbedaan vampir dan dracula," kataku.

"Begitulah," dia mengangkat bahu kemudian bangkit dari kursi, "oh ya Sakura ..."

"Hmmm?"

"Kau mau berjanji sesuatu pada Ayah?"

"Katakan saja apa itu, Yah. Aku harap aku bisa menyanggupinya."

"Apapun yang terjadi, jangan pernah sekali pun kau mengikat hubungan dengan werewolf."

"..."

"Ayah tidak mau kau ditimpa kemalangan yang menyakitkan karena melanggar peraturan."

Inoichi terlihat sangat mencemaskanku. Untuk menenangkannya, aku hanya bisa mengangguk.

...

Olah raga. Aku benci pelajaran olah raga. Seharian berada di lapangan dan dijadikan sasaran lemparan bola oleh murid-murid lain membuatku kesal. Beruntung Ino secara diam-diam mau menggunakan sihirnya untuk mengalihkan arah lemparan bola dariku. Setiap ada siswa atau siswi yang menjadikan aku sasaran lemparan bola, bola itu selalu beralih mengenai Mr. Guy yang merupakan guru olah raga, sehingga hari ini banyak murid yang kena hukuman.

"Kau jahil sekali."

Ino nyengir ke arahku, begitu olah raga bola tangan kelompokku selesai.

"Itu menyenangkan. Sekarang giliranku," dia maju ke tengah lapangan begitu Mr. Guy memanggil namanya.

Ino langsung menarik perharian seluruh siswa yang ada di pirangnya yang dikuncir memperlihatkan lehernya yang cantik, dan juga kakinya yang jenjang terlihat karena hanya mengenakan celana olah raga pendek berwarna biru tua yang panjangnya beberapa centi di atas lutut.

Berjalan ke arah bangku tempatku menyimpan tas, aku segera mengeluarkan air mineral dari dalam sana untuk meminumnya.

"Sakura ..."

Aku berbalik dan terkejut mendapati Sasuke Uchiha berdiri di belakangku. Dia memakai kaos putih pas badan yang mencetak jelas otot-otot bisepnya, celana khaki, rambut hitam berantakannya yang agak panjang dikuncir asal. Dia terlihat kacau, tapi tetap tampan.

"Sasuke?"

"Kemana saja kau kemarin? Apa kau tidak tahu kalau aku mencari-carimu?" kenapa dia terlihat marah?

"Aku ... aku masuk kelas Geografi dan Bahasa Spanyol, lalu aku pulang bersama Ino. Memangnya kenapa?" tanyaku bingung dengan kelakuannya.

"Aku menghawatirkanmu, dan aku tidak tahu keberadaanmu! Itu membuatku pusing!" jawabnya frustrasi.

Kenapa dia harus pusing mengenai keberadaanku, kenapa juga dia menghawatirkanku, dan ... kenapa sekarang malah aku yang jadi pusing?

Dia menarik napas teratur, mencoba tuk menenangkan diri.

"Baiklah. Nanti setelah sekolah usai aku akan mengantarmu pulang!" katanya tegas sambil menatapku tajam. Apa-apaan?

"A-aku bisa pulang dengan Ino, kau tidak perlu menghawatirkanku."

Wahai jantungku tenanglah. Jangan berdetak terlalu cepat, itu tidak baik untuk kesehatanmu.

Sasuke mendelik. Dia terlihat makin marah. Memangnya apa sih yang sudah kulakukan?

"Tidak! Aku harus mengantarmu pulang!"

"T-tapi ... Hei!"

Sasuke tiba-tiba merebut tasku kemudian menyeretku keluar dari gedung olah raga.

"Setelah ini jadwalmu di kelas kimia kan?"

Aku mengernyit, "I-iya. Darimana kau tahu?"

"Jadwalku juga di kelas kimia. Kita ke Laboratorium bersama."

Dia terdengar otoriter dan menjengkelkan.

"B-baik, tapi aku harus ganti pakaian. Tidak lucu kalau aku masuk laboratorium kimia dengan pakaian olah raga," aku menunduk memperhatikan penampilanku sendiri, kaus putih, training panjang berwarna biru gelap, dan sepatu kets putih.

