*Bleach © Tite Kubo*

*Cinta itu © Toyama Ichiru*

Rated : T

Genre : Romance, Drama

Fanart is not mine! But the story is mine!

Warning : OOC, Typo sudah saya usahakan untuk terbang jauh, AU

Don't Like? Don't Read!

Enjoy it!

.

.

.

Aku membenci pria brengsek itu. Tapi, aku juga mencintainya. Haha… cinta, kenapa cinta itu harus ada? Cinta itu hanyalah hal abstrak yang sama sekali tak memberi keuntungan apapun bagi yang merasakannya. Menurutku cinta itu hanyalah kata-kata kiasan yang orang-orang pakai untuk bersikap sok puitis. Menurutku cinta itu hanyalah sebuah alasan untuk mengalihkan nafsu seseorang. Mereka selalu membicarakan tentang cinta, padahal mereka sama sekali tak mengetahui apa itu cinta. Lalu, kenapa aku bisa dengan santainya mengatakan aku mencintai pria menyebalkan itu? Aku juga tak tahu, karena aku mempelajari hal abstrak itu setelah melihat tingkahnya yang menunjukkan betapa 'brengsek'nya dia.

"Rukia… jadilah pacarku!" pria itu berkata halus padaku. Aku hanya mendengus dan mencibir, kekehan kecil menyelip diantara cibiranku. "Ayolah Rukia, aku sangat menyukaimu. Tidak, mungkin cinta. Rukia kumohon," ia mulai memelas, membuatku ingin tertawa saking lucunya.

"Ichigo, berhenti berkata konyol," sahutku sambil melanjutkan perjalanan pulang kami. Aku dan Ichigo berada di kompleks perumahan yang sama, jadi wajar jika kami sering terlihat pulang bersama, walaupun sebenarnya aku sangat membenci hal itu.

"Aku serius Rukia, kau gadis tercantik yang pernah kulihat," sahutnya sambil menyusulku. "Lihat, apalagi matamu yang indah itu," sahutnya lagi sambil menaikkan daguku hingga mata kami bertemu. Dengan cepat aku menepis tangannya.

"Berhenti membual Ichigo," kataku dingin.

"Rukia, harus berapa kali kukatakan bahwa aku serius. Kau benar-benar sempurna di mataku. Mata indahmu, wajah cantikumu, kepintaranmu, dan uh… semuanya!" katanya lagi.

"Haha… kau mengatakan hal itu pada semua gadis Ichigo," kataku sambil tertawa hambar. Semakin bosan mendengarnya mengoceh tak jelas seperti itu. Aku benci Ichigo, sangat membencinya. Laki-laki playboy yang sudah memecahkan rekor sebagai 'laki-laki paling banyak mantan' di SMA-ku. Bagaimana tidak? Murid perempuan di SMA-ku ada sekitar 300 anak, dan dia setidaknya sudah memacari ¾ dari semua gadis itu. Tentu saja aku termasuk ke dalam bagian ¼. Ya, aku sangat-sangat membenci laki-laki playboy ini, saking bencinya aku sampai tak pernah berhenti memikirkannya. Aku tak pernah berhenti menatap wajahnya. Hingga akhirnya aku sadar bahwa aku tidaklah membencinya, namun mencintainya.

"Rukia, kali ini aku benar-benar serius." Ichigo mencegah tanganku, hingga membuatku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Wajahnya begitu serius, sama sekali tak ada kebohongan terpancar di matanya, tapi aku tak mau percaya. Mungkin aku membencinya –juga mencintainya- tapi, aku tak mau sakit hati dan memilih untuk memendam perasaan konyol ini.

"Aku membencimu, Kurosaki, lepaskan!" teriakku berang sambil menepis tangannya. Namun, hal itu justru membuatnya menarikku ke dalam pelukannya.

"Lepaskan, apa kau tuli, hah?" teriakku sambil meronta dalam pelukannya.

"Tak akan kulepas sebelum kau setuju untuk menjadi pacarku, aku mohon Rukia. Kali ini aku serius ingin berhubungan denganmu," katanya sambil mencium puncak kepalaku. Aku berhenti meronta dan Ichigo perlahan melemaskan pelukannya. Kami bertatapan, sekarang aku yakin ia sama sekali tak berbohong. Garis rahang yang tegas dengan tatapan mata mantap itu sulit untuk kudapatkan celahnya. Senang, ya aku senang. Sangat!

"Kau… serius?" aku meyakinkan. Sedikit ragu dengan kemantapan hatiku yang sempat terbentuk.

"Aku serius, jadi Kuchiki Rukia… maukah kau menjadi pacarku?" jawabnya mantap. Sekarang aku benar-benar bingung untuk memberi jawaban apa. Namun, perlahan kepalaku mengangguk.

Senyap. Suasana itulah yang terjadi diantara kami. Aku mengangguk, bukankah itu artinya kami sudah pacaran?

Perlahan Ichigo menunduk dan menarik leherku. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan akhirnya menghapus jarak diantara kami. Ichigo menciumku, lembut. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Ia melepaskan ciumannya ketika aku baru saja merasa nyaman dengan kehangatan dari bibirnya.

"Bagaimana?" tanyanya.

"Apanya?" tanyaku sambil menatap wajahnya.

"Ciuman. Bagaimana menurutmu? Apa yang kau rasakan?" tanyanya sambil tersenyum, ia lalu menggenggam tangan kiriku dan mulai menarikku untuk berjalan pulang. Aku berusaha menyamakan langkah kecil kakiku dengan langkah besar kakinya. Tanganku terus saja memegang bibirku yang masih terasa sedikit basah. Wajahmu sedikit memerah karena senang. Sedari tadi senyuman tak lepas dari bibirku.

"Rasanya… basah," sahutku polos, Ichigo hanya terkekeh. Haha… bohong sekali orang-orang yang selalu mengatakan bahwa ciuman pertama itu rasanya lemon.

