I Love You, Pinky Girl

Author : Kurosawa Tsubaki
Disclaimer : Naruto © Kishimoto Masashi

2010

-

.untuk mereka yang punya cinta.

I Wanna Make You Know That..

Hari yang dingin, di bulan Oktober..

"Nona Pinky!", suara seseorang mengusik ketenangan SMA Hokage pagi itu.

"Hei, aku tahu kau ada di sana," dia membuka pintu kelas berlabel kayu XI IPA 3.

"Kau?", aku mendongakkan kepala. "Pacarmu belum datang. Kembali nanti istirahat saja."

"Kau harus ikut aku sekarang,"tiba-tiba dia menarik lenganku.

"Hei tunggu—mau apa?"

"Nanti kuceritakan. Cepatlah, kau tak mau terlambat kan?", dia menyeretku keluar kelas.

"Hei Sai! Tunggu! Berhenti menarik tanganku!"

Selama aku pergi

Ku akan mengingatmu

Tak hanya sementara

Selalu dan selalu

Ku rindukan

Senyummu untukku disini..

Hujan rintik-rintik, 06:57

Kabut menghalangi pandangkanku. Udaranya semakin siang serasa semakin menusuk pori-pori kulitku. Masih dengan sadar, mobil Sai berbelok menuju salah satu tujuan—bandara. Tak seperti mobil sportnya yang menderu, sedari tadi cowok baby face itu tak berkata-kata atau sekedar menyulut dunhill-nya. Sebenarnya aku ingin menanyakan tujuan perjalanan kali ini yang tak wajar, tapi sepertinya dia hanya akan menjawab dengan gelengan atau anggukan.

Sebaiknya aku diam.

"Nah, sampai. Ayo turun, Sakura," Sai memencet tombol otomat di dekat dasbor lalu pintu mobil pun terbuka.

"Hei, sudah sampai. Cepat turun."

"Tidak," aku melipat tangan. "Tidak sampai kau memberitahuku untuk apa kau mengajakku kemari."

Sai menghela nafas. "Nanti kau akan tahu."

"Apa sulitnya memberitahuku sekarang, Sai. Dari tadi perasaanku tak enak."

"…"

"Siapa yang akan berangkat sepagi ini?"

"Sai! Lama sekali?"

"Kak Naruto?", aku menduga-duga dari suaranya.

"Hei, Selamat pagi nona manis."

Benar saja. Si rambut pirang alami itu pun ada disini. Dia tersenyum ramah, seperti biasanya.

"Kok tidak turun?", Kak Naru membungkuk. Pashminanya melambai tertiup angin.

"Dia tak mau turun," Sai mendelik ke arahku.

Giliran Kak Naru yang menatapku dengan mata penuh tanda tanya.

"Cepat Naruto, ceritakan padanya untuk apa aku membawanya kemari, atau kita akan tetap disini sampai petang."

Kak Naru menatapku sebentar. Kemudian jemarinya menggapai tanganku, dengan lembut menarik tanganku keluar mobil.

Aku tak bisa menolak genggaman jari-jarinya.

Dan itu membuat Sai speechless.

Aku nyengir pada Sai. Entah kenapa aku selalu merasa seperti anak kecil di depan cowok jangkung berambut pirang ini.

Selalu begitru.

Dia selalu membuatku tak bisa menolak apapun yang dikatakannya.

Sudah kubilang berkali-kali.

Kak Naruto adalah cinta pertamaku.

—Jauh sebelum aku menyukai cowok bodoh itu.

Kuingin kau tahu

Meskipun ku jauh

Kau ada di hatiku..

"Eh, kok melamun?", Kak Naru mengangkat daguku. "Kau tak mau mendengar alasan kami?"

"Eh?", aku menoleh pada Kak Naru. Masih dengan tanganku di genggamannya.

"Karena kurasa aku akan baik-baik saja kalau kakak ada disini," aku nyengir jahil pada Sai.

