Present of Death
The Comedy of Mystery
Hari itu hujan.
Aku tengah membaca novel terbaru sambil mendengarkan musik Fur Elise karya Beethoven. Suara jarum hujan yang mengetuk-ngetuk jendela menjadi melodi tersendiri di luar simfoni yang terputar dari iPod milikku. Kuabaikan berkas kasus baru yang tergeletak di atas meja nakas di sebelah kursi, mataku masih sibuk menelusuri tiap kata dari novel ini.
Sesekali aku menyesap Devonshire yang tadi telah disiapkan olehku, dan saat alunan Fur Elise selesai suara ketukan pintu terdengar dari luar. Terdiam, aku tak lantas membukakan pintu. Mataku menerawang ke luar jendela, dimana awan kelabu menggulung sementara hujan masih menurunkan serdadu airnya.
Ketukan itu berhenti saat aku turun dari kursiku dan menuju ke arah pintu. Aku masih berjalan dengan novel di tanganku, tepat saat aku ada di depan pintu, aku meletakkan novel itu di meja telepon dekat pintu. Dan aku belum juga membuka pintu bercat kuning tembaga itu.
Meletakkan telapak tangan di atas daun pintu, aku dengan lamban-lamban membukanya. Tak ada siapapun di halaman rumahku, hanya ...
... sebuah surat dalam keadaan kotor dipenuhi noda terbakar dan bercak merah.
Present of Death: The Comedy of Mystery
Cast(s): Prussia/Gilbert Beilschmidt | Russia/Ivan Braginski | Spain/Antonio Fernandez Carriedo
Genre: Mystery | Suspense | Supernatural | Horror | Slash | Spiritual
Warning: Typo(s) | OOC, hm? | RussPruss, SpaPruss | Detective!AU | Yandere!Spain | OCs
Now Playing: Imitation Black [Piano Instrumental] © Wowoka ft. VanaN'Ice
.
.
~Bab I~
"IN the midway of this our mortal life, I found me in a gloomy wood, astray. Gone from the path direct: and e'en to tell, It were no easy task, how savage wild."—The Divine Comedy; Inferno (Canto 1: 5)
.
.
Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya
Mona Lisa © Leonardo da Vinci
The Divine Comedy © Dante Alighieri
The Da Vinci Code & Inferno © Dan Brown
Present of Death: The Comedy of Mystery © Nekoya Chevalier
.
.
Manchester, England—Winter 2013
Duduk di atas ranjang, aku membuka carikan kertas yang kutemukan di luar rumah. Perasaan was-was menyelimutiku. Aku berusaha membacanya, tulisannya acak-acakan, diperparah dengan beberapa bagian yang terbakar dan bercak merah pekat yang menutupi.
aku merndukanmu, Gil(tulisan tertutupi bercak merah) kurasa (tulisan tak terbaca) lg kta akn berte(terbakar di bagian ini) lagi?
Aku mengeryit pelan saat membacanya, alisku bertaut membentuk 'V' kasar saat aku membaca guratan tulisan tangan di bawahnya.
Kau (di bagian ini juga terbakar) dan akn selalu jdi milikku
Iris merahku bergerak melihat nama pengirim di pojok kanan bawah, dan aku merasakan debaran jantungku berdebar lebih keras dari sebelum-sebelumnya.
Antonio F. Carriedo
Kuletakkan kertas—atau surat—itu di atas meja nakas sebelah tempat tidur dan berbaring perlahan di atas kasur empuk milikku. Dia sudah mati, aku mensugesktikan diri. Melintangkan lengan di atas mata, aku merasakan ketakutan dan kengerian menyelimutiku.
Dia sudah mati.
Mati.
Tak bernyawa, sejak—
Derang telepon memotong pikiranku, aku merogoh ponsel yang kusimpan di saku celana. Menatap nama 'Damian' yang muncul di layar telepon. Aku mengerang pelan sebelum menekan tombol hijau di sana. "Ada apa, Damian?"
Suara Damian van Der Mook sedikit teredam derasnya hujan di seberang sana. 'Sudah—lihat?' ia bertanya dengan suara keras, namun masih tak dapat kudengar dengan jelas.
"Hah? Apa kau bilang?" aku mengeraskan suaraku, merubah posisi menjadi duduk demi untuk mendengarkan suara lelaki Belanda di seberang sana.
