"—halo?"
Kata-kata itu terasa begitu janggal untuk diucapkan. Ada sesuatu yang telah memisahkan mereka.
…tembok perasaan, mungkin?
"Apa kabar?"
"Baik."
Ia kini tak tahu harus berkata apa setelah lawan bicaranya membalas. Yang jelas, di sini ia membeku untuk mengumumkan kenyataan pahit yang ia yakin akan memperparah keadaan mereka… hubungan mereka.
Karena kini mereka adalah dua individu – dewasa dan memiliki jalan masing-masing.
The Odds and The Reality.
1.Age(s) Not Believing.
Disclaimer: Law of Ueki (c) Fukuchi Tsubasa.
Di saat SMP, Mori suka membayangkan bahwa hubungannya dengan Ueki akan berjalan selancar jalan tol (yah, anggaplah jalan tolnya sedang tidak penuh dengan mobil makanya lancar). Hubungan langeng, persahabatan yang terus berjalan sampai mereka dewasa nanti. Sampai akhir hayat, kalau perlu. Meski di hatinya terus berbisik iseng: kau menyukai si semak-semak, kan? Tapi kau pikir itu tidak penting untuk dipikirkan lebih lanjut, toh masih ada banyak waktu untuk memikirkannya.
Di awal SMA, gadis itu masih berharap bahwa tidak ada (dan tidak akan ada) yang berubah di antara mereka. Ia toh masih Mori, dan Ueki masih Ueki yang ia kenal – bodoh dan naïf. Ia masih mengira hubungan mereka akan tetap seperti ini, sepasang sahabat kental… dimana Ueki akan terus dipukulnya sampai temannya itu tersadar akan kebodohannya – dimana biasanya ia akan mengulang kebodohannya lagi. Lantas mereka kembali berbincang normal.
Hanya saja,di masa dewasanya kini, ia tersadar, satu-satunya hal yang konstan adalah perubahan.
"Hei, Mori, kau baik-baik saja, kan?"
Kata-kata yang khas Ueki sekali. Tapi, kini di telinganya terasa begitu berbeda. Intonasinya. Suaranya. Ada sesuatu yang berbeda dari kata-kata yang terus terngiang di telinganya.
Sekilas, ia berpikir akan jawaban balasannya. Namun, apapun yang ia ingin ucapkan.. terasa begitu asin di mulutnya. Ia akhirnya memilih jawaban yang simpel – dan penuh kebohongan, sebenarnya.
"Baik." Ia menjawab kelu. Jawaban itu jawaban klise, dimana ia sebenarnya ingin berteriak: aku tidak baik-baik saja, bodoh! Kalau perlu, ia jitak lagi kepala Ueki. Seperti dulu. Tapi ia tak bisa melakukannya, kan? Bukan masalah jarak, tapi ini semua tentang perubahan yang menyakitkan.
Umur , juga realita, memang telah membawa perubahan yang drastis.
"Hei..," ia berbisik perlahan, malu untuk mengucapkannya, "…kita bisa terus bersahabat, kan?"
"Iya."
Saat itu angin bersiul nakal, mengurai rambut mereka, seakan menggoda: apa kau betul-betul bisa? Saat itu, rumput-rumput menari iseng terbawa angin, ingin ikut iseng meledek dua insan manusia itu.
Sementara itu, mereka berdua tampak tak menyadari bahasa alam yang menggoda mereka. Mori Ai butuh penegasan untuk hal ini. Ia ingin kata-kata itu terucap. Lagi dan lagi. Ia memang egois, ia tahu. Tapi ia hanya(?) butuh sugesti kecil untuk meyakinkan hubungan kecil ini akan terus bertahan.
"Memangnya kenapa?" tanya pemuda itu, polos, membuat Mori ingin menjitaknya. Kenapa sih Ueki selalu bisa jadi penghancur suasana di saat yang sedang sakral-sakralnya begini? Tapi ia tahu betul, jika ia menjitaknya, ia semakin memperparah suasana ketidak-sakralan ini.
"Err, tidak apa-apa, sih. Cuma ingin memastikan." –lagi dan lagi.
