/Nether : Tim Van Morgen, Fem!Indo : Kirana Kusnapaharani /
Let me Grow a Flower in Your Heart
Di belakang meja yang bertatakan bunga-bunga beragam warna, seorang perempuan Asia nampak sedang merangkai bunga yang nantinya akan ia jajakan. Tangannya yang ia gunakan untuk merangkai bergerak dengan terampil, memperlihatkan bahwa wanita berkulit sawo matang itu telah terbiasa dengan pekerjaannya.
Selesai merangkai, ia langsung menjejerkan rangkaian bunganya di atas meja kayu. Kedua ujung bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan sebuah senyuman puas di wajah khasnya.
Dan ia pun menunggu. Menunggu pelanggan datang. Meski dalam lubuk hatinya, ia yakin tak akan ada yang datang. Siapa yang peduli dengan bunga maupun tumbuhan yang indah di kota ini? Yang orang-orang pedulikan hanyalah uang, uang, dan uang. Pantas saja kota yang sekarang ia tinggali ini tidak cukup sehat dan juga gersang. Dikarenakan tak adanya pepohonan yang menyaring udara.
Tidak lama kemudian, setelah merenungi hal tadi, seorang pemuda rupanya telah berdiri di depan perempuan itu, dibatasi dengan jejeran bunga yang sudah terangkai dengan indahnya di atas meja. "Satu buket berapa?"
Hanya dengan pertanyaan itu saja sudah membuat gadis penjual bunga tersebut memancarkan senyum lebarnya. Dengan segera perempuan yang mempuanyai nama Kirana itu menjawab "L... Lima ribu!" dengan nada agak tinggi karena terlalu senang.
"Oh, kalau begitu saya beli bunga tulip dengan warna merah dan putih. Sebuket." Pinta pemuda berambut jabrik itu dengan santun.
"Baik, segera!" dengan cekatan Kirana merangkai tulip dengan kertas bermotif, kemudian memberikannya pada pembeli tadi. Selepas memberikan selembar kertas bernilai lima ribu rupiah, sang pembeli misterius itu pergi tanpa banyak bicara. Perempuan itu senang bukan kepalang mendapatkan hasil walau hanya sedikit.
Senyuman di wajahnya menetap, tak memudar sedikit pun. Ia melambaikan tangannya pada sosok lelaki berambut pirang yang mulai menjauh.
"Silahkan datang lagi!"
:v
Langit telah meredup. Rangkaian bunga yang sudah berdiri indah masih sangat banyak. Bahkan beberapa telah layu. Gadis putih langsat itu tampak lesu. Bukan karena penghasilannya yang sedikit, melainkan karena orang-orang yang mengabaikan keindahan dari bunga-bunga itu. "Kenapa semuanya tidak pernah peduli tentang sesuatu yang indah?" Gumamnya.
Karena hari sudah mencapai senja, Kirana memutuskan untuk menyelesaikan bisnisnya. Setelah berkemas, perempuan asal Indonesia tersebut membawa beberapa buket yang tak habis dijual.
Kaki kecilnya yang beralaskan sendal bermerk 'Swallow' itu ia langkahkan terus menerus. Jarak tempatnya berjualan dengan rumahnya memang 'cukup' jauh. Sehingga berjalan kaki ke rumah membuatnya tak sadar akan waktu yang telah berganti menjadi malam. "Sudah malam, ya?" Pikirnya sendiri di tengah lautan manusia. Ia pun melanjutkan perjalanan pulangnya. Namun—
Kryuuuk~
Perutnya telah berbicara, meminta asupan makanan. Ia merogoh kantung bajunya yang lusuh itu—lima ribu. Perempuan bersurai hitam itu menghela napasnya pelan. Seharian ini ia memang belum makan. Nah lho, lima ribu? Ia tak bisa membeli apapun terkecuali minuman. Sedangkan, minuman saja tak akan cukup untuk mendiamkan perutnya.
Dan mata kecoklatannya menangkap sebuah restoran besar di dekatnya.
Ya, mungkin ia bisa meminta sedikit makanan sisa dari sana.
Kirana lalu pergi ke pintu belakang restoran itu dan mengetuknya, seraya berharap tinggi.
Pintu kayu yang kokoh itu terbuka, menampakkan seorang pria berkulit putih yang tak asing bagi Kirana. "Oh, kau yang menjual bunga tadi?" Perempuan itu mengangguk.
Lalu kedua mata hijau milik lelaki itu terjatuh pada buket bunga yang mencuat keluar dari dalam kresek putih yang ada di genggaman wanita Asia di hadapannya. Salah satu alisnya terangkat bingung.
"Belum laku?"
"Iya, begitulah." Jawab gadis miskin itu singkat dengan ekspresi sedih.