'Apa kau sudah lihat berka—a?!' ia bertanya, sedikit teredam suara hujan namun masih dapat kudengar maksudnya. Aku menyandarkan punggung di dashboard ranjang dan menggaruk leherku.
"Belum."
Aku yakin ia tengah menggerutu dan menyumpahiku kesal di sana, dan aku meringis mendengar suara Arthur ikut-ikutan meramaikan suasana—rekanku yang satu itu pasti marah besar tahu kalau aku belum membuka berkas yang kemarin mereka berikan padaku.
'Kau denga—tadi. Kuhara—kau seger—membaca ... nya!' Damian berteriak kesal, sepertinya mereka ada di luar ruangan atau apa. Aku mengiyakan dan menutup telepon;
Hampir memekik saat meliat sepasang emerald yang sudah lama tak kutemui memandangiku dari sudut gelap kamar.
Manchester, England—Winter 2013
Pagi ini aku datang agak terlambat ke kantor. Dengan penampilan acak-acakan dan wajah pucat pasi seperti orang mati. Alfred menertawaiku sementara Damian dan Arthur mencak-mencak sebal padaku. Ketiga rekanku ini nampaknya senang sekali tertawa di atas penderitaanku—pengecualian untuk Arthur dan Damian yang memperburuk keadaan dengan omelan mereka; catatan, Alfred juga memperburuk keadaan, sebenarnya.
Aku sudah membaca data kasus yang akan kutangani bersama Damian, Arthur, dan Alfred kali ini. Tentang pembunuhan. Aku bergidik; entah kenapa. Makin kubaca tiap kata di dalam laporan itu, semakin aku merasakan bulu kudukku meremang.
Aku menghela nafas—
"Korban, Armand Benoit, berkebangsaan Perancis. Dua puluh tiga tahun, bekerja di salah satu biro perjalanan Paris. Tewas karena benturan keras di tengkuk. Waktu kejadian 29 November 2013, Sheffield, Inggris."
—dan mengerang sambil meletakkan cangkir Darjeeling di atas meja. "Sheffield? Lalu kenapa kita yang urus? Gak awesome banget."
Arthur menyesap Red Ceylon miliknya, sebelum meletakkannya di tatakan dan menatapku dengan iris hijau miliknya. "Mana kutahu, git. Yang jelas kita disuruh untuk menyelesaikan kasus ini secepatnya." Ia menjawab, aku mendengar nada kemalasan dari kalimatnya—hee, dia juga geram rupanya.
"Jadi ... apa selanjutnya?" Damian bertanya kalem sambil membuka-buka berkas yang ada di dalam sebuah map manila coklat. Kami saling berpandangan, Alfred meminum latte miliknya.
"Mau ke Sheffield semua atau satu orang saja yang pergi kesana?" lelaki Amerika itu bertanya selagi ia mengaduk latte miliknya. Aku dan Arthur saling berpandangan, sebelum Damian akhirnya membuat kesimpulan;
"Kalian saja yang pergi ke Sheffield, Al, Art. Biar aku cari tahu tentang kemungkinan pelaku sementara kau, Gil, telusuri soal kerabat sir Benoit."
Sebelum kami sempat protes, Damian sudah undur diri dari hadapan kami.
Oberhousen, Germany—Autumn 2016
Aku meletakkan telapak tangan di atas dinginnya cermin, menatap pantulan diriku yang terlukis di bidang datar itu. Cahaya matahari yang merembes lewat lubang ventilasi dan tirai jendela memberiku sedikit gambaran akan rupaku yang sekarang.
Mengerjap, aku menunduk dalam. Mendadak merasa bahwa kaki telanjangku adalah hal yang paling menarik. Sementara mataku sibuk mengawasi setiap jari kakiku—seolah itu akan pergi entah kemana jika aku lengah—pikiranku melayang kemana-mana.
Dan saat aku mendongak, mendapati diriku masih sendiri di sana. Ludwig mengetuk dari luar, mengatakan bahwa sarapan sudah siap. Hening beberapa saat, aku masih terpekur pada cermin di hadapanku.
Ludwig kembali menyahut, dan aku memotongnya dengan pernyataan singkat. Kurasakan kehadirannya di balik pintu beberapa saat, dan sekitar dua puluh detik kemudian terdengar suara langkah kaki yang menjauhi kamarku. Tepat saat aku kembali terfokus pada cermin, sepasang emerald cerah memerhatikanku dari kegelapan sudut kamar.
