Summary : Hinata mengalami gangguan jiwa, bukan karena dia stress atau depresi tetapi karena ada yang menginginkannya menjadi seperti itu.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Warning : Typo, OOC maybe, AU dan sebagainya
SMILE SOUL
CHAPTER 1
MENTAL DISORDERS
.
.
.
"Kau hebat, anakku" ucap Hiashi bangga kepada Hinata setelah melihat nilai kelulusan Hinata dari Senior High School. Hinata memang anak pintar.
Mereka sedang duduk di sofa ruang keluarga rumah mereka, tidak hanya mereka berdua tetapi ada juga Shuki ibu tiri Hinata kemudian Karin kakak tiri Hinata.
"Terima kasih, tou-san" ucapnya sambil tersenyum.
Sementara ibu tiri dan kakak tiri Hinata saling melihat satu sama lain, dengan tatapan tidak menyukai moment anak dan ayah tersebut.
Mereka baru pulang dari acara wisuda kelulusan Hinata dan Karin di Konoha Senior High School, Hinata adalah siswa yang mendapat nilai terbaik lulusan tahun ini di sekolahnya.
Karin juga sudah dilihat nilai kelulusan oleh Hiashi sebelum Hiashi melihat nilai Hinata. Tanggapan Hiashi adalah "Bagus", ya memang Karin memang bagus tapi tidak sebaik Hinata.
"Wah berarti kedua putri tou-san akan menjadi mahasiswi sebentar lagi."
Hiashi menginginkan Hinata dan Karin untuk kuliah di Konoha University, tidak kuliah di luar kota. Karena Hiashi mengkhawatirkan mereka, karena mereka itu perempuan.
Kebetulan Hinata mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Konoha University, Karin kakak tirinya yang hanya beberapa bulan lebih tua darinya tidak mendapatkan beasiswa walaupun nilainya bagus.
Lagipula Konoha University adalah salah satu universitas terbaik di Jepang, jadi kalau Karin gadis berambut merah itu dan Hinata kuliah di sana, mereka akan mendapat pendidikan yang baik.
.
.
.
.
Hinata membuka lemari dan mengambil pakaian untuk berganti pakaian, tapi sebelumnya dia ingin mandi dahulu, ini sudah sore hari.
Hinata pusing lagi, dan ia memegang kepalanya "Tenang Hinata, tidak apa-apa….ini tidak apa-apa" dengan mengucapkan itu Hinata percaya sakitnya akan segera sembuh.
Memang Hinata sering sakit kepala akhir-akhir ini, tapi Hinata membiarkannya saja, mungkin ini akibat terlalu banyak berpikir, pikirnya. Terkadang dia sering berhalusinasi seperti melihat peri atau bahkan mendiang ibu kandungnya.
Kemudian Hinata mengingat Neji akan segera pulang, sakit kepala itu berkurang dengan sendirinya, karena Hinata sangat bahagia jadi dia melupakan sakit kepalanya itu.
Hyuuga Neji, kakak laki-laki dan saudara kandung satu-satunya, Neji tadi mengabari Hinata kalau dia minta maaf tidak bisa datang ke acara wisuda kelulusan Hinata karena di jalan sangatlah macet, Neji akan sampai di rumah petang hari.
Neji sekarang sudah meyelesaikan UAS semester 5 nya dan libur, jadi dia pulang.
Hinata bilang tidak apa-apa, Neji pulang dengan selamat dan Hinata dapat bertemu dengannya saja sudah menjadi kebahagiaan untuk Hinata.
Hinata keluar dari kamar mandi dan telah mengganti pakaian, Hinata melihat ada segelas jus jeruk di lemari kecil alas lampu tidurnya. Hinata berpikir pasti bibi, pembantu di rumah Hiashi yang meletakkan minuman itu.
Ada tiga pelayan wanita di rumah ini, tapi yang paling tua yang sering dipanggil bibi oleh anggota kelurga tersebut.
Karena Hinata merasa haus, Hinata segera meminum jus itu, masih terasa segar. Hinata menghabiskan jus jeruk tersebut dan menyimpan gelasnya kembali di atas lemari kecil tadi.
