My Heart Desire

Warning : Boy's Love, No Voldemort, Typo's

Summary : 'Aku yakin hal ini harus terjadi. Entah dimana. Draco pasti akan menciumnya karena dia telah menulisnya.'

Harry Potter

JK. Rowling

My Heart Desire

Fal Arsh


Seorang pemuda berambut hitam berantakan berjalan melewati pintu masuk aula besar dan berniat mengistirahatkan tubuh serta pikirannya di bawah naungan sebuah pohon besar di pinggir danau hitam. Istirahat makan siang masih akan berakhir sekitar tiga puluh menit lagi.

"Auuch.." Harry, nama pemuda tersebut, mengaduh ketika sebuah benda yang lumayan berat menimpa kepalanya.

Sembari mengusap kepalanya, dengan kesal dia menatap ke atas dan yang dilihatnya hanyalah langit biru tanpa awan yang cerah. Dengan sedikit mendengus Harry berjongkok untuk melihat benda nista yang telah menimpa kepalanya yang berharga, dan yang dilihatnya hanyalah sebuah note muggle bersampul biru gelap dengan ukiran berwarna gelap disekelilingnya yang tak bisa dia identifikasi warnanya.

Sedikit penarasan, dengan berusaha menelan rasa kesal karena tertimpa buku tersebut, Harry membuka buku tersebut dan yang ditemukannya hanyalah kertas putih yang polos. Ketika Harry memeriksa hingga nyaris keseluruhan buku tersebut, dia hanyalah melihat lembar demi lembar kertas putih yang kosong tanpa garis. Sama persis dengan halaman pertamanya.

'Apa ini benda sihir? Apa ini benda hitam?'

Tanpa berniat menghilangkan rasa penasaran dan curiga pada buku temuannya, pemuda berambut berantakan itu menyimpan buku temuannya tersebut pada kantung jubah sebelah kirinya yang sudah diberi mantra peluas. Pemuda tersebut sedikit melirik lengan kirinya dan bernafas lega karena istirahat makan siangnya masih lumayan lama, dan melanjutkan langkahnya menuju pinggir danau hitam.

Harry menahan nafasnya ketika melihat pemandangan di bawah sebuah pohon besar tujuannya. Seorang pemuda berambut pirang dengan kulit sedikit pucat dan berdagu runcing, jubahnya tersampir pada bahunya yang bidang, sedang menyandarkan tubuhnya yang terduduk santai dengan salah satu kaki tertekuk dan sebelah tangan diatas lututnya. Begitu sempurna, begitu tanggapan pemuda berambut hitam berantakan yang masih terpaku pada pemandangan dihadapannya.

Pemuda pirang itu menoleh dengan sangat mempesonanya, dan rambutnya sedikit berkibar tertiup oleh angin lembut.

"What are you looking at?" Ketika Harry tersadar, dia mendapati pemuda berambut pirang dihadapannya menatap dirinya dengan sangat tajam. Dia tersentak.

"This place aren't yours, right?" Dia berusaha untuk terdengar cuek. "Tempat ini sudah biasa kudatangi."

Setelah Harry berkata seperti itu, Draco, nama pemuda pirang itu, menegakkan dirinya dan memakai jubahnya lalu meninggalkan tempat tersebut. Pemuda yang masih terpaku ditempatnya hanya bisa mendengus kesal dan menghempaskan dirinya di bawah naungan pohon rindang yang sudah menjadi tujuannya sedari tadi. Pohon tempat bernaung yang paling nyaman, menurutnya, di Hogwarts.

'Mengapa kami tidak bisa akrab, sedikit saja.'

Dengan sedikit kesal, dia merogoh saku kirinya dan mengambil sebuah buku bersampul biru gelap yang baru saja ditemukannya dan berniat untuk melampiaskan kekesalannya pada buku tersebut. Pemuda berambut berantakan itu kembali merogoh saku kirinya dan menemukan sebuah bolpoin bertinta merah. Sebuah benda muggle yang sangat berguna ketika tak ingin direpotkan dengan pena bulu dan tinta yang akan sangat mudah menetes. Benda muggle yang dia temukan di lemari meja kerja ibunya.

Dengan ragu-ragu dia mulai meletakkan tangannya diatas lembaran putih mulus benda tersebut, tanpa benar-benar mulai untuk menulis.

'Bolehkah aku menulis disini? Bukan benda hitam kan?'

Mencoba menepis rasa ragu-ragunya, Harry mulai menggoreskan bolpoinnya pada lembaran pertama buku tersebut.


