Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.

Pairing: Hermione Granger & Salazar Slytherin.

Rating: T


Pertemuan pertama Hermione Jean Granger dengan si hantu galak berjubah aneh terjadi di pagi hari jelang liburan Natal. Kala itu, Hermione yang bertugas mencari referensi mengenai Nicolas Flamel nekat menjejakkan kaki di perpustakaan Seksi Terlarang. Zona berbahaya yang jelas-jelas tak boleh dimasuki pelajar tahun pertama seperti dirinya.

"Hei, kau! Berhenti sampai di situ!"

Hermione tersengat kaget mendengar instruksi menggelegar yang nyaris merontokkan atap ruangan. Menengok takut-takut dari balik bahu, Hermione menarik napas lega saat sesosok putih transparan melayang murka ke arahnya.

Tadinya, Hermione mengira dirinya tertangkap basah oleh penjaga sekolah, Argus Filch dan harus menerima detensi gantung diri di pohon Dedalu Perkasa. Hukuman tak manusiawi yang selalu digembar-gemborkan Filch bakal diterapkan pada pelajar di bawah umur yang ketahuan menyelundup ke Seksi Terlarang.

Untungnya, yang memergoki kali ini bukanlah si sekuriti keji melainkan makhluk halus berjubah kuno. Hantu tak dikenal yang menatap tajam seakan-akan tengah mempertimbangkan kemungkinan menjejalkan kepala megar Hermione ke mulut pispot berkarat.

Bergoyang maju mundur di tumit, Hermione mencoba mengabaikan arogansi dingin khas bangsawan yang meruyak dari hantu berparas angkuh tersebut. Meski mata kosongnya tampak mati, arwah tembus pandang itu masih sanggup mengirimkan tatapan setajam belati. Sorot penuh janji kematian yang membuat jantung Hermione membeku di dalam katup.

"Kau bisa membaca, Anak Bandel?" si hantu mendesis sinis, menyilangkan kedua lengan di dada dengan lagak layaknya dewa paling berkuasa di alam semesta. Tersenyum datar melihat anggukan singkat Hermione, hantu seputih mutiara itu menunjuk papan bertuliskan SISWA DI BAWAH UMUR DILARANG MEMASUKI SEKSI TERLARANG.

"Nah, jika kau bisa membaca, kenapa kau nekat menerobos wilayah yang terlarang untukmu?" si hantu terbang berputar-putar mengitari Hermione. Hembusan hawa dingin merembes ke sendi-sendi Hermione, memaksa gadis bergigi kelinci itu untuk merapatkan sweter rajut yang membungkus tubuh kecilnya.

"Aku... aku ada keperluan di sini," Hermione berbicara terpatah-patah dari balik geligi yang bergemeretuk. Manik mata Hermione melirik ragu-ragu, mencari-cari keberadaan siswa lain yang mungkin bisa membantunya meloloskan diri dari hantu menyebalkan yang tengah mendecap-decapkan lidah dengan gaya menjengkelkan.

"Tak ada murid lain di perpustakaan saat ini, Nona Nakal. Mereka semua sibuk bersiap-siap pergi ke Stasiun Hogsmeade untuk liburan Natal."

Mengkeret ketakutan, ngeri menghadapi penghuni dunia lain yang bisa mengintip alam pikiran, Hermione berbalik arah. Belum sempat kabur lebih jauh, suara pongah si hantu menghentikan pergerakan kaki Hermione.

"Kita belum selesai, Gadis Kecil. Kalau kau kabur tanpa seizinku, aku akan berteriak keras-keras dan melaporkan keberadaanmu di area berbahaya ini. Kau pasti dijatuhi sanksi gantung diri dan pengurangan nilai asrama seratus persen," si hantu berseru licik, mata penuh teka-tekinya berkilat tertimpa api obor yang tergantung di dinding perpustakaan.

Menggeretakkan tangan, Hermione mengutuki desakan gila untuk menggeledah Seksi Terlarang di jam-jam sempit menjelang keberangkatan kloter pertama ke Stasiun Hogsmeade. Seandainya saja ia mengubur niat, ia pasti tak akan bertemu muka dengan hantu berlidah tajam yang bertingkah seakan-akan dirinya-lah pemilik sah Sekolah Sihir Hogwarts.

"Aku tak takut padamu. Laporkan saja sesukamu," bentak Hermione, pura-pura tak terintimidasi dengan ancaman lawan bicaranya. Kebulatan tekad Hermione mengempis saat seringai kejam terpatri di sudut mulut si hantu. Cengiran sejahat setan yang memaksa Hermione merevisi ancaman gertak sambal yang kebablasan.

"Oke, oke. Aku menyerah. Tolong jangan buat kegemparan yang bisa membuatku tertangkap," bisik Hermione, menggigit bibir bawah kuat-kuat saat si hantu memajang tampang jahil. Ekspresi usil yang dipastikan membuat makhluk jadi-jadian paling iseng se-Hogwarts, Peeves menangis cemburu.

