Can't Come Back Again?
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto, saia cuma numpang minjem
Rated T plus (buat jaga-jaga)
Genre : Hurt/Comfort, Romance
Pair : Naru x Hina :D
Warning : Typo, OOC, ColdHina, ide pasaran, Abal, Aneh, BadKarinSara! Dan masih banyak yang lain.
Don't Like Don't Read! I've Warn You! :)
OoOoOoOooOoO
Sequel 'Gomen'
Enjoy~
.
.
.
.
Chapter 1 : It's Hurt, You Know?
Bulan Juli saat musim panas kembali menghampiri Jepang. Membuat seluruh kota di sana terasa sangat panas dengan sinar matahari yang tak henti-hentinya menyinari. Keringat, baju sekolah yang berganti style.
Itulah yang di rasakan gadis bersurai indigo yang kini tengah terduduk manis di dalam mobil, hawa panas yang menyengat membuatnya terpaksa menghidupkan ac di dekatnya. Mobil yang di kendarai kakaknya melaju kencang,
Kedua tangan putihnya saling meremas tanpa sadar, mengingat sekarang adalahnya waktu-waktu terakhirnya di sekolah. Semester dua yang sudah lama di mulai, dan tinggal menunggu waktu ujian serta kelulusannya.
Memalingkan wajah menatap keluar jendela, manik Lavender gadis indigo aka Hinata Hyuuga itu terlihat meredup. Bagaikan tidak ada lagi penyemangat di dalam sana, yang tersisa hanya seonggok tubuh yang entah memiliki perasaan atau tidak.
Sedangkan-
Hyuuga Neji, laki-laki berambut coklat panjang itu menatap sekilas gerak-gerik sang adik. Yang tidak berubah sejak beberapa bulan lalu.
"Ada yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meskipun ia tahu apa yang sebenarnya menjadi kunci utama pikiran Hinata.
"…" terdiam sesaat, gadis indigo itu menolehkan wajahnya menatap sang kakak. Dirinya mencoba tersenyum kecil, menggeleng-gelengkan kepala singkat.
"Tidak ada, Niisan tenang saja." Ujarnya mirip seperti bisikan. Hinata tahu kalau dirinya tidak bisa berbohong dengan kakak yang sejak kecil selalu bersamanya ini, tapi apa daya. Ia masih tidak sanggup mengatakan semuanya pada Neji.
Menghela napas perlahan, salah satu tangan Neji menepuk lembut surai Hinata, "Bagaimana aku bisa tenang kalau melihat wajah adikku pagi-pagi sudah murung seperti itu, hm?" ucapnya kembali.
Dia tidak bisa berbohong.
Menundukkan wajah, Hinata mencoba tersenyum walau terasa miris. Walau kedua tangannya masih tetap setia mengepal, "Niisan," ujar gadis itu tiba-tiba.
Membuat sang empunya mengernyit alis sekilas, "Hm?"
"…."
"…." Entah kenapa lidahnya terasa kelu, pernyataan yang tadi ingin ia katakan langsung menghilang begitu saja. Menguap, bersamaan dengan perasaan gugupnya.
"Hinata?"
"U..um, tidak apa-apa." Gadis itu menggeleng kecil, mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan Niisannya.
Aneh, tentu saja. Sudah berbulan-bulan ini Hinata selalu menyembunyikan semuanya sendirian, tidak ada niat untuk sedikit saja berbagi dengannya. Adik yang ia sayangi itu terlihat semakin pendiam, tidak ingin lagi tersenyum, tidak ada lagi sikap malunya yang dulu, yang ada hanya-
"Kau masih menyukai Naruto?"
Sebuah topeng yang menyembunyikan seluruh perasaannya.
Tersentak, Hinata memalingkan wajahnya menatap laki-laki coklat di sampingnya. Gigitan bibir bawahnya semakin terasa, jemarinya bergetar singkat-
Lalu-
"Ti..tidak, aku tidak akan menyukai Naruto lagi," suffix 'kun' yang selalu ia keluarkan saat memanggil nama orang terkasihnya kini menghilang.
Neji semakin tidak mengerti, sebenarnya seberapa kuat hati adiknya ini. Terbuat dari apa, sampai-sampai menangis di depannya saja tidak mau.
