TERKILIR
.
.
.
Disclaimer : Belong to God and theirselves :D This story is mine. Not for commercial.
Author : Lee Rae Ra
Genre : General, Semi-Romance
Rate : T
Length : 3 Chapters
Cast : Mark Lee & Lee Haechan
.
.
.
SUMMARY : Kaki Haechan terkilir, dan Mark datang menolongnya. /"Hiks.. Aku kan malu.. Aku ini berat dan sunbae menggendongku."/ Mark x Haechan / MarkChan / MarkHyuck
.
.
.
TERKILIR
.
.
.
"Semua lumayan bagus hari ini. Minggu depan kita akan perbaiki head voice mu ya."
Haechan mengangguk semangat mendengar perkataan guru vokalnya. Ia menundukkan badannya dan mengucapkan terimakasih.
"Terimakasih, sampai jumpa minggu depan!" seru Haechan saat guru vokalnya melenggang pergi.
Sepeninggal guru vokalnya, Haechan langsung menggelosorkan tubuhnya ke lantai. Diraihnya botol minum yang hampir kosong dan langsung Haechan tenggak habis airnya. Dengan terengah-engah ia berusaha bernafas.
"Capek sekali.." keluhnya sambil cemberut.
Bagaimana tidak, guru vokal yang bernama Cho Kyuhyun itu sudah menyiksanya selama dua jam terakhir ini. Tidak hanya itu, Haechan juga kesal karena gurunya itu datang terlambat selama satu setengah jam dengan alasan anjingnya sakit dan harus dibawa ke dokter. Jadilah tadi Haechan menunggu selama satu setengah jam dan sekarang ia kemalaman pulang. Kalau tidak ingat orangtuanya membayar mahal untuk memasukannya ke tempat les vokal ini, sudah sejak tadi Haechan pulang. Buat apa membuang-buang waktu? Lesnya hanya dua jam, waktu tungguhnya satu setengah jam. Tapi untungnya Haechan masih sayang dengan kedua orangtuanya, sehingga ia berusaha untuk bersabar.
Haechan merogoh saku tas depannya dan mengeluarkan ponsel hitamnya. Begitu ia mengaktifkan ponselnya, langsung terdapat notifikasi beberapa panggilan tak terjawab serta beberapa chat dari Ibu dan kakaknya. Isinya hampir sama, menanyakan kenapa Haechan belum pulang.
Jari-jari Haechan dengan lincah menari di atas layar ponselnya, mengetikkan pesan balasan untuk Ibu dan kakaknya yang menyatakan bahwa guru lesnya terlambat dan ia akan segera pulang.
"Sudah jam segini, aku takut naik bus sendiri.." gumam Haechan sembari menatap nanar jam yang tercantum di ponselnya.
Jika biasanya Haechan pulang pukul tujuh malam, kali ini sudah jam setengah sembilan malam dan Haechan tidak pernah pulang sendirian semalam ini.
Terbesit keinginan untuk naik taksi, tapi ongkos naik taksi ke rumahnya terbilang cukup mahal dan Haechan tidak ingin membuang-buang uang sakunya. Sebenarnya bisa saja Haechan minta dibayari orangtuanya saat sampai di rumah, tapi Haechan merasa tidak enak karena harus menambah pengeluaran orangtuanya untuk hal yang dirasanya tidak terlalu penting.
Dengan lesu Haechan memasukkan botol minumnya ke dalam tas. Ia berdiri dan memasang tas ranselnya di punggung, kemudian berjalan keluar dari bilik kecil berukuran 2x2m tersebut.
Sambil bersiul-siul Haechan berjalan menuju halte bus yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat lesnya. Haechan merapatkan jaketnya, sedikit merasa kedinginan karena angin malam yang berhembus lumayan kencang.
"Aaaah!"
Haechan berteriak saat ia merasakan kakinya tersandung sesuatu dan ia terjatuh dengan posisi tengkurap.
"Hiks.. Eomma.." Haechan terisak ketika ia berusaha bangkit dari posisinya.