"Hm. Kasihan juga. Lalu, untuk apa kau kemari?" tanya pemuda itu lagi dengan wajah datar, seolah tak peduli.
"Ah, begini, kupikir bisa mendapat sedikit makanan... meski hanya sisaan." Kirana menundukkan kepalanya dengan malu. Siapa yang tak malu? Mengemis makanan sisa dari restoran besar. Apalagi seorang wanita. "Maaf, kalau tidak boleh, aku akan segera pergi." Tambahnya.
Setelah mendengarnya, pria bule itu kembali masuk ke dapur yang luas dibalik pintu. Beberapa koki yang sedang bekerja menyiapkan makanan untuk pelanggan kebingungan saat melihat lelaki berambut pirang itu membawa keluar sepiring nasi goreng yang ia buat serta segelas air tawar keluar.
Salah seorang koki bertanya, "Tim, untuk apa kau membawanya keluar?" lelaki yang ternyata bernama Tim itu membalikkan badannya. "Mau kuberikan pada seseorang."
Sebelum koki lainnya dapat bertanya, Tim sudah keluar dari dapur yang sibuk itu. Setelah melangkah keluar dari ruangan panas itu, koki muda tersebut langsung menyodorkan sepiring nasi goreng dan segelas air tawar yang terlihat menggiurkan pada gadis yang sedang kelaparan itu.
"Makanlah. Ini buatanku, jadi tak perlu sungkan." Gadis bermatakan coklat tanah itu menerimanya dengan girang. Tanpa ragu, ia memakan nasi itu setelah mendapat tempat duduk yang cukup sesuai, yaitu di tanah.
Pemuda yang memberinya makanan tadi menatap Kirana yang sedang melahap nasi goreng dengan porsi yang cukup banyak itu. "Aku harus kembali ke dapur. Taruh saja piringnya di depan pintu setelah selesai." Ucapnya.
"Baik, terima kasih," tanpa banyak basa-basi, koki Belanda itu meninggalkan gadis Indonesia itu sendirian.
:'v
Sudah larut malam. Dari balik pintu belakang restoran besar itu, keluarlah seorang pemuda yang bajunya sudah berganti dengan baju santai biasa. Lelaki muda itu sedikit terkejut melihat sosok gadis yang pastinya ia tahu, si penjual bunga, masih berada di depan pintu.
"Ah! Ini piringnya, terima kasih sudah membantuku!" ucap perempuan itu seraya memberikan gelas dan piring yang sudah putih bersih tanpa sisa makanan, terkecuali noda minyak.
"Sudah kukatakan untuk meninggalkannya di depan pintu, kan?"
"Hah? Masa? Maaf, aku lupa. Hehe." Gadis pedagang bunga itu menggaruk lehernya yang tak gatal. "Lagipula aku juga ingin berterima kasih lagi." Lanjutnya dengan senyuman khasnya.
Tim mendengus mendengar perkataannya kemudian masuk ke dalam dapur itu sekali lagi dan meletakkan piring serta gelas yang tadinya perempuan malang itu gunakan . "Kau tidak pulang? Sudah malam. Bagaimana kalau bertemu orang jahat?"
Kirana hanya bisa nyengir. "Tenang saja, aku sudah terbiasa pulang selarut ini, kok."
Pemuda pirang itu mengunci pintu kayu restoran itu, lalu menatap si Kirana. "Kalau begitu aku pulang dulu." Pamitnya. Gadis miskin itu hanya mengangguk dan melambaikan tangan kepada lelaki tulip yang mulai menghilang sosoknya.
Kirana berdiri diam disana. "Syukurlah," Bisik wanita berkulit tan tersebut pada dirinya sendiri. Ia bersandar pada dinding dingin milik restoran yang telah tutup tadi. Berencana untuk beristirahat sebentar sebelum pulang ke rumah.
Entah berapa menit yang baru berlalu, gadis Indonesia asli itu sudah menguap. Matanya telah sayu—ingin cepat-cepat menutup. Karena itu, ia cepat-cepat memungut buket-buket bunga yang sebelumnya berada tepat di sampingnya dan berjalan pulang.
:'''v
Malam berlalu dengan cepat. Kirana telah terbangun dari tidurnya yang beralaskan tikar. Meski hanya dialaskan tikar bekas nan tipis, ia tetap bisa tertidur dengan nyenyak.
Di pagi buta, sekitar jam setengah empat, ia sudah berada di halaman belakang rumah kecilnya. Disana, ia menimba air dari sumur dan membawanya kedalam rumah untuk kemudian dimasak atau digunakan unutk mandi. Udara dingin yang menusuk pori-pori kulitnya ia abaikan begitu saja. Ia telah terbiasa akan hal ini.