Sedetik. Tidak ada jawaban. Dua detik. Masih hanya bunyi angin. Ditunggu sampai bermenit-menit, sang semak-semak masih terdiam, menguji kesabaran Mori yang di sebelahnya.
"Hei, Uekii!"
Masih membisu. Gadis ini kini sudah naik darah.
"U-E-KIII!" ia sudah menyiapkan jitakan terbaiknya.
"Memangnya kenapa bertanya begitu?"
"Aku kan sudah bilang, Cuma ingin memastikan."
Sedetik. Tetap tak ada jawaban dari mulut itu. Dua detik, mulut itu mulai menganga.
"Oooo." Ia lalu lanjutkan. "Emang ada yang melarang kita berteman selamanya?"
Sebuah jitakan mulus mendarat di dahi malangnya. Namun, beserta jitakan itu, entah mengapa, untuk sesaat, ia merasa lega bernafas.
Kalau ia teringat kata-kata Ueki saat itu, ia kini ingin berkata.. bahkan membentak: perubahan-lah yang melarang kita berteman selamanya! Tapi, ia masih SMA. Masa SMA masa-masa indah, kan? Di saat kita hanya ingin bersenang-senang, bersantai ria, tidak memikirkan masa depan. Tapi di masa itu juga kita secara tak langsung akan berkembang dewasa, mengerti banyak hal.
..dan di masa itu jugalah jauh di dalam hatinya, Mori semakin lama semakin ragu apa mereka bisa terus seperti ini. Selamanya. Bahkan meski saat itu temannya itu masih selalu menemani di sebelahnya, selalu terjangkau untuk dijitak setiap melakukan tindakan bodoh.
Lalu, saat ia melihat pria dengan wajah polos itu, ia langsung berusaha mengusir pikiran bodoh yang ia kira hanyalah kecemasannya semata. Ia mencoba mengusir segala ide-ide bodoh yang ia pikirkan yang semakin lama semakin menghantuinya.
..tetapi, prasangka itu tak bisa terusir seiring waktu bergulir. Malah lebih parah. Dari waktu ke waktu, rasanya ia malah semakin cemas. Ia sadar, ia telah berubah. Ia bukan Ai Mori yang dulu ditemui Ueki; yang hanya mencemaskan segala tindak-tanduk bodoh laki-laki itu. Ia punya banyak hal untuk ia cemaskan. Hidup, masa depannya, cinta.
..sampai-sampai kecemasannya akan persahabatan mereka perlahaan sirna karena banyak hal lain yang ia cemaskan.
"Ueki. Aku hari ini ada les. Maaf tidak bisa menemanimu membersihkan sampah."
Ini sudah SMS ke-entah-berapa-kalinya dari Mori perihal "izin" untuk tidak menemaninya membersihkan sampah di taman. Sebuah SMS yang terasa hampa – seakan-akan yang menulis seperti tidak betul-betul merasa bersalah.
Bukan, bukan berarti Ueki berharap Mori merasa bersalah meninggalkannya sendirian. Bukan. Hanya saja.. semakin lama, ia merasa bahwa SMS ini serasa dipaksakan. Hanya sekedar kewajiban untuk "absen" atau apalah.
..ia tidak tahu juga apa yang membuatnya aneh setiap membaca SMS sejenis ini, sejujurnya.
Tapi, tangannya yang memegang sapu terasa gatal, ingin cepat-cepat membersihkan taman. Ia memilih untuk tidak peduli dengan kata hatinya itu dan membersihkan taman itu.
"Mori, mengapa kau menelepon?"
Memangnya tidak boleh? Setidaknya itu jawaban yang mungkin akan ia keluarkan jika mereka masih seperti dulu. Tapi... sekarang, hal terakhir yang akan ia lakukan adalah meneriaki lawan bicaranya. Ia sudah kehilangan mood untuk melakukannya.
"Yah, aku ingin menyampaikan berita..."
Ia tak kuasa untuk melanjutkannya. Ia biarkan kata-kata itu menggantung begitu saja. Ia terlalu takut untuk melanjutkannya. Semua menjadi nyata jika ia melanjutkan kata-kata itu.