Haechan duduk sambil terisak. Ia melihat sebuah batu besar di dekatnya. Sudah pasti batu itu yang menyebabkannya tersandung dan jatuh. Dengan kesal, Haechan mengambil batu tersebut dan melemparkannya ke tepi.
"Biar kamu tidak melukai orang lain lagi, dasar batu nakal!" gerutu Haechan.
Haechan berusaha untuk berdiri namun gagal. Kaki kanannya terasa sakit sekali dan ia tidak bisa berdiri. Sepertinya kakinya terkilir karena kakinya terasa sangat nyeri.
"Argh!" Haechan mengeluh kasar.
Ditengokkan kepalanya ke kanan dan kiri, berusaha mencari orang yang sekiranya dapat membantunya. Namun tidak ada satu pun orang yang berada di dekat situ.
Haechan menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan rasa kesal. Ia sudah sial sekali hari ini, kenapa pula harus jatuh, ditambah kakinya terkilir pula. Haechan melepas sepatunya yang sebelah kanan dan melotot horor melihat kakinya. Kakinya terlihat sedikit membengkak dan sudah berwarna kebiruan.
Haechan tak bisa lagi membendung air matanya. Ia menunduk dan membiarkan air mata jatuh membasahi pipinya.
Sekali lagi Haechan berusaha berdiri, tapi tidak sanggup. Dibuat bergerak sedikit saja kakinya sudah sakit sekali, apalagi berdiri.
Masih terisak, Haechan membuka tas ranselnya dan meraih ponselnya. Ia berniat untuk menelfon kakaknya untuk menjemputnya. Masa bodoh kalau kakak satu-satunya itu badannya seperti sapu lidi, Haechan akan memaksa kakaknya untuk menggendong Haechan yang badannya semok.
"Hei."
Haechan mengurungkan niatnya untuk memencet tombol Call ketika didengarnya sebuah suara. Takut-takut, Haechan mendongak dan ia terkejut melihat sosok sang pemilik suara.
"Kau baik-baik saja?"
Haechan menunduk dan buru-buru menghapus air matanya. Dia tidak menyangka bahwa orang ini akan muncul di depannya saat keadaannya sangat mengenaskan seperti itu.
Yang saat ini berada di dekatnya adalah Mark Lee. Seniornya di sekolah. Mark kelas dua dan Haechan baru kelas satu. Hanya saja, mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Haechan tentu saja mengetahui siapa itu Mark karena Mark adalah anak populer di sekolah dengan statusnya sebagai kapten tim sepakbola. Sedangkan Mark mungkin tidak mengetahui keberadaan Haechan. Hanya saja, Haechan sama sekali tidak pernah berbicara dengan Mark. Ia hanya melihat Mark dari jauh saja, tidak pernah terbesit keinginan untuk berkenalan dengan Mark. Karena, untuk apa? Haechan sudah merasa cukup untuk mengenal satu anak populer di sekolah, alias kekasih sahabatnya.
Haechan diam saja, tak berani menjawab. Tiba-tiba Mark berjongkok dan memegang kaki kanan Haechan lembut.
"Aw." Pekik Haechan pelan.
"Kakimu terkilir. Tidak bisa jalan?" tanya Mark.
Masih menunduk, Haechan menggelengkan kepalanya pelan.
"Berdiri saja tidak bisa, sunbae. Apalagi jalan." Jawab Haechan lirih.
"Kau mau pulang?" tanya Mark lagi.
Haechan menganggukkan kepalanya.
"Dijemput?"
Kali ini Haechan kembali menggelengkan kepalanya. Ia pun memberanikan diri mengangkat kepalanya dan menatap Mark.
"Naik bus."
Mark mengernyitkan keningnya heran.
"Semalam ini kau mau naik bus sendirian? Kau habis darimana?" tanya Mark heran.
Asal-asalan Haechan menunjukkan jarinya ke arah utara, menunjuk ke arah bangunan tempat lesnya.
