Sabtu, pukul satu dini hari.

Sesosok bayangan melesat cepat membelah gelapnya malam. Rambutnya berkibar tertiup angin, setiap inci wajahnya menampakkan keseriusan. Dia melewati gedung demi gedung di hadapannya dengan langkah ringan.

Hanya satu tujuannya, Rumah Sakit Karakura, lantai lima, kamar nomor 107. Dia mempunyai misi. Harus segera diselesaikan hari ini juga jika tak mau diberi sanksi oleh pimpinan.

"Jadi dia ya?" Dia menatap data-data seseorang yang akan menjadi targetnya kali ini di tangan kirinya dan memacu langkahnya lebih cepat.


A Bleach Fanfiction

Disclaimmer

Bleach © Tite Kubo

Voice of the Sky © Takamiya Satoru

I Just Wanna Hold You Tight (song) © Miho Komatsu (singer)

I Just Wanna Hold You Tight (story) © Kurochi Agitohana

.

Mission 1: Through Your Eyes

Pair: Ggio x Soi Fon

Genre: Romance, Hurt/Comfort, Tragedy


Delapan jam lalu. Jum'at, pukul lima sore

Matahari sore memancarkan sinarnya sebelum tenggelam ditelan waktu. Cahaya yang didominasi oleh warna oranye itu membuat segalanya terlihat seperti musim gugur. Situasi taman di Rumah Sakit Karakura selalu sama. Orang-orang berlalu lalang di sekitarnya, di sekitar seorang lelaki yang terduduk diam di atas kursi rodanya.

Matanya menerawang ke ujung horison. Kosong, tak ada cahaya walau dia masih bisa berkedip dengan normal. Di sampingnya terlihat seorang wanita berwajah sendu yang sedang menatapnya. Bulir bening air mata menggumpal di kedua ujung matanya.

"Soi Fon, berhentilah," lelaki itu memegang tangan wanita yang bernama Soi Fon itu.

"Eh?" Wanita itu tersentak kaget. Tak menyangka lelaki itu tahu bahwa dia sedang berusaha menyembunyikan kesedihannya.

"Berhentilah menangis untukku," lelaki tadi menoleh ke arah Soi Fon yang berada di sebelah kanannya.

"Tapi Ggio..." Wanita itu menggenggam tangan Ggio yang sebelumnya sudah menggenggam tangan kirinya–yang ada di pangkuan Ggio–dan berlutut agar dapat melihat wajah Ggio dengan jelas.

"Kumohon. Kalau kau menangis, aku merasa tak berguna sama sekali," Ggio mengeratkan genggaman tangannya.

"Uhn, baiklah..." Wanita itu menyetujui perkataan Ggio walau dengan berat hati. Sangat berat karena dia yang sudah menyebabkan semua ini terjadi padanya–pada Ggio. Sedangkan Ggio sama sekali tak berpikir kalau semua yang terjadi padanya disebabkan oleh Soi Fon.

"Tahukah kau Soi Fon," lelaki itu berhenti sejenak dan mengalihkan pandangannya–yang semula menatap Soi Fon–ke arah matahari yang mulai tenggelam.

"Aku sama sekali tak menyesal telah melakukan semuanya," Soi Fon memperhatikan raut wajah Ggio yang perlahan menjadi cerah. Tak seperti tadi yang terlihat sedih ketika dia tahu kalau Soi Fon menahan tangisnya.

Mata wanita itu tampak berkaca-kaca mendengar perkataan Ggio. Begitu tulus, penuh perhatian dan kasih sayang. Soi Fon tahu walaupun dia mencoba meminta maaf beribu-ribu kalipun, lelaki itu–Ggio–pasti akan menghentikannya. Dia pasti akan berkata seperti tadi.

"Semua itu kulakukan semata-mata hanya untuk menyelamatkanmu. Aku senang kau tak terluka. Aku rela mengorbankan nyawaku untuk menyelamatkanmu. Walau aku tahu sekarang aku tak bisa lagi melihat dunia dan wajahmu, aku senang kau baik-baik saja," Ggio berkata panjang lebar diiringi dengan senyuman tipis di ujung bibirnya.