"Benar-" belum sempat meyakinkan kembali ucapan Hinata,
"A..ah, kita sudah hampir sampai! Aku turun di sana saja Niisan." Gadis indigo itu memotong pembicaraannya.
"Tapi Hinata,"
Grep, kedua tangan Hinata kini sudah mencengkram bajunya dengan kuat, Ia menundukkan wajah. Tidak berani menatap Neji, gadis itu menggeleng kencang.
"Su…dah cukup Niisan, aku..aku tidak ingin berhubungan dengan Naruto..lagi," terdengar bergetar, tentu saja. Bahkan Neji yakin kalau adik kecilnya ini menahan tangisannya.
Lagi, dan lagi.
"…."
Menghela napas panjang, akhirnya laki-laki tampan itu mengangguk kecil. Menyerah, "Hah, baiklah. Maafkan Niisan."
"Um, tidak, Niisan tidak salah." Genggaman tangan Hinata perlahan mengendur, dan lepas. Gadis itu menatapnya dan tersenyum kecil.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Hinata mengambil tasnya dan berniat untuk keluar dari mobil.
"Kalau begitu-"
Sebelum-
"Jangan membohongi dirimu Hinata, sampai kapan pun Niisan-mu ini akan selalu menunggumu mengucapkan kata 'tolong' untuk yang kedua kalinya. Seperti waktu itu,"
"…" tubuh Hinata membeku,
"Tapi bukan pertolongan untuk menyakiti dirimu sendiri, melainkan meminta tolong agar kau bisa bebas dari semua beban yang menimpamu."
"…." Masih terdiam, ingin sekali Hinata menangis, berteriak sekencang-kencangnya, mengadu pada sang kakak. Mengungkapkan seluruh isi hatinya-
Tapi-
"Tidak…aku tidak memerlukan itu lagi Niisan. Arigatou." Dirinya kembali menoleh memberikan senyuman tipis ke arah sang Kakak, dan beranjak keluar dari dalam sana.
Meninggalkan Neji yang hanya bisa mendesah, dan menjambak rambutnya singkat.
"….."
"Egois memang bukan sifatmu, Imouto."
.
.
.
.
.
Keluar dari dalam mobil, sengatan matahari yang terasa panas di pagi hari langsung menghampirinya. Hari ini satu lagi hari dimana ia ingin sekali melarikan diri, pergi dari sini. Dan melupakan semua masalahnya, tapi tetap saja tidak bisa.
Menghembuskan napasnya perlahan, mengeratkan pegangan tangan pada tasnya. Hinata melambai kecil kearah Niisannya, sampai akhirnya mobil itu melaju pergi.
'Kau harus kuat Hinata!' Ia membatin cepat, menarik napas dalam-dalam ,dan kembali mengeluarkannya.
Sampai-
"Hari ini pun aku harus berakting lebih bagus lagi." Gumamnya pelan, mencoba untuk tersenyum singkat.
Dan pada akhirnya Hinata yang dulu pemalu, sabar, serta penuh senyuman kini harus menghilang. Atau setidaknya tertutupi oleh topeng tak terlihatnya.
[….]
Dengan sebuah tampang nan datar, Hinata melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah. Tentu saja dengan pemandangan sehari-hari, dimana banyak murid-murid yang melihatnya. Merasa aneh mungkin, Ia sudah menduganya.
Langkah yang terlihat angkuh, berjalan tanpa menghiraukan semua tatapan yang tertuju padanya. Semua bisikan, dan perkataan.
"…"
"Naruto-kun! Sasuke-kun! Kiba-kun!"
Teriakan menggema menghentikan langkah sang Hyuuga seketika, hal yang terasa sangat biasa terdengar saat pagi hari seperti ini. Semua hal yang tertuju padanya langsung menghilang begitu saja. Hebat sekali bukan pengalih pembicaraan tadi-
Sasuke-
Kiba-
Dan, keka-mantan kekasihnya Naruto.
Menggigit bibir bawahnya keras, buku-buku jari Hinata mulai memutih seiring dengan kerasnya genggaman tangan pada tasnya. Ingin sekali gadis itu lari dari sini secepatnya, tapi tetap saja mustahil. Kalaupun nanti ia masuk ke dalam kelas, sosok orang yang di sukainya akan ada di sana.
