Tugas akhir.
Sehun/Kai | parody, romance, age gap | T rated | twoshot.
Presented by Septaaa
I do own nothing but story and ideas!
Warning: Non-betaed, possibly typo, and dude, don't like don't read ya.
Mini note: based on true story.
.
.
"Ayolah Jongin, dua tahun sudah aku mengajakmu keluar, masa iya kau masih menolak juga." Jongin terus saja berjalan sepanjang koridor fakultasnya—yang kebetulan sepi karena sudah begitu larut—tanpa menghiraukan celotehan pemuda yang mengikutinya. "Jangan sampe aku menculikmu, kau tahu." langkahnya terhenti, urat siku-siku imajiner sudah muncul di dahinya pun ia berbalik, ditatapnya sosok yang lebih tinggi darinya itu.
"Seriously, Sir..." mengesah, tangannya ia silangkan, wajahnya menengadah menantang. "Sampai saya lulus dari fakultas ini pun jawaban saya masih tetap sama..." jeda, "Tidak." Jongin kembali berpaling muka dan memasuki lift untuk turun dimana mobilnya terparkir. "Dan tidak akan pernah." sebelum lift itu menutup, meninggalkan seorang Oh Sehun dengan raut muka mengeras.
Kalau di pikir-pikir lagi, di tahun pertama dan kedua hidupnya di kampus ini nyaman-nyaman saja tidak seperti sekarang. Tidak sampai di tahun ketiga semester lima ia bertemu dengan Oh Sehun—dosen sialan yang gemar menggodanya—sejak impersi pertama, Jongin sudah tahu jika ia akan membenci perawakannya. Bukan karena mereka saling kenal dulunya, Jongin hanya tahu dari beberapa mulut yang menggemborkan dosen muda (yang katanya) dan tampan ini dari para mahasiswi pun mahasiswa.
Temu pandang mereka dimulai ketika Jongin mengambil mata kuliah statistik terapan dengan dosen pengampu Oh Sehun, maunya sih dia memilih ikut kelas lain saja dengan dosen pengampu yang berbeda tapi sialnya semua jadwal dari kelas lain pada mata kuliah itu bentrok dengan jadwal aslinya. Jongin tahu dewi fortuna tengah bermain-main dengannya di sini. Belum cukup itu saja, dirinya yang straight (sangat lurus) bisa-bisanya di kejar-kejar homo level tinggi semacam Oh Sehun.
Hidupnya selama ini tidak memiliki kendatan. Keluarga kaya dan disegani banyak orang, terpandang dan benar-benar menjunjung moral serta etika masyakat maupun agama. Dianugerahi wajah tampan badan proposional. Kehidupan cinta tidak pernah ada hambatan, selalu mendapat gadis cantik dan baik-baik. Sampai pada akhirnya saat makan malam bersama keluarga ia mengutarakan keresahannya pada Ibunya, "Ma..." makan malam berlangsung khikmat dengan denting sendok bersahutan, "Ada dosen yang suka sama aku." aktifitas mereka berhenti, sang ibu menatapnya.
"Oh ya? bagus dong." Ibunya kembali menuangkan sup kedalam piring, "Bisa jadi nanti kamu cepat wisuda dan siapa tahu kamu juga bisa jadi dosen oleh bantua-"
Sela, "Tapi ma..." Jongin menatap adik perempuannya sebelum kembali menatap ibunya. "Dia laki-laki..." uhuk—itu suara tersedak dari adiknya ngomong-ngomong, sedang sang ibu hanya diam saja. Entah kenapa atmosfir tenang malam itu mendadak menjadi canggung.
"Hmm... yasudah kalau begitu tolak saja baik-baik." ibunya meneruskan makan, hening tak ada yang bicara lagi, pun sang ayah yang sedari tadi mencuri dengar tidak ada niatan untuk menanggapi. Jongin tahu harusnya ia tidak membicarakan hal yang dianggap tabu—seperti melenceng norma ini—di saat makan malam keluarga.
.
