Disclaimer: I own nothing but the story
Mendekati libur panjang akhir tahun, bandara Incheon cukup padat. Awan gelap mengerubungi langit, memblok selusupan cahaya matahari barang sedikit. Cuaca masih dalam taraf aman untuk penerbangan lepas landas. Para petugas sibuk mondar-mandir sementara para kepala keluarga menuntun anggotanya agar tidak terpisah di tengah keramaian. Langkah kaki bersatu padu bagai dikejar waktu. Menghentak mengejar tujuan seolah akan tertinggal jika beristirahat sejenak.
"Pa…"
Pria penyangga status Papa muda merespon panggilan dari suara lirih sang anak. Balita genap setahun lebih sembilan bulan yang berada di dalam gendongannya berkedip linglung, isarat kebingungan akan suasana baru yang pertama kali dilihatnya dan meminta uluran tangan sang Papa agar merasa aman.
"Hm? Injun takut ya?"
Baekhyun ikut melirih selagi mengeratkan dekapan lengannya pada balita itu. Sang anak menyembunyikan wajah lagi di lehernya, merasa kurang nyaman karena terlalu banyak orang. Baekhyun menegapkan punggung ketika suaminya kembali menghampiri di tempat duduk.
Ia bertanya, "Berapa menit lagi, Yeol?"
Chanyeol menyerahkan satu cup plastik yang menampung cokelat panas untuk diterima Baekhyun lalu duduk di sampingnya. "Sepuluh menit lagi."
"Tidak masuk ke pesawat sekarang saja?"
"Tidak mauuu. Aku belum sanggup berpisah dengan kalian."
Baekhyun tersipu mendengar nada merajuk. Ia menyempatkan diri datang ke sini karena suaminya, Park Chanyeol akan berangkat untuk perjalanan bisnis ke Jeju. Memang bisa dikatakan tidak adil sementara kebanyakan penumpang pesawat yang berlalu-lalang saat ini untuk mengunjungi sanak saudara demi merayakan natal atau tahun baru bersama.
Chanyeol meminta suami dan anak tercinta mengantar kepergiannya di bandara. Hitung-hitung sebagai perpisahan sementara, sehari sebelum natal, ia akan kembali dengan pesawat terakhir.
Chanyeol meletakkan gelas plastiknya ke samping paha, tangannya beralih terulur pada anak kandungnya yang masih mengusel pada Baekhyun. "Injun mau Daddy gendong sebentar?"
Sadar namanya dipanggil, Renjun mengangkat wajahnya dari bahu Baekhyun untuk bermain mata dengan Ayahnya. Terlihat menimang antara ingin menurut atau menetap nyaman.
"Mau ya? Nanti Daddy rindu, satu minggu itu lama, lho."
Baekhyun menggigit bibir bawah menahan rasa geli dari perutnya. Chanyeol tengah memasang wajah melas dengan lengkungan bibir ke bawah bagai anak anjing terbuang.
Cukup lama diisi rayuan Chanyeol yang berusaha membujuk, akhirnya Renjun mengulurkan kedua tangan minta digendong. Dengan penuh kemenangan, Chanyeol membawanya ke dalam pelukan.
"Injun besok-besok jangan rewel tanpa Daddy, ya. Jangan mengganggu Papa memasak, jangan bangun tengah malam, menurut kalau waktunya mandi, kalau lapar jangan menangis, habiskan susunya—"
Renjun yang duduk di atas paha Ayahnya mengikuti ocehan sebagai respon. Ucapan tidak jelasnya mengundang beberapa kepala di deretan tempat duduk menoleh karena gemas.
"—pokoknya jadi anak baik yang tidak menyusahkan Papa. Okay?"
"Kay!" Renjun mendongak dengan mata menyipit lucu. Mirip lengkungan sabit Baekhyun.
"Pintar. Ahh Daddy sudah rindu duluan padamuuu." Lengannya dengan sigap mengunci tubuh sang anak dalam dekapan maut. Kepalanya menunduk untuk memudahkannya menghujani kepala Renjun dengan banyak ciuman.
Baekhyun meringis. "Chanyeol, jangan erat-erat! Nanti Injun sesak!"