Soi Fon menangis dalam diam. Kali ini dia tak bisa menahan kesedihannya. Air matanya mengalir deras dari kedua matanya. Dia menggigit bibir bawahnya agar tak mengeluarkan sesenggukan kecil. Dia mengingat kejadian sekitar dua minggu yang lalu. Kejadian yang membuat Ggio menjadi seperti sekarang–kakinya lumpuh dan tak bisa melihat.

Flashback

Senin, pukul sepuluh malam.

Seorang wanita berjalan tergesa-gesa di trotoar jalan raya yang semakin malam semakin ramai. Orang-orang yang melihatnya berusaha menggodanya, bersiul ke arahnya. Hujan tadi sore membuat udara malam ini terasa lebih dingin daripada biasanya. Dia mengeratkan mantelnya.

Wanita itu, Soi Fon, sama sekali tak mempedulikan perlakuan mereka–yang menggodanya. Dia membiarkan semua itu terjadi begitu saja. Dia hanya ingin cepat-cepat sampai di rumahnya dan beristirahat. Dia sangat lelah hari ini. Manajernya sama sekali tak memberikan keringanan bila menyangkut pekerjaan.

Hari ini pun dia terpaksa lembur hanya untuk menyelesaikan semuanya. Dia tak ingin manajernya memotong gajinya–yang sudah sedikit–hanya gara-gara terlambat menyelesaikan pekerjaan.

Dia menghela nafas. Semuanya terasa berat untuknya. Tinggal sendiri di sebuah apartemen kecil pinggir kota dengan pemilik yang selalu memandangi tubuhnya ketika dia lewat, bekerja delapan jam bahkan lebih di sebuah perusahaan kecil dengan gaji yang juga sama kecilnya walau dia sudah lembur sekalipun, biaya kehidupan yang semakin lama semakin naik dan juga jangan lupa dengan wasiat kedua orang tuanya yang sudah meninggal agar dia cepat-cepat menikah.

Menikah? Dia bahkan tak memikirkan hal itu. Di usianya yang sudah menginjak 27 tahun, seharusnya dia sudah memiliki sebuah keluarga. Tinggal di sebuah rumah mungil di desa–yang merupakan impiannya–bersama dengan anak-anak yang bertingkah lucu dan menggemaskan, serta seorang suami yang dicintainya dan juga mencintainya.

Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Menghilangkan semua impian-impian yang terus terlintas di pikirannya. Dia tahu hal itu sulit didapatkan. Jangankan suami, pacar saja dia tak punya. Tiba-tiba dia teringat seseorang.

Dia menghentikan langkahnya sejenak. Tangannya dia bawa di dadanya, menggenggamnya kuat-kuat. Jantungnya serasa meloncat ketika dia teringat wajah penuh senyum seorang pemuda yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya. Ggio...

Trriiiingg... Trriiiingg...

Handphone-nya bergetar. Dia segera mengaduk-aduk isi tasnya dan mengeluarkan ponsel flip berwarna putih.

"Moshi-moshi..." Dia menjawab panggilan sembari mulai berjalan lagi–dengan perlahan.

"Ah! Soi Fon..." Seseorang di seberang sana menyebut namanya dengan berteriak, membuat Soi Fon menjauhkan ponselnya dari daun telinganya.

"Ada apa Rangiku? Jangan berteriak," Soi Fon mendekatkan lagi ponselnya seraya menggaruk leher yang sepertinya digigit serangga.

"Kau meninggalkan data penting di kantor," Soi Fon sejenak tak menjawab pernyataan Rangiku. Dia masih berjalan dengan tenang. Walau dia tahu, hal yang baru saja dikatakan Rangiku akan membuatnya berada dalam masalah besar.

"Aku sudah terlanjur meninggalkan kantor. Kau tahu kan kalau apartemenku tidak dekat?" Dia berbicara dengan Rangiku dengan suara yang sepertinya sedikit serak. Mungkin tanda-tanda flu, pikirnya. Cuaca yang tak stabil membuatnya harus menjaga kesehatannya lebih ekstra.