Hinata menutup lavendernya karena merasa pusing itu datang kembali, Hinata memegang kepalanya dan mengucapkan kata-kata ampuhnya "Tidak apa-apa, Hinata. Kau akan baik-baik saja."
Tapi sayang, kalimat itu tidak ampuh. Sakit kepalanya lebih besar dibandingkan yang tadi dan sebelum-sebelumnya. "Kaa-san" dia memanggil mendiang ibunya.
Hinata membaringkan dirinya di kasurnya, Hinata berpikir kalau tidur sebentar mungkin sakit kepalanya akan hilang. Hitung-hitung sambil menunggu kakak tersayangnya sampai di rumah.
.
.
.
.
Laki-laki dengan tattoo 'Ai' di salah satu sisi keningnya sedang terbaring di ranjang, dia menjadikan kedua tangannya sebagai alas surai merah maroonnya.
Jadenya menatap langit-langit, memikirkan masa lalu, laki-laki ini masih berusia 19 tahun.
Dia mengingat beberapa tahun lalu saat dia berusia 12 tahun, memakai pakaian pemakaman. Dia baru saja kehilangan Karura, ibunya.
Saat itu dia sedang menunduk sambil berdiri menyenderkan punggungnya di tiang ayunan taman. Dia baru saja pulang dari pemakaman dan dia tidak memberitahukan keluarganya kalau dia akan berjalan-jalan.
Sabaku Gaara, nama anak laki-laki itu sangat sedih kehilangan ibunya, tapi tidak ada satu tetes air matapun yang keluar dari jadenya.
Tanpa sengaja arah kakinya berjalan menuju taman, dia memiliki memori tentang ibunya di taman ini, taman kota Suna.
Banyak sekali anak-anak yang berlalu-lalang bermain di taman tersebut. Tapi Gaara tidak memedulikan anak-anak lain, dia hanya berkutat akan kenangannya bersama mendiang ibunya di taman ini.
Gaara melihat sepasang kaki milik seorang anak perempuan, terlihat dari sepatu yang dikenakan anak itu, sepatu pantofel berwarna lavender dan Gaara mendongakkan kepalanya, warna sepatu itu mirip sekali dengan warna mata anak perempuan tersebut.
Anak perempuan itu, kaget melihat lingkaran hitam di sekitar mata Gaara. "Ada apa?" tanya Gaara tanpa basa-basi.
"A-ano, a-apakah kamu ingin me-makai ayunan itu?" Anak itu menunjuk ayunan yang tiangnya menjadi tempat Gaara bersandar.
Ayunan itu hanya satu, sebenarnya ada tiang ayunan lagi tapi sudah dipakai oleh anak lain.
"Kau ingin memakainya?" tanya Gaara. Anak perempuan itu mengangguk.
"Hm, pakai saja" Gaara mempersilakan anak itu memakai ayunan itu dan dia bersiap melangkahkan kakinya untuk pergi.
"Go-gomen, kalau a-aku lancang. Apa kamu dari pemakaman?" Hinata melihat pakaian Gaara yang memang sebenarnya seperti pakaian ke pemakaman dengan jas hitam dan kemeja putih berdasi hitam.
"Ya, kaa-sanku meninggal." Gaara tadinya tidak akan menjawab pertanyaan itu, entah mungkin suara anak itu yang begitu lembut atau mata lavendernya yang menghipnotisnya membuatnya menjawab pertanyaan itu.
"Ke-kehilangan seorang okaa-san memang sa-sangat menyakitkan." Ucap anak itu.
"Kau tidak mengerti rasanya." tanggap Gaara ketus. Tapi anak perempuan itu tersenyum, dan hal tersebut yang membuat Gaara merasa aneh. Orang pasti marah apabila mendengar jawaban ketus seperti tadi, tapi berbeda dengan anak ini.
Anak perempuan berambut indigo pendek tersebut menanggapi "Aku mengerti karena kaa-sanku meninggal seminggu yang lalu."