Jadi yang bisa ia lakukan sekarang-
"….."
Membuat Naruto semakin membencinya. Kenapa ia ingin berbuat seperti itu? Tidak puas dengan hasil kerjanya dulu? Tidak cukup kah dulu ia mendengar kata menyebalkan dari sang Uzumaki?
"Mulai hari ini anak buah Tousan akan mengawasimu di sekolah. Tousan akan memastikan kau tidak berhubungan lagi dengan semua temanmu itu."
Melirik sesosok pengurus kebun yang menyapu di halaman sekolah, Ia tahu itu adalah salah satu anak buah ayahnya. Terlalu protektif? Memang seperti itulah ayahnya. Antaran dari Niisannya tadi juga merupakan permintaan dari pemimpin keluarganya. Merepotkan? Tentu saja, saking merepotkannya Hinata ingin menangis sekarang juga.
'Tenanglah Hinata.'
Masih dengan wajah datar di tambah dengan sebuah seringaian kecil, gadis indigo itu membalikkan tubuhnya. Menatap kelima sahabatnya dulu tengah di kerumuni oleh murid-murid lain. Bercanda, saling melempar sapaan pagi, dan tak lupa tertawa.
"…"
Berbeda dengannya, Hinata sudah tidak mampu masuk ke dalam lingkaran itu lagi. Dirinya sudah melepaskan semuanya. Kehangatan, dan perasaannya.
Walau ia sebenarnya sangat tidak menginginkan itu.
"Hinata!" suara panggilan sukses membuat gadis indigo itu kembali ke dunia nyata. Saat dirinya melihat dua orang gadis berambut merah. Karin serta Sara, tengah melambai ke arahnya. Kedua teman barunya, tengah berdiri meneriakkan namanya tepat di samping kerumunan kelima sahabat lamanya.
Tidak adakah yang lebih buruk daripada itu?!
Sedikit merasa tidak enak, tapi mampu di tutupinya. Hinata berjalan ke arah kedua gadis yang sepertinya baru turun dari mobil mahal mereka.
"…."
Kerumunan di sekitar Naruto dan teman-temannya sontak terdiam. Semua pandangan kini tertuju ke arah dirinya yang berlari kecil. Tidak merasa heran lagi, semua terlihat tidak suka dengannya.
Kenapa Hinata yang manis nan lugu kini bergaul dengan kedua gadis yang notabene menjadi ratu di sekolah ini. Kedua ratu yang tidak di sukai karena kesombongannya.
Sakit, hati gadis itu sesak saat mendengar nada tidak suka dari balik kerumunan yang masih setia berdiri di sana.
'Tegarlah, karena ini pilihanmu!'
Dengan sigap, saat gadis itu memperlambat langkahnya. Ia mengambil handphone dan headsetnya, menghidupkan musik dan bersikap seolah-olah mengacuhkan semua ucapan tadi.
"Ohayo Karin, Sara~" menghampiri kedua temannya, gadis indigo itu masih dengan tampang angkuh dan seringaiannya.
"Hari ini kami mau mengajakmu pergi ke toko baju yang kuceritakan kemarin. Mau ikut kan?" pagi-pagi langsung di serang dengan pembicaraan belanja dan belanja. Ia harus tahan.
"Bisa kita masuk ke kelas sekarang, kupingku panas mendengar ocehan tidak jelas di sana." Hinata menunjuk ke arah kerumunan di dekatnya. Membuat semua orang di sana langsung saja mendelik tidak suka.
"Cih, mentang-mentang kaya!"
"Kalau dia lemah, sudah kupukul sejak tadi!"
Ocehan itu samar-samar terdengar dari balik headsetnya. Meringis dalam hati, Hinata hanya bisa menyeringai kecil.
"Ayo," ujar gadis indigo itu seraya menarik pelan kedua tangan Karin serta Sara.
Tanpa berani memandang wajah Naruto, dan sahabat-sahabatnya.
.
.
.
.
.
Kelas~
Masuk ke dalam kelas, yang masih terlihat sepi. Hinata menghela napas lega, dirinya segera berjalan menuju tempat duduknya dan beristhirahat di sana. Melelahkan sekali berakting seperti tadi.