Ungkapan jujur itu terjadi satu setengah tahun yang lalu, Jongin berani bertaruh orang tuanya sudah lupa. Karena hampir setengah tahun ini, setiap makan malam keluarga, ibunya hanya menanyakan satu kalimat secara infinite. Kalimat yang benar-benar sakral semacam, "Sudah waktunya tugas akhir 'kan?" atau "Sudah skripsi 'kan?" dan yang paling parah, "Kapan wisuda?" Lalu petir imajiner menyambar sebagai latar belakang pertanyaan-pertanyaan sang ibu. Dan jika sudah seperti itu maka ia hanya bisa kicep sambil jawab, "Semua butuh proses, ma..." walau dalam hati ia ingin berteriak 'Bagaimana mau cepat wisuda kalau dosbingnya saja sebajingan dia?!'
Benar, dosen pembimbing. Padahal ia sudah memilih dosennya sebelum daftar tugas akhir agar bimbingan makin lancar, bersemangat tiap kali menatap sang dosen yang cantik. Tapi nyatanya apa? Dewi fortuna masih betah main-main dengannya sampai waktu satu minggu pengumuman dosbing setiap mahasiswa muncul di ruang sekretariat dan ia terkena serangan jantung secara tiba-tiba. Yang tadinya berharap dosen cantik, seksi, nan muda malah dapatnya batangan, bujang, homo lagi—kan kampret.
Jongin yakin pasti si Oh fucking Sehun yang memanipulasi daftar dosen bimbingan ini. Iya. Pasti dia. Jongin merapal kutukan kala itu sepanjang menuju ruang bimbingan, 'mati kau Oh Sehun. matimatimati.' dan disambut cengiran menyebalkan dari dosen tengik itu ketika ia memasuki ruangan. Pertemuan pertama hanya pengenalan dan sesi curhat. Jongin yakin, lagi, bahwa Sehun memang sengaja membuatnya ada di urutan paling belakang, alibi tidak menggunakan nomor pin mahasiswa.
"Nah, Kim Jongin..." posisi saling berhadapan dengan tandang aling meja berukuran sedang, "Suatu kebetulan yang menyenangkan, bukan?" Sehun menyangga tangan di meja dengan seringai kecil di balik senyumnya.
"Kebetulan apanya!" Jongin mencibir, "Saya tahu perbuatan anda, Sir..." yang hanya dibalas kekehan pelan oleh Sehun. "Jujur, saya tidak ingin curhat apa-apa masalah tugas akhir ini Sir. Jadi langsung saja."
"Heh..." Sehun bersandar pada kursinya, "As expected of you, huh." Sebelum kembali menyangga tangan di meja, "Baiklah. Apa topiknya?" Jongin mulai menjelaskan, dalam konteks ini kalau pun topiknya tidak diterima, ia masih memiliki banyak topik alternatif dibelakang.
"Menakjubkan." Sengaja jeda, "Topikmu membosankan, Kim." badannya makin condong kedepan, "Bagaimana kalau topiknya diganti saja dengan..." Jongin sempat menggelak air liurnya di sini karena wajah Sehun yang semakin dekat. "Cara membuat Kim Jongin menjadi Oh Jongin." seringai, "...dengan begitu aku sangat terbantu dan topikmu akan langsung aku terima."
Cepat-cepat Jongin berdiri dengan reflek menggebrak meja. "Mati sana." kepalan tangannya mengerat, "Saya pulang saja!"
.
Lucu jika mengingat bimbingan pertama kala itu. Jongin masih tidak mengerti dan tidak ingin terlalu memikirkannya karena percaya atau tidak (walau ia masih menolak untuk percaya) perlahan Jongin sudah terbiasa dengan sikap congak dosen tengik itu. Atau kalau ia tidak bisa menyebut dirinya sudah bebal. Mungkin karena waktu, 6 bulan sudah ia hanya dipermainkan Oh Sehun dengan naskah cerita si mahasiswa semester akhir dan juga sang dosen pembimbing. Jadwal yang tidak bisa lagi disebut normal saat kau dimintai datang ke rumah dosenmu pukul sembilan malam. Hanya dengan alibi yang lagi-lagi, "Aku terlalu sibuk Jongin, bimbingannya nanti malam saja. Datang ke rumahku pukul sembilan." Dan kau akan menemukan dosenmu dengan setelan kasual jika itu masih bisa dianggap layak, karena terkadang kau akan menemukan ia hanya memakai piyama. Pada saat itu pula Jongin ingin berteriak, 'Perasaan mahasiswa lain yang bimbingan sama kamu gak gini-gini amat deh!' hanya dalam hati tapi, apa daya jika tata krama dan etika berkunjung masih melekat pada dirinya.