"Jadi… sekarang kita pacaran?" tanyaku padanya.

"Hm.. begitulah," jawabnya. Aku hanya tersenyum sambil menunduk.

#*#

Aku mencintaimu. Sungguh, setulus hati aku mencintaimu dan membuang pemikiran awalku mengenai hal abstrak menjijikkan itu, aku terus saja menepis pemikiranku yang mengatakan bahwa kau itu brengsek. Aku berani menerima sikap menjengkelamumu itu setelah kau mengatakan bahwa kau mencintaiku. Tapi, kenapa hal itu tak bertahan barang satu hari? Kenapa kau berusaha membuatku kembali mengeluarkan argument bahwa kau pria menyebalkan yang harus dibenci? Kenapa? Apakah karena aku ini perempuan menyedihkan yang bahkan tak pernah memikirkan mengenai cinta? Kau bercanda? Aku tak memikirkan cinta? Justru sekarang aku sedang mendalami hal itu.

"Aku mencintaimu, Inoue." Mataku membulat sempurna saat melihat Ichigo dengan ganasnya menerkam bibir seorang gadis berambut caramel. Gadis menjijikkan yang membuatku selalu ingin menonjoknya, dan sekarang membuatku ingin membunuhnya.

Apa yang dilakukan Ichigo dan Inoue benar-benar membuatku naik darah. Melihat Inoue dengan senangnya membalas ciuman panas Ichigo. Mereka memainkan lidah mereka, membuatku ingin segera membunuhnya.

Aku benci Ichigo, sangat benci. Tapi, kenapa hatiku tak pernah menerima argument itu. Bodohnya aku, kenapa aku bisa dengan senangnya menerima tawaran Ichigo kemarin? Aku menjadi pacarnya. Oh ayolah Rukia. Dangkal sekali pikiranmu. Kau tahu Ichigo hanyalah seorang pembual. Kau tahu Ichigo hanyalah seorang brengsek. Kau tahu Ichigo hanyalah seseorang yang selalu mengumbar cinta palsu. Kau tahu Ichigo hanya seorang pemberi harapan kosong. Kau tahu Ichigo tak pernah melirikmu. Lalu kenapa kau menerima saja saat ia ingin kau menjadi pacarnya? Apakah hal menjijikkan bernama 'cinta' itu benar-benar telah merenggut akal sehatmu, Rukia?

"Ku… Kurosaki-kun.. ha… hah…" desah Inoue sambil mengelus wajah Ichigo.

"Hm?" tanya Ichigo sambil tersenyum. Aku masih setia mengintip mereka yang sedang bermesraan di belakang sekolah.

"Bukankah… kau sudah pacaran dengan Kuchiki-san?" tanyanya dengan suara manja. Aku mengepalkan tanganku menahan marah. Ichigo berdecak pelan.

"Ck, yah… memang, tapi dia itu hanya tambahan untuk daftar mantan pacarku," sahut Ichigo santai. Seketika itu juga aku merasa jantungku berdetak kencang, menahan emosi yang terus saja meluap-luap dihatiku.

"Baiklah. Sekarang aku mau masuk kelas. Bisa gawat jika tadi ada yang melihat kita." Ichigo perlahan meninggalkan Inoue yang hanya bisa menahan rasa senang dan malunya.

Perlahan aku mendekati Inoue saat kuyakin Ichigo sudah tak terlihat lagi.

Plok… plok… plok… aku bertepuk tangan kuat sambil tersenyum. Inoue dengan terkejut menatapku, wajahnya memucat. Ia takut, aku tahu itu.

"Ku–Kuchiki-san, a–apa yang kau lakukan disini?" tanyanya gugup. Aku hanya terkekeh.

"Menurutmu apa?" tanyaku balik.

"K–Kau tidak melihat hal tadi kan?" tanyanya lagi dan tentunya dengan wajah memucat yang takut mendapat respon dariku. Gadis memuakkan, kau berusaha berkata jujur kalau kau baru saja bermesraan dengan pacar orang?

"Melihat hal tadi? Aku tidak melihat apapun," balasku sambil menaikkan alis dan bahuku. Inoue terlihat semakin ketakutan saat jarak kami tinggal terpaut sekitar 2 meter. "Aku hanya melihat seorang Inoue dan Kurosaki yang sedang berciuman mesra," lanjutku sambil menengadahkan tanganku. Keringat Inoue terlihat menetes dari pelipisnya. Aku makin mendekatinya.

"Katakan selamat tinggal pada 'Ishida-kun' tersayangmu!" ancamku sambil mengadu bahuku dengan lengannya.

"Ku–Kuchiki-san, a–aku mohon. Jangan katakan!" teriaknya memelas sambil menarik tanganku.

"Berisik!" teriakku kesal sambil menepis tangannya. "Dengar Inoue Orihime. Selingkuh itu tidak baik, dan demi kebaikan Ishida aku akan mengatakan bahwa kau selingkuh. Kau tahu seberapa bencinya aku padamu? Aku benci, sangat benci! Dan melihat tingkahmu tadi membuatku ingin segera membunuhmu. Saat di depan orang-orang kau bersikap manja dan... jeng… jeng… ternyata itu hanya topeng. Aku kaget saat melihatmu ahli sekali membalas ciuman Ichigo. Oh… ataukah Ishida yang mengajarkannya? Ckckck…. Kau benar-benar gadis brengsek," aku terus saja mengejeknya, memaki dan mencacinya tanpa ampun. Tak kubatasi sedikit pun emosi yang kupunya. Kukeluarkan semuanya agar hati kecilnya itu semakin menciut dan menghilangkan rasa percaya dirinya yang terlalu tinggi itu. Wajahnya kini benar-benar menyiratkan ketakutan yang tiada tara. Biar saja, aku senang melihatnya.

