Chapter Summary:
Berlatar di tahun ketujuh Hogwarts ketika Hermione Granger dan Draco Malfoy yang melanjutkan pendidikan mereka ditunjuk sebagai Ketua Murid Putra dan Putri. Mereka berdua masuk ke dalam Kamar Kebutuhan dan tanpa sengaja memegang suatu benda yang ternyata adalah portkey, mengirim keduanya ke tempat asing entah di mana. Tak ada yang mereka inginkan selain kembali pulang, namun keinginan itu tampaknya tak bisa terwujud dengan mudah.
.
.
DISCLAIMER:
Although the plot is mine, this story wouldn't be written if JK Rowling didn't create Draco Malfoy and Hermione Granger.
.
.
PORTKEY PROBLEMS
Chapter 1 – When It All Begins
.
.
Brak!
Suara gebrakan meja yang cukup keras membangunkan Draco Malfoy dari tidur siangnya. Susah payah ia berusaha membuka mata dan menyadari siapa manusia dengan nyali tinggi yang sudah berani melepaskannya dari kenyamanan dunia yang sedang ia nikmati. Sudah lama sekali ia tidak merasakan nyamannya tertidur di siang hari saat matahari masih memancarkan terik hangat dan mengeluarkan keringat orang-orang di bumi. Namun saat ia mulai merasakannya, manusia-entah-siapa-itu tanpa perasaan bersalah malah membangunkannya.
Dan dia di sana. Manusia itu, yang sudah mengganggu tidurnya, melotot tajam penuh kemarahan sambil berkacak pinggang. Siap menerkam seperti berang-berang. Well, Draco sendiri sadar bahwa terkaman seekor berang-berang bukanlah sesuatu yang pantas ditakutkan jika dibandingkan dengan kemarahan singa atau terkaman beruang, tapi berang-berang yang satu ini tak bisa diremehkan begitu saja.
Lain kali, jika ia diberi kesempatan lagi untuk tidur siang, Draco berjanji pada dirinya sendiri untuk menahan sedikit saja rasa kantuknya dan memilih tidur di kamar alih-alih di sofa Ruang Rekreasi Ketua Murid seperti saat ini.
"Ada apa?" Draco bergumam, membuka matanya perlahan.
"Bangun!" teriak perempuan yang sedang menahan amarahnya, "Apa Kepala Sekolah memilihmu menjadi Ketua Murid hanya untuk tidur siang, hah?"
"Sepertinya iya," suara Draco terdengar semakin pelan. Tanpa sadar, matanya kembali terpejam.
Hermione Granger sudah tak tahan dengan keadaan ini. Ia tak bermaksud memasang muka manis dan bersikap layaknya gadis kecil lugu di hadapan pangeran Slytherin itu. Tapi nyatanya, meski dengan kemarahan yang hampir meledak dari ubun-ubun, sang ular tetap sulit untuk dibangunkan.
"Malfoy, tolong! Bangunlah!" dari nada suaranya yang setengah memelas, dapat dipastikan ia hampir kehilangan kesabaran.
"Bangunkan aku saat makan malam saja."
Hening. Ketua Murid Putra kembali tertidur dan Hermione memutuskan untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya di salah satu kursi yang ada di sana, berhadapan langsung dengan sofa yang menjadi sahabat Draco dalam menikmati kenyamanan siang harinya saat itu.
Bukan kali pertama ia harus menghadapi sikap menyebalkan Draco Malfoy. Sejak memutuskan untuk kembali ke Hogwarts dan melanjutkan tahun ketujuh sekolahnya yang tertunda karena perang besar, Hermione tak pernah menduga Draco juga akan melakukan hal yang sama—kembali melanjutkan sekolahnya. Sejujurnya, memang tidak ada yang menduga jika mantan pelahap maut yang juga berasal dari keluarga yang mulanya mengabdi patuh kepada Pangeran Kegelapan itu berani menampakkan diri kembali setelah perang besar, apalagi memutuskan untuk menyelesaikan tahun terakhirnya di Sekolah Sihir Hogwarts. Hermione tak pernah menduga hal itu terjadi, tak pernah pula memikirkan bahwa keputusannya melanjutkan sekolah ternyata berubah menjadi setengah bencana karena Profesor McGonagall—yang kini menjadi kepala sekolah—menunjuk dirinya dan Draco untuk menjadi Ketua Murid Putra dan Putri, dengan arti mereka harus berbagi asrama istimewa bagi Ketua Murid bersama, menghabiskan waktu di ruang rekreasi bersama dan wajib melakukan patroli berdua. Bagi Hermione, apa yang harus ia lakukan itu cukup menyiksa jika ditambah pula dengan sikap partner-nya yang memang sulit diajak bekerja sama.
