"Just take this as a warning. Know that there's always a price for not being yourself." – Benilde Little, Acting Out.


Derap langkah kaki itu terdengar hingga ke seluruh penjuru hutan. Seorang pemuda berkulit pucat, berambut pirang tengah berlari. Sesekali ia melirik ke belakang dan mata hijaunya menangkap bayangan seseorang.

Pembunuh.

Ah, pembunuh itu bisa mendapatkan julukan Jack the Ripper karena tindakannya membunuh semua teman pemuda itu –termasuk kekasihnya— dan mata hijau itu akhirnya bertemu dengan mata biru tajam orang yang sedang mengejarnya.

Otaknya telah memerintahkan tubuhnya untuk mempercepat langkahnya. Tubuhnya bergetar hebat, tangannya mengepal keras hingga buku-buku jarinya memutih. Pemuda memutar kepalanya kembali fokus ke depan, memerhatikan jalannya.

Melesat.

Pisau yang dipegang oleh sang pembunuh itu melesat. Menancap ke sebuah pohon, tak lupa meninggalkan goresan luka di pipi pemuda itu.

Pemuda itu tersentak tapi tidak menghentikkan laju larinya. Desah nafas kelelahan mulai keluar dari mulutnya. Apapun ia terobos, yang ada di pikirannya sekarang adalah keluar dari pulau terkutuk ini.

ur

Tidak. Tidak mungkin.

thur

Ini pasti hanya ilusi.

Arthur

Ini hanya ilusi, yang membuat ia mendengar suara kekasihnya memanggil dirinya. Ia sudah mati, pemuda Amerika yang menjadi kekasihnya itu sudah tiada.

Satu tarikan. Dan pemuda itu merasakannya, ia ditarik ke belakang oleh sang Jack the Ripper. Pemuda itu terjatuh dan sang pembunuh langsung mengunci pergerakannya. Pisau itu –kelihatannya ia sudah mencabutnya kembali setelah tertancap di sebuah pohon— terangkat tinggi dan turun dengan cepat menuju jantung sebagai targetnya.

Dan…


Our Fate In That Island

Chapter One : [The Warning]

Warning : Ada unsur shounen-ai, kalo gak suka klik back. Alur berantakkan dan typo serta OOC.

Hetalia (c) Hidekazu Himaruya


"Arthur! Arthur!"

Pekikkan dan guncangan dari seseorang membuat seorang Arthur Kirkland membuka matanya, bangun dari mimpi buruknya. "Al?"

"Kau tidak apa-apa? Daritadi kau mengigau bahkan igauanmu itu membangunkan Francis." Tanya Alfred.

"Mon Ami, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Francis.

"Tidak ada apa-apa, frog! Dan git, kau mencengkram bahuku." Arthur berusaha untuk melepas cengkraman Alfred.

"Ups, sorry dude." Alfred segera melepas cengkramannya itu. "Artie~ kau bermimpi apa sih? Apa jangan-jangan kau bermimpi dikejar-kejar oleh nenek-nenek yang gentayangan sambil membawa-bawa gayung?!"

"Git, itu hanya ada di film yang ditonton Raka semalam." Arthur hanya menghela nafas dan melihat ke sekeliling. Francis sudah kembali ke tempat duduknya. Dirinya sekarang berada di dalam bis yang membawanya dan teman-teman sekelasnya ke pelabuhan. Terima kasih untuk Raka karena telah menemukan sebuah tempat yang cocok untuk berlibur bersama.

Sebuah pulau tak berpenghuni tapi anehnya ada fasilitas vila bertingkat disana. Itulah keajaiban dunia, entah yang keberapa.

Email. Raka mendapatkan informasi tentang pulau itu dari sana. Arthur melihat ke sebelah kirinya dimana Alfred F. Jones sang ehemkekasihehem sedang sibuk memainkan PSPnya. Ia memutar kepalanya ke arah kanan, melihat pemandangan dengan kaca jendela bis sebagai wujud kotak tv buatan. Mimpi buruk lagi. Ini sudah yang kelima kalinya, apa mimpi buruk itu sebenarnya adalah sebuah pertanda?