"Baguslah kalau kau mengerti posisimu, Mungil," si hantu memiringkan dagu, mengisyaratkan Hermione untuk melangkah keluar dari Seksi Terlarang. Terus mengikuti Hermione seperti bayangan, si hantu transparan melanjutkan investigasi mengintimidasi yang tertunda.

"Nah, keperluan penting seperti apa yang membuat siswa tahun pertama seperti dirimu berani melanggar batas teritorial?"

Menenggelamkan diri di bangku terdekat, Hermione mendesah lelah. Tampaknya, tak ada yang bisa dilakukan selain mengutarakan hal yang sebenarnya. Jika terus berlarat-larat, Hermione yakin hantu arogan ini akan menguliahinya sampai esok pagi.

"Aku sedang mencari data tentang Nicolas Flamel," sembur Hermione sebal, melotot kesal saat si hantu tergelak terpingkal-pingkal.

"Cuma untuk mencari tahu siapa Nicolas Flamel kau nekat menerabas Seksi Terlarang?" si hantu berdecak merendahkan, memaku Hermione dengan pandangan dingin yang bisa membekukan aliran darah.

"Iya! Aku sudah mencari di berbagai buku tapi tidak ketemu. Mungkin saja nama Nicolas Flamel tercantum di pustaka Seksi Terlarang," cetus Hermione sengit, dengan brutal menghempaskan tubuh pegal di tiang bangku.

Bergerak pelan, hantu berambut keperakan itu tersenyum mengejek. Mata tak bernyawa si hantu terpancang lurus saat rentetan ledekan mengalir mulus dari balik bibir tipis berbisa.

"Kau benar-benar gadis idiot berotak udang. Itulah sebabnya mengapa aku sangat membenci makhluk bodoh seperti dirimu."

Darah Hermione naik ke kepala mendengar cemoohan sarat kebencian tersebut. Mengerutkan dahi, Hermione berupaya mencerna dosa besar apa yang diperbuatnya semalam sehingga harus bersua dengan hantu se-brengsek ini.

"Aku bukan penyihir idiot!" balas Hermione panas, melompat gesit dari kursi. Menegapkan punggung, Hermione mendongakkan dagu, tanpa ragu menantang hantu congkak yang berani menyebutnya penyihir dungu tak berotak.

"Jika kau bukan idiot, pasti lemah saraf," kekeh si hantu, menjentikkan jari manis dengan bantalan jempol. Seringai tak kenal kompromi terulas di ujung bibir si hantu saat Hermione menggeprek meja dengan satu tinju, menggulingkan beberapa buku tebal yang teronggok di sana.

"Aku bukan gadis lemah saraf!" maki Hermione, rambut keriting lebatnya mencuat seperti bulu kucing marah. Kekesalan Hermione semakin bertambah ketika hantu kurang ajar tersebut memuntahkan tawa menghina yang mendirikan bulu roma.

"Gryffindor yang malang, mendapatkan anak didik segalak ini," si hantu menurunkan tubuh di kursi seberang Hermione. Bersandar malas, hantu berpostur gagah itu menautkan jemari di dagu. Selama itu, tatapan penuh misterinya tak pernah lepas dari wajah Hermione yang memerah.

Mengusutkan surai singa yang mengembang tak keruan, Hermione memungut buku perpustakaan yang terjatuh. Daripada mengurusi hantu berisik ini, lebih baik ia berancang-ancang pergi ke Stasiun Hogsmeade; bergegas naik kereta Hogwarts Express yang akan mengantarnya pulang ke London.

"Ya, ya, ya. Terserahlah jika kau menyebutku si idiot yang lemah saraf," dengus Hermione, memandang galak si hantu yang menyeringai polos tanpa dosa. Usai menata ulang buku perpustakaan dengan keakuratan membabi-buta, Hermione tanpa ragu beranjur maju.

"Jika kau tak bisa membantuku mencari tahu siapa itu Nicolas Flamel, aku akan pergi. Selamat Natal, Mister."

"Cokelat Kodok. Apa kau suka makan Cokelat Kodok, Nona Nakal?"

Hermione mematung mendengar tanggapan konyol si hantu. Setelah mengata-ngatainya gadis nakal tak berotak, kini hantu sok tahu ini mencoba mengulik kebiasaan ngemil? Bertanya-tanya tentang camilan tinggi kalori yang tak pernah disentuhnya?

Untungnya, sebelum lidah tak bertulang Hermione menghamburkan sanggahan pedas, gadis manis berparas cerdas tersebut teringat kartu penyihir yang selalu tersemat di kardus Cokelat Kodok, makanan ringan berbahan dasar kakao pekat yang sangat digandrungi anak-anak dunia sihir.