"Lalu bagaimana dengan data ini? Kau mau kalau bos sampai tahu kau meninggalkannya di sini? Pekerjaanmu akan terancam Soi Fon."

"Aku tahu itu Rangiku," wanita itu menghela nafasnya. Dia mengusap wajahnya yang terlihat lelah dengan semua masalah yang sepertinya tak berhenti datang.

"Hhhh... Baiklah! Aku akan menyimpannya untukmu," raut wajah Soi Fon berubah senang seketika itu juga.

"Benarkah itu Ran-chan?" Soi Fon bertanya dengan wajah berbinar-binar. Langkahnya dia percepat karena tiba-tiba dia menjadi semangat.

"Hei! Jangan memanggilku seperti itu. Aku tidak suka," Soi Fon harus menjauhkan ponselnya sekali lagi dari daun telinganya–karena Rangiku berteriak.

"Hihihi... Baiklah, baiklah. Terima kasih."

"Hn..."

Tuuut... Tuuut... Tuuut...

Sambungan telepon ditutup secara sepihak.

"Hhhh... Dasar Rangiku," wanita itu menutup ponselnya dan memasukkannya lagi ke dalam tas yang tersampir di bahu kirinya.

Kali ini pikirannya kembali terpusat ke jalanan. Ternyata dia sudah masuk ke kawasan pinggir kota. Berjalan dari stasiun bawah tanah sampai ke apartemennya membutuhkan waktu cukup lama.

Soi Fon berhenti. Ditatapnya jalanan yang kini mulai lengang oleh kendaraan. Hanya satu-dua saja yang melintas. Itu pun dengan kecepatan tinggi. Dia menolehkan kepalanya ke arah kiri dan kanan. Lampu belum berubah hijau, masih merah. Walaupun sepi kendaraan, Soi Fon tak mau mengambil resiko.

Ketika lampu berubah hijau, dia mulai melangkah–menyebrang jalan–dengan langkah sigap, walau dia sedang mengenakan sepatu berhak cukup tinggi.

Gedung appartemennya sudah kelihatan dari sini. Hanya tinggal berjalan beberapa blok lagi, maka dia dapat beristirahat merenggangkan otot-ototnya yang kaku setelah seharian bekerja tanpa henti, tentu diselingi dengan istirahat makan siang. Karena bagaimanapun juga, dia tak akan mau membuat tubuhnya lemah hanya karena tak makan siang. Lagipula jika dia sakit, siapa yang akan mengurus pekerjaannya?

Tiba-tiba cahaya terang datang dari arah kanannya. Soi Fon memincingkan matanya sambil menutupinya dengan lengannya agar dapat melihat sedikit lebih jelas.

TIIIINNN... TIIIINNN...

Bunyi itu menggema ke seluruh jalanan, mataSoi Fon terbelalak lebar. Dia melihat sedan berwarna hitam melaju kencang ke arahnya dengan ugal-ugalan.

Oh, Tuhan! Dia tak sempat menghindar walau mencoba berlari sekarang. Itu percuma. Yang ia bias lakukan hanya memejamkan matanya erat-erat. Ia tak ingin melihat kematiannya sendiri.

"SOI FOOONN..."

Ckiiiiiitttt... Bruakkk...

Soi Fon merasakan tubuhnya terhempas ke aspal yang keras dan lembab–karena hujan.

"Akkhhh..." Seseorang merintih tak jauh dari Soi Fon.

Brrrrmmmm...

Soi Fon membuka matanya dan berusaha untuk duduk. Dia hanya merasa lebam di siku, lengan dan lututnya. Dia mengedarkan pandangannya. Orang-orang mulai berlarian untuk menolongnya atau sekedar mencari tahu apa yang terjadi.

Mata Soi Fon kembali terbelalak lebar. Di sana. Tak jauh darinya ada sesosok orang yang dikenalnya. Sangat dikenalnya. Dia merintih sambil memegang kedua matanya. Darah berceceran di mana-mana.