Tak ada respon dariku, hingga suara lembut memanggil namaku. Aku masih tak merespon, hanya menatap pantulan kelereng hijau itu di cermin. Kulihat zambrud itu berkilat penuh emosi sebelum menghilang ditelan cahaya matahari yang makin cerah di luar sana.
Suara angin yang berhembus mengetuk kaca jendelaku.
"... aku selalu disini ... untukmu."
Manchester, England—Winter 2013
Aku melangkah di atas salju tebal Manchester. Mengabaikan dinginnya udara yang mulai menembus over-coat coklat moka milikku, kulangkahkan kaki berbalut snickers menembus jalan di Manchester.
Snickers kelabu-putih milikku menginjak kepingan ubin di depan pintu milik keluarga Benoit. Dengan helaan nafas—membuat karbon dioksida meggulung di hadapanku—jemari berbalut sarung tangan Prussian blue milikku menekan bel rumah bergaya minimalis itu.
Butuh beberapa lama hingga pintu akhirnya terbuka. Aku mendongak, menemukan seorang wanita dengan muka sembap berdiri di ambang pintu. Aku meyakininya sebagai ibu atau kakak dari sir Benoit. "Ung ... Mrs. Belle Benoit?" aku menyebutkan nama ibu dari sir Armand.
"Mum sedang ada di Liverpool." Ia menunduk dalam, membuka sedikit lebih banyak pintu. Iris biru tua-nya menatapku dengan pandangan menyelidik. Aku menunjukkan lencana yang diberikan inspektur Bonnefoy padaku; jangan ungkap identitas asli sebagai intel, katanya.
"Saya Gilbert Beilschmidt dari kepolisian,"—tentu saja bukan, omong-omong si mesum itu bilang tidak apa-apa untuk memberitahu orang lain soal nama asli—"Ingin membahas soal ..."
Wanita-yang-bukan-Mrs. Belle itu mengangguk mengerti lalu membukakan pintu untukku. "Terimakasih, Miss ...?"
"Ah," ia membungkuk sopan padaku. "Maaf atas ketidaksopanannya, Mr. Beilschmidt ... saya Adora Benoit." Belum menikah, aku menyimpulkan.
Aku mengangguk mengerti. "Tidak usah dipikirkan, Ms. Adora."
Miss Adora orang yang ramah, meski kecanggungan saat aku menyenggol masalah sir Armand. Menurut miss Adora, seorang sir Armand adalah orang yang periang dan sangat menyukai seni.
"Jadi ... sudah berapa lama sir Armand tinggal di Sheffield?" tanyaku, mencoret beberapa poin kurang penting di notes milikku. Aku menatap iris biru milik miss Adora saat wanita muda itu menjawab.
"Kami pindah ke Manchester musim panas enam tahun yang lalu, dan Armand memutuskan untuk tinggal di Sheffield ... kalau tak salah, akhir musim gugur dua tahun yang lalu." Jelasnya, aku mengangguk, mencatat dalam notes putih tulang yang kubawa dari rumah.
Menyandarkan punggung di sandaran sofa, aku berusaha menyamankan dudukku. Sementara miss Adora meminum Matcha yang tadi ia siapkan untukku dan dia. "Apa sir Armand mempunyai nama panggilan yang ... lebih dikenal?" aku bertanya, membetulkan posisi kacamata yang sedikit turun dari batang hidungku.
Seperti berpikir, Miss Adora mengeryit beberapa lama. Sebelum menjawab dengan nada yakin, "Latte Vim."
Kali ini aku yang mengeryit. "... 'Latte Vim'?"
Satu anggukan dari miss Adora. "Itu karena Armand akan sangat bersemangat kalau menyangkut latte." Ia menjelaskan dengan wajah bernostalgia. Aku menjilat bibirku yang kering dan mencatat nama panggilan sir Armand dengan pulpen yang sedari tadi terjepit antara jari jemari pucatku.
Untuk beberapa alasan, aku meyakini bahwa informasi yang kudapat belum lah cukup. ada yang kurang, sesuatu yang ... kompleks. Aku menerawang ke arah cangkir berisi Matcha milikku. Dan saat aku melempar pandangan ke arah jam tiga, ada sesuatu yang menarik perhatianku.
"Lukisan Mona Lisa yang bagus." Aku mengomentari replika lukisan Mona Lisa yang tergantung di dinding bercat putih ruang keluarga rumah keluarga Benoit. Miss Adora menoleh sejenak ke arahku lalu ke arah replika lukisan dan tersenyum simpul.