"Sempak Kucing! Aku ingat sekarang. Nama Nicolas Flamel ada di dalam kartu Cokelat Kodok," Hermione memekik kesenangan, mengenang kartu yang dilihatnya kemarin lusa. Di kartu edisi Profesor Albus Dumbledore, Nicolas Flamel si ahli alkimia memang dicantumkan sebagai teman dekat Profesor Dumbledore, si Kepala Sekolah Hogwarts yang paling populer dan fenomenal.

Memajang tampang berbunga-bunga, Hermione tersenyum berterima kasih. Meski hantu kepala batu ini sangat menjengkelkan, Hermione tetap merasa berhutang budi karena telah diberi pencerahan. Jika bukan karena bantuan cuma-cuma yang diberikan, mungkin ia harus membuang-buang waktu mengobrak-abrik nama Nicolas Flamel di ratusan perkamen berbulu.

"Terima kasih, Mister..." ujar Hermione rikuh, sedikit malu untuk menanyakan nama hantu yang terus mengamati dengan sorot tak bisa dipahami. Tatapan menekan yang membuat Hermione merasa dirinya tengah berhadapan dengan iblis serigala berbulu domba.

"Sly. Kau bisa memanggilku Sly, Gadis Kecil."

"Sly?" ulang Hermione, sedikit keheranan mendengar nama singkat tersebut. Biasanya, hantu-hantu kastil Hogwarts memiliki nama lengkap yang selalu dibangga-banggakan setiap saat.

Sebut saja hantu Menara Gryffindor, Nick-Si-Kepala-Nyaris-Putus yang setiap detik tak pernah berhenti mengingatkan anak-anak empat asrama untuk memanggilnya dengan identitas lengkap, Sir Nicholas de Mimsy-Porpington. Atau Profesor Cuthbert Binns, guru hantu pengajar mata pelajaran Sejarah Sihir yang ngotot disapa dengan semua gelar akademik yang dimilikinya.

Tapi, meski ringkas, nama tersebut cukup mewakili kepribadian si hantu. Sesuai dengan makna Sly yang berarti lihai dan licik, aura keculasan memang menaungi si arwah penasaran yang sampai detik ini masih setia mencermati Hermione dengan mimik tak berekspresi.

"Namaku Hermione Jean Granger. Kau bisa memanggilku Hermione," Hermione tersenyum bersungguh-sungguh sembari menjulurkan tangan. Uluran ramah yang layu mendadak tatkala Sly menghardik jijik. Mengumpat dalam bahasa asing yang seumur-umur tak pernah didengar Hermione.

"Jangan mimpi aku mau bersentuhan dengan Darah Lumpur kotor seperti dirimu."

"Kau bicara apa sih? Kenapa mendesis-desis seperti reptil begitu?" Hermione beranjak mendekat, nyaris mental terguling-guling sewaktu teguran angker berdengung dari balik punggung.

"Miss Granger, perpustakaan sebentar lagi ditutup," petugas perpustakaan, Madam Irma Pince berdiri berkacak pinggang. Kemoceng sihir, perangkat tangguh yang selalu dipakai untuk mengusir jamur di buku maupun untuk mementung batok kepala siswa bandel mengintip menyembul dari balik saku jubah.

Gelagapan, Hermione memindai situasi sekitar yang sunyi senyap dan setengah gelap. Selain dirinya, Sly dan Madam Pince, tak ada satu makhluk pun yang beredar di ruangan besar penuh buku itu.

Biasanya, di jam-jam usai sarapan seperti sekarang, perpustakaan selalu penuh sesak seperti kandang ayam. Tapi, berhubung esok liburan Natal, tak ada satu siswa pun yang berminat menghabiskan waktu luang mereka di perpustakaan. Kecuali Hermione tentunya, yang memiliki misi terselubung menyelidiki Nicolas Flamel, si ilmuwan legendaris pemilik Batu Bertuah.

"Sebaiknya kau segera pergi ke Stasiun Hogsmeade, Miss Granger. Bukankah liburan Natal tahun ini kau mudik ke rumah orangtuamu?" Madam Pince mendesak menyelidik, menggebah kemoceng sihir di lembaran buku Susunan Suku-kata Spellman. Kurang dari sedetik, tungau dan kutu melompat berhamburan, bersaing dengan daki dan jamur yang menjerit-jerit panik.

"Iya, Madam Pince. Aku akan segera berkemas," angguk Hermione patuh, melirik sekilas Sly yang melayang tenang. Anehnya, meski kerlap-kerlip putih Sly berkejap-kejap di kegelapan, Madam Pince sama sekali tak menunjukkan kesan bahwa ia menyadari keberadaan hantu kurang ajar itu.

Bahkan, saat pandangan Madam Pince bersinggungan dengan Sly yang sekarang mulai mengacak-acak tumpukan buku di rak, wanita kurus berselaput tulang itu tetap tak menampakkan perubahan mimik muka. Padahal biasanya, Madam Pince tak pernah menolerir siapapun yang berani mengotak-atik susunan buku. Siapapun. Termasuk si galak Baron Berdarah. Hantu Slytherin yang berkali-kali dilabraknya karena lalai mengembalikan pustaka ke tempat semula.