Sasuke berhenti berjalan, yang otomatis membuat langkah kakiku juga ikut berhenti. Dia mendesah lalu berbalik menghadapku.

"Ini," disodorkannya tasku yang dia rampas tadi, "salinlah pakaianmu di ruang ganti, lalu temui aku di laboratorium kimia."

"B-baik." setelah menerima tas dari Sasuke, aku segera kabur dari sana.

###

Sasuke gila. Yah, aku pikir dia memang gila. Mengejar-ngejar gadis sepertiku, padahal dia bisa mendapatkan gadis cantik mana pun yang dia mau.

Bukannya aku tidak senang dengan semua perhatian yang dia berikan padaku, hanya saja ... semua ini terasa aneh. Bagaimana mungkin seorang lelaki tampan yang digilai banyak gadis cantik di sekolah ini, menginginkan gadis sepertiku?

Ada beberapa alasan yang bermain di otak, mengenai kenapa Sasuke mau mendekatiku.

Yang pertama, dia gila.

Yang kedua, dia mau menjadikanku sebagai lelucon. Dikejar, dipacari, lalu dicampakan. Seperti di film-film laki-laki tampan menjadikan perempuan jelek sebagai taruhan dengan teman-temannya.

Yang ketiga, dia mendekatiku karena ingin mendekati Ino.

Dan yang terakhir ... otaknya tak beres, alias dia gila, seperti alasan pertama tadi.

###

"Mari kita bicara."

"Bukankah kita sudah bicara sepanjang jam pelajaran kimia tadi?" aku memutar mata mengingat betapa cerewetnya Sasuke saat di kelas tadi. Berbicara tentang segala hal mengenai dirinya. Mulai dari orang tua, jumlah saudara, segala hal yang disukainya, dan bahkan jam berapa dia tidur dan bangun. Padahal aku tidak bertanya apapun.

Dari semua pembicaraan itu, aku bisa menarik beberapa informasi tentangnya. Sasuke anak bungsu dari tiga bersaudara, kakak pertamanya laki-laki dan kakak keduanya perempuan. Dia hanya memiliki seorang Ayah, Ibunya meninggal ketika melahirkan dia. Salah satu hobi Sasuke adalah mengautak-atik mesin, baik itu mobil ataupun motor. Sasuke bisa tidur kapanpun dan dimanapun dia mau.

"Hanya aku yang bicara tadi," ralat Sasuke, "sekarang giliranmu. Aku ingin tahu tentangmu."

Aku mendengus, "Baik. Apa yang ingin kau ketahui?"

Senyum mempesona tersungging di bibir Sasuke ketika melihatku 'menyerah'.

"Katamu kau dan Ino adalah saudara, tapi kenapa nama belakang kalian berbeda?"

"Oh itu ...," aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, merasa jengah dengan perhatian yang kuterima dari Sasuke dan juga seluruh murid di Cafetaria, "itu karena kami hanya anak angkat Inoichi Yamanaka, dan aku masih memiliki Ayah kandung yang tinggal di ...," tidak mungkin aku menyebut Ayah kandungku tinggal di dunia bawah, "Inggris!"

"Oh, pantas. Aku sudah menduga bahwa kalian memang bukan saudara ," dia berkata pada dirinya sendiri, "lalu hobimu?"

"Membaca buku," jawabku cepat.

"Novel?"

"Salah satunya."

Dan dia kembali mengajukan beberapa pertanyaan yang membuatku harus berdusta mengarang jawaban. Seperti kenangan masa kecil yang paling berkesan bagiku, dongeng kesukaan, dan apa aku percaya pada mahluk mitos semacam werewolf—dia tampak cemas saat menanyakan pertanyaan terakhir.

"Apa-apaan ini?!"

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Sasuke mengenai werewolf, werewolf yang sebenarnya muncul. Sasame dan dua temannya mengelilingi meja tempatku dan Sasuke duduk. Mereka menatapku berang.

Sasuke mendesah, "Sasame please ...," dia terdengar lelah.

"Kau mengakhiri hubungan kita hanya karena gadis ... ini?"

Maksud perkataannya apa ya?