Chanyeol melonggarkan pelukannya kembali sambil haha hehe tak bersalah. Renjun menggapai-gapai Baekhyun dengan tatapan memohon. Merasa tersiksa.
"Papa... Papa…"
Baekhyun meraihnya, "Cup, cup, Daddy jahat ya?" Renjun membalas tatapannya dengan menyedihkan seolah berkomplot untuk menyudutkan pelaku utama.
"Aku tidak jahat!" seru Chanyeol tak terima.
Memang pada dasarnya tingkat menggemaskan Renjun berada diposisi tinggi maka Chanyeol tidak bisa menahan diri. Dan karena itu lah Renjun lebih suka pada Papanya yang tidak sadis mencubiti pipinya sampai habis.
"Kau tidak melupakan semua berkas penting untuk keperluan di sana, kan? Atau barang-barang kecil lainnya?" Baekhyun menelisik hati-hati.
Chanyeol bersandar malas dengan dagu terangkat, mengingat apa saja yang masuk dalam kopernya. Ia mengangguk mantap, "Sudah, sudah. Aku bukan lagi bocah pelupa—"
"Ponsel atau flashdisk?"
"Kumasukkan ke dalam tempat khusus."
"Map merah yang tadi pagi masih di atas konter dapur? Tidak ketinggalan?"
"Sudah, sayang. Jangan menggodaku terus atau…"
Kalimatnya menggantung. Terhenti di sana. Daripada bernada ancaman, lebih seperti baru teringat sesuatu. Baekhyun mengangkat alis dengan bingung. Dalam hati menerka-nerka.
"Atau?"
Punggung menegap secepat kilat bersama debuman sepatu menghentak lantai. Renjun tersentak kaget.
"Charger ponselku!" seru Chanyeol lalu menoleh dengan panik, "Kalau baterainya habis aku tidak bisa menghubungimu! Oh tidak, ini gawat. Ini bencana. Ini darurat. Tanpa ponsel aku terputus dari dunia—"
"Yeol." sela Baekhyun dengan nada tersabar sepanjang masa, "Kau bisa membeli charger baru di supermarket. Itu mudah." Tangannya bergerak menepuk-nepuk punggung Renjun yang mencengkram erat mantelnya karena takut akan nada tinggi Chanyeol.
Kepanikan di mata gelap itu memudar, meluruh jatuh bersama dengan punggungnya yang kembali bersandar. "Oh kau benar. Memang suami yang paling bisa diandalkan."
Baekhyun memutar mata. "Selalu punya kesempatan untuk menggombal tapi tidak menyisihkan waktu untuk mengecek lagi barang bawaanmu."
Chanyeol tersenyum tanpa dosa. "Masih ada Baekhyun yang bisa melakukannya untukku."
"Ck, terserah."
Ya. Beginilah kehidupan Baekhyun bersama suaminya yang sangat ceroboh dan manja. Bukan hal baru lagi kalau mendapati Chanyeol memakai kaos kaki berbeda warna hanya karena terburu memakainya tanpa sempat mengecek benar-benar. Sekarang saja Baekhyun tidak yakin prianya itu memakai kaos kaki satu warna.
Percaya atau tidak, Chanyeol sungguh bertindak sangat dungu ketika Baekhyun akan melahirkan anak pertama mereka. Kala itu mereka dalam perjalanan menuju rumah sakit, lengkap dengan barang bawaan yang dibutuhkan ketika Baekhyun mengeluh kontraksi dalam perutnya.
Chanyeol secepat mungkin melajukan mobil hingga sampai di tujuan. Ia bahkan menyatakan diri untuk menemani operasi kelahiran buah hatinya. Baekhyun terharu, tadinya. Sampai ketika mereka sedang berbincang untuk mengalihkan sakit selagi paramedis menyiapkan alat-alat, seorang perawat mendekati mereka berdua yang saling menggenggam tangan.
"Anda yakin untuk tetap berada di sini?" tanya perawat itu.
Chanyeol mencoba menjaga ekspresinya tetap datar agar tidak panik. "Istriku akan segera melahirkan dan aku sungguh tidak tahu harus bebuat apa."