Lihat saja sekarang. Hermione masih sangat ingat ia memberitahu Draco untuk membantunya menyimpan barang-barang rampasan tak berguna ke Kamar Kebutuhan. Tapi saat ia kembali ke ruang rekreasi untuk mengambil tumpukan barang-barang rampasan dari murid kelas satu dan dua, ia malah mendapati rekan Ketua Murid-nya terlelap di sofa. Tidur siang. Di saat Hermione membutuhkannya. Di saat ia bisa melakukan sesuatu untuk menjadikan gelar Ketua Murid Putra-nya tak sekadar gelar dan membuat lencana Ketua Murid di jubahnya tak sekadar hiasan pelengkap.
"Huh," tanpa sadar Hermione mengeluh pelan. Rasanya sudah cukup lelah ia melakukan sebagian besar tugas Ketua Murid sendirian, tapi menunggu yang tak pasti juga lebih melelahkan. Hermione tidak tahu kapan Mr. Malfoy muda itu akan bangun dari tidur siangnya. Dan Hermione paling tidak suka berdiam diri ketika tahu ada tugas yang harus diselesaikan. Ia memutuskan untuk melakukannya sendiri. Membawa setumpuk mainan dan barang-barang lain dari kamarnya ke Ruang Kebutuhan tidak akan memberatkan. Sebelumnya, ia bisa melakukan hal yang seharusnya menjadi tugas mereka berdua sendirian, jadi ia tahu jika membawa barang hasil rampasan ke Kamar Kebutuhan akan cukup mudah baginya.
Hermione beranjak dari kursinya. Ia mencibir ke arah Draco yang tengah terlelap sebelum pergi menuju kamarnya: mengambil tumpukan barang-barang yang ia simpan di sana. Sudah diputuskan. Untuk kesekian kalinya, ia akan melakukan tugas Ketua Murid seorang diri saja. Setiap kali begitu, Hermione selalu berharap bahwa itu adalah tugas terakhir yang akan ia lakukan sendiri, bahwa Draco Malfoy akan membantu di tugas mereka berikutnya. Tapi harapan itu sama saja dengan menggigit bagian tengah kue donat. Kosong. Tak pernah tercapai. Nampaknya kali ini pun akan sama.
Ia telah membawa sekarung barang rampasan dari kamarnya ketika menyempatkan diri untuk mencela Draco yang tengah tertidur pulas sekali lagi sebelum memutuskan untuk keluar. Slytherin berambut pirang platina itu masih terpejam damai dan Hermione benci jika dirinya harus mengakui bahwa memandangi wajah Draco yang sedang terlelap seperti saat ini terkadang membuatnya tak ingin beranjak dari tempat itu. He is very good-looking, gumamnya dalam hati. Tapi kenyataan bahwa Draco pemalas, tak bertanggung jawab, licik, sombong, dan sifat-sifat buruknya yang lain sekejap menghapuskan kenyataan betapa menarik penampilannya. Mendadak saja Hermione tersadar dari lamunannya. Ia mengambil kembali karung berisi barang rampasan yang sempat ia letakkan di lantai. Tak ada lagi pikiran tentang Draco Malfoy yang pemalas, tak peduli seberapa tinggi kadar ketampanannya.
"Dasar Ketua Murid tak berguna!" lagi-lagi Hermione menggerutu kesal. "Awas saja kalau kau— Ouch!" entah karena ia terlalu fokus memandangi wajah pulas Draco atau karena ia terlalu banyak menggerutu, sebelah kaki Hermione terantuk meja. Posisi yang kurang sempurna apalagi ditambah dengan tangannya yang membawa karung ukuran besar membuatnya hilang keseimbangan. Ia jatuh tertelungkup, setengah isi karung yang ia bawa berjatuhan keluar.
"Sial!" rutuknya, masih dalam posisi menghadap lantai.
"Oh, jadi ini akal-akalanmu?" Suara gedebuk yang timbul saat Hermione terjatuh spontan membangunkan Draco.
Hermione menutup mata menahan malu. Ceroboh sekali, katanya dalam hati, dan kenapa si Malfoy harus bangun di saat seperti ini?
"Kau sengaja jatuh untuk membangunkanku? Inikah ide cemerlang dari Miss-Know-it-All?" sindir Draco. Ia sudah sepenuhnya bangun jika sudah mampu berkata dengan nada sinis seperti itu.