"Jangan kekanakan Sasame. Kau tahu sendiri kan, kalau kita tidak akan bisa menjadi pasangan selamanya?" suara Sasuke merendah, "kau bukan mate-u jadi berhentilah bersikap seolah kau memiliki hak padaku."

Sasame terlihat marah, "Aku memang bukan matemu, tapi aku mencintaimu, dan aku sangat tidak rela kalau kau menjadikan gadis buruk ini sebagai penggantiku."

Suara geraman mengerikan lolos dari tenggorokan Sasuke, dia bangun dari duduknya lalu menatap Sasame tajam. Membuat nyali gadis itu dan dua temannya tampak menciut.

"Dia mate-ku, jaga bicaramu," desisnya pelan, "kalau kau tidak ingin rank-mu dalam pack kuturunkan menjadi omega, bersikap baiklah dan jangan mengusiknya." Setelah mengatakan itu Sasuke kemudian menyambar tas pundaknya dari atas meja, lalu membawaku pergi dari cafetaria.

Ngomong-ngomong maksud dari 'mate' dalam pembicaraan mereka itu apa?

Sepanjang hari Sasuke terus menyeretku kesana-kemari, tak membiarkanku menjauh dari jangkauannya. Jujur saja itu sangat menyenangkan dalam beberapa hal, walau lebih banyak menjengkelkannya.

Gosip di seantero sekolah, tentang aku yang merebut kekasih Sasame Fuma, cepat menyebar. Banyak murid yang heran kenapa Sasuke lebih memilih aku yang tidak ada apa-apanya daripada seorang Sasame Fuma, yang cantik dan seksinya luar biasa. Jangankan mereka, aku juga bingung. Ino bahkan terlihat lebih bingung lagi.

"Kau tidak menjerat Uchiha dengan mantra atau ramuan sihir kan?" tuduh Ino ketika kami berdua berjalan menuju tempat parkir setelah sekolah usai.

Kami harus buru-buru pulang sebelum Sasuke menemukanku dan memaksa mengantarku pulang. Tidak lucu kalau dia menemukan kenyataan mengenai lokasi rumahku dan Ino, yang letaknya sangat tidak lazim untuk lokasi rumah manusia. Di pinggiran kota, di dalam hutan, di atas sebuah tebing yang tingginya ribuan meter. Manusia mana yang mau membangun rumah di tempat mematikan seperti itu?

"Tidak. Aku tidak melakukannya," jawabku datar.

"Lalu kenapa dia begitu tergila-gila padamu?"

"Itu karena dia memang sudah gila," jawabku sembari membuka pintu mobil untuk masuk mengikuti Ino ke dalamnya.

Ino tertawa, "Orang gilanya sudah muncul," dia menggedikan dagu ke arah utara, tempat Sasuke berdiri dan tampak mencari-cari sesuatu.

"Oh shit!"

"Mau lewat jalur biasa, atau jalur ekspress?" Ino mengedipkan mata menggodaku dengan pertanyaan konyol.

"Ino!"

"Hahaha. Oke. Avacadavra!"

Mobil kami pun menghilang, berteleportasi langsung ke garasi rumah. Benar-benar jalur yang sangat ekspress.

###

...

Lelaki itu bertubuh besar, memiliki rambut sebahu berwarna gelap, dan mata sehitam malam. Dia tampak kacau dengan janggut lumayan lebat, seperti tak dicukur selama berminggu-minggu. Dia hanya mengenakan sebuah celana pendek yang terbuat dari serat kulit kayu, matanya menatapku sedih.

Aku tidak tahu siapa dia, tapi aku merasa seperti mengenalnya.

"Percayalah. Aku berjanji akan memperjuangkan kita."

Apa maksudnya itu?

Tiba-tiba api merah yang menyala panas muncul di sekelilingku, disusul suara geraman binatang buas, lalu laki-laki bercelana serat kulit kayu itu tiba-tiba meraung marah, matanya berubah merah, lalu ... dia berubah menjadi seekor serigala besar berbulu hitam lebat. Dia kemudian menerjangku di dalam lingkaran api, hingga ...

"Arrrrhhh!"

Aku terbangun dari tidurku. Itu hanya mimpi, tapi kenapa hati ini begitu sakit? Seakan yang terjadi seperti nyata.