"Ba–Baiklah, tidak apa-apa kau bilang pada Ishida-kun. Lagipula, tadi Kurosaki-kun bilang bahwa dia mencintaiku, aku tinggal mengatakan bahwa aku ingin menjadi pacarnya dan ia akan segera menjadi pacarku," balasnya tak mau kalah. Aku hanya terkekeh, membuatnya tersentak kaget.

"Inoue… Inoue…. Sadarlah! Kau tahu Ichigo itu pria seperti apa, bukan? Sudah berapa perempuan dia pacari, dan semua pacarnya sudah menangis. Takkah kau berpikir bahwa kata-katanya tadi hanya omong kosong untuk menutupi nafsunya yang terus menginginkan tubuh dan bibirmu?" kataku sambil melipat tanganku di depan dadaku, sedang pandangan mengintimidasi tak bisa kulepas padanya.

"Ka–Kau sendiri. Bukankah kau pacar Kurosaki-kun. Kenapa kau menerima saja jadi pacarnya? Kau tahu dia playboy kan?" tanya Inoue menggertak. Dia berusaha menjatuhkanku? Jangan berharap.

"Ck… kau tak tahu bahwa aku membencinya? Bodoh sekali, aku hanya ingin menjahilinya. Kau pikir aku mencintainya? Maaf, aku sama sekali tak mengerti hal abstrak menjijikkan itu. Aku juga membenci pria brengsek," sahutku sambil berlalu.

"Say good bye to Ishida, Inoue!"

#*#

Hatiku sakit. Sangat. Entah mengapa ingin bernapas pun sulit. Kau merasakannya? Pasti tidak. Aku yakin kau hanya menjadikanku sebagai mainan. Haha… sebegitu senangkah kau mempermainkan hati perempuan? Cheh! Nee, Ichigo, walaupun hatiku sakit menerima perlakuanmu. Aku berterima kasih karena akhirnya aku tahu itulah arti cinta yang sesungguhnya. Haha… hebat. Aku bisa merubah pemikiranku hanya dalam 1 hari. Aku mencintaimu Ichigo, sangat. Cinta… ya cinta. Aku mencintaimu. Entahlah… aku tak bosan mengatakan hal itu. Aku tahu cinta itu indah, tapi aku tahu cinta itu menyakitkan. Tapi, bukankah orang bilang disetiap kisah cinta itu selalu ada yang namanya pengorbanan?

Aku melihat Ichigo dari kejauhan. Dia sedang memasuki kelas sambil menggamit pinggang seorang gadis berambut hijau tosca di tangan kirinya. Aku hanya terkekeh melihat tingkahnya itu. Lucu sekali melihat senyum kemenangan dengan rasa picik yang tersirat di wajahnya.

Setelah memberi kecupan manis di pipi gadis itu. Ichigo memasuki kelas. Diam-diam aku mengintip, apa yang akan ia bicarakan dengan anak-anak kelas saat aku tidak bersamanya.

"Wah wah wah… Kurosaki, bukankah kemarin kau baru saja pacaran dengan Kuchiki, kenapa sekarang kau malah mesra-mesraan dengan Nel?" tanya Hisagi.

"Oi… Oi… mana uangnya. Kalian lupa? Kemarin kita taruhan, kalau aku bisa menjadikan Rukia pacarku kalian akan memberikan uang masing-masing 5000 yen," teriak Ichigo pada Hisagi, Ishida, Kira, Grimmjow, dan Kaien. Ada Renji disitu, tapi sepertinya ia tak ikut taruhan konyol itu. Haha, Rukia kenapa kau tidak menyadari hal konyol itu.

5 orang itu merogoh saku celana mereka dan masing memberikan uang 5000 yen pada Ichigo dengan kesal. Ck… taruhan konyol dengan uang yang bahkan tak bisa menyamakan ¼ isi dompetku.

"Kau!" kulihat Renji menarik kerah baju Ichigo ganas, menatap Ichigo tajam seakan-akan ingin membunuh laki-laki itu.

"Ada apa Renji?" tanya Ichigo kasar.

"Apa maksudmu? Kalian taruhan? Kau ingin mati Kurosaki? Memainkan hati Rukia itu menarik?" teriak Renji. Anak-anak kelas mulai ribut. Ichigo menepis tangan Renji dan tak menghiraukan ocehan Renji.

"A–Ano, Kuchiki-san," panggil seseorang sambil menepuk bahuku. Aku menoleh dan seorang laki-laki lemot menatapku. Aku sadar dari dalam Ichigo melihatku.

"Nan desu ka?" tanyaku lembut, kebiasaan keluarga Kuchiki memang tak bisa hilang dariku saat bersama seseorang tak dikenal.

"A–Aku Yamada Hanatarou, ma–maukah kau jadi pacarku? Aku telah lama mengagumimu!" teriaknya, membuat anak-anak dikelasku terdiam dan mengalihkan pandangan mereka dari Ichigo pada laki-laki lemot yang katanya bernama Yamada Hanatarou ini.

Aku tersenyum lembut. "Maaf, ya. Aku menyukai Renji, sahabatku," balasku. Ia tersentak dan menunduk, lalu kembali mengangkat wajahnya dan menatapku. Senyuman memaklumi yang ia berikan dapat kutangkap, perasaan lega dan kecewa juga dapat dengan mudah terbaca dari wajahnya.

"Ti–tidak apa-apa. Terima kasih sudah membalas perasaanku dengan tegas. Hehe… semoga hubunganmu dengan Abarai-san berjalan lancar," sahutnya sambil berlalu meninggalkanku.

Dengan tenang aku memasuki kelas. Dan tiba-tiba Renji dengan cepat menarikku. "Apa maksudmu Rukia?" tanya Renji saat kami sudah cukup jauh dari kelas. Aku tersenyum lemah, tanpa sadar air mataku mengalir saat mengingat kejadian tadi.