"Les vokal. Pulang kemalaman karena tadi gurunya terlambat." Jawabnya, kesal karena merasa diingatkan dengan hal itu.
Mark mengambil sepatu Haechan dan buru-buru direbut kembali oleh Haechan dan disembunyikannya di belakang tubuhnya. Mana bisa ia membiarkan Mark memegang sepatunya, apalagi ada gumpalan kaos kaki di dalamnya.
"Bagus, sekarang masukkan sepatumu ke dalam tas dan pakai tasmu." Kata Mark.
"Eh?" tanya Haechan tak mengerti.
"Ikuti saja."
Meskipun tidak mengerti, Haechan menuruti perkataan Mark. Haechan memasukkan sepatu kanannya ke dalam tas, kemudian disandangnya tas ransel tersebut.
Haechan baru memasukkan lengan kirinya ke tali tasnya ketika ia merasakan tubuhnya diangkat. Ia menyadari bahwa Mark sedang berusaha menggendongnya. Haechan panik karena tidak mungkin Mark yang kurus itu bisa mengangkat tubuhnya yang semok.
"Sunbae, jangan!" seru Haechan panik dan berontak.
Mati-matian Mark berusaha mengangkat Haechan dan Haechan malah berontak di gendongannya, membuat Mark merasa tidak kuat untuk mengangkat Haechan yang semok itu. Namun Mark tetap berusaha untuk menggendong Haechan dan berjalan menuju mobilnya yang ia parkir di pinggir jalan.
Mark membuka pintu tempat duduk penumpang dan memasukkan Haechan dengan lembut ke dalam mobilnya. Kemudian ia berjalan cepat ke sisi sebelah dan memasuki kursi pengemudi.
"Nah, dimana rumahmu?" tanya Mark sambil menyalakan mesin mobilnya.
"Seharusnya sunbae tidak usah menggendongku. Aku ini.. berat." Kata Haechan malu.
Saking malunya, Haechan sampai menangis lagi. Mark yang melihat Haechan menangis pun jadi panik.
"Loh, kok menangis sih!" seru Mark panik sambil meraih kotak tisu di dashboard mobil dan menyodorkannya pada Haechan.
"Hiks.. Aku kan malu.. Aku ini berat dan sunbae menggendongku.." isak Haechan sambil meraih kotak tisu yang disodorkan oleh Mark.
Menyadari alasan Haechan menangis, Mark jadi tersenyum geli.
"Yah, harus kuakui kau memang sedikit berat –"
"Nah kaan.."
Belum sempat Mark menyelesaikan perkataannya, sudah dipotong oleh Haechan. Diikuti oleh aliran air mata pula, membuat Mark menyesal karena telah mengucapkan hal tersebut.
"Aku memang gendut, jadi kenapa tadi sunbae menggendongku? Badan sunbae kurus kering begitu, aku kan jadi kasihan." Kata Haechan sedih.
Perkataan Haechan itu membuat Mark menunduk menatap badannya sendiri.
"Aku tidak terlalu kurus kok.." katanya dalam hati.
Tersadar bahwa mesin mobilnya sudah menyala sejak tadi, Mark buru-buru menjalankan mobilnya.
"Rumahmu dimana, Haechan?" tanya Mark.
"Sunbae tahu Pine Apartment? Rumahku di sana." Jawab Haechan.
Setelah memberikan lokasi rumahnya pada Mark, Haechan menyadari sesuatu. Ia menyampingkan badannya, menghadap Mark.
"Rasanya aku belum memberitahukan namaku pada sunbae. Darimana sunbae tahu namaku?" tanya Haechan menyelidik.
Haechan menyipitkan matanya dan menatap Mark dengan tajam. Di satu sisi Mark merasa grogi ditatap seperti itu tapi di sisi lainnya ia ingin tertawa melihat ekspresi wajah Haechan, apalagi ditambah dengan sisa-sisa air mata di pipinya.