Pemuda Amerika yang disebelahnya itu menyadari kekasihnya terlalu sibuk berpikir, ia mematikan PSPnya dan mendekati pemuda yang ada di sebelahnya. Tangan sang pemuda Amerika itu mengenggam tangan kekasihnya sementara tangan yang satunya lagi melingkar di pinggang Arthur. "Kau memikirkan apa, dear?"

Arthur terdiam, masih menatap pemandangan di luar bis. Ia menghela nafasnya. "Aku bermimpi," –pemuda berkebangsaan Inggris itu menyandarkan kepalanya ke dada bidang sang kekasih— "kau dan yang lain... terbunuh... di pulau itu."

Alfred tersenyum kecil. Ia mengecup kening Arthur. "Itu hanya mimpi, dear. Bukan kenyataan, jangan khawatir."

"Ini kelima kalinya aku bermimpi hal itu, git! Bagaimana bisa aku tidak khawatir!" bentak Arthur. "Jika benar terjadi bagaimana?!"

Alfred memutar tubuh kekasihnya, menatap sepasang manik hijau yang ada di hadapannya sebelum akhirnya mendekap tubuh yang lebih kecil darinya itu. "Then, I will protect you, dear. Until my last moment."

Wajahnya memanas. Arthur mendongak, matanya bertemu dengan dua manik berwarna sapphire blue yang melihat dirinya dengan penuh kehangatan. Wajah mereka berdua mendekat.

Mendekat. Ingin mempertemukan bibir mereka satu sama lain.

Dan...

Bis pun masuk ke dalam terowongan, menjadikan suasana di dalam kendaraan itu menjadi gelap dan menyembunyikan dua insan yang duduk di paling belakang yang sedang mengunci bibir mereka dengan satu sama lain.

Juga membuat seorang wanita berkebangsaan Hungaria dan laki-laki berkebangsaan Jepang berdecak sebal karena tidak mendapatkan apa yang mereka mau.

Hasil jepretan kamera tidak akan kelihatan jika target difoto dalam gelap. Kalau kata sang Raja Dangdut, "Sungguh Ter~la~lu.".

-0-0-0-0-

Laut terlihat tenang. Angin berhembus dengan santainya, mengalun bagaikan sebuah melodi yang mengiringi permainan biola dan gitar dari seorang laki-laki berkebangsaan Austria dan kekasihnya yang berkebangsaan negara penghasil coklat selain Belgia di atas kapal itu. Ombak kecil yang menggulung di bawah kapal itu pecah ketika ditabraknya, menimbulkan suara indah di telinga. Setidaknya itu yang dibilang oleh pemuda yang dari Kanada kepada pacarnya.

"I'M THE KING OF THE WORLD!" suasana santai itu dipecahkan oleh seorang Mathias Kohler yang berdiri di penghujung kapal dengan gaya ala Titanic. "Lukas~, kemarilah~." Pemuda itu meminta kekasihnya dengan nada layaknya om-om mesum mau menggoda cewek-cewek ABG.

"Kalau yang meminta Emil, baru mau aku lakukan." Lukas langsung melihat ke arah adiknya, Emil Steillson yang sedang bercakap-cakap dengan pemuda Hongkong bernama Kaoru. Umur jadian adiknya dengan pemuda Hongkong itu baru sebulan. "Hentikan bertingkah seperti anak kecil, anko uzai."

Mathias turun dari teralis penghalang dek dengan tepi kapal, langsung mengecup pipi kekasihnya itu dan sukses membuat seorang pemuda Jerman berambut klimis menjatuhkan minumannya akibat shock melihat adegan cipok-cipokkan gratis yang tiba-tiba.

Padahal dia sendiri sering melakukannya.

"Ve~, Ludwig." Panggil yang sedang bersandar di bahunya. "Ada apa?"