"O… Oi… kau kenapa?" tanya Renji panik.

"Peluk aku Renji," isakku. Tanpa basa-basi Renji memelukku, mengelus rambutku lembut. Membuatku merasa nyaman. Aneh, kenapa aku tak bisa menyukai Renji yang sudah hampir 10 kali menyatakan cinta padaku? Dan kenapa hatiku justru dapat takluk pada laki-laki yang paling kubenci itu.

"Sshhh….. tenang, sudah jangan menangis. Katakan apa masalahmu?" katanya menenangkanku.

"Re–Renji. Aku menyukai Ichigo, kau tahu itu. Dan sekarang kami sudah pacaran," kataku sambil menahan sesenggukanku dan sesekali menyeka air mataku di seragam Renji.

"Iya aku tahu, tapi kenapa tadi kau bilang pada Yamada-san kalau kau menyukaiku?" tanya Renji sambil terus mengelus rambutku, terus menenangkanku yang semakin menjadi tangisnya, terus membuaiku dengan kelembutan kasih seorang kakak.

Aku sadar ada seseorang berlari, suara langkah kakinya terdengar menggema di koridor sekolah. Dan sekarang tempat ini sangat sepi membuat telingaku serasa ingin pecah. Dan siapa orang itu? Orang yang berlari menemuiku itu adalah Ichigo. Pacarku, laki-laki yang paling kubenci.

"Ya, aku menyukaimu. Jadilah pacarku, Renji!" kataku sambil mengecup pelan bibir Renji. Renji terbelalak. Begitu juga dengan Ichigo. Haha… apa reaksimu Ichigo? Kenapa pria itu terlihat kaget? Bukankah kau tak menyukaiku?

Hanya termenung. Ichigo menatapku yang mulai memperdalam ciuman pada Renji. Bersyukurlah aku karena Renji menerima ciumanku, bersyukurlah aku karena Renji dan menyadari keberadaan Ichigo di belakangannya. Gemingan Ichigo pecah, membuat kakinya segera membawanya pergi.

"Rukia, apa maksudmu?" tanya Renji. Aku kembali menangis dan memeluknya.

"Maaf, aku bohong tadi. Renji, aku… ingin membuat Ichigo sakit hati. Walaupun itu mustahil, aku mohon berpura-puralah menjadi pacar keduaku," kataku sambil menatap wajahnya.

"Apa kau yakin? Justru kaulah yang akan sakit hati, Rukia," nasihat Renji. Aku mengangguk mantap, memberikan senyuman terbaikku agar dapat meyakinkannya akan keputusan konyolku.

"Aku tahu Renji. Aku sudah berkali-kali berusaha membenci pria itu, tapi tidak bisa. Jadi, kumohon, sekali saja aku ingin melihatnya sakit hati, dan sekali aku bilang walaupun itu mustahil. Setidaknya, aku ingin dia yang memutuskanku. Aku tidak ingin jadi seperti korban perasaan Ichigo yang lain yang memutuskan Ichigo karena dia selingkuh," rengekku.

"Baiklah," balas Renji dengan sebuah senyuman kecut.

#*#

Cinta itu buta. Itu benar. Aku dibutakan oleh cinta, membuatku sama sekali tak memikirkan perasaan orang lain, sekalipun orang itu adalah orang tersayangku. Ichigo, apa kau cemburu? Sudah berhari-hari sejak kau melihatku menyatakan cinta ehem… mungkin sebenarnya suka.. pada Renji. Tapi, kenapa kau bersikap cuek? Apakah itu karena kau tidak merasakan sesuatu yang memanas di hatimu? Apa kau tidak merasa cemburu atau hatimu sakit? Haha… kalau 'tidak' sayang sekali, padahal aku berharap kau merasakan rasa sakit hati sepertiku. Kau sudah merenggut hati dan ciuman pertamaku, tidakkah kau merasa malu?

Hei… tahu kabar Inoue dan Ishida? Mereka putus. Inoue hanya menangis dan merengek tak jelas pada sahabatnya, Arisawa. Wajahnya memerah setelah ditampar Ishida. Haha… rasakan. Ia juga berusaha menembak Ichigo tapi ditolak Ichigo mentah-mentah dengan alasan bosan. Ah,lupakan perempuan brengsek itu!

(Back to the real story) Aku terus saja menempel pada Renji dan membiarkan Ichigo dengan santai berciuman dengan banyak gadis di depanku. Berkali-kali aku menahan tangan Renji agar ia tak meninju Ichigo. Namun, sebenarnya aku tahu Ichigo sering sekali melirik dengan ekspresi kesal saat melihatku bersikap manja pada Renji dan dia kulupakan begitu saja. Aku bahkan tak pernah menerima ajakannya untuk pulang bersama, dan setelah mengatakan hal itu di depannya langsung aku minta antar pulang pada Renji.

"Renji, antarkan aku pulang!" kataku manja. Renji hanya tersenyum sambil mengecup dahiku lembut, mengundang raut kesal di wajah Ichigo. Aku masih berharap. Sangat! Tanpa kusadari bahwa wajah terakhir Ichigo yang kulihat adalah wajah kesalnya.

#*#

Ichigo, sekali saja. Aku ingin melihatmu benar-benar sakit hati saat melihatku bermesraan dengan pria lain. Aku yakin sebenarnya kau menyukaiku. Eh… atau itu hanyalah sebuah pemikiran konyol karena melihatmu kesal dengan kedekatanku pada Renji? Sepertinya iya, aku lupa kau pernah berjanji pada Nii-sama agar aku tak berpacaran dengan pria sembarangan. Hei, jika kau kesal pada Renji itu berarti kau menyukaiku? Ah, lupakan! Dari tadi penjelasannya terus berputar. Aku mencintaimu…. Aku mencintaimu…. Aku mencintaimu…. Aku mencintaimu… dan aku membencimu Walaupun kau hanya robot penuh cinta kasih tanpa memikirkan perasaan orang yang kau bagikan rasa cintamu. Ichigo, kurasa jika suatu saat aku pergi kau tak akan merasa sakit hati. Karena hatimu sudah kau bagi untuk puluhan bahkan ratusan gadis, dan aku bersyukur kau setidaknya mau membagikan sedikit hatimu itu untukku. Terima kasih…. Sekali kukatakan AKU MENCINTAIMU.