Sai menjitak kepalaku keras.

"Pagi ini Sasuke akan berangkat ke Sunagakure."

Eh.

"Ha.. Hari ini…?", aku tergagap.

"Sebentar lagi. Sekitar pukul 07.30 pagi ini."

"…"

"Tapi tenang saja, dia hanya pergi untuk mengontrol bisnis ayahnya di Suna. Dia tak akan menetap lama disana,"Kak Naru menepuk penggungku.

"Tapi kudengar, dia akan tinggal disana sekitar satu tahun. Kurasa ada sedikit masalah di perusahaannya yang memakan waktu lama untuk diselesaikan.", Sambung Sai.

Kak NAru menempelkan jari telunjuk di mulutnya sembunyi-sembunyi. Sialnya aku melihatnya.

Aku tersenyum miris. Dia tak berhasil membohongiku.

"Hei, kurasa dia—"

"Kenapa si bodoh itu tak memberitahuku.", aku menggigit bibir.

"Kenapa dia selalu membuatku kesal??!!"

.

"Siapa yang kau panggil bodoh?"

Suara itu.

Aku menoleh kebelakang. Benar saja.

Cowok itu dengan kemeja merah marun dan jins hitam. Memakai syal rajutan berwarna kitam dan rompi yang juga berwarna senada.

Tangan kirinya menjinjing handbag dan tangan kirinya memegang sebuah kotak kecil berwarna coklat.

Rambutnya—tak lagi ikal.

Dan dia sedang berdiri dengan begitu sempurna dihadapanku.

"Sepertinya peran utama sudah datang," Sai tertawa kecil.

"Kemana saja kau," Kak Naruto mendekat padanya. "Ada yang sudah menunggumu dari tadi," Dia mengerling ke arahku.

Aku memasang wajah protes.

"A—aku? Aku menunggu si bodoh ini?!"

"Lalu sedang apa kau disini?", Sasuke bersandar pada salah satu tiang penyangga.

"A—", aku mendelik ke arah Sai. Makhluk itu yang menyeretku kesini dengan paksa.

"Sudah, sudah," Kak Naru melerai. "Ini kesempatanmu berbicara dengannya sebelum Sasuke berangkat."

"Lagipula—" Sai mengerling kearah Sasuke.

"Alasan sebenarnya Sakura Kesal padamu adalah karena kau tidak memberitahu keberangkatanmu padanya sebelumnya."

Aku mencubit lengan Sai.

"Oh, begitu ya? Jadi tadi kau memang berpura-pura tak ingin bertemu denganku, ya kan?", Sasuke melirik geli ke arahku.

"Tidak.", aku melipat tangan kesal.

"Hei, bodoh," Sasupyo menimang-nimang kotak kecil berwarna cokelat yang sedari tadi dipegangnya.

"Aku terlambat karena ini, kupikir—"

"Aku ingin memberimu sesuatu sebelum aku berangkat."

Ku selalu bernyanyi

untukmu yang kurindukan

tetaplah setia menungguku

kan kembali…

"Apa ini?", aku memutar-mutar kotak kecil itu, menduga-duga isinya.

"Buka saja," katanya.

Aku membuka tutup kotak itu.

Sebuah orgel mini. Sebuah piano kayu dan seorang anak kecil duduk didepannya, jemarinya seolah-olah sedang memainkan tuts-tuts piano itu. Manis.

Aku melirik Sasuke, mendongak karena kusadar dia sangat lebih tinggi dariku. Cowok itu nyengir dan dengan bodohnya menjitak kepalaku keras.

"Kau tak marah lagi, kan?", Sasuke membungkukan badannya sampai matanya sejajar dengan mataku.

Aku ingin mengatakan masih tapi respon tubuhku malah sebaliknya. Aku menggelengkan kepala.

"Bagus," Sasuke tersenyum tipis. "Kau ternyata seperti seorang anak SD yang bisa dibujuk-bujuk dengan mainan seperti itu."