Hati Gaara mencelos, anak perempuan ini mempunyai nasib yang sama. Kalau orang lain akan meminta maaf karena tidak tahu tentang hal tersebut. Tapi berbeda dengan Gaara, dia justru langsung menanyakan "Kenapa kaa-sanmu meninggal?"
Anak perempuan ini menunduk, kemudian mengangkat wajahnya kembali "Kaa-san me-mempunyai gangguan jiwa dan dia ju-juga punya penyakit jantung."
Bahkan anak perempuan ini lebih menderita dibandingkan Gaara, ibunya juga meninggal karena sakit tetapi ibunya tidak mengalami gannguan jiwa atau gila.
Gaara tidak tahu apa yang harus dikatakannya sekarang kepada anak perempuan ini.
Anak perempuan itu mengerti akan diamnya Gaara, pasti karena Gaara terkejut.
"Ti-tidak apa-apa, i-itu sudah takdirnya" bahkan anak kecil ini sudah mengerti mengenai takdir dan bijaksana.
"Si-siapa namamu?" tanya Hinata. "Sabaku Gaara" jawab Gaara.
"A-aku Hyuuga Hinata." Hinata tersenyum manis sekali.
"Ma-mau main ayunan bersama?" Gaara hanya diam mendengar ajakan Hinata. Gaara merasa dirinya sudah besar, tidak perlu bermain ayunan lagi.
"Tak apa, ka-kamu duluan saja, na-nanti aku yang dorong." Hinata tidak tahu kalau Gaara tidak ingin naik ayunan itu karena dirinya merasa sudah terlalu besar untuk bermain ayunan.
Tapi entah rasa tidak enak hati atau kasihan yang muncul dari hati Gaara, maka Gaara mengangguk dan duduk di ayunan tersebut kemudian Hinata mendoronganya pelan dan lama-lama menjadi kencang.
Gaara berteriak karena ulah Hinata, setidaknya beban di hatinya sedikit berkurang. Hinata pandai merubah perasaan orang.
Sejak saat itu, mereka selalu bertemu di taman pada sore hari. Sampai suatu hari ketika mereka duduk bersama di kursi taman. Hinata dipanggil seseorang.
Hinata menoleh ke asal suara "Nii-san" suara Hinata pelan.
"Gaara-san, i-itu nii-sanku." Ucap Hinata dan Gaara hanya ber oh saja.
Dari jarak 3 meter, Neji kakak Hinata menyuruhnya pulang. Hinata meminta maaf kepada Gaara karena harus pulang. Gaara tidak masalah dengan hal itu.
Hinata menghampiri Neji dan Neji menggandeng tangannya "Kita harus bersiap-siap, besok kita akan ke Konoha." Kata Neji "Konoha?" tanya Hinata. Tapi Neji tidak menjawab dan berpikir akan menjawabnya nanti di rumah.
Gaara memperhatikan kepergian Hinata. Gaara merasa seolah-olah tidak akan bertemu dengan Hinata dalam waktu yang lama dan Hinata melihat ke belakang ke arah Gaara.
Hinata tersenyum dan Gaara juga tersenyum untuk pertama kalinya kepada Hinata.
Benar saja apa yang dirasakan Gaara, Gaara tidak pernah melihat Hinata datang lagi ke taman itu. Gaara tidak pernah menanyakan alamat Hinata, jadi dia tidak tahu Hinata tinggal di mana saat ini.
Dia mendengar nama kota Konoha dari Neji ketika menggandeng Hinata pulang. Gaara merindukan Hinata, dia akan menemui Hinata nanti.
Saat ini, di usianya yang ke-19 tahun, dia sudah mendapatkan alamat lengkap rumah Hinata. Besok pagi dia akan pergi ke Konoha untuk menemui Hinata.
Gaara selalu mencari informasi tentang Hinata, Gaara saat ini mengetahui kalau Hinata saat pergi ke Konoha berusia 11 tahun, ayahnya menjemput Hinata dan kakanya Neji untuk tinggal bersama mereka dan juga ibu dan kakak tirinya.
.
.
.