"Tidak ada, Feli." Jawab Ludwig dan mendaratkan satu kecupan ke kening kekasihnya. "Hanya terkejut saja."

Sementara itu, disebrang ke dua orang itu seorang pemuda kembaran Feliciano berdecak sebal melihat kemesraan adiknya dengan Ludwig. "Lovi~." Panggil sang pemuda Spanyol yang sedang tiduran di pangkuannya. "Apa ada sesuatu yang menganggumu?" tanyanya sambil membelai rambut Lovino.

"Aku hanya tidak suka adikku berpacaran dengan si kepala kentang itu, tomato bastard!" bentak Lovino tapi tetap ada pelembutan nada di kata "tomato bastard.".

"Bukankah kau sendiri yang merestui hubungan mereka?" tanyanya lagi seraya mengelus leher sang kekasih.

Lovino bergidik akibat kontak yang tiba-tiba di lehernya. Beberapa detik kemudian, ia pun terbiasa. "Itu karena... aku ingin Feliciano bahagia," –matanya sekarang menghadap ke bawah, menatap pemuda yang tengah tiduran di pangkuannya— "itu saja. Tak ada yang lain."

"Kau kakak yang baik, Lovi~." Antonio, sang pemuda Spanyol menarik ke bawah kepala kekasihnya dan mempertemukan bibir mereka.

Sementara di sisi lain kapal, seorang pemuda dengan kewarganegaraan Cina sedang menikmati pemandangan laut sementara sang pemuda Rusia berada di belakangnya, menaruh dagunya di atas pundak yang di depannya. "Pemandangannya bagus, da."

"Ini mengiatkanku pada saat kau menembakku, aru." Pemuda Cina itu bersandar ke tubuh kekasihnya. "Hanya saja waktu itu, kau mengatakannya di ladang bunga Matahari, aru."

"Kau masih ingat saja, Yao." Pemuda Rusia itu mengelus leher sang kekasih dengan pipinya. "Itu sudah 2 tahun yang lalu."

"Ivan." Panggil Yao. "Perasaanku tidak enak."

"Karena apa?" tanya Ivan. "Apa yang kau khawatirkan?"

"Aku merasa," –Yao menatap datar pemandangan alam di hadapannya. Tatapannya kosong, tak menikmati adegan dua lumba-lumba yang melompat-lompat— "sebentar lagi, kita akan berpisah, aru."

"Sebentar lagi? Kelulusan kita masih 3 tahun lagi, Yao."

"Aku tidak membicarakan soal kelulusan, Ivan." Pemuda Cina itu membelai surai rambut kekasihnya itu. "Maksudku berpisah dalam hal yang bisa dikatakan selamanya, aru."

Pemuda Rusia itu terdiam ketika mendengar maksud kekasihnya itu. Dengan kedua tangannya, ia memutar tubuh yang ada di depannya, membuat mereka berhadapan. "Pemikiranmu itu terlalu jauh, da." Ivan mendekap tubuh Yao, memberikan kehangatan untuknya. Terlalu jauh.

Sepasang mata yang berada di atas kapal memerhatikan pasangan itu, tatapannya datar. Ia membuka tutup botol air mineralnya dan meneguk isinya. Kegiatan itu ia hentikan ketika seseorang memanggilnya. "Sve."

Tak ada orang yang memanggilnya dengan panggilan ini selain dia. "Tino." Pemuda berkebangsaan Swedia yang bernama asli Berwald, menunjukkan gestur ke arah sang pemuda Finlandia untuk duduk di sebelahnya.

"Kau tidak bergabung dengan yang lain?" tanya Tino sesaat setelah melakukan apa yang disuruh Berwald. "Tadi kulihat Francis membagikan parfait. Mau kuambilkan?"

"Tidak. Tidak perlu." Gelengan kepala yang menjadi jawabannya. "Aku sedang tidak ingin memakan makanan yang manis."

"Begitu." Pemuda Finlandia itu menatap langit jingga, Raka bilang mereka semua akan sampai di pulau itu sebelum sunset jadi begitu sampai disana mereka bisa menikmati sunset beserta panorama pulau itu. "Sve. Ada yang ingin kutanyakan."