"Jadi bisa kita mulai pembicaraannya~" tersenyum lebar, Karin mengambil buku fashion kesukaannya di dalam tas. Gadis itu terduduk manis di sampingnya. Betapa inginnya Hinata kabur dari kelas sekarang juga!
Tapi mengingat banyak anak buah Tousannya yang menunggu di bawah, Ia jadi enggan dan memilih duduk kembali. Mempertahankan sikap angkuh dan wajah datarnya.
"Oh, kau masih ingatkan Hinata. Kemarin Kakashi-sensei menanyakan kita apa?" Sara membuka pembicaraan.
Sedangkan Hinata yang mendengar nama Senseinya itu hanya membatin miris. Dulu ia memang tidak tahu apa-apa, dirinya yang menganggap Kakashi-sensei tidak ada hubungannya dengan pekerjaan ayahnya.
Dan ternyata-
Laki-laki berambut perak itu ternyata juga salah satu anak buah Tousannya sejak lama. Ia baru tahu ternyata Kakashi-sensei lah yang mengawasi gerak-geriknya di sekolah.
"Aa, mengenai apa pekerjaan kita di masa depan nanti bukan?" mencoba untuk tetap mempertahankan aktingnya. Hinata menjawab singkat, seraya mengambil sebuah buku dari lima buah buku milik Karin. Hanya sekedar melihat.
Sara tersenyum kecil, "Ya, kira-kira kau mau menulis apa di lembar survey yang di berikan Kakashi-sensei nanti?"
Mendengus sekilas, gadis itu hendak menjawab cepat pertanyaan teman merahnya.
Tepat saat-
"Aku-"
Grek!
Pintu kelas terbuka, suara-suara yang terdengar familiar di telinganya kini mengalihkan perhatiannya kembali.
Sesosok pemuda pirang yang kerumuni oleh teman-temannya datang, Naruto, Sasuke, Kiba, Sakura, Shion.
"…"
"Ahaha, benar-" seruan gadis musim semi di dekat pintu terhenti saat maniknya melihat Hinata tengah bersama dengan kedua gadis yang tidak di sukainya.
"Aku malas ada di kelas ini," ucap Sakura cepat, mendelik ke arah Hinata. Dan di balas seringaian kecil dari si empunya.
"Aku ingin keluar dari sini, ayo." Shion segera menarik lengan Sakura untuk mengajak sahabat merah mudanya untuk pergi,
Sebelum-
Hinata memanfaatkan kesempatan ini-
Menghela napas sejenak, pandangan Lavendernya segera tertuju ke arah Naruto. "Yang terpenting aku akan mendapatkan pekerjaan yang tidak pantas untuk kalian semua. Hanya akulah yang bisa mendapatkan pekerjaan itu." Ia mengucapkan semua kalimatnya dengan lantang dan berusaha seolah menyindir seluruh isi kelasnya.
Bukan kah ia berkata yang sebenarnya? Ia akan mendapatkan pekerjaan yang tidak pantas untuk semua sahabatnya, menjadi salah satu pemimpin Yakuza. Dan hanya dialah yang bisa. Hinata tidak berbohong.
"…"
"Ugh," Sakura mengerang menahan kesal. Gadis itu langsung saja berjalan mendekati Hinata tanpa aba-aba.
Hendak memberi pelajaran mungkin?
Brak!
"Hei kalau mau bicara itu bisa di jaga kan?!" berteriak kesal, Sakura menggebrak meja Hinata. Melempar tatapan menusuk ke arah sang empunya.
Tidak membuat Hinata takut ataupun gentar, melainkan membuat gadis itu melebarkan seringaiannya.
"Kau tersinggung dengan ucapanku, Haruno?" ucap Hinata sarkatis. Ia yakin kalau dirinya sudah membuat kekesalan gadis merah muda di sampingnya memuncak dan meledak.
"Berhenti mengejek kami dengan sindiranmu itu, Hinata!" Shion ikut andil, gadis pirang itu berdiri di samping Sakura dan mendelik tajam padanya. Karin dan Sara hanya bisa menyeringai mengikuti tindakan Hinata.
"Hinata memang pantas berkata seperti itu, kalian mudah sekali tersinggung rakyat jelata~" sindir gadis berkacamata merah aka Karin.