Termasuk sekarang ini, karena belum juga menemukan tinjauan pustaka pada salah satu bab di topiknya ia terpaksa menurunkan sedikit harga dirinya untuk menanyakan perihal itu pada Sehun. Pukul enam sore ia bertanya, dan dijawab pukul delapan malam dengan pesan teks —Ya, aku punya bukunya. Kemari— segera Jongin bergegas untuk menemui dosbingnya itu. Tepat ketika mobilnya berhenti di depan rumah Sehun, ia masih saja dibuat kagum dengan interior pun gaya rumah dosen muda ini. Kalau di pikir lagi, hidup seperti Sehun memang idaman kawala pewaris muda. Maksudnya, diumurnya yang belum genap menginjak kepala tiga ia sudah memiliki kerja tetap, rumah sendiri, tampan, kaya, berpendidikan tinggi, jenius lagi—pasti mudah kalau mencari pendamping hidup. Para gadis dari berbagai kalangan akan senang hati menawarkan diri. Yah, tapi itu hanya pemikiran Jongin yang sebelum sadar bahwa—sayangnya—seorang Oh Sehun melenceng. Jongin hanya nyengir saja saat itu entah ia harus simpatik pada siapa di sini.
"Kenapa hanya berdiri di situ Jongin?" Pintu yang belum sempat ia ketuk sudah terbuka, "Ayo masuk." Jongin mengikuti langkah Sehun, menuju ke tempat biasanya—ruang kerja Sehun. Jongin refleks duduk di kursi kerja Sehun—seolah kursi itu memang sudah tersedia untuknya jika datang kemari—dan Sehun menarik kursi lainnya untuk duduk di samping Jongin setelah ia menemukan buku untuk mahasiswanya itu.
Jongin membuka bukunya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. "Thanks Sir.." menularkan senyum kepada Sehun yang menyangga tangan di meja dengan sorot mata menghadapnya.
"Sama-sama, kau boleh mempelajarinya di sini." Entah dorongan dari mana tapi Jongin tidak menepis tangan Sehun yang mengacak rambutnya. "Tanyakan saja kalau ada yang masih bingung." dengan balasan anggukan yang (menurut Sehun) lucu dari Jongin.
Dua puluh menit, dua puluh lima, Jongin masih khusyuk memahami materi sebelum ia sadar tangan Sehun yang sedari tadi bermain di tengkuknya. Dan apa-apaan posisi ini! Sehun terlalu dekat. Sampai-sampai ia dapat merasakan hembusan napas hangat sang dosen. Tangan Jongin lebih dulu mendorong kepala Sehun sebelum bibir itu mendarat di tengkuk lehernya. "Sir, tolong saya butuh konsentrasi."
"Tapi aku bosan Jongin, sedari tadi kau diam saja."
"Itu karena belum ada yang ingin saya tanyakan Sir!"
"Kalau begitu hiraukan saja." Jongin mengeryitkan dahinya, "Aku hanya ingin lihat selurus apa dirimu..." jeda sebentar Sehun gunakan untuk mempermainkan rambut belakang Jongin, "...karena tubuh lebih jujur dari pada bibir pedasmu itu."
Mengesah, jengah, Jongin kembali memutuskan untuk fokus pada bukunya. "Terserahlah." dengan balasan seringai lebar dari sang dosen.
Seolah sudah diberi izin untuk menyentuh, tanpa keraguan lagi, Sehun kembali mendekatkan kepalanya ke tengkuk Jongin. Ia benamkan mukanya di sana, dihirupnya sekedar mengingat wangi feromon tubuh mahasiswanya itu, yang memabukkan. Ia tahu bagaimana memancing hormon pemuda seumuran Jongin yang lurus. Ia tahu ia tidak seharusnya buru-buru, ia tahu bahwa ia harus pelan, mendalami permainan hanya untuk mengajak sang penerima bermain. Cukup lama Sehun membenamkan muka di tengkuk mahasiswanya, tangannya yang semula ada di belakang tengkuk Jongin kini bergerak memijit pelan. Gerakan mencium ia bubuhkan di leher Jongin hingga turun di pundaknya, naik lagi sampai ke bawah telinga mahasiswanya.
