"Deal? Two of a Time"
Disclaimer : sayangnya, tokoh bukan milik saya kecuali ceritanya T^T
Sekuel dari fanfiksi "Deal?"
Proudly Present by Cakue-chan
.
.
[000] Prologue
.
.
.
Lengannya dicekal tanpa tedeng aling-aling dan Taehyung nyaris melontarkan serentetan kalimat maki. Namun, sepersekon kemudian ia lekas menahannya ketika Jeon Jungkookーuntuk segala otoriter yang pemuda itu punya, heckーlebih dulu memenuhi fokusnya dan Taehyung urung protes. Setidaknya sebelum Jungkook benar-benar memojokkannya ke koridor deretan loker sepatu. Mereka berdua. Dan sepi, juga bias-bias oranye begitu sore baru saja mampir.
Taehyung memandang sepasang iris pekat di hadapannya, lalu menarik napas sepanjang mungkin. "Coba ulangi," katanya.
"Tinggal bersamaku, berbagi apartemen berdua," sahut Jungkook, oh lihat cara bagaimana manusia di depannya ini mengumbar kalimat manis bernada intimidasi. "Sekamar juga boleh."
"Oh, aku kira ajakan yang tadi itu bercanda,"
Decakan sebal, kalimat sialan kau lolos dengan lancar dari bibir Jungkook. "Aku tidak pernah main-main soal ini, lho."
"Oke, tunggu sebentar." Satu tangan Taehyung terangkat, isyarat kecil bahwa otaknya perlu mencerna pembicaraan mereka lebih keras lagi. Ia mencium aroma citrus, Jungkook sekali, dan sadar kalau posisinya saat ini terlalu agak intim. Atau mirip roman picisan, atau istilah bahasa Jepangnya, kabedon. Jungkook pernah bilang kalau dirinya itu suka sekali memerangkap Taehyung dengan kedua lengannya, aww, so cute. "Beri aku alasan untuk ide anehmu itu,"
"Itu tidak aneh," tukas Jungkook, "tapi realistis."
"Kau mengerti bukan itu intinya,"
"Simpel saja. Kita satu kampus, jarak lumayan jauh dari rumah, kita senasib dan tinggal bersama di satu apartemen bukan ide yang buruk." Bahu berkedik tak acuh, ia memandang Taehyung lekat sembari menjungkat-jungkitkan kedua alisnya. "Bagaimana?"
"Kau selalu seperti ini," seloroh Taehyung, melipat lengan di depan dada; defensif. "Seenaknya mengambil keputusan tanpa membicarakannya dulu denganku."
"Aku pikir kau akan langsung setuju,"
"Aku pikir kau mau membicarakannya baik-baik,"
"Tapi ini ide yang bagus, bukan?"
"Tapi kau terlalu tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas,"
"Begitu?"
"Apanya?"
"Apa menyukaimu perlu alasan juga?"
Taehyung bergeming. Ada panas yang merambat dari pipi, menjalar hingga telinga, kemudian seluruh wajahnya.
"Ada satu tempat yang bagus, aku sudah membelinya. Tidak jauh dari kampus, cukup jalan lima belas menit dan tidak perlu repot mengejar kereta atau bus. Tidak kecil tidak juga besar. Dua kamar tidur, dapur yang nyaman, rooftop, ruang tengah dan satu ruang kosong yang bisa kau isiー"
"Kan! Apa kubilang!" Sela Taehyung, nadanya meninggi. Lipatan tangannya terlepas untuk meninju bahu kanan Jungkook, cukup keras. "Kau selalu seperti ini."
"Oke, oke, kau benar. Aku selalu seperti ini karena ini aku, Jeon Jungkook." Taehyung melangkah ke samping dan memilih kabur tetapi Jungkook menghalanginya dengan gesit. "Kita bisa menempatinya sekarang, hari ini juga."
"Jungkookー"
"Dan mampir ke minimarket sebentar untuk beli sikat gigi,"
Ugh, kepala Taehyung mendadak pening. Benaknya kerap kali protes, bahwa semenjak mereka SMA keras kepala memang sudah menjadi nama tengah Jeon Jungkook. Pemuda itu yang menawarinya bayaran lima ratus ribu won dan pemuda itu juga yang dengan tanpa izinnya memasuki teritori hidup Kim Taehyung. Taehyung meringis dalam hati, terkadang ia bertanya-tanya apakah lima ratus ribu won itu-yang menjadi cikal bakal hubungan mereka-bisa disebut dengan kutukan.
Omong-omong soal apartemen, sebenarnya itu bukan ide yang buruk. Ibunya seringkali merekomendasikan hal yang sama namun Taehyung belum benar-benar memikirkan. Bukan karena biaya, bukan juga karena jarak, tapi karena ia tahu ibunya akan hidup seorang diri. Dan ketika ia mengutarakan kekhawatirannya itu, ibunya menggeleng tegas dan Taehyung tidak perlu mencemaskannya.
"Jungkook kepada Taehyung, aku berusaha menunggu dengan sabar," Jungkook yang pertama kali memecah hening. "Oh, aku juga lupa kulkas belum diisi bahan makanan,"
Demi Tuhan. "Kau benar-benar gila,"
"Untukmu, sih, tidak masalah,"
Taehyung menekan kening Jungkook dengan gemas, kalau boleh satu tamparan ingin sekali ia berikan. Jungkook terkekeh kecil, menangkap jari-jari Taehyung, menangkupnya, sebelum ia memberinya dengan ciuman bertubi-tubi. Satu ciuman untuk satu buku jemari dan satu garis rona yang bertambah di pipi Taehyung.
"Jadi bagaimana?"
Delikan tajam. "Apa aku terlihat punya pilihan lain?"
"Well," Jungkook berdeham kecil, "tidak. Sama sekali tidak."
"Kau selalu seperti ini," ulang Taehyung, menepis genggaman Jungkook lalu beringsut cepat ketika pemuda jangkung itu melangkah mundur, memberikan akses untuk pergi. Taehyung menarik tali ranselnya, agak melorot tadi, lalu berjalan di sepanjang koridor menuju pintu keluar. Jungkook dengan senang hati mengekor di belakang. "Apa lagi yang harus kita beli nanti?"
"Sabun mandi dan shampo, mungkin. Kau ingin rasa apa?"
"Vanila. Boleh aku beli ramen cup?"
"Jangan itu, tidak sehat,"
"Sudah seenaknya, melarang lagi,"
"Aku bisa memasak,"
"Memang aku tidak?" Taehyung mendengus. "Jangan lupa deterjen dan sabun cuci piring,"
"Juga kopi instan."
"Tunggu, biar aku catat," ia lekas merogoh ponsel dari saku parka, membuka aplikasi post it dan mengetik ulang berbagai macam keperluan yang sebelumnya mereka bicarakan. "Ada lagi tidak?"
Jungkook mengambil langkah lebar, berhenti tepat di hadapan Taehyung, lantas menunduk dan mencium sudut bibirnya dengan singkat meski meninggalkan jejak yang basah. Ketika pemuda itu kembali menegakkan tubuh, Taehyung bisa melihat binar jenaka di sepasang mata hitamnya dan ia begitu benci karena kembali jatuh kepada Jeon Jungkook, untuk segala pesona dan tingkah absurd-nya, lagi dan lagi.
"Sekotak kondom, bagaimana?"
"JUNGKOOK!"
Tbc