Mendengar hal itu, Hermione merasa kesialannya bertambah berkali-kali lipat.
"Jangan tersanjung, Malfoy!" Hermione bangkit dan merapikan rok serta jubahnya. "Itu tadi murni kecelakaan."
"Kau perlu bantuanku, akui saja," timpal Draco tanpa mempedulikan omongan Hermione sebelumnya. Ia kemudian beralih memunguti barang-barang rampasan yang berserakan di lantai dan memasukannya kembali ke dalam karung.
"Aku bisa melakukannya sendiri." Hermione menarik salah satu Frisbee bertaring dari tangan Draco.
"Ya. Dan kemudian menumpahkannya kembali."
Wajah Hermione memerah. "Dengar, Malfoy! Insiden tadi adalah yang pertama dan terakhir bagiku. Jangan bersikap seolah kau adalah pahlawan dengan mengambil alih pekerjaan yang bisa kulakukan!" Hermione berkata geram.
Draco tak menjawab apapun. Ia menghentikan aktivitasnya membereskan barang-barang yang berserakan dan menatap Hermione lekat-lekat.
"Apa?!" bentak Hermione. Ia berusaha keras untuk tidak tersipu saat dipandangi Draco sedemikian rupa. One thing to cover that up is acting as fierce as possible.
Draco mengangkat bahu sebelum beranjak membawa karung yang sudah terisi penuh kembali.
"Lain kali, pikirkan cara yang lebih anggun untuk membangunkanku. Jangan dengan pura-pura terjatuh seperti tadi," ia berlalu begitu saja, seolah tak mengindahkan keberadaan Hermione di tempat itu. "Ceroboh," gumamnya pelan.
"Aku tidak pura-pura!" teriak Hermione dengan kekesalan yang memuncak. "Dan aku tidak seceroboh kau! Malfoy! Kembali kesini!"
"Maaf, aku mau menyimpan barang rampasan ini dulu. Itu yang seharusnya dilakukan Ketua Murid yang baik."
Itu yang akan kulakukan! Hermione berteriak lagi, tapi kali ini teriakannya tak keluar saking kesalnya. Menahan amarah, ia mengikuti Draco keluar lubang lukisan.
Sepanjang koridor menuju lantai tujuh tempat dimana Kamar Kebutuhan berada, tak urung Hermione menggerutu di dalam hati. Menjadi Ketua Murid Putri adalah salah satu impiannya sejak ia masuk ke Hogwarts, namun berpasangan dengan Draco-si-Ferret-Pemalas-Malfoy sekejap membuatnya menyesal telah bermimpi menduduki jabatan kepemimpinan siswa tertinggi di sekolah ini.
Langkah mereka melambat ketika tiba di dinding berpualam, demikian pula gerutu kesal Hermione.
Draco melirik kearahnya, "Bukakan pintunya!"
Hermione memutar bola mata, hatinya mendongkol karena perintah Draco yang tak sopan. Ia menghela napas berat sebelum memejamkan mata, menggumamkan tujuannya masuk ke dalam Kamar Kebutuhan.
"Kami perlu tempat penyimpanan yang aman untuk barang-barang rampasan ini."
"Kami perlu tempat penyimpanan yang aman untuk barang-barang rampasan ini."
Dan dinding yang membatasi koridor lantai tujuh dengan Kamar Kebutuhan pun perlahan terbuka, menyediakan cukup ruang untuk mereka berdua masuk ke dalamnya. Tanpa mempersilakan Hermione, Draco masuk terlebih dahulu. Pikirannya seakan lupa bahwa Hermione-lah yang membukakan pintu untuk mereka. Tak ia indahkan bahwa setengah jam yang lalu, ia pasti masih tertidur di sofa rekreasi jika saja Hermione tidak mengalami kecelakaan kecil memalukan tadi.
Sementara itu, Hermione yang masuk berikutnya memelankan langkah. Kamar Kebutuhan sudah banyak berubah semenjak terbakar saat perang kedua. Barang-barang di dalamnya kini tak lagi bertumpuk-tumpuk seperti dulu. Ruangan serba guna yang dulunya perrnah digunakan Laskar Dumbledore sebagai tempat latihan tersembunyi mereka itu kini terlihat lebih rapi. Ini kali pertama ia masuk kembali ke ruangan tersebut, begitu pula dengan Draco.
