AN: Hmmm... Okay, Cyaaz hari ini datang dengan Fic GeJe lagi... Sebenernya Cyaaz sempet galau mau publish Fic ini atau nggak, tapi karena dorongan dari Reinaryuzaki... Akhirnya Cyaaz publish...
Smoga Fic ini bisa menghibur kalian, walaupun sebenernya Fic ini adalah hasil percobaan Cyaaz... Semoga hasilnya nggak sebegitu hancurnya...
Warning: Jangan berharap banyak pada Fic ini...
Disclaimer: GS/D Bukan Milik Cyaaz
Second Chance
"Regret"
Hari ini adalah salah satu hari yang cerah di kota ORB. Langit biru terbentang luas, sama sekali tidak dihiasi awan. Angin segar berhembus dengan lembut, menerbangkan daun-daun pepohonan yang tidak sanggup bertahan di rantingnya. Menerpa wajah serta rambut pirangku yang sedang duduk di bangku taman kota.
Suasana ini… Suasana taman kota ORB yang tenang dan damai seperti ini… Mengingatkanku pada saat aku masih sering datang ke tempat ini untuk menenangkan pikiranku. Di saat pikiranku tercemari oleh berbagai permasalahan yang sedang aku hadapi. Di saat hatiku dilanda rasa gelisah dan gundah. Tempat ini selalu menjadi tempat favoritku untuk menghapus segala beban pikiran, serta kegelisahan yang aku rasakan.
Akan tetapi… Sejak saat itu, aku enggan untuk menginjakkan kakiku lagi di tempat ini. Tempat yang biasanya memberikan ketenangan, telah berubah menjadi tempat yang membangkitkan rasa penyesalan. Mengingatkanku kembali pada sebuah kenangan yang membuat dadaku sesak dan dipenuhi rasa bersalah. Sebuah kenangan tentang seseorang yang… Sangat berarti bagiku.
Sudah berapa lama ya? Beberapa bulan? Tidak! Jelas sudah lebih dari itu. Mungkin sekitar tiga atau empat tahun. Padahal sudah selama itu, tapi aku masih belum bisa menghapus kenanganku di hari itu. Hari di mana aku bertemu dengan orang itu di tempat ini. Saat terakhir kalinya mata amber-ku bertatapan langsung dengan mata emerald-nya.
Aneh, kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Kenapa aku baru menyadari keindahan sepasang mata emerald itu, di saat aku sudah tidak pernah melihatnya lagi? Di saat aku sudah tidak pernah merasakan keberadaan si pemilik mata indah itu di sekitarku.
"Cagalli?" ada seseorang yang memanggil namaku, membuatku langsung menoleh padanya. Ternyata orang itu adalah temanku, seorang gadis berambut cokelat pendek yang bernama Miriallia Haww. "Sudah lama menunggu?"
Aku tersenyum sambil tetap menatap temanku yang baru saja datang menghampiriku. "Tidak, aku juga baru datang, Miri," jawabku. Miri, begitulah aku biasa memanggil sahabat bermata biruku ini.
"Ayo, kita pergi sekarang?" ajak Miri. "Aku sudah tidak sabar lagi!"
Aku tertawa kecil, lalu bangkit dari posisiku. "Iya, iya, ayo berangkat!"
Setelah itu aku dan Miri pergi ke sebuah kawasan pertokoan di sebelah utara kota ORB dengan bis kota, kami berencana untuk berbelanja beberapa barang. Lebih tepatnya, aku menemani Miri untuk membeli beberapa baju dan aksesoris lain. Sekaligus menunjukkan beberapa tempat menarik yang ada di ORB padanya.
Ya, Miri memang bukan berasal dari kota ini. Dia baru pindah ke ORB beberapa bulan yang lalu dan dia masuk di universitas yang sama denganku. Kami mengambil jurusan yang sama, karena itulah kami sering berada di kelas yang sama dan semakin lama menjadi semakin akrab. Miri adalah orang yang baik, periang dan juga ramah. Kepribadiannya yang hangat benar-benar cocok denganku.
"Wah… Jadi ini ya, kawasan pertokoan Akatsuki yang terkenal itu?" Miri terkagum-kagum sambil menatap kawasan pertokoan di hadapan kami. Sebuah kawasan pertokoan yang cukup luas dan selalu ramai dikunjungi. "Keren sekali…"
"Benarkan?" tanyaku yang sekarang berdiri di samping Miri. "Kawasan pertokoan ini memang keren. Kau bisa menemukan barang apa pun di sini."