"Apa ini kelahiran pertamanya?" tanya perawat dengan sorot mata ramah. Senyumnya terhalang masker.
"Bukan. Aku suaminya."
Ada keheningan tak mengenakkan selama beberapa detik. Baekhyun menghela napas disela-sela penetralan rasa sakit.
"Aku tidak percaya sudah menikahi orang bodoh."
Chanyeol masih belum konek dan perawat itu hanya tertawa maklum. Sebenarnya ada dua faktor. Entah Park Chanyeol memang bodoh secara biologis atau sedang tidak fokus akibat situasi tegang. Oke, kembali ke bandara.
"Ah, sudah waktunya."
Chanyeol berdiri disusul Baekhyun sambil membenarkan gendongannya terhadap Renjun. Chanyeol menatap lurus pada sipit pujaannya.
"Aku sudah rapi?"
Baekhyun tersenyum, "Di dalam pesawat juga tidur, tidak usah rapi."
Namun satu tangannya tetap bergerak naluriah melicinkan mantel dan menata rambut Chanyeol yang masih bermodel koma usai dari kantor. Pria tinggi itu menghadiri tiga jam rapat sebelum dijemput Baekhyun untuk datang bersama ke bandara. Baekhyun itu selain berperan sebagai Papa yang mengurus anak, ia juga berperan sebagai suami yang mengurus pendamping hidupnya.
Baekhyun laki-laki tulen kok. Dia kuat.
Renjun berpegangan pada bahu Papanya dengan mata mengerjap polos. Pada akhirnya tangan yang bebas ikut terulur untuk menyentuh kerah mantel Ayahnya seperti meniru aktivitas Baekhyun.
"Aih, Injun perhatian sekali. Daddy bisa menangis di sini."
Baekhyun menahan diri untuk mendengus geli. Selain ceroboh dan manja, mari tambahkan satu kategori lagi—drama. Terbayang sudah seberat apa hidup Baekhyun mengurusi dua bayi.
Chanyeol merunduk untuk mengecup pipi Renjun lalu mencuri satu lumatan di bibir Baekhyun. Hanya sekilas karena ia tidak mau mendengar semprotan Baekhyun tentang public display of affection.
"Sampai jumpa, Daddy berangkat dulu."
"Hati-hati, Daddy." Baekhyun mengangkat tangan Renjun lalu balita itu asik menggerakkannya sendiri memberikan salam perpisahan satu minggu kepada Ayahnya.
"Daddy!"
.
.
.
Keep in Touch
Chanbaek pairing
WARN: Sho-ai, BL, Yaoi, Family!AU
sorry for typo(s)
.
.
.
"Eh, Injun! Jangan dimainkan."
Renjun mengalihkan tatapannya dari warna warni di atas lantai. Pernak-pernik untuk hiasan pohon natal tersebar tanpa penghalang di luar karpet halus yang diduduki si balita. Ia memandang Baekhyun yang mendekatinya dengan tergesa. Senyuman jenaka seperti senang karena mendapat perhatian Papa, ia berkelakar. Tangannya terulur lagi untuk menyentuh bola gantung kaca yang rawan pecah sampai membuat jantung Baekhyun nyaris melompat ke kerongkongan.
"Hayo! Injun nakal, ya!" Baekhyun duduk menyila dengan gesit. Ia menelusupkan tangan pada ketiak si balita lalu mengangkat tinggi-tinggi sampai tawa lepas bergaung di ruang tamu keluarga Park. Kaki-kakinya yang berbalut kaos kaki biru langit menendang di udara dengan semangat.
"Injun selalu menggoda Papa seperti itu, padahal Papa sedang serius. Papa kan tidak mau Injun terluka." keluh Baekhyun sambil memajukan bibir bawah.
Renjun menggigit jempolnya sendiri sambil mesem-mesem. Memperlihatkan gigi taring yang baru tumbuh di sisi gigi seri. Meluluhkan siapa saja yang melihatnya. Rajukan Baekhyun runtuh, terbuang berceceran di lantai.