Setelah merasa cukup dengan air yang ditimbanya, Kirana memakai sebagian air timbaannya untuk membersihkan dirinya. Setelah mandi, ia membuka kresek hitam yang berisikan nasi goreng yang sempat ia sisihkan semalam. Sambil menunggu air mendidih, ia memakan nasi goreng sisaan tadi dan meminum air yang telah masak.
Matahari dengan perlahan mulai memancarkan cahayanya, menyinari rumah mungil gadis malang tersebut. Kirana menyiapkan barang dagangan dengan rapi dan teratur sebelum memasukkannya ke dalam kantung kresek besar bewarna putih.
Mendengar suara air yang mendidih, ia segera beranjak ke dapurya, mengambil ceret sederhana yang telah memanas itu dari tungku, menaruhnya di atas sebuah batu bata. Lalu ia mematikan api di tungku yang ia gunakan tadi sebelum akhirnya, pergi mengambil dagangannya yang akan ia jual nantinya. Keluar dari rumah kecil yang menurutnya nyaman untuk memulai hari baru.
\(SKIP)/
Sesampainya ia di tempat yang biasa ia tempati untuk berjualan, kedua tangannya langsung menurunkan kresek putih besar yang terisi rangkaian bunga dagangannya. Kemudian Kirana mengeluarkannya satu persatu, meletakkannya di atas meja.
Bibir merah mudanya terangkat sudutnya. Menciptakan sebuah senyuman manis di wajahnya yang terbungkus kulit senada sawo. Ia pun duduk diam, menunggu.
Lima menit berlalu— ah, wajar. Ini kan masih pagi.
Dua puluh menit berlalu— masih pagi, kok.
Sekitar empat jam berlalu— keterlaluan.
Orang-orang yang berlalu lalang di depannya hanya melirik sekilas jejeran bunga segar nan indah di meja kayu itu. Sekilas. Pandangan orang-orang tadi hanya menampakkan kebosanan. Dan itu tentu membuat Kirana muak. Ia tidak suka dengan orang-orang seperti itu.
"Tulip merah, putih, dan biru. Satu, ja."
Mata coklat gadis itu menatap ke arah si pembicara. Ah, ia kenal orang itu. Tentu saja ia kenal. Tak terasa, sebuah senyuman lebar kembali muncul di wajahnya. "Baiklah, tunggu sebentar!" jawabnya dengan semangat membara.
Setelah membuat rangkaian baru, ia memberikannya pada pemuda yang semalam telah berbaik hati memberikannya nasi goreng.
"Terima kasih anda mau datang lagi!" ujar gadis bersurai hitam itu.
Tim tersenyum tipis. Tipis sekali. Meski begitu, Kirana tetap dapat melihatnya, dadanya bergemuruh. Sepertinya wajahnya telah memerah. Spontan ia memalingkan pandangannya dari Tim. Menyembunyikan wajahnya. "S-Silahkan datang lagi." kata Kirana tanpa menatap pemuda di hadapannya.
Tim mengangkat alisnya. Heran dengan tingkah gadis itu. Tanpa banyak ngoceh, ia pergi sebentar setelah membayar bunga tulip itu. Diam-diam Kirana melirik sosok Tim yang terlihat gagah, masih dengan wajahnya yang semerah tomat. Setelah figur itu menghilang, ia kembali normal dan melanjutkan pekerjaannya.
:'v
Matahari sudah terik sekali. Panasnya sampai menyengat kulit sawo milik si perempuan penjual bunga. Sudah siang begini, bunga-bunganya belum ada yang terjual juga? Apa orang-orang yang lewat hanya menganggap ini barang pajangan biasa? Sungguh menyebalkan.
Walaupun begitu, Kirana tetap sabar duduk menunggu pelanggan, walau dirinya dibakar panasnya matahari. Belum lagi perutnya sudah mulai lapar. Sepertinya nasi goreng tadi pagi belum cukup membuat perutnya bertahan hinga tengah hari.
Di saat perutnya sedang asyik berdemo, tiba-tiba sekantung kresek mendarat di meja yang tidak tertutupi rangkaian bunga. Kirana mengangkat kepalanya. Ia melihat figur yang rambutnya hampir serupa dengan tulip. 'Kutraktir." Ucap lelaki itu singkat.
"Boleh...?" awalnya Kirana agak ragu untuk menerimanya. Namun pemuda itu memaksa. Dan pada akhirnya gadis itu menyerah dan menerima bungkusan itu.
Kirana membuka makan siangnya yang sudah di bungkus rapi dengan kertas berwarna coklat itu. Gadis miskin ini tertegun pada makanan yang terlihat enak dengan porsi yang cukup banyak. "Ini sendok dan minumnya." Lanjut Tim seraya memberikan keduanya pada gadis yang kelaparan tadi.