...dimana ia sebenarnya terkadang meyakinkan dirinya bahwa ini bukan kenyataan. Ini hanya mimpinya saja. Ia berusaha untuk melupakan fakta-fakta yang jelas menunjukkan bahwa memang ini kenyataan. Welcome to the real world.
"..aku akan bertunangan."
Ia yakin suaranya terlalu pelan sampai sang lawan bicara di seberang sana berkata dengan penasarannya, "Err, boleh diulang? Aku tidak dengar."
Seharusnya lewat SMS saja. Lebih mudah. Setidaknya aku tidak usah ngomong seperti ini, pikirnya kesal saat ini. Kalut. Ia jadi ingat vicodine yang siap sedia di kotak P3Knya. Apa ia harus meminumnya untuk meredakan denyut-denyut di kepalanya ini?
"Aku akan bertunangan."
Ia akhirnya mengulang kata-kata itu, dengan keras, berjuang melawan ketakutannya. Berjuang melawan kekhawatirannya. Berjuang melupakan flashback-flashback yang silih berganti berkejaran, seakan memintanya untuk tidak menyampaikan kata-kata itu. Yah, ia kan tetap harus menyampaikan berita ini. Ia tahu teman (atau mantan temannya) setidaknya harus tahu tentang berita sepenting ini.
"Oooh. Dengan siapa?" tanya Ueki, terdengar polos namun tulus. Terselip rasa penasaran juga di sana.
Duuh, mengapa anak ini menanyakan hal itu? Mendengar pertanyaan itu saja membuatnya risih. Sudah berbulan-bulan ia meyakinkan diri bahwa ini memang pilihan yang tepat.. tapi terimakasih banyak untuk lawan bicara dudulnya ini, pertanyaan Ueki sukses membuatnya ragu kembali.
Seandainya tidak pernah ada kejadian itu. Seandainya ia tidak sebodoh itu. Begitu pikirannya merapal apa yang persis ada di hatinya.
Tapi penyesalan selalu datang begitu terlambat, ia tahu itu. Berbulan-bulan ia berusaha mengatasi penyesalan yang terasa menimbunnya begitu dalam di bawah tanah, berbulan-bulan ia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa tak ada yang salah dengan semua ini.
Tapi... kini, dengan pembicaraan yang mungkin belum menghabiskan waktu satu menit, ia tersadar bahwa penyesalan itu masih ada. Malah, rasa penyesalan itu tambah menyesakkan dadanya.
"Hei, Mori?"
Ia nampaknya berpikir terlalu lama sehingga lawan bicaranya sampai mencemaskannya dari seberang sana. Di saat seperti ini, ia merasa... begitu tidak berguna. Seperti dulu-dulu. Tapi... jika dulu setidaknya ia merasa jauh lebih tidak bersalah jika laki-laki itu kembali direpotkan olehnya – yah, toh kan mereka sahabat.
Tapi kini, mereka tak ubahnya dua orang asing, dan hal itu membuat dirinya terasa begitu bersalah dengan ketidakbergunaan dirinya.
"Err, tadi bertanya apa?" tanyanya, berlagak tak mendengar. Daripada ditanyai macam-macam.
"Kau bertunangan dengan siapa?"
Waktu yang singkat itu ia gunakan untuk mempersiapkan dirinya untuk menyebutkan nama yang terasa begitu kering meski telah sering ia ucapkan. Waktu yang singkat itu ia gunakan untuk membuka mulutnya duluan sebelum betul-betul melisankannya.
"Aku akan bertunangan dengan Robert."
-to be continued..-
Authornotes:
-Ehem. Pertama-tama, maafkan saya kalau jadinya OOC. Soalnya.. saya udah lama gak baca Law of Ueki/Law of Ueki plus, jadi.. ya begitulah -_-.
-Kedua. Yah, cerita ini memang future-fic. Silahkan anda raba-raba sendiri kemana ceritanya akan berjalan :p.
-Ketiga... ayo ikut Indonesia Fanfiction Award 2010! Yah.. meski saya yakin udah banyak yang tahu, saya jelasin aja yah. IFA itu semacam acara untuk mengapresiasi fanfiksi Indonesia dengan menominasikan fanfic yang anda anggap layak menang. Untuk info.. klik aja link di profil saya #halahmales.
-Keempat.. err, review?/plak.