"Uhh Injun menggemaskan sekali, sih. Tapi…" ada jeda sejenak, disengaja karena Baekhyun ingin melihat reaksi Renjun yang berkedip bingung. Tidak tahu apa yang akan menimpanya. "…tetap ada konsekuensi untuk anak nakal!"
Baekhyun menurunkan Renjun, menduselkan wajahnya untuk menggelitik perut sang anak menggunakan hidung sampai jerit kegelian memohon ampun terdengar. Bermenit-menit lamanya tanpa belas kasih, akhirnya Baekhyun mendudukkan Renjun ke pangkuannya.
"Papa! Papaaa!" seru Renjun bersemangat. Tangan mungil itu menggapai-gapai ke atas bersama kepala yang mendongak mencari wajah Baekhyun. Sepertinya suasana hati si mungil sedang sangat baik karena tidak kehabisan energi untuk menebar keceriaan.
Baekhyun menunduk, memperhatikan gerakan heboh anaknya. "Apa? Mau apa panggil-panggil Papa, hm?"
"Iskuuiiiit~" tangannya menunjuk meja kayu di balik punggung Baekhyun.
"Oh Injun lapar ya."
Baekhyun berdiri sambil menggendong Renjun. Berjalan menjauhi area pohon natal di sudut ruangan untuk menduduki sofa. Ia membuka toples berisi biskuit cokelat kesukaan sang anak lalu memberikannya untuk ditandaskan. Maklum, gigi taring dan geraham yang baru tumbuh menstimulasi keinginan Renjun untuk menggigit sesuatu.
Boneka moomin koleksinya lebih sering jadi korban percobaan. Terkadang malah menggigiti tangan Ayahnya dengan sadis. Bukan tanpa alasan, memang Chanyeol yang suka mengganggu waktu bermain anaknya. Niat hati sih ingin ikut bermain, tapi karena terlalu gemas biasanya tak tahan berdiam diri. Tangannya akan sibuk menusuk, menepuk, mencubit pipi Renjun sampai balita itu kesal karena diganggu. Kalau sudah terlanjur, Renjun akan menggigit jari telunjuk Ayahnya sementara Baekhyun akan menertawakan kejadian itu.
Terkadang Baekhyun tidak mengerti cara kerja tubuh sang anak. Meski sedang sangat suka mengunyah dan makan apa saja, Renjun tidak cukup dikategorikan gembul. Pipinya memang penuh tapi sisanya biasa saja.
"Tuan Baekhyun, Tuan Chanyeol menelpon."
Baekhyun menoleh pada pelayan setia keluarga Park sejak Chanyeol baru dilahirkan. Bibi Yoon menyerahkan ponsel milik Baekhyun yang tadinya tertinggal di meja makan. Layarnya berkedip menampilkan nama suami tercinta.
"Ah, terima kasih."
Ponsel diterima, tombol hijau digeser. Mode loudspeaker diaktifkan, satu tangan yang bebas bergerak mengusap-usap kepala Renjun yang sibuk mengunyah biskuit di sampingnya.
"Selamat pagi, Chanyeol. Kau tidak bekerja jam segini?"
["Pagi, sayangku. Masih ada waktu sejam lagi, aku ingin mengobrol denganmu dulu"]
Perlahan punggungnya mundur, bersandar nyaman. Sipitnya tak lepas memperhatikan Renjun yang belepotan remah biskuit. "Lusa sudah Christmas Eve, Yeol. Kapan pulang? Atau kau merayakan natal di Jeju?"
["Sudah kangen, ya?"]
Kekehan yang terdengar membuat Baekhyun ingin membekap mulut sang suami dengan tangan sehabis memotong daun bawang. Biar saja, biar muntah sekalian. Benar-benar penggoda!
"Tsk, aku tidak. Malah senang sekali kau tidak ada di rumah, kualitas waktuku dengan Renjun jadi bertambah banyak. Tapi kan kasihan Renjun kalau merayakan natal tanpa orang tua yang lengkap."
["Jadi sekarang kau menggunakan Renjun sebagai alasan? Duh, padahal lebih baik kalau jujur saja"]
Baekhyun memukul-mukul bantal sofa. "Aku tidak akan berlari memelukmu kalau sudah pulang nanti. Camkan itu." ancamnya berapi-api.