"T-Terima kasih." Ucap gadis itu dengan gembira. Ia tak menyangka, seseorang dapat bersikap baik padanya. Zaman sekarang, orang kaya tak akan mau sekedar bertatapan mata dengan orang miskin. Apalagi memberikan makanan atau apapun. Orang-orang kaya lebih memilih menghabiskan uang untuk dirinya sendiri. Tak banyak yang masih peduli pada orang miskin.
Namun, lelaki yang membantunya ini berbeda. Dan ia dibuat senang olehnya.
Kedua bola mata Kirana terus terpaku pada lelaki yang belum ia ketahui namanya itu. Tak sedetik pun pandangannya lepas dari objek tersebut. Ngomong-ngomong soal nama—
"Oh iya, benar juga. Maaf, tuan, kalau boleh tahu nama anda siapa?" tanya Kirana pada pemuda itu.
"Tim. Tim Van Morgen. Kita memang belum berkanalan, hm?" jawab pemuda pemilik mata hijau itu sambil mengusap belakang kepalanya dengan canggung.
Gadis Indonesia itu tersenyum lagi. "Saya Kirana Kusnapaharani. Terima kasih telah membantu saya!" setelah berkenalan, Kirana melahap makan siangnya yang sempat terabaikan tadi dengan cepat.
Tim agak kagum dengan gadis yang dapat membuka lebar mulutnya di depan orang lain tanpa kenal malu. Membuatnya tersenyum di wajahnya yang terbiasa berekspresi datar.
Selang beberapa menit, nasi itu telah habis. Perempuan yang menjual bunga tersebut masih duduk bersimpuh di tanah. Ia mendongakkan kepalanya, "Tuan Tim, silahkan beristirahat sebentar disini. Sinar matahari bisa membakar kulitmu." Ujar Kirana dengan senyum lebar. Ia menepuk tempat kosong di sebelahnya.
Lelaki tinggi itu mengangguk kecil sebelum duduk di samping perempuan yang jauh lebih pendek darinya. "Panggil saja Tim. Jangan pakai 'tuan'. Terdengar tua, tahu."
"Eh? Begitu, ya? Maaf, deh tu—Tim! Sudah menjadi kebiasaanku. Hehe." Tim hanya mendengus ketika mendengar Kirana yang akan mengatakan 'tuan'. Tapi, tak apa. Ia sudah memanggilnya dengan normal.
Lalu, hening.
Keadaan itu terus bertahan selama beberapa menit. Kirana yang tak begitu suka akan keheningan langsung membuka mulut.
"Ah iya, kau kerja sebagai koki, ya?" lelaki yang sedar tadi diam di sampingnya segera menoleh. "Hm, yah. Ngomong-ngomong, dari kapan kau menjual bunga seperti ini? Apa kau punya bisnis lain?"
"Tidak punya... dan aku memulai bisnis ini saat aku berumur sebelas tahun." Kedua kelopak mata milik lelaki asal Belanda itu terbuka lebar, memperlihatkan iris hijaunya yang cerah.
"Sebelas... tahun? Memulainya sendiri? Lalu orang tuamu?" tanya Tim lagi. Kirana hanya melempar senyuman tipis.
"Aku dibuang oleh mereka saat aku lahir. Aku dirawat oleh nenekku, dan aku tidak berbisnis sendiri." –Ia berhenti sejenak. "Sebenarnya beliaulah yang mendirikan bisnis ini. Aku pun hanya membantunya saja. tetapi, enam tahun yang lalu, beliau meninggal dunia karena sakit jantung." –kemudian ia tertawa renyah. "Haha, sepertinya aku sudah banyak bicara, ya?" jelas gadis Asia itu mengakhiri ceritanya. Diikuti oleh kesedihan yang terpancar di matanya.
Tim termenung sebentar, lalu membisik pelan, merasa bersalah telah menanyakan hal tersebut. "...maaf. Aku tak tahu."
"Tidak apa-apa, toh itu juga sudah berlalu," jawab Kirana seraya berusaha untuk tetap terlihat ceria.
"Kalau... begitu, sebaiknya aku kembali bekerja." Lelaki bertubuh tegap itu berdiri dari tempat yang ia duduki tadi sambil melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul dua siang.
"Terimakasih atas makanannya, Lars! Silahkan datang lagi!" koki muda itu hanya membalas ucapan Kirana dengan lambaian tangan yang singkat. Setelahnya, menghilang dengan cepat. Kirana kembali melanjutkan bisnisnya dengan duduk menghabiskan waktu hingga senja.
BERSAMBUNG~