Jadi, mengapa sekarang berbeda? Mengapa Madam Pince tutup mata akan keisengan Sly yang jelas-jelas disengaja? Mengapa Madam Pince bertingkah seolah-olah tak menyadari keberadaan Sly yang sekarang mulai bergerak sibuk menebar kutu di atas rambut sasak tingginya?

"Tunggu apalagi, Miss Granger? Nanti kau ketinggalan Hogwarts Express," semprot Madam Pince habis sabar, memutus perdebatan Hermione dengan alam pikiran. Menggaruk rambut sasak yang mendadak gatal, pustakawati berhidung panjang itu menyeret Hermione menuju pintu keluar.

Sebelum pintu perpustakaan terbanting menutup, Hermione memberanikan diri menengok dari balik bahu. Melambaikan tangan, Hermione melompat seraya berteriak riang, mengagetkan Madam Pince yang tengah keteteran memencet induk kutu di gumpalan konde.

"Selamat Natal, Sly. Sampai ketemu lagi di tahun depan..."


Salazar Slytherin, salah satu pendiri Sekolah Sihir Hogwarts sekaligus penyihir paling disegani di zamannya terbang memutari langit-langit ruangan. Sesekali, gerutuan parau meloncat dari tenggorokan tatkala kepala peraknya bersenggolan dengan untaian jembalang berkostum Sinterklas yang tergantung merana di atas kasau.

"Idiot! Untuk apa sih si bloon Hagrid memasang jembalang jerawatan di sini? Benar-benar merusak pemandangan," Salazar Slytherin menggeram perlahan, memelototi Pengawas Hewan Liar Hogwarts, Rubeus Hagrid yang asyik membumbui sulur mistletoe dengan serbuk sihir. Bubuk sakti yang dalam sepersekian detik langsung membuat kuncup mistletoe bermekaran sebesar kereta kencana.

Mengenakan jaket tikus mondok yang disesaki rangkaian kertas holi, Hagrid berdendang sengau, tak sadar sama sekali dengan tatapan tajam mematikan yang terhunjam penuh ancaman. Di dekat kaki Hagrid yang terbungkus sepatu bot kulit berang-berang, Fang si makhluk bego yang entah mengapa bisa dijadikan Tuhan sebagai anjing pemburu babi hutan bolak-balik menggerigiti kandang Doxy, peri biru bertaring yang rencananya bakal disemayamkan di dalam bilik lampion.

Melihat sekeliling dengan tatapan mengejek, Salazar Slytherin menyumpah lirih. Tahun ini, meski cuma segelintir siswa yang tinggal di Hogwarts, keceriaan Natal di kastil Skotlandia ini tak memudar. Terima kasih banyak untuk Kepala Sekolah era ini, tentunya. Si renta jenaka Profesor Albus Dumbledore yang bersusah payah mempercantik seantero sekolah dengan aneka pernak-pernik Natal.

Dulu, sebelum sekolah berasrama ini dikelola Profesor Dumbledore, Natal berlalu tanpa kesan. Pendahulu Profesor Dumbledore, Profesor Armando Dippet memang terkenal pemurung dan tak menyukai keglamoran pesta.

Di masa rentang kepemimpinan, Profesor Dippet tak pernah mengizinkan pelajar dan staf pengajar mendekam di kastil selama liburan Natal. Setiap liburan, baik Natal, Paskah maupun musim panas, semua penghuni Hogwarts harus pulang ke rumah masing-masing. Kebijakan bijaksana yang membuat Salazar Slytherin bebas merdeka menikmati Hogwarts dalam kesunyian terkendali.

Melesat menembus batang cemara, Salazar Slytherin menutup kuping dengan dua tangan, berusaha menghalau kidung God Rest You Merry, Gentlemen yang disenandungkan barisan peri kecil bersayap. Peri bermodal harpa yang tak henti-hentinya menaburkan salju buatan di sela-sela demo suara mereka.

"Ini Natal, Mister. Jadi, cerialah sedikit. Kalau kau terus menekuk muka, kau akan cepat tua," salah satu peri pendek kisut yang tampaknya sudah bosan hidup membasahi tempurung Salazar Slytherin dengan berkilo-kilo salju imitasi.

Mengutuk dengan makian paling kasar, Salazar Slytherin membiarkan salju palsu meluncur mulus menembus tubuh. Tahu apa si kuntet itu soal tua? Bah, jika dihitung-hitung, usia Salazar Slytherin mungkin tak kalah tua dari planet bumi. Apalagi jika ditambah dengan periode gentayangan yang sudah berlangsung selama berabad-abad.

Cerialah sedikit karena ini hari Natal? Salazar mengumpat secara mental. Sewaktu masih hidup pun, ia tak pernah antusias menyambut datangnya Natal maupun perayaan hari besar lain. Bagi penyihir berkemauan kuat seperti dirinya, liburan haruslah dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mempelajari seluk-beluk ilmu sihir.