"G-GGIOOOO..." Soi Fon bangkit dan berlari ke arahnya–ke arah Ggio. Mobil sedan hitam tadi ternyata telah melarikan diri.

"Ggio, Ggio..." Dia bersimpuh di samping lelaki itu. Soi Fon melihat darah mengalir dari kedua mata lelaki yang tadi mendorongnya dan juga kakinya terluka parah.

Orang-orang yang berlarian tadi kini telah mengerubungi mereka berdua. Ada yang memanggil ambulans dan ada juga yang memanggil polisi.

"Ukkhhh... So-Soi Fon, apa kau b-baik-baik saja?" Lelaki itu bicara terbata-bata sambil terus menutup kedua matanya yang terasa begitu perih.

"Kau bodoh Ggio! Kenapa kau mendorongku? Kenapa kau membiarkan dirimu sendiri celaka?" Soi Fon tak dapat menahan tangisannya. Lelaki itu sedikit tersenyum. Kepalanya yang sudah berada di pangkuan Soi Fon dirasakannya semakin berat.

"Baguslah kalau kau tak apa-apa," Ggio merasa kesadarannya mulai hilang. Dia pingsan. Tangannya terjatuh ke samping tubuhnya. Darah dari sudut kedua matanya yang berwarna keemasan itu tak berhenti mengalir.

"Ggio, Ggio sadarlah! Ggio!" Soi Fon sedikit menggoncang tubuh Ggio. Tak berapa lama, ambulans datang. Petugas rumah sakit keluar dan menggotong Ggio masuk. Soi Fon pun mengikuti. Dan dengan segera, ambulans itu melesat ke arah Rumah Sakit Karakura dengan kecepatan tinggi.

Sesampainya di rumah sakit, Ggio langsung dibawa ke UGD. Soi Fon menunggu di luar. Tubuhnya gemetar. Luka-luka di tubuhnya sama sekali tak ia pedulikan. Yang ada di pikirannya saat ini hanya Ggio. Hanya dia saja.

Sudah dua puluh menit Soi Fon menunggu di luar UGD. Hatinya belum tenang sama sekali. Berkali-kali dia berdiri, berjalan mondar-mandir, lalu duduk lagi. Dia gelisah. Takut terjadi sesuatu yang mengerikan pada Ggio. Dalam hati, dia terus berdoa demi keselamatan Ggio.

Tadi Soi Fon sudah menghubungi keluarga Ggio. Walau hanya ada kakaknya–Starrk–setidaknya Soi Fon sudah memberi kabar.

Lima menit kemudian, Starrk datang dengan seseorang sambil tergopoh-gopoh. Keringat terlihat bercucuran di dahinya. Terlihat kalau dia datang ke rumah sakit dengan terburu-buru. Bahkan sepatunya berlainan.

"Soi Fon, ada apa dengan Ggio?" Starrk menghampiri Soi Fon yang terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit.

"Maaf. Gara-gara aku dia jadi seperti ini. Aku sama sekali tak berniat membuatnya celaka," Soi Fon sesenggukan sambil mengeluarkan bulir air mata.

"Tenanglan Soi-chan…" Seseorang yang bersama Starrk tadi menenangkan Soi Fon dengan mengusap punggungnya.

"Terima kasih Lilynette…"

"Uhn… Tenanglah," Lilynette memeluk Soi Fon.

"Ya! Tenanglah Soi-chan… Ggio pasti baik-baik saja," Starrk membantu menangkan Soi Fon.

Mereka bertiga menunggu dalam diam sampai lampu kamar operasi meredup dan mati. Kemudian seorang dokter paruh baya keluar dari sana. Name tag-nya tertulis Isshin Kurosaki. Soi Fon, Starrk dan Lilynette mendatanginya.

"Dokter, bagaimana keadaannya? Bagaimana keadaan Ggio? Dia baik-baik saja kan?" Soi Fon memberondong dokter itu dengan pertanyaannya.