.
"Tuan…..tuan….tuan.." dengan tergesa-gesa pembantu di rumah Hinata berlari ke ruang kerja Hiashi dan masuk ke ruang kerja tersebut.
"Ada apa?" tanya Hiashi keheranan, dia sedang duduk di kursi kerjanya.
"Nona….nona Hinata mengamuk di kamarnya, tuan" dengan ngos-ngosan pembantu tersebut memberitahukan kepada Hiashi.
Tidak mungkin Hinata mengamuk, Hiashi merasa tidak percaya, Hinata itu kan dikenal lembut dan tegar, dan kenapa dia bisa mengamuk?
Tanpa membuang waktu lagi, Hiashi segera pergi menuju kamar Hinata.
Dia berpapasan dengan Neji yang baru datang, Hiashi melihat anaknya itu sebentar dan langsung pergi menuju tujuannya, kamar Hinata.
Neji yang terkejut akan tingkah ayahnya segera menyusul ayahnya. Apalagi yang ditujunya saat ini adalah kamar Hinata. Neji menjadi sangat khawatir.
"Aaargghhhhh" Hinata memegang kepalanya dan meremas rambutnya. Dia terlihat acak-acakan. Hinata menarik sprei dan membuangnya ke lantai.
Ada pecahan gelas di lantai, yang tentu saja adalah ulah Hinata. Kemudian bantal-bantal yang berserakan di lantai.
Betapa terkejutnya Hiashi dan Neji saat tiba di kamar Hinata. Hinata seperti bukan dirinya, benar-benar bukan dirinya yang lemah lembut dan tidak mungkin mengamuk seperti itu. Sekalipun marah ataupun menangis, Hinata tidak akan seperti itu.
DI dalam kamar sudah ada Shuki dan Karin, kemudian dua orang pelayan wanita.
"PERGI…..PERGI….PERGI…." Hinata berteriak histeris meyuruh semuanya pergi.
Hiashi mendekati Hinata "Kenapa nak, ada apa denganmu?" tapi Hinata menjauh mundur menghindari Hiashi.
Hinata menjambak rambutnya, Neji tidak tahan. Dia segera mendekati Hinata dan menarik kedua tangan Hinata.
Hinata saat ini sedang duduk di ranjangnya, Hinata berusaha melepaskan tangannya dari Neji. "LEPAS….LEPASKAN AKU…." Hinata berteriak-teriak.
"Tatap aku, Hinata" perintah Neji. Hinata tidak menurutinya. Neji menarik Hinata ke dalam pelukannya. Hinata meronta-ronta "Tenanglah…..tenanglah" sambil mengelus puncak kepala Hinata.
Hinata masih berusaha melepaskan dirinya "Ini nii-san, Hinata. Ini nii-san." Ucapnya sambil meneteskan air mata merasa begitu bersalah kepada adik satu-satunya ini.
Hiashi merasa terpukul, melihat anaknya seperti itu. Sementara Shuki dan Karin diam-diam tersenyum melihat kejadian ini.
.
.
.
.
"Aku tidak akan membiarkan Hinata dibawa ke rumah sakit jiwa." Ucap Neji esok harinya kepada ayahnya di ruang kerja ayahnya.
"Kita harus melakukannya kalau dia masih seperti itu." Jawab Hiashi "Kemungkinan dia menjadi seperti mendiang ibumu." Hiashi melanjutkan dan Hiashi berpikir Hinata mengalami hal ini karena faktor keturunan.
"Memangnya siapa yang membuat ibu menjadi seperti itu?" Neji menyalahkan ayahnya. Iya tahu ayahnya meninggalkan ibunya karena seorang janda beranak satu, yaitu Shuki.
Ibunya pulang ke kampung halamannya yaitu kota Suna dan tinggal bersama adiknya, Taka. Tapi ibunya mengalami gangguan jiwa dan sampai meninggal.
Kemudian ayahnya mendatangi kota Suna dan meminta anak-anaknya kembali kepadanya. Awalnya Neji tidak setuju, tetapi dia berpikir logis, akan merepotkan Taka kalau harus mengurus mereka. Lagipula Taka juga mempunyai anak dan istri yang harus dia urus.