"Kau!" tidak bisa menahan amarah lagi, Sakura dengan cepat menjambak rambut merah sang empunya kesal. Membuat semua orang di sana terkejut, dan hanya bisa diam melihat.
"…"
Sedangkan Hinata yang kaget, maniknya terbelalak sekilas, mencoba menutupinya kembali. Ia masih mencoba untuk diam, meski tangannya sudah tidak bisa di ajak kompromi.
Apalagi saat-
"Kau benar-benar berani Haruno!"
Sraakk!
"Kyaa!" Sakura menjerit sakit saat tangan Sara menjambak rambut gadis merah muda itu. Dirinya tersenyum senang,
"Lepaskan Sakura!" Shion menarik tangan Sara menjauh, tapi yang di dapatkan Karin menjambak rambutnya juga.
"Ittai!"
"Rasa..kan!"
Aksi tarik menarik rambut pun terjadi. Hinata menangis dalam hati, menggeleng kencang. Bukan ini yang dia mau, semuanya bermusuhan. Kenapa jadi begini, cukup hanya dia yang di benci, Jangan..jangan sampai membuat kelas yang di sayanginya ini hancur-
"….."
Tanpa sadar, gadis indigo itu berjalan mendekati keempat gadis yang tengah bertengkar itu. Reflek tangannya bergerak,
Dan bibirnya yang-
"Hentikan Sara, Karin!" berteriak kecil, Hinata melepaskan tarikan tangan Karin dari rambut Sakura dan tarikan tangan Sara dari Shion. Ia tidak sadar, kalau tadi gadis ini mengeluarkan suaranya yang dulu. Saat di mana ia masih pemalu dan lugu. Tanpa ada keraguan sedikit pun.
"….." kelas terdiam. Semua orang di sana seperti memastikan apa yang di dengar mereka tadi benar-benar sungguhan atau tidak?
"Lepaskan mereka," Hinata bersuara kembali, dirinya masih belum sadar sepenuhnya. Kalau tindakannya sukses membuat Sakura serta Shion di sana membelalakan mata mereka tidak percaya. Kedua tangan gadis itu pun perlahan mengendur, menatap intens ke arah Hinata.
"Hinata?"
Sedangkan Sara serta Karin-
Mereka mengernyit bingung, "Hinata kenapa kau melerai kami!" bentak keduanya.
"…."
Bersamaan dengan sadarnya Hinata, gadis itu terpaku sekilas, kedua tangannya masih menggenggam erat tangan Sara dan Karin.
Sampai-
"…"
'A..apa yang barusan kukatakan?!' terpekik kecil, Ia melepaskan genggaman tangannya. Dan mencoba untuk tenang, sekuat mungkin Hinata menghembuskan napas panjang.
"Hi..Hinata," Sakura masih memandang bingung ke arah Hinata, apa gadis indigo ini menolong mereka? Tapi kenapa?
Bukannya Hinata sudah tidak memperdulikan sahabat lamanya lagi?
"…"
Masih terdiam, Ia mencoba keras untuk tenang. Aktingnya tidak boleh terbongkar, tidak! Dia harus tetap mempertahankan semuanya sampai akhir!
Ya!
"Hina-" sebelum Shion sempat menyadarkan Hinata kembali-
Sret, tangan seputih susu milik Hinata kini mencengkram kedua tangan Sakura dan Shion, mereka tersentak. Walau kekuatan yang di berikan Hinata tidaklah keras, tapi melihat tatapan dingin sang Hyuuga, sukses membuat persepsi kedua gadis itu hancur seketika.
"Jangan salah paham, aku bukannya menolong. Aku hanya merasa kasihan pada kalian berdua, dan tidak mau membuat Sara serta Karin terluka lebih dari ini, itu saja~" sungguh kata-kata yang sangat menusuk. Hinata merutuki semua perkataannya dalam hati, demi apapun ia tidak ada niat sama sekali untuk mengucapkan kalimat itu pada kedua sahabat berharganya.
Tapi sesuatu menuntutnya-
"Ugh! Lepaskan tangan kami!" Sakura mengerang, dan berteriak kecil.
Tanpa memperdulikan teriakan sang Haruno, masih menggenggam kedua tangan Sakura dan Shion. Hinata mengalihkan perhatiannya ke arah Naruto serta Sasuke yang masih diam, berdiri dengan tampang geram di sana.