"Tenanglah nona. Dia baik-baik saja. Sudah melewati saat kritis. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang rawat. Akan tetapi…" Dokter itu berhenti sejenak dan menatap wajah ketiga orang di hadapannya yang diliputi kecemasan. Ketiga orang itu terdiam menunggu kalimat selanjutnya yang akan dilontarkan oleh sang dokter.

"Akan tetapi kakinya lumpuh dan, dia tak bisa melihat lagi."

"Ya Tuhan!" Bulir-bulir air mata mulai jatuh lagi dari mata Soi Fon.

"Matanya terkena serpihan kaca mobil yang pecah–"

Perkataan selanjutnya dari sang dokter sudah tak dapat didengar oleh Soi Fon. Dia limbung.

End of flashback

"Soi Fon…" Soi Fon tersentak dari lamunannya. Dipandanginya Ggio yang kini melihat ke arahnya.

"Apa kau baik-baik saja?" kedua alis Ggio menyatu ketika menanyakan hal ini, disertai dengan raut wajah khawatir.

"A-aku baik-baik saja Ggio…"

"Hmm… Begitukah?" Ggio mengalihkan pandangannya.

"Kalau begitu, kenapa kau menangis?" Soi Fon cepat-cepat mengusap air matanya. Dia sudah kepergok menangis dua kali oleh Ggio.

"Aku tidak menangis Ggio…" Soi Fon berusaha menutupi kesedihannya–lagi. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Hal yang sangat penting. Ketika kecelakaan terjadi, mengapa Ggio ada di sana? Bodohnya dis baru menyadari hal ini sekarang.

Soi Fon memberanikan diri bertanya pada Ggio, "uhn... Ggio, apa aku boleh bertanya sesuatu?"

"Tentu saja. Apa itu?" Soi Fon menggigit bibir bawahnya, "saat kecelakaan itu terjadi, kenapa kau juga berada di sana? Bukankah kau harusnya ada di kantormu?"

Ggio sejenak tak menjawab. Hingga akhirnya dia menyunggingkan senyuman hangat dan menjawab pertanyaan Soi Fon, "dimanapun kau berada, aku pasti akan ada di sana!" Dengan penuh percaya diri, Ggio menjawabnya dengan senyuman yang semakin lebar.

Hal ini membuat rona kemerahan menjalar ke kedua pipi Soi Fon. Dia berusaha untuk tidak menunjukkan sikap konyol karena malu di hadapan Ggio. Maka dia pun berkilah mengalihkan pembicaraan. "Udara semakin dingin. Lebih baik kita masuk saja."

"Baiklah," Ggio hanya menuruti perkataan wanita yang dicintainya itu. Walau ia belum pernah mencoba mengungkapkan perasaannya, dia tahu kalau Soi Fon juga memiliki perasaan yang sama.

Soi Fon mendorong kursi roda Ggio dengan pelan. Melintasi taman rumah sakit yang sudah sepi orang-orang. Cahaya matahari yang berwarna oranye tadi sedikit redup ketika matahari sudah hampir tenggelam, berganti dengan cahaya berwarna merah dan biru gelap di langit bagian timur.

Mereka berdua melintasi jalan menuju kamar Ggio dalam keheningan. Tak ada dari mereka yang ingin membuka mulut. Bagi mereka keheningan ini begitu menghanyutkan.

Setelah sampai di depan kamar Ggio, Soi Fon membuka pintunya dan mendorong Ggio masuk. Sejenak Soi Fon melihat jam dinding. Pukul enam sore. Seharian ini dia berada di rumah sakit untuk menemani Ggio. Tentu saja hari ini dia libur kerja, jika tidak dia tak mungkin berada di sini.

Soi Fon membantu Ggio yang akan berbaring. Wajah Ggio terlihat sedikit pucat dari biasanya. Soi Fon yang menyadari hal ini hanya berpikir kalau dia pasti hanya kedinginan. Udara malam memang tidak baik.

"Ggio, apa kau butuh sesuatu?" Soi Fon mencoba membunuh keheningan yang sejak tadi tak ada yang berusaha untuk memecahkanya.