"Katakan saja." Berwald kembali melanjutkan kegiatan meminum air mineral itu.

"Kau... sedang tidak punya masalah dengan yang lain, kan?"

Pemuda Swedia itu menghentikan minumnya. "Tidak. Memangnya ada apa?"

"Aku rasa," –Tino melihat ke depan, memerhatikan garis horizon laut— "kau seperti menghindar dari yang lain."

Yang diajak bicara terdiam, memerhatikan kekasihnya itu. "Bukankah, aku memang seperti itu."

"Itu dengan yang lain seperti Alfred, Ivan atau Ludwig tapi kau juga menjaga jarak dengan Mathias, Emil dan Lukas." Tino menekan nada di setiap nama temannya yang disebutkan. "Kau selalu terbuka kepada mereka bertiga."

Berwald tersenyum tipis, tangan kanannya terangkat untuk mengelus kepala pemuda yang punya sifat keibuan itu. "Aku punya alasan tersendiri."

Tino menyandarkan kepalanya ke bahu kekasihnya. "Alasan?"

"Jangan dipikirkan." Berwald mengecup kening pemuda yang disebelahnya itu. Jangan dipikirkan.

Apa semua orang yang sedang mesra-mesraan di kapal ini menyadari kalau ada empat orang yang asik mengabadikan momen-momen mesra mereka?

Empat orang itu; Elizabeta Herdevary, Kiku Honda, Bella van Rijk dan Raka.

Tunggu dulu, Raka? Raka Putra Bayu? Untuk apa dia memfoto semua adegan mesra itu macam seorang fudanshi seperti Kiku padahal dirinya tidak perjaka lagi. Keperjakaannya lepas berkat seorang pemuda berkebangsaan Belanda yang juga merupakan kakak Bella, William Van Rijk namanya.

Dan Kiku, jangan berpikiran dia perjaka. Dia punya seorang kekasih berkebangsaan Yunani, penyuka kucing tapi sayang kekasihnya itu tidak ikut dalam acara liburan bersama ini. Sebuah nasib tidak bersama dengan sang seme sama seperti Raka.

Kalau Eliza dan Bella? Mereka berdua kan anggota klub fujodanshi di Hetalia Gakuen. Sudah kewajiban untuk mereka mengabadikan semua adegan mesra. Terkadang ada beberapa seperti Antonio, Alfred atau Gilbert yang meminta kopian foto-foto mesra mereka dengan sang kekasih.

Sementara Francis... mari kita skip yang satu ini.

-0-0-0-0-

"Raka." Panggil Vash. "Itu vilanya?"

Vila berlantai dua itu akhirnya kelihatan ketika kapal mereka itu menepi. "Lebih bagus daripada di gambar yang ada di email."

"Aneh. Pulau tidak berpenghuni tapi ada vila disini." Kata Roderich. "Raka, kau tidak curiga soal ini?"

"Awalnya." Raka melompat turun dengan ransel yang telah menmpel di punggungnya. "Tapi karena biaya sewa vila itu murah, jadi kuterima saja tawaran di email itu." Dan dia pun nyengir onta.

Ah, Raka. Segeralah putus dari pemuda Belanda itu sebelum sifat pelit dan cari murahnya itu semakin ditularkan kepadamu.

"Yang cipok-cipokkan udah dulu! Nanti lanjutin aja di kamar!" teriakan nista dari pemuda Indonesia itu sukses membuat para uke memanas sementara yang seme mengejar Raka hingga ke vila.

Kelihatannya mereka mengerti apa maksudnya.

Dan Raka sebenarnya terlalu jealous dengan para uke yang bisa menikmati belaian para seme.

.

Bintang-bintang berkelap-kelip bagaikan lampu disko di atas langit berwarna biru tua itu. Menerangi seorang pemuda bersama dengan bulan purnama. Tangan pemuda terangkat seolah ingin menggapai salah satu bintang itu. Mata birunya terus memerhatikan bintang itu, sampai...