Kebenciannya berleha-leha di musim liburan berkebalikan dengan ketiga teman lamanya. Tak hanya antusias meliburkan akal sehat, tiga sobat kentalnya juga tak pernah alpa merancang jenis pesta yang sesuai untuk momen istimewa yang mereka lewati bersama.

Bibir Salazar Slytherin terangkat sedikit sewaktu mengingat tiga teman terbaiknya di dunia. Tiga penyihir hebat yang dicintai sekaligus dibenci. Tiga penyihir berdedikasi yang bekerja sama mendirikan sekolah untuk menampung tunas muda. Benih baru yang disemai dan dituai sesuai dengan preferensi kepribadian mereka masing-masing.

Saat awal pendirian, Hogwarts memang tak dibagi-bagi dalam empat asrama seperti sekarang. Namun, batas pemisah tetap terpentang lebar, ditunjang dengan perbedaan karakter di antara mereka berempat.

Sesuai dengan kesetiaan dan keberanian sejati yang dimiliki, si terpuji Godric Gryffindor memilih memandu penyihir berhati sekuat singa.

Si cantik dan terdidik Rowena Ravenclaw lain lagi. Kembang Skotlandia itu hanya mau membimbing bibit penyihir yang memiliki kecerdasan luar biasa. Selaras dengan moto kuno yang dijunjung sedari belia; kepintaran tak terhingga adalah harta manusia yang paling berharga.

Untuk murid biasa-biasa saja, si manis Helga Hufflepuff tampil sebagai penyelamat. Gadis desa Wales itu dengan senang hati mengajari penyihir canggung dan kikuk asalkan anak didiknya memiliki kualitas mental seperti dirinya; jujur dan pekerja keras.

Sedangkan dirinya? Salazar Slytherin menyeringai berbahaya, kilau purba menyala di kedalaman matanya. Dari dulu sampai sekarang, dari zaman batu sampai zaman milenium, dari zaman dinosaurus di laut sampai cicak di dinding, ia senantiasa berpegang teguh pada paham supremasi darah murni.

Dalam pandangan ortodoksnya, ilmu sihir hanya berhak diwarisi oleh penyihir yang terlahir dari orangtua berdarah murni. Dalam pandangan konservatifnya, satu-satunya koloni suci yang berhak hidup dan bernapas di muka bumi hanyalah penyihir berdarah murni.

Hanya darah murni! Bukan darah campuran rendahan maupun penyihir berpembuluh sampah seperti kaum Darah Lumpur. Spesies buangan perampok ilmu pengetahuan yang membuatnya harus terusir dari kastilnya sendiri.

Kemarahan murni dan bersungguh-sungguh tumbuh di benak Salazar Slytherin sewaktu memori kepergiannya terputar ulang. Tak bisa bertumpu di satu titik temu, ia terpaksa angkat kaki untuk selamanya. Meninggalkan Hogwarts yang terhormat dalam kendali tiga teman lamanya.

Mendesah keras, Salazar Slytherin merutuki agenda eksodus yang terburu-buru. Seharusnya, ia tak patah arang melawan pengkhianatan ketiga kompatriotnya. Seharusnya, ia maju tak gentar mempertahankan supremasi rasial dan prestise darah murni. Seharusnya, ia tak membiarkan teman-temannya leluasa memasukkan limbah selokan ke dalam kastil tercintanya.

Lihat saja hasil dari ketololannya. Saat ini, hampir sebagian besar nadi penyihir yang menuntut ilmu di Hogwarts dialiri najis tak termaafkan. Kotoran menjijikkan yang tak bisa dinetralisir meskipun dirinya sudah menyimpan Ular Basilisk di Kamar Rahasia. Reptil mengerikan yang ditangkarkan khusus untuk memangsa kaum sehina Darah Lumpur.

Sayangnya, makhluk melata berukuran raksasa itu tak bisa menuntaskan ambisi Salazar Slytherin memurnikan Hogwarts dari gerombolan pembuluh sampah penyebar masalah. Lima puluh tahun lalu, saat ular berkepala mahkota itu keluar kandang, reptil kesayangannya hanya berhasil membunuh satu Darah Lumpur. Si dungu Myrtle Merana yang semenjak kematiannya menghantui kamar mandi anak perempuan di lantai dua.

Usai tragedi Myrtle, pupus sudah harapan Salazar Slytherin untuk memusnahkan Darah Lumpur dari sekolah yang didirikannya. Bagaimana ia bisa menggapai obsesi jika ahli waris sejatinya, satu-satunya keturunan terakhir yang bisa membuka segel Kamar Rahasia lenyap tak berbekas? Menghilang layaknya debu di tangan balita berdarah campuran?