*end of Rukia's POV

#*#

*Normal POV

Ichigo mendengus kesal. Entah mengapa ia kesal melihat Rukia bersikap manja pada Renji. Rukia saja tak pernah bersikap manja padanya.

"Kau… suka Rukia-chan kan?" tebak Keigo.

"Hahahahahah…." tawa Ichigo meledak. Ia suka Rukia? Jangan bercanda. Sejak awal Rukia adalah gadis yang paling ia benci. Gadis itu sombong, selalu memberikan argument mengenai hal-hal tak jelas. Cinta itu hanyalah hal konyol, Ichigo. Ichigo berdecih ketika mengingat kalimat itu, nyatanya sekarang Rukia malah menerimanya sebagai pacar dan sekarang selingkuh.

Sekali lagi, Ichigo tertawa, membuat Keigo hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah konyol sahabatnya. Keigo bingung pada Ichigo. Kenapa pria ini tak bisa memahami perasaannya sendiri?

"Aku… mencintai Rukia?" lirih Ichigo sambil mengerutkan dahinya.

"Ichigo. Cinta itu aneh. Entah darimana datangnya tapi cinta itu aneh. Terkadang banyak orang yang menepis perasaan cinta dan berujung pada sakit hati. Tapi, Ichigo ketika kuperhatikan, kau sering sekali merasa jengkel melihat Rukia-chan dekat-dekat dengan Abarai-san. Apa kau sadar itu cemburu? Kau menyukainya, kau mencintainya. Sadarlah… Ichigo," sahut Keigo. Namun Ichigo hanya terkekeh mendengar pendapat konyol temannya.

#*#

Eh? Aku masih punya kesempatan untuk ber-monolog? Terima kasih. Apa yang harus kuluapkan? Hm… mungkin mengenai cinta. Hei… sudah berkali-kali aku berargument mengenai cinta. Tidakkah kalian punya argument? Apa kalian tahu kalau Ichigo bilang cinta itu terkadang muncul dari rasa benci? Ya, aku setuju. Benci bisa menimbulkan cinta, tapi cinta juga bisa menimbulkan benci. Keadaanku sekarang labil. Aku bingung. Entahlah perasaanku campur aduk. I Hate You, But I Love You, Ichigo.

Tring… tring…. Sebuah lagu kecil dimainkan ketika lampu merah di zebra cross berganti hijau. Dengan semangat aku melangkahkan kakiku, tidak, aku berlari.

"Renji… ayo cepat!" teriakku. Aku menghentikan langkahku ditengah jalan. Kudengar suara deru mesin mobil begitu keras. Aku menoleh, melihat sebuah mobil terus menuju ke arahku.

"RUKIA!" teriak Renji. Dan… brak… sebuah tabrakan tak terelakkan lagi.

Tubuhku terguling dipinggir jalan. Aku tak merasakan apa-apa lagi, tubuhku lemas. Pandanganku hilang, namun aku bisa mendengar suara orang-orang yang menjerit histeris dan berteriak 'panggilkan ambulans!'.

Samar-samar aku merasakan tubuhku diangkat seseorang. Lalu orang itu menyandarkan kepalaku di pahanya. Tangannya memeluk erat tubuhku, walaupun aku sama sekali tak merasa itu adalah pelukan erat.

Aku membuka mataku saat merasakan ada air menetes di pipiku. Pandanganku buyar, namun aku tahu itu adalah Renji yang sedang menangis. Aneh, aku merasa sangat mengantuk.

"Renji. Aku ngantuk," lirihku. Perlahan aku mengangkat tanganku dan menghapus air matanya, namun pipinya malah terlihat memerah, itu bukan karena semburat di wajahnya, memang ada sesuatu berwarna merah di tanganku yang mengotorinya.

"Rukia… tetaplah bersamaku. Jangan pergi!" kata Renji panik sambil menggenggam erat tanganku yang tadi hendak menghapus air matanya.

"Hehe… aku ngantuk. To–tolong gendong aku ke rumah, ya Renji. Oh iya… ta–tanganku sakit sekali.. ja–jadi, jika sudah di–di kamarku nanti. Tolong ambil... bukuku… ohok… yang ada di atas lemari pakaianku.. ya…" lirihku sambil terbatuk. Rasa nyeri menjalar keseluruh tubuhku. Sekarang aku sadar bahwa cairan merah tadi adalah darah. Ya, aku sadar aku baru saja mengalami kecelakaan dan aku sadar Renji sedang berteriak histeris. Sebentar saja aku ingin melihatnya tersenyum disaat aku ingin memejamkan mataku.

"Re–Renji tersenyumlah, jangan menangis," lirihku. Renji tersenyum konyol disela tangisannya. Air matanya semakin membasahi wajahku. Ia mendekatkan bibirnya ke dahiku dan mengecup dahiku pelan. Aku terkekeh, rasa kantuk semakin menghantuiku.

"Aku… Aku sudah tersenyum Rukia, jadi sekarang jangan tinggalkan aku," lirihnya. Ia kembali membawaku pada pelukan eratnya. Haha… padahal aku berharap Ichigo yang memelukku penuh kasih sayang seperti ini.