Hai. Aku Harry Potter. -Berhenti sejenak-

Aku menemukanmu di atas rerumputan ketika dengan brutalnya kau menghantam belakang kepalaku dengan keras. Aku tak tau apakah akan ada efeknya atau tidak jika aku menulisimu, tetapi aku hanya ingin melampiaskan kekesalanku. You know? Aku memiliki seseorang yang sangatlah kukagumi, seseorang yang sangatlah tampan dan anggun. Oke, I know his a boy. Tetapi dia sangatlah anggun sekaligus keren.

Setiap kami bertemu, kami tidak pernah bisa bertegur sapa dengan normal. Aku tak tahu alasannya, tetapi sepertinya dia membenciku dan sangat berusaha untuk menghindariku. Apakah hanya karena perbedaan asrama kami? Apakah hanya karena aku dengan tak sengaja pernah menumpahkan ramuan kami ketika kami dalam satu kelompok sehingga kami sama-sama tak mendapatkan nilai ramuan?

Entahlah, aku hanya berharap dia bisa lebih menerimaku. Aku hanya berharap seorang Draco Malfoy mau bertegur sapa denganku. Aku sangatlah mengharapkan agar dia bisa melihatku seperti dia melihat teman-teman seasramanya yang lain. Aku ingin dia bisa duduk bersisian denganku dengan tenang.

Apakah aku terdengar seperti seorang gadis yang jatuh cinta? Ah.. entahlah, mungkin aku memang sedang jatuh cinta. Haha... Tetapi ingin kutekankan... Aku seorang laki-laki bukan gadis.


Pemuda berambut hitam yang baru saja menyimpan kembali bolpoinnya menatap kata demi kata yang baru saja selesai ditulisnya. Keningnya sedikit berkerut menyadari apa saja yang baru saja dia goreskan di atas kertas yang sudah tidak polos itu. Dia? Jatuh Cinta? Pada Malfoy? Holly shit! Apa yang baru saja dia pikirkan?

Dengan sentakan keras pemuda bermata emerald itu menutup buku yang sudah dia klaim sebagai jurnalnya dan menyimpannya di dalam saku kirinya. Lirikan malasnya bermuara pada lengan kirinya dan matanya sedikit melebar ketika menyadari jam istirahatnya sudah nyaris berakhir.

Pemuda berkaca mata bundar asal Gryffindor itu segera berdiri dan beranjak menuju kelas Defense Agains Dark Arts yang di ajar oleh seorang teman baik ayahnya, Remus Lupin. Berada ditahun kelima membuat dirinya mengerti bahwa guru ramahnya yang satu itu akan kehilangan keramahannya ketika mendapati siswa/i yang terlambat memasuki kelasnya.

Sedikit terengah, pemuda berkaca mata itu menatap keseluruhan kelas dan bernafas lega ketika mendapati tempat guru di depan kelas masih belum berpenghuni. Kembali Harry menelaah keseluruhan kelas dan nafasnya kembali tercekat ketika mendapati satu-satunya tempat kosong hanyalah di samping pemuda pirang yang baru saja ditemuinya kurang dari setengah jam yang lalu di pinggir danau hitam.

Perlahan dia menghampiri tempat tersebut dan berniat menyapa pemuda pirang tersebut, sebelum...

"Hai, Harry. Mencari tempat untuk duduk?" Tanya pemuda pirang tersebut sembari sedikit menarik sudut bibir kanannya.

"Err, yeah tentu Malfoy." Dengan canggung Harry mendudukkan dirinya di sebelah Draco dan merogoh saku kirinya untuk mencari secarik perkamen. Tanpa sengaja tangannya menyentuh sebuah buku dan dia teringat akan apa yang ditulisnya tadi.

'Aku hanya berharap dia bisa lebih menerimaku. Aku hanya berharap seorang Draco Malfoy mau bertegur sapa denganku.'

'Dia baru saja menawarkan tempat untukk duduk disebelahnya, meskipun secara tak langsung. Bukankah itu artinya dia menerima kehadiranku? Dan dia baru saja menyapaku, dan memanggilku Harry! Oh God Shake! What that book could do?'

Tanpa dia sadari matanya sedikit melebar.

"Kau baik-baik saja? Wajahmu sedikit pucat." Draco memandangnya, tajam.

"Uhm, yeah."

"Itu 'yeah' untuk 'baik-baik saja' atau 'tidak baik-baik saja'?"

"Err, aku baik-baik saja." Aku tersenyum dengan sedikit dipaksakan, canggung.

Sepanjang pelajaran Harry tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran kesukaannya yang sedang mempelajari tentang banshee. Yang ada dikepalanya hanyalah buku misterius penemuannya dan Draco yang duduk dengan sangatlah tenang disisinya. Dalam buku tersebut Harry juga telah menyebutkan bahwa dia ingin pemuda berkulit pucat itu dapat duduk dengan tenang disisinya. Tetapi pemuda berkaca mata bundar itu tak pernah membayangkan bahwa hal tersebut dapat benar-benar terjadi. Tepat setelah dia menuliskannya.