Ledakan dinamit yang bergaung susul-menyusul menyadarkan Salazar Slytherin dari kekusutan pikiran. Mata tajamnya menyipit dingin, mengamati dua siswa Gryffindor tahun pertama yang bertanggung jawab atas letusan beruntun barusan.

Harry James Potter dan Ronald Bilius Weasley...

Melipat bibir tipis hingga membentuk garis tegas berbahaya, Salazar Slyherin menggilas dorongan mencabik-cabik kepala jabrik Potter dengan untaian tinju kosong. Kebenciannya pada bocah yang sukses memusnahkan generasi terakhirnya mungkin setara dengan kebenciannya pada mendiang istrinya. Ningrat darah murni yang gagal memberikan pewaris laki-laki untuk mempertahankan marga sakral Slytherin.

Mendengus ketus, Salazar Slytherin membungkus ingatan akan sosok istri sialan yang seumur-umur tak pernah dicintainya ke sudut terdalam. Meh! Untuk apa ia membuang waktu dengan memikirkan wanita tak berguna yang terpaksa dinikahi demi menguatkan entitas darah murni di antara mereka?

Sewaktu istri lemahnya mati merana karena tak bisa melahirkan keturunan laki-laki, Salazar Slytherin sudah keburu tua. Sudah terlanjur tak bisa memproduksi pewaris nama keluarga. Kegagalan memelihara nama besar Slytherin itulah yang membuat Salazar Slytherin menolak meninggalkan dunia fana. Enggan bergabung bersama almarhumah istrinya maupun arwah ketiga pendiri Hogwarts lainnya yang sudah tertidur tenang di nirwana.

"Ayo turun dan bergabunglah bersama kami, para hantu," sambutan renyah Profesor Dumbledore mengusik lamunan kelam Salazar Slytherin. Menyeringai senang seperti macan tutul kekenyangan, manula berjenggot panjang itu melambaikan tangan kanan yang sekisut perkamen, dengan hangat dan bersahabat mendesak hantu-hantu Hogwarts untuk duduk manis di kursi kosong yang tersedia.

Rahang Salazar Slytherin mengatup kesal tatkala hantu Hogwarts berbondong-bondong memenuhi ajakan penyihir bau tanah pemilik Patronus burung Phoenix itu. Kerutan tak suka Salazar Slytherin membenam semakin dalam saat iris biru cerah Profesor Dumbledore bertabrakan dengan manik kosongnya. Tatapan sarat makna yang secara tak langsung membujuknya untuk segera menyusul rekan-rekan hantunya yang lain.

Menyeringai tidak hormat, Salazar Slytherin dengan tegas menolak undangan tersebut. Raut mukanya semakin gelap ketika Profesor Dumbledore tersenyum sejuk, tampak tak terganggu dengan penolakan brutal yang jauh dari kata beradab.

Di samping Profesor Dumbledore, si guru Ramuan paling berminyak se-Hogwarts, Profesor Severus Snape mengernyitkan hidung bengkok yang berlepotan serbuk petasan. Sepasang mata sinis Profesor Snape yang sedalam perut bumi bergerak berpindah-pindah, mencari-cari siapa gerangan siluman yang berkomunikasi tanpa suara dengan Profesor Dumbledore.

Menelengkan kepala tua beruban yang ditunggangi topi beludru berjambul, Profesor Dumbledore mengawasi Salazar Slytherin yang berdiri tegak dalam pose terlatih. Mendelik balik, Salazar Slytherin mengilaskan seringai menantang, memamerkan semua gigi rapi yang putih terawat.

Sialnya, gertakan terang-terangan itu disambut Profesor Dumbledore dengan balasan santun. Mengacungkan cawan soda asam dalam gerakan bersulang, penyihir tua bangka penggila selai raspberi itu membuka mulut, mempersilahkan Salazar Slytherin untuk bergabung jika ia berubah pikiran.

Berubah pikiran?

Ha, sampai Profesor Snape sudi menyuling minyak dari akar rambut pun ia tak akan mau berbaur bersama arwah kelas rendah. Hantu-hantu buangan yang tak pernah menyadari kehadirannya sampai sekarang.

Sampai Profesor Dumbledore rela memakai suntikan botox untuk mempermak kerut-merut di muka pun ia tak akan mau bersosialisasi dengan pelajar bau kencur. Murid-murid kesepian yang tak bisa pulang ke rumah keluarga selama liburan Natal tahun ini.

Wajar kiranya jika Salazar Slytherin enggan berakrab-akrab ria dengan penghuni Hogwarts lainnya. Sebagai penyihir berilmu tinggi, Salazar Slytherin tak sama dengan hantu kebanyakan. Jika makhluk astral di Hogwarts berwujud persis sama seperti kondisi saat mereka wafat, Salazar Slytherin memilih rupa masa muda sebagai identitas hantu.

Selama mengembara di Hogwarts, Salazar Slytherin tak mengizinkan makhluk lain baik yang mati atau yang masih hidup untuk melihat sosoknya. Hanya Profesor Dumbledore dan mantan-mantan Kepala Sekolah Hogwarts lain yang diberi kehormatan bertatap muka dengan refleksi sucinya.