"Aku sayang padamu, Renji. Tapi maaf… aku tak bisa membalas perasaanmu… karena aku mencintai… Ichi…" dan seketika itu juga kantuk telah membantuku untuk menuju kegelapan. Meninggalkan sebuah kenangan pahit dimana orang yang kusayangi berteriak sedih.

*end of Rukia's POV

#*#

*Normal POV

Keluarga Kuchiki berduka, begitu juga seorang pria berambut nanas, Abarai Renji. Ia terus saja menangisi orang terkasihnya pergi. Sakit hatinya membuatnya ingin ikut menyusul Rukia. Namun, ia berpikir bahwa Rukia akan sangat membencinya jika ia mati konyol hanya karena sebuah hal yang selalu Rukia katakan 'hal konyol', cinta. Cinta itu sangat menyebalkan, selalu saja membuat orang-orang yang merasakannya kehilangan akal sehat. Kenapa orang selalu ingin berkorban demi cinta? Cinta hanyalah barang picisan yang bahkan bisa dikatakan sebuah barang yang gratis. Cinta bisa dibeli, cinta bisa dibuang, cinta bisa disimpan dan cinta bisa dilupakan. Namun, apa yang dirasakan seorang Abarai Renji sekarang bukanlah sesuatu yang bisa dijabarkan dengan mudah seperti menjabarkan soal aljabar. Semuanya terlalu sulit dan berbelit, seperti benang kusut di saku celana yang tersimpan hanya dalam beberapa jam.

Renji terus saja menangis di depan pemakaman Rukia. Ia kesal, semakin kesal saat tahu sampai akhir Rukia tak pernah meliriknya, sampai akhir pun Rukia tetap mengatakan bahwa ia mencintai Ichigo. Kenapa? Bukankah Rukia bilang cinta itu konyol? Cinta itu hanya omong kosong. Hanya orang bodohlah yang mau mengakui apa itu cinta. Ya, Renji mengakui itu. Ia hanyalah orang bodoh yang rela menyia-nyiakan tenaganya hanya untuk seorang Kuchiki Rukia.

Dimana Ichigo saat pemakanan Rukia? Pria brengsek itu sama sekali tak muncul. Padahal Renji dengan jelas melihat keluarga Kurosaki yang turut berduka. Kurosaki Yuzu, adik Ichigo bahkan pingsan melihat pemakaman itu.

"Rukia… aku mencintaimu," lirih Renji. Renji tersentak, pesan terakhir Rukia adalah memintanya untuk mengambil sebuah buku di atas lemari pakaian Rukia, dan dengan cepat Renji berlari menuju rumah duka keluarga Kuchiki.

#*#

Ichigo flu. Entah mengapa ia merasa pusing setelah siang tadi melihat Rukia bermesraan dengan Renji.

"Kalian mau kemana?" tanya Ichigo sambil memegang kepalanya. Ia bingung melihat keluarganya mengenakan pakaian serba hitam. Yuzu malah terus menangis sambil memeluk erat tangan ibunya, Karin yang tak pernah menangis pun mulai sesenggukan menahan air matanya.

"Kami mau ke… pe… man… Ki…" suara Isshin sama sekali tak terdengar jelas di telinga Ichigo. Namun, Ichigo sadar bahwa keluarganya akan menghadiri sebuah pemakanam.

"Aku tidak ikut," sahut Ichigo malas. Ya, dia memang selalu malas melihat orang dimakamkan. Yang ia dengar hanyalah tangisan dari orang-orang. Ia tahu, orang-orang yang menangis di pemakaman biasanya hanyalah akting belaka. Jadi, ia malas untuk pergi.

"Ichi-nii yakin?" Karin meyakinkan. Ichigo tak merespon dan malah naik memasuki kamarnya.

#*#

Berhari-hari telah berlalu sejak Rukia meninggal. Ichigo sakit. Ia demam di malam pemakaman Rukia. Namun, ia tak tahu bahwa Rukia benar-benar sudah pergi. Selama 1 minggu lebih kerjaannya hanyalah berbaring di atas ranjangnya.

Renji pun berubah. Jika dulu Renji adalah seorang yang bersemangat, sekarang ia justru seperti robot. Perasaannya ia simpan dalam-dalam, membuatnya kehilangan akal sehat dan sering kali berniat bunuh diri.

Semua kegiatan di sekolah berjalan normal. Tak ada lagi yang menyinggung masalah Rukia, termasuk Renji, ia mengancam anak sekelasnya untuk tidak lagi membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan Rukia.

"Sial, aku kesal. Rukia sebenarnya kemana, sih?" umpat Ichigo saat berjalan pulang. Beruntung hari ini sekolah pulang cepat. Sekarang masih jam 2 siang.

Ichigo menghentikan langkahnya. Ia merasa jengkel saat tahu Rukia dekat-dekat dengan Renji –lebih tepatnya selingkuh- apa artinya? Rasa cemburu seketika menyeruak dalam hatinya. Ichigo sadar, ya ia sadar bahwa selama ini ia cemburu. Ia cemburu melihat Rukia menempel pada Renji, ia cemburu karena Renji dengan santainya bisa mengecup dahi Rukia. ICHIGO MENCINTAI RUKIA. Ia sadar akan hal itu sekarang, ia sadar pemicu rasa panas di hatinya selama ini, ia sadar kanapa selama ini ia begitu senang bermain dengan banyak gadis. Hanya ada satu jawaban 'cemburu'. Ia cemburu melihat Rukia menempel pada Renji, tapi ia senang melihat Rukia cemburu saat ia berdekatan dengan banyak gadis. Semua ini berhubungan dengan gadis mungil yang ia benci itu. Tidak! Bukan benci, tapi cinta.

"Aku… mencintai Rukia?" lirih Ichigo.