"Papa," Renjun menepuk punggung tangan Baekhyun di atas bantal sofa dengan tangan kotornya. Baekhyun meringis melihat remah biskuit tersebar kemana-mana.
"Iya sayang, kenapa?"
"…mau agi."
"Sudah habis? Injun doyan apa lapar?" canda Baekhyun selagi menyerahkan biskuit cokelat. Renjun tidak menanggapi kalimatnya. Balita itu jadi tidak memperhatikan sekitar kalau sudah sibuk melahap makanan kesukaannya. Dengan pemikiran itu, Baekhyun fokus kembali pada ponsel di genggaman berikut sepintas ide—
["Renjun sedang apa?"]
—Aha! Perfect timing!
Baekhyun berdeham sengaja sambil menyelipkan poni ke belakang telinga. Meski gestur kecil itu agak percuma karena tidak terlihat oleh penelpon.
"Padahal Daddynya menelpon, tapi Renjun sibuk makan. Aku bertaruh kalau Renjun mendengar suaramu. Sayang sekali Daddy bukan prioritasnya." ditambah kikikan pelan maka lengkap sudah taburan garam untuk memanas-manasi Chanyeol.
Benar saja karena disebrang sana sanubari lemah Chanyeol tertohok pahit. Darah dagingnya sendiri lebih mementingkan biskuit cokelat daripada dirinya yang sudah lima hari tak berjumpa. Apa Renjun tidak merindukan kehadirannya di rumah? Hatinya bertanya nelangsa.
["Hei jagoan Daddy tidak kedengaran suaranya. Ayo sapa Daddy"]
Baekhyun menatap Renjun yang tak merubah posisi. Ia membekap mulut, menahan tawa yang siap keluar karena panggilan Chanyeol tak digubris.
["Injuuun, halooo, ini Daddy"]
Masih tidak direspon. Satu-satunya suara yang mengisi keheningan selain kunyahan Renjun, hanya lah retaknya hati Chanyeol akibat kekejaman diskriminasi.
"Sepertinya tidak apa-apa kalau kau natalan di Jeju. Renjun tidak merindukanmu juga."
Semakin berdarah saja luka batinnya akibat rentetan kalimat pedas Baekhyun. Kadang-kadang kepintaran Baekhyun memilih kata setajam pisau bedah digunakan pada waktu yang pas sehingga efeknya dahsyat sampai ke tulang.
["Ya Tuhan… kenapa kalian selalu berkomplot untuk mengasingkanku"]
Chanyeol meratapi nasibnya.
.
.
.
.
.
Baekhyun terbatuk, merentet perdetik untuk mengenyahkan rasa gatal di pangkal tenggorokan. Gelas kaca kosong yang sudah ditenggak habis airnya teronggok di atas meja makan. Kepalanya perlahan terkulai lemas di samping gelas selagi mendesah frustasi.
Sudah dari kemarin radang tenggorokannya kambuh. Seharusnya hari ini ia bisa merayakan natal berbagi kebahagiaan bersama orang tua dan anak kesayangan, tanpa suami karena Chanyeol memberi kabar terakhir dengan penuh penyesalan bahwa ia masih ada urusan penting di Jeju. Mungkin keteledoran Baekhyun juga yang tidak mengantisipasi makanan dan minuman dingin di cuaca yang derajatnya mencapai minus.
Saat chirstmas eve kemarin, ia menemani Ibu dan Mama mertua belanja hadiah natal berikut bahan-bahan makanan semalaman. Renjun juga dibawa karena balita itu akan merengek barang tak melihat Papa semenit saja.
Dan kalian tahu apa yang terjadi jika sepasang nenek menghabiskan hari bersama cucu tercinta?
Yup. Dimanjakan. Terlebih lagi memang kondisi Renjun sedang hobi menggigit sesuatu, ia dibelikan banyak jajanan. Sayangnya, baru setengah dilahap, balita itu akan melupakannya dan beralih meminta makanan lain. Baekhyun harus rela menghabiskan sisanya. Kurang ajar memang. Untung anak kandung.