"Serius sekali." Komentar seseorang. "Aku baru tahu kau bisa serius barang sebentar seperti itu, git."

"Ah, Artie~." Alfred melakukan gestur untuk duduk di sebelahnya. "Kau sudah selesai membereskan koper?"

"Ya dan hell! Kopermu ternyata lebih berat daripada yang kubayangkan!" bentak Arthur lalu ia menatap ke angkasa. "Beautiful."

"Like you, Arthur." Alfred merebahkan dirinya ke atas hamparan rumput hijau itu. Diikuti oleh Arthur. "Hei, Artie~. Aku bisa mengambil salah satu bintang itu!"

"Jangan bercanda, git."

"Tidak, tidak. Aku serius! Sekarang lihat tangan hero ini dan..." Alfed membalikkan tangannya. "TARA!"

Arthur menghela nafas. "Git, itu hanya sebuah origami berbentuk bintang."

"Bukan! Ini bukan origami! Ini bintang yang jatuh dan berhasil hero tangkap!" bantah Alfred. "Kau tahu kan, kalau bintang jatuh disebut sebagai bintang pengabul permohonan. Karena itu, aku menangkap bintang ini untukmu Artie~."

Arthur menatap 'origami' bintang itu dengan tatapan tak percaya. "Untukku?"

"Of course! Ucapkan permohonanmu pada bintang ini dan permohonanmu itu akan terkabul!" Alfred menaruh bintang itu di tangan kekasihnya seraya mengecup keningnya.

Pemuda Inggris itu menatap lekat-lekat bintang pemberian kekasihnya itu. Jika ini benar bintang pengabul permohonan, maka permohonannya sekarang adalah...

Aku harap mimpi burukku itu... tidak menjadi nyata.

-0-0-0-0-

Di tepi pulau dimana mereka menambatkan kapal mereka itu. Seseorang mendekati tali penambat kapal,

Melepaskan simpulnya.

Satu tarikan, dua tarikan dan... lepas. Ia tersenyum puas dengan tindakkannya. Dia pun berbalik, meninggalkan kapal yang kini terombang-ambing menjauh dari pulau itu.

-0-0-0-0-

Ufuk timur telah memunculkan sang mentari. Ruang makan di vila itu kini telah dipenuhi oleh penghuni-penghuni vila. Sebagian ada yang sedang merapihkan sarapan di atas meja, ada yang baru saja keluar dari kamarnya dan sisanya... mereka sudah menancapkan garpu di atas pancake buatan seorang Matthew Williams sambil seraya bertengkar dengan kekasih pemuda Kanada itu yang mengambil porsi lebih banyak.

BRAK! – Kelihatannya Raka harus membayar ganti rugi seandainya pintu depan itu rusak akibat dibuka dengan kasar.

"Ma-Mathias? Bisakah kau membuka pintu itu pelan-pelan?" tanya Elizabeta.

Pemuda Denmark terengah-engah seolah baru saja dikejar oleh trol punya Lukas. "Ka-Ka—"

"Anko Uzai?" kini sang kekasih yang khawatir dengannya.

"Kapal..." Mathias menarik nafas panjang. "KAPALNYA HILANG!"

.

To be continued...

.

.

BA (Bacotan Author) :

Percaya gak? Kalau saya bikin adegan romansa yang di bagian kapal itu ditengah-tengah sekelas lagi nonton Insidius pake layar LCD, gak percaya ya? Ya udah gak apa-apa, gak usah dipikirin lagipula setannya gak keliatan gara-gara kelas terlalu terang. #curcol.

Jadi anak IPS itu menyenangkan tapi susah dijalanin. PAK OWEN! SAYA GAK BISA MAIN KECAPI PAK! KALO NYANYI 'KARATAGAN PAHLAWAN'NYA SAYA BISA PAK! #gaplokepgara-garadaritadicurcol.

Jadi, ya begitulah. Mind to RnR?

Edited : October, 08 2013.