Dengan sedikit senyum yang tersungging di bibirnya, Ggio berkata pada Soi Fon, "tak perlu Soi-chan. Aku sudah senang kalau kau ada di sini."

Pipi Soi Fon tampak memerah ketika mendengar Ggio memanggilnya Soi-chan. Degup jantungnya bisa dia dengar dengan jelas. Walau Ggio tak bisa melihat wajahnya sekarang, Soi Fon tetap saja malu.

Sebenarnya jam besuk rumah sakit sudah habis. Tapi Soi Fon ngotot ingin berada di samping Ggio selama ia libur kerja. Dia hanya bisa menjenguk Ggio maksimal tiga kali seminggu. Maka tiap dia libur kerja, pasti dia akan menghabiskan waktu seharian untuk menjaga Ggio. Dokter Kurosaki sendiri yang mengizinkan. Dan Soi Fon berterima kasih karenanya.

Ketika sudah memasuki jam makan malam, Soi Fon keluar untuk makan. Sebenarnya dia tak ingin meninggalkan Ggio sendirian. Tapi perutnya sama sekali tak bisa berkompromi.

Saat dia kembali ke kamar Ggio, dia mendapati Ggio tengah tertidur pulas. Soi Fon berjalan ke samping ranjang Ggio. Dia menggeret kursi untuk duduk di samping Ggio. Digenggamnya tangan kanan Ggio yang berada di samping tubuh Ggio dengan kedua tangannya.

Soi Fon mengamati wajah tertidur Ggio yang terlihat begitu damai lekat-lekat. Diarahkannya tangan kirinya untuk menyentuh wajah Ggio. Merasakan kontur wajah Ggio yang tegas dan lembut. Berusaha menyimpan gambaran orang yang begitu disayanginya di ingatannya. Dia tak ingin melupakan wajah ini.

Setelah puas membelai wajah Ggio, Soi Fon menarik tangannya dan kembali manggengam erat tangan Ggio. Diarahkannya tangan Ggio ke pipi kanannya. Merasakan kehangatan yang membuatnya hatinya tenang–kehangatan yang hanya dimiliki oleh Ggio.

Soi Fon memejamkan matanya. Menaruh kepalanya yang terasa lelah di atas ranjang dan tertidur. Kedua tangannya masih menggenggam erat tangan Ggio.


Sabtu, pukul satu dini hari

Angin malam berhembus pelan dari jendela kamar nomor 107 yang tak tertutup. Sesosok bayangan tampak bediri di ambang jendela. Dari punggungnya tampak sepasang sayap. Sayapnya terlihat ganjil. Di sebelah kiri berwarna putih dan di sebelah kanan berwarna hitam.

Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan dua garis hitam memanjang dari bahu sampai ujung bawah kemejanya yang terdapat di sebelah kanan. Celana panjang dan sepatu yang dikenakannya berwarna hitam.

Kemejanya dia biarkan tak agak sedikit berantakan dengan satu kancing atas yang terbuka. Dan tampak di lehernya, sebuah kalung berwarna putih yang melekat pas di lehernya dengan bandul bulan sabit hitam.

Dia melangkahkan kakinya untuk turun ke lantai. Tak ada suara yang keluar sama sekali. Hanya gemerisik bulu-bulu sayapnya yang saling bersentuhan. Entah malaikat atau malah dewa kematian, dia berjalan menuju satu-satunya ranjang yang ada di ruangan itu.

Tampak olehnya dua orang yang sedang tertidur. Satu di atas ranjang, dan yang satunya ada di kursi samping ranjang. Tangan mereka saling menggenggam.

"Aaaah... Kali ini akan terasa sulit," dia menyapukan tangannya di rambutnya yang berwarna mencolok–oranye. Kemudian dia mendekat ke sisi ranjang, berseberangan dengan seorang gadis yang tertidur lelap.

Dia mengarahkan tangannya ke arah wajah lelaki yang terlihat semakin pucat dalam tidurnya. Tangannya berhenti di atas dahi sang lelaki.