Baekhyun tidak ada firasat buruk sama sekali ketika menghabiskan es krim vanilla milik Renjun. Usai belanja, baru terasa efeknya. Tenggorokannya nyeri dan esok pagi batuk pun menyusul.
Benar-benar natal yang payah.
Baekhyun menemani Renjun membuka bingkisan di bawah pohon natal selagi Ibunya dan Mama Park menginvasi ruang tamu dengan banyak makanan. Ia menahan batuk selagi berinteraksi dengan anak meski itu cukup membuatnya menderita. Niat hati ingin pakai masker, tapi Renjun selalu menariknya, tidak suka wajah sang Papa ditutupi.
Untung saja kedua pihak orang tua begitu peka dan perhatian padanya. Jadi ketika makan siang berakhir, mereka membawa Renjun ke rumah keluarga Byun untuk menginap sehingga ia bisa beristirahat dengan tenang untuk kesembuhan.
Sebenarnya Baekhyun khawatir jika Renjun akan rewel karena berpisah darinya. Beruntunglah karena sejak pagi, Renjun justru sangat menempel pada kakek neneknya. Ia sedang tidak pilih kasih dan langsung semangat ketika dibawa pergi. Sebuah keajaiban natal.
Dan salah satu kesengsaraan natal yang lain, Bibi Yoon diliburkan sampai tahun depan. Bukankah begitu malang nasib Baekhyun? Sedang sakit tapi ditinggal sendirian.
Ia bangkit dari kursi, merapikan obat-obatan yang sudah diminum. Ia tidak demam namun nyeri yang mendera di tenggorokan tak kunjung membaik sampai membuatnya sulit menelan. Benar-benar sial.
Nampan disiapkan dengan termos, gelas, dan obat. Ia membawanya menuju kamar dengan langkah lesu. Begitu meletakkan nampan di atas nakas, tubuhnya ambruk ke ranjang seolah ditarik gravitasi paling kuat.
"Uuuh, suaraku akan hilang sebentar lagi. Aku yakin." gerutunya sendirian dengan serak parah.
Ponsel di bawah bantal bergetar. Baekhyun menelusupkan tangan untuk mengambilnya. Kepala dimiringkan dengan malas sambil melihat sebuah pesan masuk.
Park Chanyeol 'Bagaimana natalmu hari ini? Apa baru terasa rindunya padaku?'
Ah benar juga. Chanyeol hanya mengirimi pesan singkat tadi pagi berisi ucapan selamat natal. Ketika dibalas, pria itu tak merespon apa-apa. Jadi Baekhyun pikir suaminya benar-benar sibuk sampai tidak punya waktu untuk berkomunikasi barang sebentar.
Ia mendengus geli dengan pertanyaan terakhir. Dibilang rindu sebenarnya tidak—kalau ada Renjun. Tapi karena jagoan kecilnya tidak di rumah dan kini suasana nyata sepi, tentu saja baru terasa rindu. Hah, memang Park Baekhyun dengan harga diri selangitnya. Kalau saja Chanyeol tahu, sudah habis Baekhyun dengan wajah memerah malu.
'Rindu kepalamu. Rumah ramai hari ini, keluarga datang. Tapi aku menderita karena radangku kambuh. Anggap saja fifty fifty. Natalmu bagaimana, Yeol?'
Send.
Ia mengubah posisi menjadi telentang selagi terbatuk beberapa kali. Perlahan memejamkan mata. Ini memang masih sore, tapi tidak buruk juga untuk tidur cepat. Ponselnya bergetar lagi, sepertinya ia harus menunda waktu istirahat.
Park Chanyeol 'Jadi kau rindu dengan kepalaku? Lol, hehe. Ditraktir makan dengan rekan kerja, jadi tidak buruk. Ah, kasihan sekali my sweet cupcake sedang sakit. Renjun bersamamu? Aku ingin melakukan vidcall'
"Itu umpatan, bodoh." Baekhyun tertawa pelan. Berbalas pesan seperti ini menaikkan moodnya. Relung kosongnya terasa penuh dan hangat.
'Cupcake? Menggelikan. Renjun bersama kakek neneknya, mereka bilang aku harus istirahat dan anak kita tidak boleh sampai tertular. Karna Renjun tak ada, jadi tidak usah vidcall, oke?'