Susah payah Jongin memfokuskan diri pada materi. Inginnya abai tapi hembusan napas Sehun secara tidak sengaja membuatnya mengerang. Sampai memunculkan seringaian lebar dari sang lawan. "See? tubuhmu lebih jujur jika seperti ini." mengerang. lagi, Sehun menggigit kecil ujung telinganya. "Heh, sepertinya aku menemukan salah satu titik sensitifmu." bisiknya pelan, sengaja ia meniup telinga Jongin untuk mengantar getar hormon mereka berdua.
"Sir... please.." desisnya pelan membutuhkan fokusnya kembali, "Please, don't do it."
"Aku tidak mendengarnya Jongin," cumbuan itu makin berani, mengulum pelan ujung telinga mahasiswanya. "Kau seperti memohon, please do it, Sir, di telingaku, kau tahu." Ia gigit keras telinga itu dan Jongin mengerang, sekali lagi.
Jongin menggenggam erat buku yang dipegangnya sebelum ia letakan di meja, tubuhnya mendadak lemas. Seolah tulang yang selama ini biasa mengangkat barbel tidak kuat lagi hanya dengan mengangkat buku seberat 11 kg itu. Tubuhnya ia sandarkan di meja, kepalanya terbenam di tumpuan tangannya. Dengan posisi seperti ini memudahkan Sehun untuk memeluknya. "Saya ingin pulang, Sir..."
"Silahkan Kim, kau bisa pulang sedari tadi." Pelukannya merenggang, "Tapi kau tidak bisa 'kan? Kenapa?" ia berbisik, "Karena tubuh sudah mengendalikanmu dari pada akalmu." kekehan pelan, "Kau lemah dibawah kendaliku."
Memang benar, walau pun sedari tadi otaknya menghujat. Tapi tubuhnya menentang melawan, kakinya lumpuh sudah. Dan ia berdoa agar ada sesuatu yang mengembalikan akal sehatnya, sepenuhnya. Seperti dering ponsel mungkin yang—benar. Dering ponselnya sedari tadi sudah megalun, bagaimana ia tidak sadar! ia berusaha mengambil ponselnya itu dari saku celana. Satu panggilan tak terjawab, dari ibunya. Dan satu pesan dari adiknya yang berisi, —Kak, pulang cepat dong ini sudah ditunggu anak-anak—sontak ia berdiri, membuat kerutan tak suka terpatri di wajah sang dosen. Cepat ia membereskan materinya, menatap jam dinding yang sudah hampir sepuluh malam.
"Maafkan saya, Sir. Tapi orang rumah menyuruh cepat pulang karena ada masalah serius dirumah. Saya meminjam buku anda dulu, Sir." Jongin beranjak keluar, tapi tangannya dicegah saat ia membuka pintu keluar rumah sang dosen, ia berbalik dan tertegun. Raut muka mengeras tadi melunak tergantikan mimik khawatir yang ditunjukan sang dosen.
"Masalah serius? kau tak apa-apa?" tahu-tahu senyumnya mengembang sendiri dan tangannya ia letakan di atas tangan Sehun yang mengerat dilengannya.
"Tidak apa-apa, Sir. Saya pamit."
Setelahnya ia bernapas lega sesaat setelah memasuki mobilnya. Apa-apaan sih yang terjadi pada tubuhnya malam ini! Bisa-bisanya ia pasrah dibawah kendali dosen tengik itu. Ia butuh distraksi. Ya, dan ingatkan ia untuk berterima kasih pada adiknya karena sudah membawa sepupu kecil mereka yang dari Busan. Sepertinya bermain game dengan anak-anak akan menghilangkan sedikit stres yang membebaninya.
.
Lima hari sudah kejadian itu berselang dan Jongin belum lagi bertemu dengan Sehun. Ia cukup memahami kalau dosen muda itu sedang sibuk-sibuknya mengurus akreditasi. Tapi walau pun begitu, dulu, sesibuk apa pun Sehun pasti ada waktu untuk menjahilinya, walau hanya lewat pesan teks. Tapi kali ini tidak ada sama sekali, Oh Sehun—dosen tengik yang suka menggodanya—tidak ada kabar selama lima hari. Well, bukannya ia rindu atau apa sih. Ia hanya ingin mengembalikan buku yang dipinjam sekaligus menanyakan beberapa materi pada bab selanjutnya. Jadi lagi-lagi, ia yang mengirim pesan lebih dulu pada Sehun. Mau bagaimana lagi 'kan? kalau ia gengsi terus tugas akhirnya tidak akan selesai-selesai.