Kebetulan sepanjang sore ini Harry tak memiliki jadwal pelajaran yang lain. Maka, setelah berkhirnya pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam yang, tumbennya, serasa bagai selamanya bagi Harry dia segera melangkahkan kakinya menuju menara Gryffindor.

"Hey! Harry!" Suara yang sangatlah familier baginya serasa menyapa gendang telinganya. Dengan malas dia menolehkan kepalanya ke arah asal suara.

"Ya, ada apa 'Mione?"

"Dari mana saja kau?" Seorang gadis berambut coklat bergelombang menjitak kepalanya dengan beringas.

"Auch, that's definetly hurt 'Mione." Dia mengusap kepalanya yang entah mengapa hari ini bernasib sangatlah malang.

"Kutanya, dari mana saja kau?" Hermione menatapnya galak dengan kedua tangannya disilangkan di depan dadanya.

"Err, dari kelas?" Harry menatapnya dengan pandangan tidak mengerti.

"Sebelum itu, maksudku." Gadis bermata coklat itu terdengar sangatlah tidak sabaran.

"Maaf 'Mione, tetapi aku dalam keadaan sedang terburu-buru. Bye 'Mione." Pemuda berirish hijau emerald itupun segera meninggalkan salah satu sahabatnya yang mengernyit karena kebingungan dan melanjutkan langkahnya menuju kamar di asramanya yang terletak pada menara paling tinggi di Hogwarts.

"Green Aspire." Pemuda yang masih menggenggam sebuah buku misterius itu menggumamkan kata sandi guna memasuki ruang rekreasi asramanya. Tanpa memperhatikan sekelilingnya, Harry segera memanjat tangga menuju kamar anak laki-laki dan memasuki kamarnya.

Segera setelah dia meletakkan buku misteriusnya di atas bantal dia merapalkan beberapa mantra anti-gangguan serta silencio.

Setelah merasa aman, Harry membuka sebuah halaman yang diyakininya sudah dia tulisi tadi saat dia berada di pinggir danau hitam. Tetapi yang ditemukannya hanyalah sebuah ketas kosong. Bukan kertas kosong berwarna putih polos seperti sebelumnya, melainkan sebuah kertas kosong berwarna merah pekat. Warna merah yang sama dengan warna tinta bolpoin yang dia gunakan.

Dengan rasa heran yang besar dan rasa ingin tahu yang sama-sama besar, pemuda Gryffindor itu mengeluarkan bolpoin yang identik dengan yang sebelumnya dia gunakan. Kali ini dengan tinta berwarna biru dengan sedikit kerlap-kerlip pada tintanya.

Sedikit ragu-ragu, dia mulai menuliskan kata demi kata dengan sedikit canggung dan wajah yang mulai merona. Tak perlu menunggu terlalu lama hingga satu halaman lagi telah selesai ditulisinya.

"Apakah ini akan terjadi?" Pemuda berambut hitam berantakan itu sedikit bergumam.

"Apa yang akan terjadi?" Suara seseorang yang sedikit familiar di telinganya. Ketika dia menoleh, dia menemukan seorang pemuda mengenakan seragam jubah yang sama dengan dirinya dan berambut sangat merah.

"Tidak ada, Ron." Harry membalikkan tubuhnya yang sedari tadi tertelungkup dan menyimpan bukunya pada bawah bantalnya.

"Apa itu tadi? Yang baru saja kau sembunyikan." Ron, nama pemuda itu, memicing pada teman sekamarnya dengan curiga.

"Sudah kukatakan, tidak ada." Harry menghela nafasnya sejenak.

Ron melemparkan pandangan 'kau gila' pada Harry dan menaiki ranjangnya sendiri. Terlihat dari tempatnya bahwa pemuda berambut merah itu mengeluarkan sebuah buku kuno yang aneh dan membukanya. Merasa bahwa itu bukan urusannya, Harry melangkahkan kakinya keluar setelah sebelumnya memasang sebuah mantra yang dianggapnya kuat pada sekitar bantalnya.


Harry melangkahkan kakinya memasuki sebuah ruang kelas yang tak terpakai, di lantai atas salah satu menara di Hogwarts. Menunggu.

'Akan kubuktikan'

Pemuda berambut hitam berantakan itu menerawang pada sebuah titik dibawahnya, pemuda berambut pirang platinum yang menawan. Sedikit melirik arlojinya, dia mendesah frustasi.