"Simpan. Selesai. Keluar," ujar Hermione, nadanya terdengar memerintah. Lalu kembali ke ruang rekreasi, katanya kemudian dalam hati. Dan jika partner Ketua Muridnya yang sangat rajin—dalam konteks sarkastik—itu bisa menuruti apa yang ia katakan tadi, Hermione akan sangat berterima kasih.
"Sungguh?" Draco menaikkan sebelah alisnya. "Kau akan keluar begitu saja dan melewatkan kenangan di tempat bersejarah ini? Maksudku, coba lihat tempat ini. Sudah banyak berubah setelah perang kedua usai."
Ternyata Draco menyadari pula bahwa Kamar Kebutuhan sekarang sudah berbeda dengan apa yang mereka tahu beberapa tahun lalu dan Hermione mengakui kebenarannya. Setidaknya Draco mengatakan hal pertama yang bisa diiyakan Hermione hari ini: menyusuri kenangan yang pernah mereka lalui di Kamar Kebutuhan. Saat perang besar, ruangan ini terbakar hingga menghancurkan diadem Ravenclaw, salah satu horcrux milik Voldemort. Di tahun kelima, Hermione banyak menghabiskan waktu di tempat ini dengan Laskar Dumbledore. Berlatih mantra-mantra baru dan menyusun rencana untuk menghadapi kebijakan Kementerian sebelum akhirnya tempat ini diledakkan oleh si Muka Kodok Umbridge. Hermione juga tahu bahwa Kamar Kebutuhan menyimpan kenangan tersendiri untuk Draco. Di tahun keenam mereka, Draco menyimpan lemari dua arah yang berhubungan dengan Borgin and Burke's, toko sihir hitam di Diagon Alley. Siapa sangka bahwa itu adalah cara Draco menyelundupkan beberapa Pelahap Maut ke Hogwarts, dan saat itu, Hermione amat membenci Draco karenanya. Saat ini pun sebenarnya masih sama, hanya saja kadar kebenciannya mulai berkurang.
"Apa maumu, Malfoy?" tanya Hermione akhirnya.
"Entahlah," Draco menjawab tanpa melihat ke arah Hermione. Setelah menyimpan karung yang tadi ia bawa di salah satu sudut dekat lemari penyimpanan, sebelah tangannya kini menyentuh barang-barang antik yang ada di tempat itu.
"Urusan kita sudah selesai di sini. Aku akan keluar," Hermione cepat-cepat mengambil keputusan. Meski di dalam hatinya ia sedikit menikmati waktu berdua dengan Draco saat ini, Hermione masih menyadari bahwa ada banyak hal yang harus ia kerjakan.
"Tunggu!" Draco menghentikan niat Hermione untuk keluar dengan berseru tiba-tiba ketika ia melihat sehelai kain sutra berwarna merah menutupi satu benda di atas meja kayu yang sudah lapuk. "Kenapa benda seperti ini ada di Kamar Kebutuhan?" Draco bertanya, lebih kepada dirinya sendiri.
Hermione yang beberapa saat tadi hampir keluar dari tempat itu kini berbalik menghampiri Draco dan memandangi benda di atas meja. Sebuah dayung.
"Dayung?"
Draco memutar bola mata, "Aku tahu nama benda itu. Yang aku tidak tahu kenapa benda seperti itu ada di sini?"
"Kurasa orang-orang bebas menyimpan barang apa saja di tempat ini."
"Iya, tapi…" kalimat Draco terhenti ketika tangan kanannya menyentuh gagang dayung yang beberapa saat tadi tersembunyi di balik kain sutra berwarna merah. Entah disebabkan oleh kekuatan dari mana, sebelah tangan Draco tertarik ke depan. Dan tanpa sempat ia sadari, tangannya tertarik lebih jauh lagi. Sesuatu yang tak terlihat itu semakin menampakkan kekuatannya ketika kedua kaki Draco kini tidak lagi menapak di lantai. Dan yang bisa ia lakukan saat itu adalah meneriakkan nama seseorang yang sedang bersamanya.
"Granger!" tangan kirinya menggapai-gapai jubah Hermione dan berhasil menarik pinggirannya.
"Tidak, Malfoy!" Hermione ikut berteriak saat ia juga merasa terangkat dari lantai, "Lepaskan dayungnya! Itu…"
Keduanya berpusing hebat dalam dimensi ruang dan waktu yang sulit didefinisikan. Hermione tahu benar apa yang sedang terjadi saat itu. Namun tak peduli betapa seringnya ia mengalami hal seperti ini, berputar-putar dalam pusaran besar layaknya tornado tak urung membuat ia berteriak sekencang-kencangnya, begitu pula Draco. Mereka berdua tak menyadari akan kemana pusaran ini bermuara. Tangan kanan Draco masih menggenggam dayung, sementara tangan kirinya berpegangan erat pada pinggiran jubah Hermione ketika mereka mendarat di atas permukaan kayu yang cukup keras.