Miri menoleh padaku dengan mata berbinar-binar dan senyum lebar menghiasi wajahnya. "Ayo kita masuk?" ajaknya.
Tanpa sempat aku menjawab, Miri sudah menggenggam pergelangan tanganku. Dia menarikku untuk mengikutinya masuk ke dalam kawasan pertokoan. Gadis ini menarikku masuk dan keluar toko, mulai dari toko pakaian, sepatu, aksesoris, buku, dan masih banyak lagi. Kelincahan Miri berbelanja membuatku sempat kewalahan mengikutinya.
Kami sudah berkeliling kawasan pertokoan yang luas ini selama lebih dari tiga jam. Kakiku mulai terasa sakit karena terus mengikuti Miri yang berlarian ke sana kemari. Dia terus berpindah dari satu toko ke toko yang lainnya, padahal barang belanjaannya sudah sangat banyak. Rasanya tanganku juga sudah lelah membawakan tas-tas belanjaan Miri yang sudah tidak aku hitung lagi jumlahnya.
"Miri…" panggilku. "Apa kau masih belum selesai?" tanyaku yang terdengar sangat menyedihkan.
Miri yang masih berjalan tegak dengan penuh semangat di depanku, langsung menoleh dan menjawab, "Tentu saja belum! Masih ada toko menarik lainnya yang belum kita kunjungi."
Aku memutar bola mataku. "Miri… Aku sudah tidak kuat lagi," ujarku dengan nada semelas mungkin.
Miri mengerucutkan bibirnya. "Ayolah, Cagalli... Hanya tersisa beberapa toko lagi di ujung sana," ujarnya sambil menunjuk ke arah salah satu sudut kawasan pertokoan dengan telunjuknya.
"Tapi aku benar-benar sudah lelah… Aku bahkan belum makan dari tadi pagi," ujarku. Yah, memang tadi pagi aku tidak sempat sarapan. Aku takut datang terlambat dan membuat Miri menungguku terlalu lama. Lagipula, aku tidak menyangka kalau Miri bisa segila ini dalam belanja.
Miri mendesah, lalu menutup matanya untuk sesaat. "Ya, sudah. Kau makan duluan saja!" Miri mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu menunjuk ke suatu tempat dengan telunjuknya. "Kau makan dan tunggu aku di sana ya?"
Aku mengarahkan pandanganku ke tempat yang ditunjuk Miri. Ternyata dia menunjuk sebuah café yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat kami berdiri. Sebuah café minimalis yang bernama "Mr. Pink."
Aku sempat terdiam untuk sesaat, sampai akhirnya aku menganggukkan kepalaku. Café itu terkesan terlalu girlish untukku. Hampir semua dekorasi ruangannya berwarna pink. Mulai dari meja, kursi, lampu dan lain sebagainya. Semoga saja makanan yang mereka sajikan tidak semuanya berwarna pink.
Aku memang bukan tipe gadis yang girlish. Aku adalah seorang gadis tomboy yang lebih suka memakai celana daripada rok, apalagi gaun dan semacamnya. Pakaian-pakaian itu membuatku risih dan tidak nyaman.
"Baiklah kalau begitu," suara Miri menghentikan pemikiran panjangku. "Tolong bawa ini bersamamu juga ya?" Miri menyerahkan beberapa tas belanjaan yang dibawanya padaku. Tas-tas itu berhasil membuat beban yang aku bawa ditanganku menjadi lebih berat. "Sampai jumpa, Cagalli."
Aku hanya diam terpaku selama beberapa saat sambil menatap kepergian Miri. Setelah itu aku menghela nafas pasrah dan segera beranjak pergi menuju Mr. Pink. Begitu aku sampai di sana, aku langsung mengambil tempat terdekat dari pintu. Di sebuah meja bundar yang berpasangan dengan dua buah bangku yang saling berhadapan.
Aku meletakkan semua barang yang aku bawa di bawah meja, lalu segera duduk untuk mengistirahatkan kakiku. Beberapa saat kemudian, seorang gadis cantik berambut panjang datang menghampiri tempatku.
"Selamat datang di Mr. Pink," sapa gadis yang ternyata adalah pelayan dari café ini. Ya ampun, bahkan pelayan café ini rambutnya berwarna pink. "Namaku Lacus Clyne. Nona ingin memesan apa?" tanyanya lembut sambil menyerahkan sebuah daftar menu padaku.