Ia menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. "Ya," ia berdehem sedikit, menghilangkan suara paraunya. "Armand mengirimnya kesini dari Sheffield beberapa hari yang lalu."
"Oh?"
Kakak dari sir Armand itu mengangguk. "Akhir-akhir ini Armand sangat tertarik pada seni lukis Eropa lama, dan ... ia memberikan lukisan ini padaku dan mum untuk ... kenang-kenangan, katanya." Iris cerulean itu mendadak menyiratkan kesedihan mendalam, aku hendak buka mulut namun terlanjur dipotong olehnya. "Aku tidak tahu kalau itu ... hadiah terakhir darinya."
Dan kembali tenggelam dalam isak tangis, sementara aku menenangkan miss Adora; pikiranku terfokus pada replika lukisan yang berada sekitar tiga meter dariku—dan mendadak, aku merasa kalau di depan lukisan itu telah berdiri sosok mediteranian yang lama kukenal; juga sudah lama tak kutemui.
Florence, Italy—Autumn 1998
"Vee! Antonio! Gilbert, vee!" aku dan Antonio menoleh begitu suara panggilan Feli beresonansi di telinga kami. Menghentikkan aktivitas yang sedang kami lakukan—melihat-lihat lukisan di galeri—dan menoleh ke arah anak Italia yang sedang mengatur nafasnya di sebelah kami.
"Ada apa, Feli?" tanyaku, bingung.
Feli mendongak dan nyengir lebar ke arah kami. "Aku mencari kalian, vee!" ujarnya, memeluk lenganku dan lengan Antonio. "Ayo kita lihat-lihat lukisan yang lain!" ia berseru riang.
Aku melirik ke arah Antonio, dan ia tersenyum ke arahku. "Tentu, ayo." Ucapnya.
Sementara Feli berseru riang, aku menoleh ke arah lukisan—entah itu replika atau asli—karya Michaelangelo. Aku tahu lukisan itu karena ibu mengajariku banyak tentang karya seni dan sastra Eropa lama; penting, katanya. Itu penggambaran Neraka. Inferno.
"Vee ... seram." Mendengar Feli meringis, aku menoleh dan mendapatinya memandang lukisan itu. Dimana gambaran Iblis mengerikan terlukis disana. Aku tersenyum jahil.
"Kalau kau mati, itu yang akan kau temui." Ucapku, membuat Feli merengek sambil memeluk tubuh Antonio dan mengadukanku padanya. Antonio menenangkan Feli sejenak dan mencubit pipiku.
Jelas aku menjerit sakit. "Makannya, kau itu jangan menakut-nakuti orang seperti itu!" Antonio melepaskan cubitannya, dan aku memajukan bibirku kesal sambil mengusap-usap pipi. "Kena karma, lho!"
Kuputar bola mataku malas. "Tapi benar, kok. Aku hanya mengatakan apa yang aku tahu tentang lukisan itu." kulihat Antonio mengangkat bahu acuh tak acuh. Dan kami melanjutkan perjalanan;
Aku bersumpah seseorang membisikkan kata 'Inferno' di telingaku.
Manchester, England—Winter 2013
Aku duduk di atas sofa rumah sambil membuka-buka 'The Divine Comedy' yang baru saja aku dapat dari perpustakaan rumah; aku bahkan tak tahu benda klasik itu tersimpan di rak buku milikku.
Karya Dante Alighieri—penyair terkenal Italia yang dikenal dunia karena kejeniusannya menuangkan filosofi 'alam bawah' dengan bahasa sehari-hari Italia; bahasa rendahan, namun dapat membuai berjuta-juta orang untuk memenuhi Katedral dan Vatikan di masanya—yang entah kenapa secara mendadak menyita perhatianku.
Puisi itu di kemas dengan rapih, versi terjemahan dari bahasa Italia ke bahasa Inggris, menggambarkan eksistensi 'alam bawah' secara intelek namun dapat dipahami semua kalangan; alasan jelan mengapa di masa itu yang memenuhi Katedral dan Vatikan adalah rakyat jelata yang takut dosa, bukan kaum aristokrat yang dijejali pendidikan tingkat tinggi setiap harinya—bahkan di masa itu.
Saat aku membuka lembaran selanjutnya, yang kudapati adalah secarik kertas 'berdarah' dengan bagian-bagian yang terbakar dan kusut yang jelas. Aku membacanya, memejamkan mata dan menarik nafas mencari penenangan diri.