'Apa yang kulakukan.'

Mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan, dia kembali melirik pada titik dibawahnya. Seseorang yang sedang memainkan tongkat Hawtornnya melayangkan sebuah benda yang disangkanya sebagai sebuah benda bulat.

Bagai gerakan lambat bisa pemuda itu perhatikan bahwa titik yang sedari tadi diperhatikannya mulai beranjak dan menghempaskan jubahnya pada pundaknya.

'Just wait.'


Harry sudah hendak beranjak ketika matanya menangkap bahwa pintu pada ruangan yang ditempatinya terhempas terbuka. Matanya membulat sempurna menyadari bahwa yang membuka pintu ruangan tersebut adalah pemuda yang baru saja dia perhatikan.

Mereka berdua sama-sama terpaku pada tempatnya, menatap mata satu sama yang lain dengan intens. Sedikit menikmati keheningan yang tercipta dan getaran pada tubuhnya, Harry dengan terpaksa memutuskan kontak mata mereka dengan memalingkan wajahnya guna menyembunyikan wajahnya yang merona. Mengingat kembali apa yang telah ditulisnya.

Menghela nafas, Harry berniat untuk beranjak menuju menara asramanya tanpa menatap pemuda pirang platinum dihadapannya. Dengan sedikit terburu-buru dia melewati satu-satunya pintu pada ruangan tersebut ketika merasakan tangannya digenggam oleh sebuah tangan lain yang dingin, dan dia menyadari perutnya sedikit bergejolak, nyaman.

'Dimenara itu, dia menggenggam tangan seorang pemuda lainnya dengan lembut.'

Tanpa sadar, mata pemuda berkaca mata itu kembali membulat.

"Temani aku, sebentar saja." Sebuah suara yang sering diimpikannya itu menyapa gendang telinganya dengan lembut. Seolah membelainya.

Pemuda berambut berantakan itu hanya bisa terdiam membisu, membiarkan pemuda yang menggenggam tangannya untuk menarik dirinya kearah jendela ruangan tersebut dan saling duduk bersandar.

"Uhm.. Draco?" Harry sedikit bergumam, canggung.

"Yes?" Draco sedikit mengangkat alisnya menatap kearah pemuda yang memanggilnya.

Hening.

Harry menghela nafasnya lelah, menatap kearah halaman kastil yang terhampar indah di hadapannya.

Dirasakannya seseorang memperhatikan dirinya dan diapun menoleh, menatap pada sepasang abu-abu indah pada fokusnya. Hijau emeraldnya sedikit bergerak-gerak gelisah menyadari sosok dihadapannya mendekat padanya.

"Sorry" Harry menggumam sebelum dia beranjak dengan sedikit berlari dari tempat itu.

Draco hanya bisa menatap kepergiannya dengan nanar.


"What have I done!" Harry berteriak frustasi ketika dia melangkahkan kakinya kedalam kamarnya yang sedang kosong.

Sedikit kasar dia mengayunkan tongkatnya kearah bantalnya dan menarik keluar sebuah buku bersampul biru gelap. Dibukanya halaman yang terakhir kali ditulisinya. Kali ini tak seperti sebelumnya, halaman yang dilihatnya masih sama seperti yang terakhir kali ditulisinya. Matanya menari dari satu kata ke kata lainnya.

Aku, Harry Potter, ketika sedang bersantai pada salah satu menara di kastil ini, menatap kearah halaman dibawahnya. Di halaman tersebut dia memperhatikan satu titik yang merupakan idaman hatinya, Draco Malfoy.

Tak beberapa lama kemudia ketika hendak keluar dari ruangan tersebut, dia muncul dengan menghempaskan pintu ruangan tersebut. Dimenara itu, dia menggenggam tangan seorang pemuda lainnya dengan lembut.

Dua pemuda berbeda asrama itu akhirnya saling terdiam dalam tenang, sebelum salah seorang pemuda berambut pirang menarik pemuda lainnya… Dan menciumnya dalam rengkuhannya.

'Ini yang menyebabkan halamam ini tak berubah.' Harry menggaruk kepalanya frustasi sebari kembali membaca kalimat terakhir yang ditulisnya.

'Aku yakin hal ini harus terjadi. Entah dimana. Draco pasti akan menciumnya karena dia telah menulisnya.'

Satu hal yang disesalkannya, Draco pasti menciumnya hanya karena dia menuliskannya. Harry yakin bahwa bukan hal itu yang diinginkannya, meskipun dia sangat ingin merasakan bibir lembut yang selalu terbawa dalam mimpi-mimpinya. Dialah yang seharusnya mencium pemuda Malfoy itu.


Terinspirasi dari DN

-Arshley-