Aku mengangguk kecil, lalu menerima daftar menu yang diberikan oleh pelayan café berwajah cantik itu. Setelah beberapa saat mengamati nama-nama makanan yang disediakan café ini, aku mengangkat wajahku dan berkata, "Aku pesan Baked Lasagna dan orange juice."
Gadis bermata biru itu terlihat sedang menuliskan pesananku di buku catatan kecil yang digenggamnya sambil menganggukkan kepalanya. Lalu dia berkata, "Baiklah, Nona. Pesanan anda akan segera siap."
Aku menganggukkan kepalaku untuk merespon, lalu menatap kepergian pelayan café itu. Gadis itu berjalan ke arah seorang laki-laki yang mengenakan seragam serupa dengan dirinya di dekat meja kasir, lalu menyerahkan catatan yang dibawanya pada laki-laki itu. Sesaat kemudian, laki-laki berambut cokelat yang sempat memperhatikan catatan kecil di tangannya itu mengangguk dan beranjak pergi. Dia masuk melewati pintu belakang yang sepertinya terhubung dengan dapur café ini.
Aku tersenyum tipis, lalu segera mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Dari sini aku bisa melihat tampilan depan dari beberapa toko di sekitar café. Aku juga bisa melihat orang-orang yang berlalu lalang di depan café. Mulai dari anak-anak yang datang bersama orang tua mereka, sekelompok remaja yang berjalan sambil tertawa bersama, beberapa orang dewasa dengan seragam kantor sampai beberapa pasang kekasih yang saling bergandengan tangan.
Raut wajahku mendadak menjadi lesu, saat aku melihat sepasang kekasih sedang melintas di depan café. Seorang gadis berambut pirang yang hampir sama dengan rambutku sedang tersenyum manis pada seorang laki-laki berambut hitam yang menatapnya dengan lembut. Mereka terlihat sangat serasi dan bahagia, mambuatku merasa sedikit iri dan… Menyesali sesuatu.
Sosok laki-laki berambut hitam tadi mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang sempat hadir dalam hidupku dan memberikan cintanya dengan tulus padaku, tapi aku…
"Ini pesanan anda, Nona," suara lembut seorang gadis berhasil menarik perhatianku. Pelayan café berambut pink tadi sekarang sudah berdiri di samping mejaku dengan membawa sebuah nampan. Kemudian dia mulai meletakkan makanan pesananku satu per satu di atas meja. "Selamat menikmati."
Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepalaku. Setelah pelayan café itu pergi, aku segera memulai kegiatan makan siangku. Sepotong demi sepotong, aku menghabiskan Baked Lagsagna lezat yang tersaji di mejaku. Aku berusaha menghilangkan rasa lapar di perutku, sekaligus mengurangi rasa sedih di hatiku. Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini, terpuruk dalam kesedihan dan… Penyesalan.
"Cagalli?"
Aku tersentak kaget saat mendengar namaku dipanggil oleh seseorang dari belakang. Suara seseorang yang sudah lama tidak terdengar oleh telingaku. Aku menolehkan wajahku perlahan, sampai mata amber-ku menangkap sosok laki-laki yang memanggilku.
Deg…
Laki-laki itu, laki-laki yang memanggilku. Dia berdiri tidak jauh di belakangku, menatapku dengan mata emerald-nya. Mata emerald yang selalu memancarkan kelembutan. Laki-laki itu berdiri di sana, dengan senyum indah menghiasi wajahnya. Sosoknya yang nyata membuatku hanya bisa membeku menatapnya.
"A-Athrun…" gumamku setelah beberapa saat berlalu.
Laki-laki yang aku panggil namanya tadi langsung mengangguk kecil, lalu dia segera beranjak dan duduk di kursi kosong di hadapanku. "Sudah lama tidak bertemu."
Aku sempat menelan ludahku dengan berat, sebelum akhirnya tersenyum dan menjawab, "Iya, sudah tiga tahun lebih," aku memberi jedah selama beberapa detik. "Bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja," jawab Athrun sambil tetap tersenyum tipis. "Bagaimana denganmu? Apa kau sehat?"
Aku menganggukkan kepalaku. "Ya, sama sepertimu," jawabku. "Oya, bagaimana dengan kuliahmu di PLANT? Kenapa kau ada di sini?"
Athrun menyandarkan punggungnya. "Kuliahku berjalan dengan lancar. Akhir-akhir ini aku hanya sibuk dengan tugas akhirku," jawabnya santai. "Aku datang ke ORB karena… Aku sudah lama tidak ke sini. Jadi aku memanfaatkan waktu liburanku untuk datang ke sini bersama beberapa orang temanku."