Itu surat yang sama seperti yang kemarin, namun kali ini lebih jelas dan rapih;
Neraka sepuluh-lingkar yang tersedia untuk para manusia pendusta dan pendosa yang tak tahu malu. Kau, yang menanggapku tak ada, akan ada di dalam sana, bersamaku.
Kututup buku itu dengan perasaan ngeri yang luar biasa. Neraka sepuluh-lingkar. Inferno-nya Dante. Kertas—lagi, bisa kuasumsikan sebagai surat—itu tak mungkin ada di sana selama ... aku bahkan tak tahu kapan aku meletakkan terjemahan The Divine Comedy di salah satu rak buku perpustakaan pribadiku; singkatnya, seseorang menaruhnya di sana—
—akan lebih buruk kalau ternyata yang menaruhnya di sana bukan 'seseorang' sama sekali.
Paranoia menyerangku.
Atmosfer ruang kerja milikku mendadak diliputi kengerian dan kewaspadaan tingkat tinggi. Parahnya, aku tahu pasti siapa—atau apa—yang menaruh kertas sialan itu dalam salinan The Divine Comedy milikku.
Dan ponselku berdering. Aku tergelak sebelum mengangkatnya. "Halo, Damian?"
Terdengar seseorang menggerutu dalam bahasa Inggris dengan aksen aneh di seberang sana, sebelum suara Damian menginterupsi, 'Halo? Gilbert?' suara gerutuan seseorang-yang-tak-kutahu itu berlanjut.
"Ya, ini aku. Ada berita apa?"
'Begini, aku tadi baru dari TKP,' katanya, 'Kurasa besok kita harus bisara di kantor.'
Tepat saat aku hendak menyahut, salinan The Divine Comedy milikku terlempar ke sudut ruangan; dimana sepasang emerald cerah menatapku penuh kerinduan, emosi, dan amarah.
Nafasku tercekat, dan ponselku melorot begitu saja ke lantai—suara Damian berteriak memanggilku dan menanyakan keadaanku; namun seluruh pikiranku tercurah pada emerald itu, yang kini mendadak bersuara.
"Kau adalah milikku, Gilbert."
Mendadak, duniaku menggelap dan menyisakkan warna hitam yang tidak awesome sama sekali dimana-mana.
[Author's Territory: Numb © Linkin Park]
Yep, proyek baru. =3= adakah yang menunggu 'Pathetic Demise'? kayaknya gaada, oh ... walaupun gaada, saya mau ngasih tahu; itu hiatus, mungkin bakal discontinue.
Bagi yang merasa fic ini mirip The Da Vinci Code atau Inferno karya Dan Brown, saya akui. Ini memang ... bisa dibilang, gabungan keduanya; dengan penyajian yang berbeda dan beberapa bumbu intrik perebutan cinta sosok Prussia #dihabek eh ... Russia belum muncul, ya? #dibakar #digebukpipa
Yah, maaf atas Canto pertama di Inferno—yang ada di atas tadi, di bawah tulisan Bab I. Tidak saya terjemahkan ke bahasa Indonesia, karena, saya bukan filsafat cerdas yang bisa seenaknya menerjemahkan karya agung itu ke dalam bahasa Indonesia. Jadi, saya serahkan tugas menerjemahkan dari bahasa Italia ke Inggris pada para profesor jenius di Harvard sana OwO
Source: Harvard Classic.
Notes:
Neraka tujuh lingkar, merupakan tujuh tingkatan neraka yang digambarkan Dante dalam The Divine Comedy; Inferno miliknya. Dipisahkan berdasarkan tingkat dosanya, dari yang teringan sampai yang terberat.
Setelah banyak orang yang membaca The Divine Comedy, katedral dan vatikan di masa itu dipenuhi jamaat karena ketakutan para pendosa akan Inferno yang digambarkan oleh Dante.
Comedy? Kelihatannya The Divine Comedy sama sekali tak mengandung unsur komedi, kan? Itu, jelas, dikarenakan pada jaman itu, di Italy terdapat dua cara penulisan; Tragedy untuk tulisan dengan bahasa Italia baku untuk kalangan atas dan Comedy untuk tulisan dengan bahasa sehari-hari Italia.
Sampai jumpa di chapter selanjutnya. Review?
Regards,
Nekoya Chevalier