Di kurun ratusan tahun terakhir ini, Salazar Slytherin menikmati posisi sebagai hantu anonim yang tak bisa dilihat sembarang orang. Posisi istimewa yang perlahan-lahan memudar semenjak kedatangan Darah Lumpur sekaliber Hermione Jean Granger.

Lihat saja, gara-gara memikirkan kutu buku tukang atur itu, Salazar Slytherin jadi kehilangan kewaspadaan. Penurunan kendali yang membuat wujud tak kasat matanya bisa terlihat oleh peri anggota paduan suara. Peri ingin cepat mati yang berani menceramahinya tentang tata krama berperilaku ceria di hari Natal.

Salazar Slytherin sendiri tak mengerti mengapa anak bawang seperti Hermione bisa mengacaukan logika dan konsentrasi. Padahal, sewaktu pertama kali melihat gadis bergigi panjang itu di seremoni Topi Seleksi, ia tak peduli secuil pun. Saat itu, Hermione cuma sekadar barang rongsokan murahan. Cuma Darah Lumpur bau yang tak layak menggali pengetahuan di kastil Hogwarts.

Begitu juga halnya sewaktu berita tentang kejeniusan Hermione merasuki kuping. Bagi Salazar Slytherin, kepintaran tak terbatas yang membuat Hermione disejajarkan dengan si jelita Rowena Ravenclaw hanya omong kosong semata. Desas-desus tak bermutu yang rutin didengarnya dari masa ke masa.

Ya, setiap tahun, Hogwarts pasti melahirkan kader berprestasi. Di setiap angkatan, Hogwarts selalu menelurkan gerombolan penyihir pemikir yang cerdik cendikia. Dengan kata lain, warta tentang keenceran otak dan kecerdasan legendaris Hermione bukan barang baru. Bukan aspek penting yang layak untuk membetot perhatian.

Mengetukkan ujung jari ke bibir, Salazar Slytherin mengingat-ingat kembali momen di mana Hermione mulai mengisi pikiran. Mungkin semua dimulai semenjak gadis berpostur mungil itu menyambangi perpustakaan di minggu pertama awal tahun ajaran.

Bertentangan dengan pelajar lain yang hanya datang ke perpustakaan jika diberi tugas tambahan, Hermione menganggap ruangan sarat ilmu itu sebagai rumah kedua. Saking seringnya melihat Hermione menyepi di perpustakaan, Salazar Slytherin sampai hafal kebiasaan siswi berhidung penuh bintik itu.

Setiap kali bersemedi di perpustakaan, Hermione pasti meringkuk di bangku pojok ruangan, tempat bermukim Salazar Slytherin selama ini. Setiap kali bertapa di perpustakaan, Hermione pasti menguasai seluruh isi rak buku; teritorial keramat Salazar Slytherin selama ini.

Awalnya, sewaktu melihat Hermione berani menjajah wilayah kekuasaannya, Salazar Slytherin berancang-ancang mengusir gadis bebal itu dengan trik-trik mengerikan. Mengusapkan tangan dingin di belakang tengkuk Hermione, mungkin. Atau meniupkan uap beku hingga tulang dan otak gadis bengal itu bengap dan majal.

Celakanya, sebelum ia melangsungkan niat, matanya tanpa sengaja terkunci dengan manik cokelat Hermione. Di tengah temaram lampu pijar, mata Hermione berkilat bercahaya, memperlihatkan bara kesungguhan dan ketekunan yang menggetarkan jiwa. Binar menghipnotis yang sejak saat itu senantiasa membayang di ingatan.

Selepas tautan pandangan menggelisahkan itu (pandangan yang tentu saja tak disadari Hermione), tanpa bisa dielakkan Salazar Slytherin mulai menikmati keberadaan Hermione di sekitarnya. Tanpa bisa dihindari Salazar Slytherin mulai memperhatikan ekspresi Hermione, mulai dari kerutan kecil di dahi hingga rengutan di hidung. Air muka yang selalu timbul setiap kali gadis Gryffindor itu berhadapan dengan problematika sulit di buku yang dilahapnya.

Benar sekali, Salazar. Akui saja kalau kau mulai tertarik pada gadis itu, pada si kaku yang selalu melakukan sesuatu berdasarkan buku. Bukankah ada pepatah yang mengatakan dari mata turun ke hati? Bukankah ada kalimat bijak yang menyatakan cinta datang karena terbiasa?

Mata Salazar berkobar seperti tungku neraka sewaktu pemikiran konyol tersebut meracuni benak. Astaga, mana mungkin dirinya mulai terbiasa dengan kekonyolan bocah kecil tukang bikin kacau itu? Mana mungkin dirinya yang berkuasa dan berbudaya tertarik pada golongan berdarah kotor yang selama berabad-abad ini menjadi seteru abadi?