Benar juga, sekarang memang sedang musim liburan.
"Pertokoan ini tidak banyak berubah ya?" aku mendengar suara Athrun. Sekarang dia sedang menatap ke luar jendela. "Masih tetap ramai dan sibuk seperti dulu."
"Hm," responku sambil mengangguk kecil.
Memang benar, pertokoan ini tidak banyak berubah sejak beberapa tahun yang lalu. Baik suasana, bangunan-bangunan toko dan juga kesibukan orang-orang di sini masih sama seperti dulu. Begitu juga dengan perasaanku, perasaan yang tiba-tiba saja muncul saat aku menyadari ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang sangat berharga, tapi tidak aku sadari sebelumnya. Seperti yang sering dikatakan orang-orang, terkadang kita baru menyadari nilai dari suatu hal yang sangat berharga bagi kita, saat kita kehilangan hal tersebut.
Beberapa tahun yang lalu, laki-laki berambut midnight blue ini sempat menyatakan cintanya padaku. Dengan tulus, dia memberikan segenap perhatian dan kasih sayangnya padaku melalui berbagai tindakan. Dia selalu memberiku rangkaian bunga mawar yang indah, membantuku di saat aku kesulitan dan menghiburku saat aku bersedih. Dia selalu ada di sana untukku, selalu...
Tapi apa balasanku atas semua kebaikannya? Aku bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa, seolah dia tidak pernah mengungkapkan perasaan cintanya padaku, seolah dia tidak pernah memberikan perhatiannya yang lebih padaku. Aku bersikap seolah-olah, semua yang dilakukan olehnya adalah suatu hal yang tidak ada artinya.
Aku juga tidak begitu mengerti, kenapa aku bisa sejahat itu padanya. Mungkin karena aku bukanlah tipe wanita yang bisa mempercayai seorang pria dengan begitu mudahnya? Mungkin aku terlalu takut untuk mencintai seseorang? Atau mungkin karena aku terlalu keras kepala untuk mengakui perasaanku sendiri?
"Aku senang bisa bertemu denganmu lagi, Cagalli," suara Athrun kembali membawaku ke alam nyata, membuatku tersentak dan kembali menatap wajaahnya.
Mata amber-ku sekarang menatap lurus ke mata emerald-nya. Setelah sekian lama, mata emerald itu masih tetap sama, indah dan bercahaya. Setelah sekian lama, wajah si pemilik sepasang mata emerald itu masih tetap sama, tampan dan mempesona.
Aku menelan ludahku dengan berat. Setelah apa yang sudah aku lakukan padanya, dia masih bisa berkata kalau dia senang bisa bertemu lagi denganku? Setelah berulang kali aku mengacuhkan perasaannya. Setelah berulang kali aku menyakitinya. Setelah berulang kali aku…
"Athrun?" panggilku pelan sambil menundukkan kepalaku.
"Ya?" responnya.
Aku sempat terdiam untuk beberapa detik. Mungkin inilah saatnya, mungkin inilah saatnya bagiku untuk mengatakannya. Mengatakan sepatah kata yang seharusnya sudah aku utarakan pada laki-laki di hadapanku ini sejak lama. Sepatah kata yang sanggup menggambarkan rasa penyesalanku.
Sekali lagi aku menelan ludahku, bersamaan dengan kesombongan dan harga diriku. Meencoba untuk meraih kesempatan yang tersaji di depan mataku saat ini. Sebuah kesempatan kedua yang mungkin akan dapat memperbaiki semua kesalahanku di masa lalu.
"A-aku…"
"Athrun!" aku dan Athrun tersentak setelah mendengar seseorang tiba-tiba saja memanggil nama Athrun.
Kami berdua langsung menoleh ke arah sumber suara secara bersamaan. Terlihat seorang gadis berambut merah sedang berlari kecil memasuki café. Gadis itu kemudian menghampiri Athrun dan menepuk bahunya.
"Athrun, kau dari mana saja?" tanya gadis itu. "Kau tahu, aku sudah mencarimu ke mana-mana."
Athrun tersenyum sambil menatap gadis berambut merah itu. Menatapnya dengan tatapan lembut khas miliknya yang dulu biasa ditujukannya padaku.
"Maaf, Meyrin," jawab Athrun. "Aku tidak sengaja bertemu dengan teman lamaku."
Senyuman itu…
Aku hanya membeku di tempatku sambil terus menatap kosong ke arah dua orang di hadapanku. Senyuman itu, senyuman yang baru Athrun berikan kepada gadis berambut merah yang ia panggil "Meyrin" dengan suaranya yang lembut… Betapa aku merindukannya, merindukan Athrun yang selalu memberikan senyum serta tatapan yang dipenuhi kelembutan hati dan kasih sayangnya itu.