Sebenarnya Neji lebih memikirkan Hinata, Hinata harus mendapat pendidikan dan kehidupan yang baik. Maka dari itu dia memilih mengubur keegoisannya demi Hinata.
Neji dan Hinata hidup dan tinggal bersama ibu dan saudara tiri mereka. Ibu tirinya telah dinikahi oleh Hiashi setelah kepergian ibu Neji ke Suna.
Neji tahu bahwa ibu dan adik tirinya tersebut hanya berpura-pura menyayangi mereka. Neji tidak tahan melihat wajah orang yang menjadi penyebab ayahnya meninggalkan ibunya, Neji juga tidak menyukai sifat sok berkuasa mereka saat ayahnya tidak ada di rumah.
Apa semua ibu dan saudara tiri di dunia ini seperti itu? Neji rasa tidak, hanya saja rata-rata seperti itu. Buktinya Lee, teman selasa SMA nya mempunyai ibu tiri yang benar-benar tulus menyayanginya.
Maka dari itu, dia memilih mengambil beasiswanya di The University Of Tokyo, ia dapat meraih beasiswa tersebut karena kegeniusannya.
Sebenarnya ada rasa was-was untuk meninggalkan Hinata di rumah ini sendirian tanpa dirinya, tetapi Hinata bilang tidak apa-apa, dia akan baik-baik saja. "Lagipula sayang melewatkan kesempatan itu." Ucapa Hinata kepada Neji waktu dulu.
.
.
.
.
Jam makan siang tiba, dengan wajah datarnya sekarang Gaara berada di dekat sebuah rumah yang cukup besar sambil memegang kertas berisikan sebuah alamat.
Gaara mencocokkan alamat yang tertera di kertas dengan alamat rumah tersebut, bingo! Dan benar cocok. Dalam hati Gaara meras senang.
Gaara melihat ada seseorang keluar dari gerbang rumah itu. Seorang pria ynag kelihatannya adalah seorang tukang kebun. Kenudian disusul oleh seorang wanita berpakaian pelayan, sepertinya mereka sepasang kekasih.
Entah kenapa Gaara membalikkan badannya, tidak menghadap kea rah mereka dan dengan jarak yang tidak begitu jauh dari mereka.
"Bagaimana dengan keadaan nona Hinata sekarang?" tanya tukang kebun itu kepada pelayang wanita itu.
"Hinata" batin Gaara. Apa itu Hinatanya?
"Hinata…..apa yang terjadi dengan Hinata?" masih dalam benak Gaara. Gaara bukan tipe orang yang suka menguping pembicaraan orang lain. Tapi kali ini adalah Hinatanya, teman kecilnya yang bahkan ia sengaja datang untuk menemuinya.
"Sepertinya memburuk." Jawab pelayan itu. "Nona Hinata tadi mengamuk lagi dan saat ini justru seperti orang linglung, ekspresinya datar, dan juga tidak mau didekati." Pelayan itu melanjutkan.
"Kasihan nona, dia begitu baik. Sebenarnya apa penyebab dia menjadi seperti itu?" tanya tukang kebun itu.
"Entahlah aku juga tidak mengerti. Nyonya bilang kalau itu adalah penyakit turunan dari ibu nona Hinata."
Wajah tukang kebun itu menyiratkan ketidakpercayaan mendengar hal tersebut.
"Dengan kondisi sepeerti itu, nona akan dibawa ke rumah sakit jiwa besok pagi." Info pelayan itu.
"Sangat disayangkan nona kita yang baik hati itu mengalami hal ini." tukang kebun itu sangat menyayangkan apa yang terjadi dengan nona rumahnya di mana ia bekerja.
Gaara yang mendengar semua itu merasa ini menyakitkan hatinya.
.
.
.
.
Hinata tidur telelap di tempat tidurnya, semenatar Neji duduk di sampingnya. Neji megusap rambut Hinata.