"Waktumu telah tiba. Ggio Vega, aku akan menjemputmu," tiba-tiba mata sang lelaki terbuka. Menampakkan iris berwarna keemasan. Hal ini sama sekali tak disangka olehnya–sang malaikat atau dewa kematian.

Mata Ggio terbelalak lebar. Dia merasakan sesuatu yang berbeda. Samar-samar cahaya bulan masuk ke dalam irisnya. Ggio melihat cahaya.

"A-aku bisa melihat?" Ujarnya tak percaya. Sang malaikat atau dewa kematian tadi menjauhkan tangannya dari atas dahi Ggio. Wajahnya yang tadi terkejut karena Ggio membuka mata, kini kembali datar.

"Apa kau memiliki urusan yang belum selesai?" Sang malaikat–atau dewa kematian–bertanya pada Ggio yang masih takjub dengan keajaiban.

Ggio mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Dia terlihat kaget dengan sosoknya. "Si-siapa kau? Kenapa kau ada di dalam sini?" Ggio berusaha tenang menghadapinya.

"Siapa aku? Aku penjemput. Bukan dewa kematian. Malaikat penjemput. Namaku, Kurosaki Ichigo," sang penjemput memperkenalkan dirinya pada orang yang menjadi targetnya kali ini.

"Penjemput? Apa maksudmu?" Ggio terlihat semakin heran.

"Waktumu sudah tiba. Kau harus ikut denganku," dia berkata dengan suara yang datar dan dingin.

"Ikut denganmu? Kemana?"

"Ke alam baka. Waktumu di dunia sudah habis."

"Begitukah?" Ggio mengalihkan pandangannya dari sang penjemput ke arah kanannya. Di sana, Soi Fon masih tertidur lelap. Dia juga masih menggenggam erat tangan kanan Ggio. Wajahnya terlihat begitu damai.

"Aku senang," Ggio berkata sambil tersenyum dan mencoba untuk duduk. "Kalau memang waktuku telah habis, aku senang dapat melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya."

Sang penjemput hanya mengamati targetnya yang sedang mengusap wajah wanita yang tertidur itu. soi Fon menggeliat pelan ketika tangan kiri Ggio membelai wajahnya. Dia terlihat nyaman dengan perlakuan Ggio.

"Diakah urusanmu yang belum selesai?" Sang penjemput bertanya pada Ggio.

"Mungkin," Ggio menjawab tanpa berhenti mengusap wajah Soi Fon.

"Kalau begitu, cepat selesaikan. Aku tak ingin berlama-lama di sini," Ggio menganggukkan kepalanya tanda setuju dan berusaha membangunkan Soi Fon dengan mengguncang bahunya kecil.

"Uhnn..." Soi Fon bangun dan mengusap matanya yang masih berat dengan tangan kanannya. Hal pertama yang dilihatnya adalah iris keemasan yang memancarkan rona bahagia sekaligus sedih. Tapi iris itu menunjukkan cahaya. Beda dengan iris yang selama ini Soi Fon perhatikan dari mata Ggio.

"G-Ggio? Kau–" Soi Fon tak dapat melanjutkan kalimatnya ketika bibir Ggio menyentuh lembut bibirnya. Ggio menekan bibir Soi Fon lembut dan memejamkan matanya. Soi Fon yang sadar kalau ia diicium oleh Ggio hanya bisa memejamkan matanya.

Tangan kirinya yang masih menggenggam tangan Ggio terasa semakin erat. Ggio menyentuh pipi kiri Soi Fon dengan tangan kirinya, membawanya dalam ciuman yang lebih dalam.

Sang penjemput hanya mengalihkan pandangannya ke arah jendela yang terbuka lebar. Kedua tangannya dia bawa ke dalam saku celananya. Wajahnya menunjukkan ekspresi datar dan terlihat sebal. Tampaknya dia tak suka melihat adegan romantis di hadapannya.