Park Chanyeol 'Aiiihh jahat sekali. Aku kan mau melihat wajah dan mendengar suaramu. Ini sudah semingguuuu [emoji menangis]'
Baekhyun menggigit bibir bawah. Merasa gemas.
'Suaraku lagi serak-seraknya. Apa yang mau kau dengar, hah?'
Park Chanyeol 'Hanya napasmu. Hehe'
Sesuatu menggelitik perutnya. Baekhyun berhasrat untuk menggigit bantal tiba-tiba. Aneh memang jika ia merasa tersipu dengan jawaban absurd begitu. Ditambah lagi ia bisa membayangkan dengan jelas Chanyeol yang tersenyum ke arahnya selagi mengatakan hal itu. Oh lihat, wajahnya tambah merah.
'…kau punya selera yang buruk'
Park Chanyeol 'Habis aku sudah rindu sekali.'
Merotasikan mata dengan malas. Baekhyun hapal sekali gelagat suaminya jika sedang getol bermanja. Ia siap mengetik balasan dengan kalimat tajamnya namun pesan lain muncul lebih dulu.
Park Chanyeol 'Ups, jangan berprasangka dulu. Tanpa rindu juga aku suka mendengar deru napasmu'
"…"
Jarum jam di kamar tadinya seirama dengan laju detak jantung. Tapi sepertinya detakan itu berkhianat untuk melaju lebih cepat.
"Ah persetan!"
Baekhyun menekan voice dengan penuh dedikasi setengah kesal setengah gregetan. "Aku juga merindukanmu! Puas?!"
Voice note terkirim, Baekhyun menunggu dengan jantung bertalu. Mengantisipasi reaksi suaminya yang mungkin akan mengejek dengan kata-kata super tengik sampai panas hati. Ia menunggu. Menunggu dan menunggu. Lebih dari sepuluh menit. Balasan tak kunjung diterima.
Adrenalinnya mereda. Ia menatap blank layar ponselnya. Apa Chanyeol disibukkan sesuatu lagi, pikirnya. Baekhyun menggelengkan kepala. Percuma saja ia sudah excited.
Kekecewaan tengah menumpuk pelan-pelan ketika layar gelap ponselnya kembali menyala tanda pesan masuk. Ketika dibuka, Chanyeol juga mengirimkan rekaman suara. Ah, apakah pria tinggi itu akan mengejeknya secara verbal?
Tombol play ditekan.
["Aku lebih merindukanmu. Sangat rinduuuu. Kenapa juga harus ada perjalanan bisnis di penghujung tahun begini? Aku ingin merayakan natal denganmu juga Renjun. Aku rindu suara tawa kalian. Padahal aku berharap bisa melihat kalian berdua pertama kali membuka mata pagi ini. Natal yang payah. Aku akan segera pulang, jadi istirahatlah banyak-banyak. Jangan lupa minum obat, makan yang banyak, pakai baju hangat, cuaca dingin akan mempermainkanmu, suaramu serak sekali aku khawatir. Cepat sembuh, Park Baekhyun. Aku mencintaimu. Muah"]
Seharusnya Baekhyun kembali mengumpati suaminya karena menambahkan suara kecupan di akhir kalimat yang terdengar menggelikan.
Tapi apa ini?
Kenapa wajahnya panas? Kenapa dadanya sesak? Kenapa pandangannya memburam?
Ruang kosong dalam dirinya terasa penuh dan kosong disaat yang bersamaan. Baekhyun membanting ponsel ke sisi ranjang.
"Aku sangat mencintaimu dasar perayu ulung!"
.
.
.
.
.