Menghela napas aku meraih segelas air putih yang ada di samping tempat tidurku, lalu meminumnya. Bau daging goreng yang berasal dari dapur menyergap indra penciuman. Inoichi pasti sedang memasak.

Bangun dari tempat tidur, aku kemudian beranjak menuju dapur.

...

"Biasanya yang selalu membuat kehebohan itu aku, Papa, tapi kali ini Sakura menjadi biang kekacauan di sekolah."

Wajahku memerah saat mendengar perkataan Ino, yang mengacu pada kejadian kemarin di Cafetaria.

Inoichi tersenyum. Dia telah selesai memasak bacon, tiga buah piring yang ada di rak terbang, dua diantaranya berhenti tepat di depanku dan Ino, sementara satunya lagi berhenti tepat di sebuah kursi kosong yang seharusnya menjadi tempat duduk ayah angkatku itu.

"Oh ya? Kebandelan apa yang dilakukan anak manisku, Sakura, kali ini?"

Penggorengan berisi bacon tiba-tiba terbang menuju piring di depanku, membagi jatah sarapanku, Ino, dan Inoichi.

"Sakura tidak bandel, hanya saja sejak hari pertama ada seorang cowok bandel yang mengejar-ngejarnya!"

"Ino!" aku menegur, Ino menyeringai menggodaku.

"Cowok bandel?" Papa terkekeh, "Sakura sudah punya pacar ya?"

Aku merasa seluruh darah mengaliri ke wajahku, "Tidak. Aku dan dia tidak pacaran!"

Mengabaikan perkataanku, Inoichi menarik kursinya untuk duduk. Si penggorengan yang telah selesai membagi jatah bacon, terbang menuju wastafel. Kemudian tiga buah gelas kaca, dan satu cerek berisi air muncul di atas meja, sama seperti yang dikerjakan si penggorengan, si cerek pun melakukan tugasnya dengan mengisi air pada masing-masing gelas.

"Siapa namanya?"

"Nama?" aku mengulang pertanyaan Inoichi seperti orang bodoh.

"Nama pacarmu," kata Inoichi memperjelas.

"Sasuke Uchiha," sambar Ino sambil menikmati baconnya dan juga rasa maluku.

"Sudah kubilang dia bukan pacarku!"

"Dia sampai memutuskan pacarnya demi bisa dekat dengan Sakura."

Seandainya di sini ada kalkun atau kaus kaki bau yang bisa kugunakan untuk menyumpal mulut Ino.

"Tak apa Sakura, nikmati masa mudamu. Tapi berhati-hatilah Nak, jangan sampai kau kacau dan sakit hati."

Aku mengangguk mendengar nasihat Inoichi.

"Kau harus menemaniku, tidak boleh tidak!"

Ya Tuhan, apa lagi ini? Ino memaksaku pergi bersamanya, karena kemarin dia diajak gebetan barunya untuk pergi hiking.

"Kau mengajakku mendaki gunung, Ino? Yang benar saja!"

"Kau mengatakan itu seperti kita tidak tinggal di gunung saja," gerutunya sembari memperhatikan pantulan bayangannya di dalam cermin. Dia memakai jins hitam, dipadu sepatu boot yang juga berwarna hitam, kaus putih, dan juga topi kupluk berwarna putih, rambut pirangnya dibiarkan tergerai.

"Memangnya siapa yang mengajakmu? Apa kau lupa kau sudah punya Shimura Sai 'Si peri gila'?" tanyaku setengah hati memakai kaus kuning polos berlengan panjang dan celana jins biru pudar yang disiapkan Ino di atas tempat tidur.

"Namanya Naruto. Dia laki-laki yang manis. Yang aku tahu dia salah satu teman dekatnya Sasuke." Sebuah seringai misterius tersungging di bibir Ino.

Astaga! "Apa yang kau rencanakan?" menarik ke atas gesper jinsku, aku mendelik kesal ke arah Ino.

Dia berbalik, memasang ekspresi polos, "Tak ada. Hanya ingin membuatmu merasakan masa remaja yang seharusnya.

###

Kalau ada typo atau kesalahan penulisan, tolong dikoreksi.

###