"Uzumaki-san, Uchiha-san, bisakah mengatur kedua kekasih kalian ini dengan baik? Mereka mengganggu kami bertiga~"
Mengucapkan kata 'kekasih' sangat membuat hatinya seakan di remas oleh sebuah tangan tak terlihat. Sakit sekali.
Shion menyukai Naruto. Tapi ia mengambil Naruto dari Shion, dan sahabat cantiknya itu malah menganggapnya sebagai sahabat. Terlalu baik, Hinata menyukai Naruto, dirinya senang saat mendapatkan pernyataan cinta dari sang Uzumaki. Dan dirinya jugalah yang pertama melihat Shion menangis sendiri di taman sekolah, mengetahui kalau gadis itu memiliki perasaan yang lebih pada Naruto. Ia menyakiti sahabat pirangnya.
Ingin Hinata menarik kembali kata-kata bahwa ia mencintai dan menerima Naruto sebagai kekasihnya. Tapi-
Ia terlalu mencintai pemuda itu, sangat!
Egoiskah kalau pada saat itu ia merasa senang saat Naruto memanjakannya, menganggap kalau dirinya adalah gadis yang paling berharga di dunia ini?
"….."
Dan kini, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang bolehkah ia memberikan apa yang seharusnya di inginkan sahabat pirangnya. Hinata sudah tidak pantas lagi untuk Naruto, Ia sudah menarik dirinya sendiri dari Naruto. Pemuda itu membencinya sekarang.
"…."
Dapat Hinata lihat, tatapan dingin menusuk dari kedua sahabat laki-lakinya, Sasuke berjalan menghampirinya dan melepaskan genggaman tangannya dari Sakura dengan kasar.
"Hyuuga, berani kau menyakiti dia. Kau akan berhadapan denganku, ingat itu." Datar, menusuk, sangat Uchiha sekali. Hinata hanya mendengus singkat dan membalas tatapan Sasuke.
"Terserah, Uchiha-san. Tapi aku tidak akan pernah kalah," ujarnya enteng,
Sasuke mendecih kesal, dan menarik Sakura menuju tempat duduk mereka. Seolah-olah mengacuhkan Hinata.
"…."
Sekarang, hanya tinggal Shion masih dalam genggamannya, gadis itu sudah mencoba melepaskan diri tapi tetap saja tidak bisa-
"Hinata lepaskan aku!"
"….." masih terdiam, Hinata menatap tajam kearah Naruto, saat sang Uzumaki berjalan perlahan mendekatinya. Tanpa senyum, dan dengan sebuah aura dingin di belakangnya. Pemuda itu semakin mendekat.
Jujur, Hinata takut. Ia takut pertahanan air matanya akan hancur saat menyesap aroma jeruk yang menguar dari tubuh Naruto. Aroma yang sangat ia rindukan, Hinata benar-benar takut tidak bisa mengkontrol diri agar tidak berlari dan memeluk Naruto.
'Tenangkan dirimu Hinata!'
"Lepaskan," singkat, dapat ia dengar suara desisan yang di keluarkan sang Uzumaki.
"Aku tidak mendengarmu, Uzumaki-san~"
"Aku bilang lepaskan Shion, sebelum aku benar-benar marah Hyuuga."
Marah? Apa Naruto akan memukulnya? Apa Naruto akan menampar, atau bahkan mengajaknya untuk berkelahi?
Ia siap-
Mencoba untuk tertawa, "Kh, kau? Uzumaki Naruto marah pada seorang gadis sepertiku? Sangat tidak gentleman~" ujarnya perlahan. Hinata semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Shion, antara dirinya yang takut atau mencoba bertahan.
"Ugh, sakit," Shion mengerang perih.
"Lepaskan dia!" tanpa aba-aba Naruto berjalan menghampiri Hinata dan dengan cepat melepaskan genggaman sang gadis indigo dari Shion.
Shion reflek berjalan dan bersembunyi di balik punggungg Naruto, menggenggam erat baju sang Uzumaki, dan menatapnya antara takut dan kesal.
"Huh, hanya itu?" Hinata mendengus, tidak ada tamparan atau pukulan seperti yang ia bayangkan.