Lalu, jika kau tak berminat padanya, mengapa kau memperlihatkan wujud di Seksi Terlarang kemarin? Jika dia tak berarti apa-apa untukmu, mengapa kau memperkenalkan diri dan bercakap-cakap dengannya?

Menggeram berat, Salazar Slytherin menginjak-injak suara kecil yang berterbangan di kalbu. Demi semua setan penasaran yang masih gentayangan, tentu saja ia punya alasan kuat di balik tindakan spontan kemarin.

Jika ia tak menampakkan rupa, si gadis berambut ombak mengamuk itu pasti menggeledah Seksi Terlarang tanpa permisi. Jika ia tak memperlihatkan diri, penyihir modal nekat itu pasti sudah menjarah pustaka pusaka sarat ilmu hitam. Jenis pengetahuan yang bisa membahayakan jiwa jika jatuh ke pihak yang salah.

Ha! Itu artinya kau mencemaskan keselamatannya, Salazar. Kau takut kalau gadis itu tanpa sengaja menyentuh dan membuka buku terlarang yang sudah kau taburi jampi-jampi mematikan.

Kedua alis Salazar Slytherin merapat menanggapi sindiran batin yang muncul tanpa dipersilahkan. Ingatannya langsung terbang ke awal tahun empat puluhan. Kala itu, ia yang geram karena Ular Basilisk gagal meneror dan menumpas Darah Lumpur berinisiatif meluncurkan rencana cadangan.

Memanfaatkan privilese sebagai pendiri Hogwarts, keistimewaan yang membuatnya leluasa memasuki semua area sekolah termasuk Seksi Terlarang, Salazar Slytherin mengucurkan santet tingkat tinggi di perkamen Rahasia Sihir Paling Hitam. Jika literatur penting itu dibaca penyihir pembuluh lumpur, guna-guna di dalam lintingan perkamen akan langsung bekerja, menginfeksi dan menyerang semua populasi sampah yang menetap di bawah atap Hogwarts.

Sejauh ini, belum ada Darah Lumpur yang menjadi korban. Sepertinya, tak seperti ras murni yang gemar berbuat onar dan melawan peraturan, Darah Lumpur cenderung taat hukum. Jika dilarang memasuki suatu wilayah, mereka pasti mematuhinya tanpa banyak tanya.

Yah, kecuali si bandel Hermione Jean Granger tentunya...

Bayangkan saja, hanya untuk mengorek informasi tentang Nicolas Flamel, Hermione berani mempertaruhkan nyawa dengan menjelajahi daerah yang terlarang untuknya. Kawasan berbahaya yang sudah dipagari dengan berbagai ilmu hitam tingkat tinggi. Sihir menakutkan yang positif bereaksi jika penyihir Darah Lumpur di bawah umur nekat menembus batas wilayah.

Melayang-layang di tengah-tengah jembalang jerawatan, Salazar Slytherin mengenang kembali kepanikan yang dirasakan sewaktu melihat Hermione bersiap-siap mendarat di Seksi Terlarang. Bisa dibilang, ketakutan maksimum itulah yang memaksanya untuk menanggalkan kepompong gaib. Menampakkan diri pada gadis picik yang mulai mengacaukan hidupnya...

Whoaa! Sadar, Salazar! Sadar! Dia itu cuma penyihir berdarah lumpur. Cuma golongan pencuri ilmu sihir perusak supremasi darah murni. Selain faktor kegagalan memperpanjang marga keluarga, bukankah kau bersumpah tak akan beristirahat tenang di surga sampai bisa menuntaskan misi memurnikan dunia dari bedebah menyedihkan seperti mereka?

Menyeringai penuh emosi, Salazar Slytherin meninju jembalang paling gendut yang bertengger di puncak pohon Natal terdekat. Tak mempedulikan ringkik ribut si jembalang yang kelabakan ditembus benda tak terlihat, Salazar Slytherin menegarkan diri.

Ya, sebagai pria alfa dan penyihir kasta utama, ia tak layak menaruh perhatian pada bandit kecil seperti Hermione. Sebagai pria sejati yang sudah mengecap kenikmatan hidup selama ratusan tahun, ia tak pantas menaruh minat pada bocah ingusan seperti Hermione. Penghuni Gryffindor tak tahu diuntung yang berani menganggapnya sebagai sahabat baru terbaiknya.

"Selamat Natal, Sly. Sampai ketemu lagi tahun depan."

Ck, sampai ketemu lagi di tahun depan apanya. Membuang ludah hingga memuncrati kepala kilang minyak Profesor Snape, Salazar Slytherin merutuk kejam. Demi kebaikan semua umat, terutama ras sebonafid darah murni, ia bersumpah tak akan pernah lagi menolerir keberadaan Hermione di dekatnya.

Tak akan!

Meski di dalam hati ia tahu kalau hal itu pasti berat untuk dijalani...

BERSAMBUNG