"Ichigo. Cinta itu aneh. Entah darimana datangnya tapi cinta itu aneh. Terkadang banyak orang yang menepis perasaan cinta dan berujung pada sakit hati. Tapi, Ichigo, ketika kuperhatikan, kau sering sekali merasa jengkel melihat Rukia-chan dekat-dekat dengan Abarai-san. Apa kau sadar itu cemburu? Kau menyukainya, kau mencintainya. Sadarlah… Ichigo," sahut Keigo. Namun Ichigo hanya terkekeh mendengar pendapat konyol temannya.

Ichigo terkenang dengan kata-kata temannya itu. Cinta? Benarkah ia mencintai Rukia? Sepertinya iya jika ia langsung saja melesat menuju sebuah toko.

Ichigo berada di sebuah toko bunga. 'Matsumoto flowerist'

"Ara…. Kurosaki-kun, nan desu ka? Apa kau ingin membeli bunga untuk ibumu?" tanya sang pemilik toko, Matsumoto Rangiku. Sebenarnya Ichigo sudah langganan di toko ini. Ibunya sering minta dibelikan bunga.

"Tidak, kali ini aku ingin mengatakan perasaanku pada perempuan yang kusuka," sahut Ichigo girang.

"Eum, wah… kau suka seseorang? Dasar, padahal dulu kau sempat menggodaku," sindir Matsumoto.

"Ya, begitulah. Ehm… berikan aku setangkai bunga 'lili'! Dia suka bunga itu," kata Ichigo. Matsumoto hanya mengangguk sambil mengambil bunga lili pesanan Ichigo.

"Eits… tak perlu dibungkus, berikan padaku. Berapa harganya!" cegah Ichigo ketika Matsumoto mengambil sebuah plastik.

"Gratis untukmu, kau sudah langganan. Jadi kali ini gratis," kata Matsumoto sambil tersenyum. Ichigo membalas senyum itu dan berlari menuju rumah Rukia.

Ichigo melihat Renji keluar dari pagar itu dengan lemas. Dugaannya pasti Renji dan Rukia telah mengakhiri hubungan mereka dan Ichigo yakin Rukialah yang mengajukannya..

"Kau kenapa Renji? Apakah Rukia memutuskan hubungan kalian?" sindir Ichigo. Mata renji menyalak menatap Ichigo. Perasaan kesalnya masih terus tersimpan pada Ichigo, dan sekarang mulai menjalar kembali di tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan disini, Kurosaki?" kesal Renji.

"Hei… kenapa kau marah?" balas Ichigo jengkel. Apa-apaan si Renji, tanpa alasan dia memarahi Ichigo.

"Jawab aku Kurosaki, apa yang kau lakukan disini?" Oke, Ichigo tahu Renji sedang marah. Marah besar sampai-sampai Renji memanggilnya hanya dengan nama keluarga.

"Aku ingin menyatakan perasaanku pada Rukia," tegas Ichigo memancing tawa Renji.

"Apa yang kau tertawakan Renji?" kesal Ichigo dan dengan cepat Renji menaikkan keras baju Ichigo. Tanpa basa-basi ia meninju wajah Ichigo. Ia benar-benar kalap. Ichigo dengan santainya mengatakan bahwa ia ingin menembak Rukia. Jangan bercanda.

"KAU KENAPA RENJI!?" teriak Ichigo sambil berusaha menangkap tangan Renji yang terus membabi-buta di tubuhnya.

"Kau yang kenapa, KUROSAKI! Kau bilang ingin menyatakan perasaanmu pada Rukia?! Baiklah kuantar kau menemui Rukia," teriak Renji. Dengan kesal Ichigo mengikuti langkah Renji yang terus saja bertambah kecepatannya. Namun, Ichigo tersentak saat tempat tujuan mereka adalah pemakaman.

"Rukia melayat siapa?" tanya Ichigo datar.

"Kau lihat itu Kurosaki!" teriak Renji sambil menunjuk ke sebuah batu nisan.

Mata Ichigo membulat membaca tulisan nisan itu. Nama Rukia terukir dengan indah dibatu itu.

"Renji, berhenti bercanda!" kata Ichigo sambil tersenyum konyol. Ichigo menatap Renji, wajah Renji itu sudah dibasahi oleh air mata.

"Kau masih bilang aku bercanda? Kau sadar apa yang baru saja kau katakan Kurosaki? Ini makam Rukia. Kau tahu alasanku memukulmu tadi? Ini! Inilah alasannya. Aku kesal padamu yang sudah selama 1 minggu sama sekali tak mengetahui kabar kematian Rukia. Ini… kau baca buku ini. Di buku ini tertulis semua keluhannya. Kukatakan padamu, jika saja kau bisa setia pada Rukia, Rukia tak akan pergi. Rukia pasti masih tersenyum sambil menyebut namamu. Selama ini Rukia selalu menangis. Ia sedih karena kau sama sekali tak memperhatikannya. Ia kesal karena ia harus merasakan cinta padamu. Ia cemburu pada semua tingka menjijikkanmu. Aku rela berbuat apapun padanya, sekalipun menerima sakit hati. Aku rela berpura-pura pacaran dengannya, walaupun itu hanya akan memberikan rasa sakit yang mendalam padaku dan padanya, Kurosaki!" teriak Renji sambil melempar sebuah buku pada Ichigo. Tidak, Renji membanting buku itu ke wajah Ichigo.

Ichigo masih tak percaya dengan apa yang dijelaskan Renji. Jadi, selama ini Renji dan Rukia hanya pura-pura pacaran?

Perlahan ia membuka buku itu. Itu diari Rukia. Setiap ia membalikkan halaman, hanya senyuman Rukia yang terpajang lewat foto. Hingga Ichigo berhenti pada halaman terakhir.

Ichigo menangis. Terus saja ia berkomentar mengenai isi diari itu. Setiap halaman yang ia baca selalu saja ada nama 'Ichigo'.