—Ya Jongin, kau bisa ke rumahku besok sabtu malam pukul sembilan—
Jongin mengesah membaca balasan Sehun. Biasanya Sehun 'kan langsung menyuruhnya datang hari itu juga. Tapi ini, sabtu malam? dua hari lagi dong. Sesibuk apa sih dia itu?
Jongin memutuskan untuk tidak memikirkannya dan melanjutkan pengetikan materinya.
.
Hingga sabtu malam itu tiba, pukul delapan tiga puluh Jongin sudah berdiri di depan pintu rumah Sehun. Ia ingin mengetuk pintu itu lagi setelah berkali-kali tak ada sahutan, tapi ia urung karena saat ia mencoba membuka pelan pintunya, terbuka. Dan Jongin merutuk tentang betapa ceroboh dosennya itu. Ia masuk dengan langkah pelan sampai berhenti di depan sofa, dimana Sehun tertidur dengan masih mengenakan setelan jasnya. Jongin menghela, "Benar-benar sibuk, ya?"
Malam itu Jongin tergerak untuk membereskan kekacauan dirumah Sehun. Ia semakin mengesah saat menemukan cup ramyun berserakan di dapur. Serius deh, Sehun butuh pendamping hidup secepatnya kalau begini, dosen muda itu benar-benar hopeless soal bersih-bersih. Sepanjang malam itu Jongin lebih sering berdecak sambil berkacak pinggang.
Pukul dua pagi Sehun terjaga, cukup terkejut karena ia baru ingat jika ia ada janji pada Jongin. Bisa ia bayangkan mimik mahasiswanya itu yang marah-marah, mengundang kekehan pelan. Sampai matanya terpaku pada segelas susu di depannya dengan note kecil yang kala itu sukses membuatnya tersenyum lembut,
—sebenarnya saya ingin menendang anda agar anda bangun. Anda hutang waktu padaku, Sir. Jangan salahkan saya jika hari minggu anda saya ganggu. Dan jangan lupa kunci pintu rumah anda—
Dengan cepat ia mengirim pesan pada Jongin —Ya, datang saja besok pagi Jongin. Aku akan sangat bahagia menghabiskan pekanku denganmu—
.
Paginya Jongin bersemangat begitu membaca pesan dari sang dosen. Ia menyiapkan semua tinjauan pustakanya, ia benar-benar ingin balas dendam hari ini—karena bagaimana pun tugas akhirnya sudah sering terlantung—itu niatan awalnya yang menggebu-gebu, tidak saat ia sampai di depan rumah sang dosen dan mendapat hamburan peluk haru (berlebihan) dari si dosen tengik itu.
"Oh my..." ia risih sebenarnya dengan gelitikan rambut Sehun di lehernya, "...aku benar-benar merindukanmu." Dan ia tidak tahan untuk tidak menjauhkan Sehun dari lehernya kala dosen itu mengendusnya, dikira dia apa.
"Stop Sir, saya datang bukan untuk meladeni absurditas anda."
"Apa salahnya? Aku hanya ingin mengingat-ingat harum tubuhmu lagi setelah hampir satu minggu tidak ketemu, kau tahu."
Jongin memainkan pupil matanya, "Maaf tapi ungkapan anda malah terdengar menjijikan."
"Tsundere as ever, huh."
"Diam. Dan tolong fokus saja pada bimbingan saya kali ini."
"Baiklah-baiklah."
.
Hari itu Jongin tersenyum puas atas bantuan Sehun, karena satu bab selesai dalam kurun waktu tujuh jam. Rasa-rasanya ia rela bimbingan hanya tiap minggu jika sekali bertemu langsung mendapat wejangan sebanyak ini. Bukannya selama ini ia meragukan kejeniusan Oh Sehun, bukan. Soal itu—ia hanya memiliki sedikit fluktuasi kok. Namun keraguan itu tidak lagi hadir dalam pikirnya jika sudah mendapat hasil nyata yang seperti ini. Apa ia harus memuja dosennya?