Neji menatap wajah Hinata. Kemarin saat Hinata mulai mengamuk, tak lama dokter datang dan memeriksanya. Hinata disuntik obat penenang, sehingga dapat tertidur terlelap.
Seperti sekarang, Hinata dapat tidur dengan begitu tenang seperti dia baik-baik saja karena dokter datang dan menyuntikkan obat penenang kepadanya.
Kemarin dokter bilang bahwa jika kondisi Hinata seperti ini terus, Hinata akan dibawa ke rumah sakit jiwa karena akan membahayakan orang-orang di sekitarnya.
Dokter bilang Hinata mengalami depresi yang sangat hebat. Tentu semua orang hampir tidak percaya, apa yang membuat Hinata depresi? Itu pertanyaan semua orang. Karena Hinata selama ini terkenal ceria walaupun suka terlihat malu-malu.
Neji mencium kening adiknya dengan lembut "Hinata" dan Neji menitikan air mata "Gomen ne" dia sangat menyesal.
Seharusnya dia tidak meninggalkan Hinata. Seharusnya dia melindungi adik kandung satu-satunya ini.
"Kenapa kau menjadi seperti ini, Hinata?" bisik Neji dan tidak mungkin Hinata akan menjawabnya, karena Hinata terlelap. Tapi kalau sadarpun, dia tidak akn mungkin menjawab pertanyaan Neji dengan kondisi yang sepeerti itu.
.
.
.
.
Tap….tap…tap….
Suara langkah seorang laki-laki mendekati Hinata yang sedang tertidur, kemudian dia duduk di temapat tidur Hinata. Tepat di samping Hinata.
Hinata memnadang wajah Hinata lekat "Hinata, ini benar kau." Kata laki-laki bermata jade itu menatap Hinata yang tertidur seperti malaikat.
"Kenapa kau menjadi seperti ini?" pertanyaan yang sama yang dilontarkan Neji tadi.
Buka karena heran melihat perubahan fisik Hinata yang sekarang bermbut panjang sepunggung dan lebih cantik dari sebelumnya.
Yang laki-laki itu maksud adalah kondisi Hinata yang terkena gangguan jiwa.
Gaara, laki-laki itu petang tadi mengendap-ngendap seperti maling masuk ke rumah Hiashi dan menemukan kamar Hinata.
Gaara melihat Hinata di balik jendela luar kamar Hinata yang terlihat sedang mengamuk dan dokter menyuntikkan obat penenang di lengan Hinata.
Gaara sungguh sedih melihatnya, orang yang dahulu membuatnya mengurangi rasa sedihnya atas kepergian ibunya, orang yang mempunyai nasib yang sama sepertinya dan sekaran orang itu menjadi seperti ini.
"Jangan khawatir, Hinata! Aku tidak akan membiarkan mereka membawamu ke rumah sakit jiwa."
.
.
.
.
Hiashi, istrinya, Neji dan Karin sedang sarapan di meja makan. Tiba-tiba seorang pelayan berlari menghampiri mereka.
"Tuan..." mereka semua otomatis menghentikan kegiatan mereka demi menanggapi apa yang akan disampaikan pelayan tersebut.
"Nona….nona..Hinata…" Neji yang mendengar nama adiknya disebut segera berlari ke kamar adiknya. Semuanya mengikuti Neji.
Dan apa yang didapatnay di kamar Hinata, membuat tangan Neji mengepal sekaligus terkejut.
Kamar Hinata kosong, tidak ada Hinata di sana.
Neji khawatir, ke mana Hinata?
.
.
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
.
.
A/N : Karena di fic ini Hinata mempunyai gangguanb jiwa, jadi gak papa ya kalau dia agak OOC banget.
Nama Shuki dan Taka, Ryu ngarang.
Ryu mau ngucapin makasih buat yang udah review di Sometimes chapter ending, follow and fave
Ryu minta maaf buat yang minta sequel, Ryu gak bikin sequelnya.
Tapi Ryu berharap semoga minna-san suka ya ddengan fic GaaHina yang ini…..
Review nya donk kasih ya…..please !
Thank You Minna-san