Aku menegangkan otot dahi.

"Ka—kau…",aku mengepalkan jemariku, bersiap memukul perutnya.

Kak Naru dan Sai tertawa geli.

Sudah kubilang, dia memang orang yang sangat menyebalkan.

"Hn. Sudah waktunya aku berangkat," Sasuke melirik arlojinya.

"Aku masih berharap waktu ini tak ada.", Sai berkacak pinggang.

"Sudahlah, Sai. Kau terlihat buruk kalau melankolis begitu, preman,"Sasuke menusuk pinggang Sai. Sai terkekeh.

"Jaga kesehatanmu, Sasu. Pakai sweater di musim dingin begini. Berhenti mengulangi kebiasaanmu menahan pipis.", kak Naru memeluk Sasu.

Sasu mengangguk. Aura matanya seolah berbicara sesuatu pada Kak Naru.

Sekelibat, Kak Naru tersenyum dan mengangguk.

Sasu bergeser, bergilir memeluk Sai.

"Aku akan merindukan permainan Uno-mu"

Sai mengangguk setuju.

"Jangan hilangkan kartu Uno edisi spesial barbie. Itu kartu yang kubeli paling mahal."

Sasuke bergantian mengangguk. Sai menepuk punggung Sasu, seolah menyuruhnya berpamitan kepadaku.

Cepatlah—hanya memelukku sebentar dan mengucapkan "jaga dirimu", setelah itu pergi.

Kumohon, cepatlah.

Cepatlah sebelum aku menangis dengan bodoh didepannya.

Bisa-bisa cowok menjijikan ini mati berdiri karena tertawa melihat air mataku menetes satu-satu.

"Hei, nona pinky," Sasuke tersenyum geli. Tangannya memegang jemariku.

"Sudahlah, pergi sana," aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.

Dan sialnya arah lain itu adalah mata berpupil emas milik kak Naru.

Matanya seolah mendorongku agar tak menyia-nyiakan waktuku bersama Sasu.

"A—aku. Aku akan pergi ke Sunagakure."

"Aku sudah tahu itu, tak perlu lagi memeberitahuku."

"Maksudku—"

Tangannya terasa begitu dingin di tanganku.

"Aku agak mengkhawatirkanmu."

Apa?

"Apa maksudmu?"

Lelaki tampan itu terdiam, hanya matanya saja yang bergerak-gerak mengikuti bola mataku.

"Maksudku, aku hanya sedikitsangsi apa kau bisa menahan diri untuk tidak menangis jika kau ingat aku.", senyumnya berubah mengejek.

Aku berkacak pinggang.

"Akupun sangsi apa kau bisa hidup tanpa kimchi buatanku."

Sasuke tertawa sekilas, matanya tertuju ke langit-langit bandara.

"Sepertinya kau benar," Sasuke memegang bahuku.

Tiba-tiba pelukannya begitu hangat di tubuhku.

"Sepertinya aku akan begitu merindukan senyumanmu ini."

Sial.

Air mataku dengan mudah jatuh ke atas bahunya.

Dan itu yang membuat aku tak bisa berkata-kata lagi.

Akupun begitu, bodoh.

Akupun tak ingin kau pergi.

Maksudku—kurasa,

Wajahmu itu sudah menjadi salah satu bagian penting.

Di dalam sini.

.

.

.

Ku ingin kau tahu

Meskipun ku jauh

Kau tetap milikku

Selamanya…

THE END

A/N :

Sebenarnya cerita ini sudah lama, tapi aku update lagi soalnya ga jelas, bikin bingung.

gimana sekarang, uda ga missunderstanding lagi kan ?

Oke, RnR ya!

Great regards just from—

-Kurosawa Tsubaki-

NB : for Akabara Hikari, sahabatku yang terimut.. "Otanjoubi Omedetou yaa !!"

Satu pesenku, jangan pernah berubah :)