"…"
"Tidak seru sekali kau Uzumaki-san, sudahlah aku bosan." Mengendikkan bahunya sekilas, Hinata berniat untuk kembali ke tempat duduknya. Mencoba mengacuhkan kedua remaja di depannya tadi.
"…"
Sebelum-
Grep!
"Eh?!"
Sebuah tangan kekar tiba-tiba menarik pergelangan tangannya, membuat tubuhnya berbalik kembali. Dan dengan cepat menatap sepasang Manik Saphire di sana.
"Ma..mau apa kau, Uzumaki-san?!" saking kagetnya, Hinata bahkan tidak sadar kalau suara gugupnya keluar lagi.
"Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikapmu selama ini, Hyuuga. Menghina, melecehkan orang seenaknya seolah-olah kau yang paling berkuasa di sini. Jangan bercanda!" seruan kecil terdengar dari Naruto.
Meneguk ludahnya pelan, Hinata berusaha sekuat mungkin menatap manik sang Uzumaki. Tajam, dan dingin.
"Kau tersinggung, hah?! Aku hanya mengatakan yang sebenarnya?! Apa aku salah! Sekarang lepaskan tanganmu dariku!" Ia mencoba berteriak kencang.
"Kau tahu betapa mengesalkannya dirimu sekarang? Aku bahkan sudah ragu apakah Hinata yang kusukai dulu masih ada di depanku?! Dia bukanlah gadis yang akan dengan mudahnya menghina seseorang, dan mengatakan hal yang menyakitkan pada semua teman-temannya!"
"…."
Air matanya sudah tidak terbendung lagi, kata-kata Naruto membuat napasnya sesak. Sakit! Hinata sudah tidak tahan lagi, dia harus bertindak cepat, jangan sampai-
"Berhenti," gadis itu mulai bergumam tidak jelas-
"Kau yang seharusnya-" sebelum Naruto sempat mengatakan semua ucapannya, Hinata menyentakkan tangannya kasar. Gadis itu berusaha sekuat mungkin menatap tajam pemuda di hadapannya.
"Berhenti menganggap kalau kau tahu semuanya, Uzumaki-san! Berhenti mengucapkan kata-kata itu! Aku memang bukan lagi Hinata yang kau cintai, Hinata yang pemalu dan lugu sudah tidak ada lagi! Dia sudah menghilang, jadi jangan kau anggap aku adalah kekasihmu dulu! Aku, Hinata Hyuuga, tidak butuh siapapun lagi di dekatku!" Hinata berteriak keras, bibirnya berucap tanpa sadar.
"…"
"…"
Manik Lavender itu menatap sepasang Saphire yang terbelalak dan sebuah kerutan di alis Naruto, sukses membuatnya-
"….."
"…."
Bodoh! Dia lagi-lagi tidak bisa menahan diri!
Tes, air mata mengalir dari pelupuknya. Hinata tidak bisa menahan diri lagi, gadis itu mengusap keras air asin itu dari pipinya.
Masih menatap tajam sang Uzumaki. "Kh, aku muak melihat wajahmu Uzumaki-" kembali, lagi-lagi kejadian tadi terulang. Saat dimana dirinya belum sempat mengatakan seluruh scenario dalam otaknya.
Tangan tan Naruto, tanpa aba-aba menariknya semakin mendekat. Manik Saphire di hadapannya menatapnya penuh tanya. Air mata di pelupuk Hinata membuat pertahanan sikap dinginnya hancur.
"Ugh! Lepaskan tanganmu, Uzumaki! Kau tidak pantas menyentuhku lagi!"
"Kau menangis,"
"Ti..dak!"
Naruto semakin mendekatkan diri saat mendengar sebuah jeda yang sangat singkat dan Hinata, mencoba mencari celah-
"Kau menangis, Hyuuga, katakan padaku." Nada penegasan yang terdengar lembut, kemana suara dingin Naruto tadi?
Tidak, Hinata tidak boleh luluh. Ia tidak boleh-
"Aku ingin mendengar suaramu, Hyuuga."
"Aa, ja..jangan-"
Akankah aktingnya selama ini akan hancur? Terbongkar? Selesai sampai di sini,
Kalau itu sampai terjadi-
"Sebelum kau berteman dengan mereka, Tousan memang berencana ingin membunuh semua anak penggangggu itu."