"Aku pernah mendengar namamu dipanggil oleh Jeno." Jawab Mark.
Haechan mengangguk-angguk mendengar jawaban Mark, dan kemudian kembali menghadapkan tubuhnya ke depan. Ia mempercayai jawaban Mark, karena meskipun Jeno adalah kakak kelasnya dan anggota tim sepakbola yang sama dengan Mark, Jeno juga merupakan kekasih dari sahabat sehidup semati Haechan, Renjun.
Sedangkan Mark mendesah lega karena ia memberikan jawaban yang masuk akal. Jawabannya itu tidak sepenuhnya bohong, karena memang benar ia pernah mendengar Jeno memanggil nama Haechan. Padahal saat itu Mark sudah tahu nama Haechan.
Tidak, Mark bukannya memiliki perasaan spesial kepada Haechan. Hanya saja, Mark merasa tertarik kepada Haechan. Terlalu dini untuk menyebut perasaannya itu sebagai perasaan suka atau sayang.
Semua bermula saat ulang tahun sekolah mereka tiga bulan yang lalu. Pada awalnya Mark memang tidak mengetahui siapa itu Haechan. Mark hanya melihatnya beberapa kali, itu pun Mark tidak pernah memperhatikannya dan tidak pernah repot mencari tahu siapa nama Haechan. Saat perayaan ulang tahun sekolah, diadakan acara donor darah. Mark ikut berpartisipasi dalam donor darah. Ia sedang minum susu setelah mendonorkan darahnya ketika ia mendengar suara tangisan.
Memang saat itu Haechan hanya menemani Renjun yang mendonorkan darahnya, tapi Haechan yang takut jarum suntik merasa sangat ketakutan melihat jarum yang digunakan untuk donor darah dan menangis keras karena tidak tega pada lengan Renjun yang harus ditusuk jarum sebesar itu.
Mark benar-benar geli saat itu. Biasanya orang yang takut jarum suntik akan menangis jika merekalah yang harus disuntik. Tapi kasus Haechan, dia malah menangisi orang lain.
Sejak saat itu, Mark mulai tertarik pada Haechan. Tapi dia diam saja, dia tidak berusaha untuk mendekati Haechan karena memang dia hanya sekedar tertarik. Dan sayangnya, perasaan tertarik itu belum berkembang menjadi perasaan yang lebih. Namun malam ini akhirnya untuk pertama kalinya ia berbicara dengan Haechan, siapa yang tahu jika nanti perasannya bisa berkembang?
"Nanti kalau sudah sampai, sunbae tidak perlu menggendongku lagi. Aku sudah mengirim pesan pada keluargaku, jadi biar mereka saja yang membantuku nanti." Kata Haechan.
Mark mengangguk-angguk mengerti. "Dengan kondisi kakimu yang seperti itu, sepertinya besok kau tidak akan masuk sekolah."
Haechan menunduk menatap kaki kanannya. Ia memekik karena kakinya semakin membengkak. Ditambah warnanya yang kebiruan, membuat kakinya terlihat menyedihkan.
"Ih... Jelek." Kata Haechan kesal melihat kondisi kakinya.
"Nanti dikompres ya kalau sudah di rumah. Pakai es." Saran Mark.
Haechan hanya mengangguk-angguk. Sudah pasti dia akan turuti saran dari Mark. Mark kan anak sepakbola, sudah pasti tahu banyak tentang cedera.
"Tapi besok aku harus ke sekolah, karena ada ulangan Matematika." Kata Haechan tiba-tiba.
"Dengan kakimu yang seperti itu?" Mark menaikkan satu alisnya.
Haechan merosot di kursinya. "Mau bagaimana lagi, daripada aku harus ujian susulan. Aku tidak terlalu pintar dalam hitungan, jadi kalau ulangan bersama teman kan setidanya aku bisa mencontek." Kata Haechan jujur.
Mark tertawa geli mendengar jawaban Haechan. "Kau berangkat sekolah juga naik bus?" tanya Mark lagi.