"Gadis bodoh," kata Ichigo sambil menahan sesengggukannya.

"Kau yang bodoh Kurosaki. Kau baru menyadari cinta saat Rukia sudah pergi? Aku membencimu Kurosaki, sangat! Kalau saja kau bukan orang yang dicintai Rukia pasti aku akan membunuhmu!" teriak Renji sambil meninggalkan Ichigo yang masih terdiam di depan pemakanam Rukia.

Ichigo terduduk. Ia mengelus pelan nisan bertuliskan 'Kuchiki Rukia'. Berkali-kali ia melontarkan kata 'maaf' yang tak seorang pun bisa mendengarnya.

"Maaf… maaf… maaf….. Aku mencintaimu."

Ia mencintai Rukia, tapi kenapa ia terlambat? Orang-orang selalu bilang 'tak ada kata terlambat dalam cinta' tapi kenapa ia begitu terlambat? Ichigo menangis. Sekarang ia tahu, pemakaman yang keluarganya ingin kunjungi adalah pemakaman Rukia. Ia tahu kenapa Yuzu pulang dalam keadaan pingsan, Yuzu menangisi orang yang ia anggap kakaknya itu, orang yang sangat ia sayangi. Ia tahu semuanya dan ia menyesali semua itu.

Sekarang, dalam kesunyian. Seorang Kurosaki Ichigo hanya meratapi nasibnya. Terus berusaha meredakan gemuruh hatinya yang terus berteriak memanggil nama Rukia. Seperti inikah rasa sakit hati? Seperti inikah rasa cinta? Lalu, apa yang selama ini ia berikan pada gadis-gadis? Apakah ia membagikan hatinya dan tak menyisakan sedikit pun untuk Rukia?

#*#

Nee… Ichigo. Kau tahu aku sangat membenci apa itu 'cinta'. Tapi, tanpa kusadari aku telah tenggelam dalam lautan cinta. Haha… sok puitis sekali.

Kau tahu? Setelah semua argument yang kuberikan padamu, aku mendapatkan kesimpulan.

Cinta itu sesuatu yang penting, namun cintu itu juga sebenarnya tidak penting.

Cinta itu hanya barang picisan yang bisa dibeli ataupun dibuang.

Cinta itu hanya hal abstrak yang membuat orang yang merasakannya serasa melayang.

Cinta itu hal menjijikan yang menjadi alasan seseorang untuk menutupi nafsunya.

Cinta itu indah.

Cinta itu memabukkan.

Cinta itu membutakan.

Cinta itu konyol.

Cinta itu adalah sesuatu yang membuat kita kehilangan akal sehat.

Cinta itu berawal dari benci.

Cinta itu menghasilkan rasa benci.

Cintai itu… kasih sayang.

Ichigo aku mencintaimu. Aku tahu aku adalah gadis menyedihkan yang tak pernah bisa melupakanmu yang merupakan pria brengsek. Padahal aku tahu Renji adalah orang yang mencintaiku melebihi siapapun. Aku menyayangi Renji, tapi aku hanya menganggapnya sebagai kakakku.

Aku membencimu Ichigo. Aku membenci semua hal tentangmu. Semua hal itu membuatku membencimu karena dengan semua itu aku mencintaimu. Aneh bukan? Aku yang terus berargument mengengai cinta jadi merasakan cinta?

Aku senang akhirnya aku bisa merasakan hal itu. Tapi, aku sedih saat aku merasa aku merasakan hal itu pada orang yang salah. Kurasa aku salah memilihmu, tapi semakin aku sadari semakin aku tahu bahwa aku tidaklah salah orang. Aku mencintai Kurosaki Ichigo. Walaupun dia pria menyebalkan sekali pun.

Hehe… aku tak tahu apakah kau akan melirikku atau tidak. Tapi, bolehkah aku berharap? Bolehkan aku berharap suatu saat kau akan tersenyum lembut padaku dan mengatakan kau mencintaiku? Bolehkah aku berharap saat kau mengatakan hal itu kau sama sekali tidak berbohong. Boleh ya!

Karena aku ingin dicintai oleh orang yang kucintai.

#*#

Ichigo meletakkan bunga lili putih itu di atas makam Rukia. Ia masih terus menahan tangisnya. Membaca buku harian Rukia sudah cukup membuktikan bahwa ia dan Rukia saling mencintai, namun Tuhan berkata lain. Entahlah, sepertinya ini hukuman untuknya yang selalu memainkan perasaan perempuan. Karma, itukah orang menyebutnya?

Ichigo menarik napas dalam, berusaha untuk mengucapkan apa yang sangat diinginkan oleh Rukia. Ia tersenyum lembut, walaupun ia tahu senyuman itu tak bisa dilihat Rukia, perlahan ia membuka mulutnya dengan dengan lembut mengatakan.

"Rukia… aku mencintaimu."

Naa… Rukia… aku sudah mengatakannya. Apakah kau senang?

.

.

.

FIN – 17/01/2013

EDITED – 22/07/2013

.

Saya yakin banyak yang lupa dengan jalan ceritanya :) pertama dan utama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Allah karena telah mengizinkan saya menyelesaikan fanfiksi ini, kedua saya ingin berterima kasih pada yang membaca dan yang ketiga saya berterima aksih pada reviewer, follower dan semua yg sudah memasukkan fakfiksi ini sebagai 'favorite story' saya sangat sangat senang :D

Buat kak Voidy dan kak yellow fumi: terima kasih review pendapat dan sarannya :D sangat membantu sekali. Maaf karena saya tidak mengganti ending ceritanya :D karena fic ini saya buat menurut perasaan hati saya waktu itu XC *plak! Love you, kak Voidu dan kak yellow fumi :*

Akan ada satu chapter lagi yang berisi tentang kegalauan Ichigo . Happy Reading :D

Again, Thanks for reading ^^

Regards,

Ichiru