"Oh, begitu?" suara gadis berambut merah itu berhasil menarik perhatianku. "Perkenalkan, namaku Meyrin Hawke," ujarnya sambil tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya padaku.
Saat itulah aku tersadar dan langsung berdehem. Kemudian aku menyambut tangan gadis itu dan menjawab, "Salam kenal, aku Cagalli Hibiki."
Meyrin menganggukkan kepalanya, lalu dia menarik tangannya. Keheningan yang terasa canggung sempat tercipta selama beberapa saat. Sampai akhirnya, aku mengintip ke arloji di pergelangan tangan kananku. Lalu aku mengangkat wajahku untuk menatap Athrun dan Meyrin.
"Maaf, aku harus pergi sekarang," kataku sambil mulai membereskan barang-barangku.
"Apa? Kenapa tergesa-gesa?" tanya Athrun.
"Aku datang ke sini bersama seorang temanku," jawabku. Aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompetku untuk membayar makananku. "Aku harus segera menemuinya."
"Oh, begitu ya…" gumam Athrun.
Aku menganggukkan kepalaku, lalu segera bangkit dari kursiku dan menghampiri meja kasir untuk membayar makan siangku. Setelah itu aku kembali ke mejaku, di mana Athrun masih duduk di sana bersama Meyrin yang berdiri di sampingnya.
"Senang bisa bertemu denganmu, Athrun," kataku seraya mengambil semua tas belanjaan Miri di bawah meja, lalu menyempatkan diri untuk menatap Meyrin. "Kau juga, Meyrin."
Gadis berambut merah itu tersenyum dan mengangguk kecil. "Ya, aku juga."
"Cagalli?" panggil Athrun setelah beberapa saat berlalu.
Aku mengangkat kepalaku setelah selesai mengambil tas-tas belanjaan Miri. "Hmm?"
Athrun hanya terdiam untuk sesaat, lalu dia menggeleng pelan. Sepertinya dia baru saja mengurungkan niatnya untuk mengatakan sesuatu padaku. "Aku senang bisa bertemu denganmu lagi. Sampai jumpa."
Tatapan mataku sempat melembut untuk beberapa saat, lalu aku mengangguk kecil dan menjawab, "Ya, sampai jumpa."
Aku sempat melihat Athrun mengukir sebuah senyum di wajahnya. Aku membalas senyuman itu, lalu menatap ke arah Meyrin yang masih setia berdiri di samping Athrun sambil memegangi bahunya. Setelah memberikan senyum tipis pada gadis itu, aku segera membalikkan badanku dan melangkah pergi.
Tidak ada, ternyata memang tidak ada. Tidak ada kesempatan kedua yang tersedia untuk orang sepertiku. Tentu saja, mana mungkin seseorang yang sangat bodoh sepertiku bisa mendapatkan sebuah kesempatan kedua. Masih banyak orang di luar sana yang akan memanfaatkan kesempatan mereka dengan sebaik-baiknya. Jadi untuk apa Tuhan memberikan kesempatan kedua padaku? Kesempatan lain yang kemungkinan besar akan aku sia-siakan lagi.
Jujur saja, jika aku bisa mendapatkan kesempatan itu… Aku benar-benar akan memanfaatkannya dengan baik. Aku benar-benar akan memperbaiki semua kesalahan yang pernah aku perbuat. Seandainya aku bisa memutar balikkan waktu, aku pasti sudah memperbaiki semuanya. Mengubah seluruh jalan pikiranku, agar aku tidak membuat kesalahan dan merasakan penyesalan seperti sekarang ini.
Tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku hanyalah orang biasa, bukan seorang pengendali waktu. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan sekarang adalah, aku harus segera bangkit dari keterpurukan ini. Aku harus bisa melepasnya, melepas seseorang yang sangat berharga bagiku. Aku harus bisa bangkit dan melangkah maju dengan pelajaran berharga yang aku dapatkan.
Jangan pernah menyia-nyiakan perasaan orang lain yang tulus kepadamu…
Yah... Sekian...
Bagaimana menurut kalian? Geje kan?
Hahaha.
BTW, Cyaaz mau tanya... Selain Romance, Fic ini Genre-nya apa ya? Cyaaz bingung...
Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca Fic ini...
Silahkan tinggalkan saran dan pendapat kalian di kotak Review...