"…portkey." Hermione melanjutkan kalimatnya segera setelah ia meninggalkan suara gedebum cukup nyaring saat tubuhnya jatuh ke atas lantai kayu. Ini kedua kalinya ia jatuh di hari yang sama.
"Informasimu tak berguna, Granger!" Draco berkata ketus. Ia mencoba berdiri dari posisi jatuhnya namun kemudian terhuyung ke belakang saat dirasakannya lantai kayu tempatnya berpijak saat itu bergerak. Permukaan kayu tempatnya dan Hermione mendarat dari portkey di Kamar Kebutuhan itu ternyata bukanlah lantai dari sebuah bangunan, melainkan sebuah perahu! Dan jika keadaan ini bisa lebih parah lagi, perahu kayu itu terapung-apung di tengah lautan luas, entah laut apa namanya, dan lebih penting lagi, entah di belahan dunia mana laut itu berada.
"Good job! Kau menyentuh benda yang salah," cibir Hermione. "Lihat di mana kita sekarang! Terapung-apung di tengah lautan antah berantah, dan penyebab dari semua ini karena tanganmu yang usil menyentuh dayung itu! Kalau saja tadi kau menuruti perintahku untuk segera keluar dari Kamar Kebutuhan, saat ini aku sudah ada di kamarku untuk menulis puisi Rune Kuno, mengerjakan esai Transfigurasi atau membaca buku-buku Arithmancy. Apapun yang bisa aku lakukan akan lebih penting daripada terjebak di sini bersamamu!"
"Will you please calm down?!" potong Draco tak sabar. Hermione yang menceracau hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk. "Siapa yang menyangka kalau dayung biasa ini adalah portkey?"
"Well, pastinya bukan kau, Malfoy! Karena jika kau berpikir sebelum menyentuh benda itu dan tidak menarik pinggiran jubahku, kita berdua tidak akan berakhir di perahu ini."
"Aku akan melakukan apapun untuk bisa mengembalikanmu ke Hogwarts. Kau dan ceracauanmu itu," kata Draco akhirnya.
Hermione tak berkata apa-apa lagi. Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, ia bergeser ke salah satu ujung perahu, sementara Draco di ujung lainnya mulai menurunkan dayung untuk menggerakkan perahu itu.
"Yang harus kita lakukan hanya mencari daratan untuk beristirahat, dan…" potong Draco dengan suara lebih keras saat dilihatnya Hermione hampir membuka mulut untuk bicara, "jangan cerewet!"
Hermione mencelos.
"Banyak bicara tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Kau harus tahu itu."
Kata-kata Draco membuat Hermione menyadari jika pada saat-saat tertentu, pangeran Slytherin itu bisa bersikap lebih bijak daripada dirinya. Ini bukan diriku yang biasanya, batin Hermione. Ia sudah pernah menghadapi keadaan yang lebih buruk dan bisa bersikap lebih tenang nan bijak. Namun kenyataan bahwa ia sedang bersama Draco membuatnya tak bisa menahan panik untuk beberapa detik saja. Kepanikan yang otomatis timbul ketika ia memikirkan akan sampai kapan mereka ada di tempat asing ini atau bagaimana caranya mereka kembali ke Hogwarts dengan selamat. Hermione memejamkan matanya untuk menenangkan diri, amat berharap ketika matanya kembali terbuka ia berada di Kamar Kebutuhan dan sejumlah kejadian aneh tadi hanya mimpi atau imajinasi. Namun nyatanya, saat ia membuka mata, hal pertama yang didapatinya adalah Draco yang sedang mengayuh dayung. Perahu yang mereka tumpangi bergerak pelan di tengah lautan.
Menit-menit berikutnya mereka habiskan dalam diam. Hermione tak lagi menumpahkan kepanikannya dalam kata-kata, namun otaknya tak berhenti berpikir bagaimana mereka bisa selamat, dengan prioritas menemukan daratan dan tidak terapung-apung tanpa kepastian. Draco, yang mulai menikmati kayuhan dayungnya sendiri, tak ingin membuang tenaga dengan berbicara pada partner-nya itu. Mungkin Draco memang benar, keheningan bisa membuat mereka lebih tenang. Dan lagi, perasaan canggung saat dua pasang mata bertemu pandang tanpa bicara tidak termasuk hitungan.