"Biasanya iya. Tapi kalau begini akan kusuruh kakakku untuk mengantarku ke sekolah besok."
"Lalu di sekolah? Berdiri saja kau tidak bisa."
Haechan mengangkat kedua bahunya. "Pakai kruk? Ada kruk di rumah, kakakku pernah patah tulang kakinya."
"Menurutku kau lebih baik istirahat di rumah." Saran Mark.
Haechan menggelengan kepalanya kuat-kuat. "Tidak. Pokoknya aku tidak mau ujian susulan sendirian. Nanti bisa-bisa aku dapat nilai 0." Keluhnya.
Mark baru akan menanggapi perkataan Haechan ketika disadarinya dia sudah mendekati Pine Apartment. Mark mengemudikan mobilnya memasuki area apartemen dan menghentikannya di depan lobi, dimana sudah ada seorang lelaki paruh baya dan seorang pemuda yang terlihat cemas.
"Ah, itu keluargaku." Kata Haechan ceria.
Mark keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Haechan. Tuan Lee langsung mendekati Haechan dan menggendongnya keluar dari mobil.
"Terimakasih ya, sudah mengantar Haechan pulang. Aku Taeyong, kakak Haechan." Kata Taeyong sambil tersenyum pada Mark.
Mark balas tersenyum dan membungkuk hormat. "Iya, sama-sama hyungnim." Balas Mark hormat.
"Hyung besok antarkan aku ke sekolah ya. Aku tidak bisa jalan." Kata Haechan dengan manja.
Mark dan Taeyong sama-sama menatap Haechan yang masih berada di gendongan Ayahnya.
"Tapi aku besok ada field trip dan harus berangkat pagi." Kata Taeyong bingung.
Haechan mengerang. Ayahnya sudah pasti tidak bisa mengantarnya karena setiap hari Ayahnya berangkat sangat pagi.
"Buat apa kau sekolah, lihat kakimu bengkak begitu. Sudah, kau di rumah saja." Kata Tuan Lee tegas.
Haechan merengek dalam gendongan Ayahnya. Diam-diam Mark tertawa geli melihat sikap manja Haechan pada Ayahnya.
"Sudah, ulangan susulan saja ya. Nanti aku akan membantumu belajar dan aku akan pastikan kau tidak akan dapat nilai 0. Jangan meremehkanku ya, aku ini jago hitungan. Oke?" tawar Mark.
"Sunbae!" seru Haechan kaget.
"Aku pulang dulu ya, besok sepulang sekolah aku mampir kesini untuk membantumu belajar. Tidak ada penolakan ya?" kata Mark sambil mengedipkan satu matanya.
Haechan hampir pingsan melihat kedipan mata Mark yang ditujukan untuknya. Belum sempat ia membalas Mark, Mark telah terlebih dahulu berpamitan pada Ayah dan kakaknya. Setelah itu ia langsung masuk ke dalam mobilnya, tidak membiarkan Haechan memberikan penolakan.
"Anak itu, dia naksir kau ya?" tanya Ayah Haechan sembari berjalan masuk ke dalam gedung apartemen.
"Ayah!" seru Haechan malu.
Namun sebenarnya yang dirasakan Haechan berbeda. Selama ini ia hanya melihat Mark dari jauh, hanya melihat sosok Mark yang populer. Ternyata jika dari dekat, Mark baik juga orangnya. Mark bahkan tidak sungkan untuk menggendong Haechan, padahal Haechan yakin pasti dia lebih berat daripada Mark.
"Jadikan saja dia kekasihmu, baik juga dia. Pasti tadi dia menggendongmu kan? Hebat sekali, kurus kering begitu tapi bisa menggendongmu." Celetuk Taeyong.
"HYUNG!"
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
A/N :
Fanfic yang tercipta karena kegabutan, dan juga fanfic pertamaku dengan cast NCT~
Aku gak tau mau kasih judul apa jadi ngasal aja, maafkan ya :"
So, would you mind to review?