Wajah Soi Fon dijalari oleh rona merah ketika Ggio melepaskan ciumannya. Dipandanginya mata emas itu lekat-lekat. Di dalamnya Soi Fon melihat bayangan dirinya. Dan di matanya pula, Soi Fon melihat kegetiran.

"Aishiteru. Aishiteru Soi Fon!" Ggio mendekap Soi Fon dalam rengkuhannya. Kepalanya dia sandarkan pada bahu kiri Soi Fon dan membasahinya dengan air mata miliknya yang jatuh begitu saja.

Mata Soi Fon terbelalak lebar mendengar pernyataan cinta Ggio. Dia tak menyangka Ggio akan mengatakannya.

"Aishiteru yo, Ggio," Soi Fon membalas pelukan Ggio. Dihirupnya aroma tubuh Ggio yang begitu menenangkan baginya.

Ggio melepaskan pelukannya dari Soi Fon. Tapi tetap memandang lekat di matanya. Dia menyunggingkan senyum kecil. Diusapnya pipi kanan Soi Fon yang masih dihiasi rona merah. Manis. Pikirnya.

"Apa sudah selesai?" Sang penjemput menginterupsi mereka berdua. Soi Fon terkejut. Dia sama sekali tak menyadari ada orang lain di sana selain dia dan Ggio.

Ggio mengalihkan pandangannya ke arah sang penjemput. "Ya. Aku siap kau jemput sekarang!" Ggio berkata mantap.

"Jemput? Apa maksudmu Ggio? Siapa dia?" Soi Fon menunjuk sang penjemput dengan telunjuk kanannya. Wajahnya tampak sangat bingung. Ggio hanya bisa menatap dirinya nanar dan senyum kecil.

"Waktunya sudah habis. Aku bertugas untuk menjemput Ggio Vega," sang penjemput mengarahkan telapak tangan kirinya ke wajah Soi Fon. Dalam sekejap, Soi Fon tak sadarkan diri. Dia kembali tertidur.

"A-apa yang kau lakukan terhadapnya?" Ggio menatap sang penjemput dengan wajah marah.

"Tenang saja. Dia hanya kubuat pingsan dan menghapus ingatannya yang sudah melihatku. Aku tak ingin mengambil resiko terlihat oleh manusia."

Kurosaki Ichigo, sang penjemput itu maju melangkah mendekati targetnya. Tangan kanannya dijulurkan ke arah kepala Ggio. Dia memejamkan matanya.

Bruukk...

Sang penjemput membuka matanya. Tampak di hadapannya, jiwa Ggio Vega yang telah keluar dari tubuhnya. Dan jiwa itu menjadi serpihan-serpihan kecil dan akhirnya hilang bersama angin.

Sebelum benar-benar menghilang, Ggio berbisik. "Maafkan aku Soi Fon, aishiteru."

"Apa kau sudah selesai?" Di ambang jendela, tampak siluet seseorang yang sedang duduk sambil bertopang dagu.

"Ya! Cukup merepotkan. Tapi sudah selesai," Ichigo beranjak dari tempatnya berpijak dan berjalan menuju jendela. Seseorang tadi sudah berdiri dan mengembangkan sayapnya yang tak jauh beda dengan milik Ichigo. Hanya saja sayap miliknya berwarna hitam di kiri dan putih di kanan.

Ichigo melompat keluar dari kamar itu dan mengembangkan sayapnya yang lebar. Kedua penjemput itu pergi dari rumah sakit Karakura. Misinya telah selesai, untuk saat ini.


Mission 1: Through Your Eyes, end.

Continued on I Just Wanna Hold You Tight, Mission 2: The Reason I Live.


Nyaaa... Kok endingnya ancur gitu ya? Kesannya dipaksain banget sie? Gantung pula! *nangis gaje*

Hyaaa~~ Mohon maaf bagi yang menunggu Winter Disciplin! Datanya ilang! Huweeee~~ Sekarang lagi mau nulis lagi. Nyaaa~~ maaf...


Bicara soal judul, itu aku ambil dari #1 ending Marchen Awakens Romance.

Mohon reviewnya minna~~~ *suara lebay* *didepak rame-rame*