"Kau tahu ke arah mana kau mendayung perahu ini?" akhirnya Hermione memecahkan gelembung kesunyian di antara mereka.
"Daratan." Draco menjawab singkat.
Jawaban pendek Draco membuat Hermione kesal. Tanpa pertimbangan apapun, Hermione tahu Draco bukanlah bajak laut atau petualang ulung yang memiliki keahlian mendeteksi daratan dengan mudah. Sikapnya yang teramat tenang itu semakin membuat Hermione kehilangan kesabaran.
"Berhenti bersikap santai dalam keadaan seperti ini!" geram Hermione.
"Berhenti bicara! Suaramu membuatku tak bisa berpikir!"
"Oh, begitu? Memang apa yang kau pikirkan, huh?"
"Bagaimana menyingkirkanmu dari perahu ini."
Muka Hermione memerah, "Seenaknya kau berkata begitu. Kau yang menarikku ke tempat ini, Malfoy. Harusnya aku yang…"
"Diam!" Draco membentak, "Miringkan kepalamu!"
Hermione mengernyitkan dahi, "Apa?"
"Kau tak dengar? Miringkan kepalamu! Rambut tebalmu menghalangi pandanganku."
Kedua tangan Hermione memegang kepalanya. Jika waktunya tepat, Hermione ingin sekali menghujani Draco dengan mantra-mantra yang dapat menyiksanya karena perlakuannya tersebut. Meski kesal, Hermione tak urung memiringkan kepalanya.
Draco mempercepat kayuhan dayung pada perahu ketika dilihatnya sesuatu yang ia dan mungkin juga Hermione harapkan sejak tadi: daratan, tepatnya sebuah pulau. Dengan pasir yang menjorok ke lautan dan pohon-pohon yang berkelompok membentuk rerimbunan. Draco tersenyum puas. Ia mempercepat kayuhan pada dayungnya untuk bisa segera sampai di sana.
"Oh, Merlin!" pekik Hermione ketika berbalik dan mendapati pulau tropis yang berjarak beberapa meter saja di hadapannya. "Menurutmu ada orang lain di tempat itu? Maksudku, orang yang bisa menolong kita ke tempat dimana kita seharusnya berada?" tanyanya kemudian pada Draco. Yang ditanya hanya mengedikkan bahu.
Perahu yang mereka tumpangi perlahan mendekati pinggiran pulau tropis yang saat itu berperan menjadi penyelamat bagi keduanya. Hermione bergegas meninggalkan perahu ketika Draco baru saja menambatkan benda itu dengan menarik dayung dari lautan. Ia meraup segenggam pasir dengan tangan kanannya.
"Oh, tidak!" lagi-lagi Hermione memekik. Pasir di tangannya ia tumpahkan begitu saja.
"Kenapa? Oh, tunggu. Lupakan pertanyaanku tadi, aku tidak begitu peduli." Draco dengan santai melewati Hermione dan terus berjalan ke depan memasuki hutan.
"Kau harus peduli, Malfoy!" Hermione berteriak demi dilihatnya Draco mulai menjauh dari posisinya saat ini, "Pasir ini menandakan bahwa kita adalah orang pertama yang menginjakkan kaki di pulau tropis ini!"
…
.
To be continued…
.
.
Next:
Chapter 2 – Tropical Trouble
.
…
a/n (sebagian besar berisi curhatnya Author):
Aaaaa… It feels good to be back! Saya rindu sekali dengan fanfiction. Melihat statistik cerita sendiri, ternyata saya sudah dua tahun lebih tidak menulis apa-apa. Tapi sekarang saya kembali dengan cerita multichapter baru. Sebenarnya, fanfiksi multichapter itu adalah kelemahan saya. Konsistensi menulis saya masih harus perlu banyak dilatih, dan saya akan berusaha untuk bisa lebih konsisten untuk melanjutkan story ini, melanjutkan Diary Mimpi, serta menulis fanfiksi lain, multichapter maupun one-shot. Doakan semoga saya tidak kehilangan motivasi dan inspirasi untuk menulis.
Oya, Chapter 2 sudah selesai ditulis dan akan saya posting minggu depan, mudah-mudahan bisa berbarengan dengan Diary Mimpi Chapter 8 dan fanfiksi lainnya. Doakan!
Jadi, yang sudah baca chapter ini, maukah meluangkan waktu untuk review?
Warm regards,
MM