END
a/n: ada yang nyangka saya apdet new fanfic diakhir 2018? fanfic ini dedikasi untuk borongan hari ibu, hari natal, dan tahun baru hehe. Saya udah tulis di profil, inactive karna beberapa masalah kesehatan. Tapi tangan tetep aja gatel pengen nulis tema liburan xD siapa sih yg bisa nahan pas momen chanbaek kemarin yg heboh itu? thank you for being brave, Chanyeol hwhwhwhw. Selipan Baekhyun yang sakit itu pengalaman sendiri…
him: can I hear ur voice once again?
me, sick af: I literally have no voice. What are u going to hear?
him: just ur breath, then
me: …u have a weird taste
Anggep aja credit hwhwhw. I'm not related in romantic relationship tho, he is just a friend XD Tapi saya udah sembuh kok, tinggal sedikit komplikasi. Sayangnya tahun depan sibuk banget sama persiapan kelulusan. Jadi maaf kalo kalian harus nunggu lebih lama lagi untuk update fanfic yang lain.
...
Epilog
Baekhyun menggerutu. Ia masih mengantuk. Namun terpaksa membuka mata dengan berat karena wajahnya dari tadi ditepuk oleh sebuah tangan menyebalkan. Tenggorokan yang meradang membuatnya semakin ingin terlelap kembali tak peduli matahari sudah terbit. Sayangnya tepukan kembali didapatkan di pipinya.
"..Papa,"
Wajah lucu Renjun yang menatapnya lurus di mata menjadi pemandangan pertama yang dilihat. Baekhyun mengernyit bingung. Seingatnya balita itu masih di rumah orang tua. Kenapa sekarang sudah telungkup di atas kasurnya?
"Injun? Kok sudah pulang?"
"Aku yang menjemputnya."
Sipit mengerjap cepat. Baekhyun menoleh ke sumber suara dan mendapati Chanyeol di ambang pintu kamar. Berdiri memegangi nampan berisi sarapan. Dengan perlahan ia duduk bersandar sambil memangku Renjun.
"Kapan kau pulang? Tidak mengabariku dulu. Bukannya semalam masih di Jeju?"
Chanyeol mendekat sambil memamerkan gigi, "Sengaja. Kemarin itu aku berbalas pesan denganmu di ruang tunggu bandara. Sudah sampai di Seoul. Aku langsung ke rumah Ayah Ibu untuk mengambil kembali Renjun, ketika sampai rumah kau sudah terlelap."
Baekhyun meninggikan satu alisnya dengan pelipis berkedut, "Jadi kau membohongiku?"
"Uhm… surprise?"
Baekhyun menuding hidung suaminya dengan jari telunjuk, "Tapi kau tetap terlambat. Natal sudah lewat." sinisnya.
Chanyeol meletakkan nampan sebelum mengambil tempat duduk di pinggir ranjang. Renjun asik memainkan boneka moomin tanpa mau tahu perdebatan orang tuanya. Tangannya pelan-pelan terulur untuk mendaki lengan Baekhyun, merambat naik hingga menangkup pipi penuhnya.
"Ya.. aku memang melewatkan natal. Tapi ini masih liburan, kau harus cepat sembuh."
"Kau belum dimaafkan." Nadanya masih ketus. Baekhyun mengalihkan mata pada Renjun namun tidak menampik sentuhan Chanyeol di pipinya. Jual mahal, kah? Siapa tahu.
"Lupakan natal. Karena…"
Chanyeol mendekat, meraih bibir Baekhyun dalam ciuman tanpa sempat menghindar. Diberi lumatan memabukkan hingga protes tertelan. Bergerak mengejar ketika Baekhyun akan melepaskan tautan. Ketika menyerah, akhirnya bibir suami mungilnya membuka pasrah. Seseorang harus mengingatkan mereka bahwa Renjun masih ada di sana—oh tidak apa, anak itu sibuk menggigiti kuping boneka.
Chanyeol melepaskan ciuman basahnya. Hidung masih bergesekan. Matanya yang teduh terhubung lurus dengan sipit yang sayu.
"…tahun baru nanti, kau milikku."
Sekian.
Kalau ada yang penasaran kenapa Renjun jadi anaknya, well, menurutku Renjun mirip sama Baekhyun. Plus karena saya lagi terwrecker dengan nct T.T
Jugaaaaa—saya suka ketawa kalau baca review kalian yang bilang ketikan saya itu manis banget sampe bikin mau punya pacar, I mean, even me, the author still single hwhwhw. It's just my imagination for chanbaek is strong, I love them both~
Terima kasih sudah membaca~!