"Kopi?" Jongin menoleh, mendapati cangkir berisi kopi pekat di depan wajahnya. "Kalau kau suka, ngomong-ngomong. Aku tidak memaksa."
Jongin mengangguk, "Saya lebih suka teh atau cokelat, Sir."
Dan kopi itu berakhir diteguk Sehun, "Manis sekali dirimu." Ia mengacak rambut Jongin, "Akan aku buatkan lagi." Tapi belum sempat ia berbalik, mahasiswanya itu kembali menyela.
"Tidak usah Sir, biar saya sendiri saja." Jongin berdiri, cepat-cepat menuju dapur. Sungkan rasanya jika ia merepotkan Sehun lebih dari ini. Walau pun saat di dapur ia hanya meminum seteguk air dingin.
"Kau ingin langsung pulang?" Sehun menyusulnya ke dapur.
"Ya, niatnya begitu."
"Hn..." Jeda, Sehun gunakan untuk menimbang sesuatu. "Kalau begitu beri aku hadiah dulu."
Kerut di alisnya tercetak, "Huh? Hadiah? Memangnya Sir sedang ulang tahun?"
Sehun terkekeh, dan Jongin semakin bingung, "Ayolah Kim... Masa tidak mengerti?" alisnya ia naik-turunkan jenaka.
"Apa sih Sir?
"Itu loh Jongin, itu!"
"Itu apa?! Tolong katakan dengan jelas."
Sehun mengesah, ia mendekati Jongin, berbisik. "A reward. Kau bisa melihat 'kan tumpukan file yang menunggu untuk ku jajah, dan aku malah menghabiskan setengah hariku hanya untukmu, jadi..." jeda yang disengaja, "Seperti ciuman, mungkin."
Jongin ingin sekali menampar dosennya itu, kalau ia tidak beralih pandang pada tumpukkan file menggunung yang ia tahu tentang laporan akreditasi dan semacamnya. Jongin jengah, tapi kalau dipikir-pikir lagi ia sangat terbantu hari ini. Kalau pun hanya ciuman sekilas Jongin rasa tidak apa-apa, bukan berarti hanya karena itu ia langsung akan bertekuk lutut pada Sehun 'kan? Well, ia masih yakin pada orientasi seksualnya.
Cup—satu kecupan ia layangkan di bibir sang dosen, dengan susah payah ia menjinjitkan kaki.
Benar, harusnya memang ia masih yakin.
Pluk—tangan Sehun bergerak di belakang kepala Jongin untuk menahan, seringai masih tercetak jelas di bibirnya hingga kepalanya di miringkan dan ia lumat habis bibir gemuk mahasiswanya.
Jika ia seratus persen lurus.
Mmm—permainan Sehun benar-benar gila di sini, dan ia merasa sedikit tertantang untuk memberi akses masuk lidah Sehun ke rongga mulutnya.
Tapi, sekarang keyakinan itu perlahan mengikis.
Jongin tidak bisa untuk tidak membalas lumatan itu, karena dorongan untuk menunjukkan pada Sehun bahwa ia juga pencium yang handal mulai membuncah.
Walau dalam hati ia sudah berteriak, —persetan dengan orientasi seksual!
.
.
Oh Sehun menatap kepergian mobil Jongin sampai tidak terlihat lagi, senyum kemenangan mengembang puas di bibirnya, tidak salah 'kan jika dosen muda ini berasumsi sedikit nakal pada mahasiswanya sendiri.
Minggu ini ia bisa mendapat ciuman renyah dari Jongin, siapa tahu minggu depan ia mendapat cinta Jongin, dan minggu depannya lagi—
Ia bisa mendapatkan tubuh mahasiswanya itu.
Ah, Sehun benar-benar menantikannya.
.
.
continued.
T/N: Mohon maaf, pengetahuan septa soal mahasiswa tingkat akhir dengan tetek bengeknya masihlah cetek. Jadi jika ada hal-hal yang diluar nalar sekiranya mohon dimaklumi. Haha
God bless me for had a wild imagination about my brother.
Thanks for reading, review are appreciated.