Membeku, tubuhnya reflek menegang-
"Mulai hari ini anak buah Tousan akan mengawasimu di sekolah. Tousan akan memastikan kau tidak berhubungan lagi dengan semua temanmu itu."
Dan ingatan terakhir yang melintas di pikirannya, sukses membuat Hinata tersentak, dan menolehkan ke arah jendela kelas.
Deg!
Ka-
'Ka..Kakashi-sensei!' ya, Ia melihat jelas. Sang laki-laki Hatake tengah menatapnya dari balik jendela. Berdiri di sana, seolah-olah mengawasi semua gerak-geriknya.
Tidak!
"…."
"Lepas,"
"Apa-"
"Lepaskan tanganku!"
Plak! Tangan Hinata yang masih bebas, dengan cepat menampar pipi kanan Naruto. Mengeluarkan suara yang keras,
Gadis itu tersentak kecil, tubuhnya bergetar dan segera melepaskan genggaman tangan Naruto darinya. Berjalan kembali ke tempat duduknya, meninggalkan sang Uzumaki yang masih terdiam di tempatnya, memegang pipinya yang memerah akibat tamparan Hinata.
Membiarkan Shion mendekati sang pemuda pirang, meneriakinya, dan mencoba mengusap bekas tamparan Hinata dari pipi Naruto.
"Kau keterlaluan Hinata!"
Menulikan pendengarannya, Hinata mencoba mengambil buku dalam tasnya, dan manik Lavendernya kini melihat jelas,
Seorang laki-laki berambut perak masuk ke dalam kelas, tatapan mereka berdua saling bertemu. Semua murid-murid yang kembali ke tempat duduk mereka, begitu juga dengan Naruto serta Shion.
"Hinata," suara berat di depan kelas itu memanggilnya tiba-tiba. Semua pandangan kelas kini tertuju padanya.
"…."
"Ha'i Sensei,"
"Selesai pelajaran nanti, Sensei harap kau datang ke ruanganku." Ujar Kakashi cepat.
"….."
Hinata hanya terdiam, semua murid mengiranya akan di hukum karena sang Sensei melihat sikapnya tadi. Padahal ia tahu, kalau bukan itu alasan Kakashi memanggilnya,
Bukan hal yang se-simple itu.
"Baik."
TO BE CONTINUED~
A/N :
Sequel Gomen akhirnya terbit! Bagi yang minta ini sequel, ini udah Mushi kasih :D dan bagi yang belum tahu tentang cerita ini, lebih baik baca dulu ya fic pertamanya. Supaya nggak bingung. Kenapa Mushi cepet banget buat ini cerita dan tidak melanjutkan fic lain#plak#
Alasannya?! Mushi nggak tahan dan nggak tega lihat fic sebelumnya berakhir dengan Hinata yang sakit hati. Hueee, sumpah tangan Mushi sangat gatal untuk mengetik ini fic, cuman supaya Naruto sadar! Sadarlah nak! Sadar! #tampar Narudkk#dibakar#
Ehehe, tenang aja kok fic ini udah tamat dan hanya berkisar lima chapter aja. Semakin banyak yang review, semakin cepet cerita ini tamat.
Jadi untuk chap pertama, Mushi pengennnn banget kalian meriview, minimal lima belas review untuk melanjutkan fic ini, muehehe. Kalau review mencapai angka 15, Mushi bakal apdet dua hari lagi! Kalau enggak? Apdetnya diundur dulu #tampar# :X Tapi pasti tetep lanjut kok, tenang aja ahaha #mengingat ffn mulai sepi pengunjung ga yakin juga bakalan dapet riview segitu muahaha# tawa setan# :D :D
Jadi pantengin terus ya! :D
Oh, untuk yng MLWY masih dalam tahap pembuatan, pasti bakalan Mushi apdet secepatnya #adakah yang masih menunggu fic itu?#kayak ada aja XD#
Arigatou buat yang udah riview, fav, serta follow fic 'Gomen' #big hug#
Untuk akhir Kata, Mushi nggak akan capek-capek bilang~
SILAKAN RIVIEW~ \^0^/\^V^7
JAA~
