Kuroko no Basket © Tadatoshi Fujimaki
L'appel Du Vide © altaira verantca
Rated : K
Genre (s) : General
Main Cast (s) : Aomine Daiki | Akashi Seijuurou
.
Summary : Warnanya identik dengan segala sesuatu yang kuinginkan.
Daiki
.
"Kudamu?"
Warna apel, pikir Daiki, disusul dengan nyaring perutnya yang bernyanyi minta diisi apapun selain udara.
Itu bukan sepuluh detik yang mengesankan untuk sebuah pertemuan pertama, lanjut Daiki dalam otaknya. Namun, mungkin, pemuda di hadapannya beranggapan lain. Karena seulas senyum dan tawa pendek membuat garis matanya melembut, membuat warna apel itu berkilat ranum.
"Aku hanya punya jeruk saat ini," ujar pemuda itu, menyodorkan sebuah jeruk berwarna oranye cerah. Bulat sempurna, mulus mengkilat, lengkap dengan sisa batang di pucuknya.
"Woa! Kau dapat darimana jeruk sebagus ini? Baru kali ini aku lihat jeruk yang mengkilap seperti bokong panci yang habis digosok!"
Ya tidak bisa dibuat berkaca, sih. Tapi tetap saja bersih, mulus, dan tanpa noda.
"Ini buah beneran?" Daiki tidak tahan untuk curiga, pastinya. "Serius buatku?" Buah mulus macam ini pasti harganya mahal. Gila rasanya kalau pemuda ini langsung merelakannya begitu saja kepada orang yang bahkan belum semenit ia temui.
"Tentu saja," jawab pemuda itu. Suaranya halus, tidak keras menggelegar seperti pemuda kebanyakan, namun cukup untuk didengar tanpa perlu berhenti untuk menajamkan telinga. "Kau bisa memakannya untuk membuktikannya." Ia menawarkan sambil mengupas kulit jeruk yang cukup tebal itu.
Daiki diam, menatap jeruk dan pemuda di hadapannya bergantian. Ia lapar dan di hadapannya ada buah segar yang sepertinya kulitnya juga bisa langsung dimakan. Ah, tidak buruk.
"Kulitnya buat aku, ya," ujar Daiki, sembari menerima jeruk yang sudah terkupas sempurna.
"Untuk apa?" tanya pemuda itu, menatap kulit jeruk di telapaknya penuh heran. "Ini sampah, bukan?"
"Bodoh," gumam Daiki sembari mengunyah potongan jeruk pertamanya. Rasanya manis dan segar serta bulir-bulir besarnya begitu menyenangkan untuk dikunyah dan bergulingan di lidahnya. "Ini enak sekali," ujarnya lagi, mengambil potongan jeruk kedua lalu kembali melahapnya, "kau dapat buah ini dari mana, sih?"
"Dari istana," jawabnya pendek.
"KAU MENCURINYA?!"
Daiki terlonjak dari duduknya. Potongan jeruk kedua sudah terlanjur ia lahap, meski sempat tersedak, dan mual segera mengaduk perutnya. Aduh, bisa mati kalau sampai tertangkap makan buah curian dari istana!
"Tidak."
Pemuda itu hanya menjawabnya pendek, tampak agak kesal jika dibandingkan tadi. Namun Daiki tidak peduli soal itu sekarang. Ogah sekali berurusan dengan pencuri buah istana.
"Jangan bohong! Jelas-jelas kau bilang kalau mencurinya dari istana!"
"Aku hanya mengatakan bahwa mendapatkan buah itu dari istana."
"Ya makanya! Kamu mencurinya, kan?!"
"Demi matahari! Aku tidak perlu mencuri jatah makan siangku sendiri!"
Mulut Daiki sudah membuka lagi untuk membantah, sebenarnya. Namun, jawaban dari pemuda di hadapannya membuatnya makin menganga.
"Kau anak istana?! Dalam istana? Benar-benar di dalam bangunan istana?!"
Pemuda itu menatapnya sebentar lalu menghela nafas panjang. "Begitulah. Sehari-hari aku tinggal di dalam istana."
"Wow! Keren! Baru kali ini aku bertemu anak istana! Kau biasanya dimana?"
"Perpustakaan."
Mendengar jawaban itu Daiki hanya tertawa keras. "Pantas saja tanganmu mulus begitu! Tiap hari kerjanya hanya mengusap buku sampai mengkilap!"
Pemuda itu menarik nafas lagi, lelah mungkin, dan Daiki tak ambil pusing.
"Nih!" Daiki menyodorkan kembali buah jeruk yang tak lagi utuh. "Ini jatah makan siangmu, kan? Seharusnya kau makan saja buah ini, tidak usah dikasihkan padaku."
Pemuda itu menatap buah di tangannya lalu menggeleng. "Tak apa. Engkau tampak lebih lapar dibandingkan aku. Makan saja."
"Tapi kau lebih kecil dan pendek daripada aku. Lebih baik kau makan saja ini biar lebih cepat tinggi." Kembali Daiki menyodorkan jeruk itu. Kali ini sampai di bawah hidung pemuda itu.
"Aku dalam masa pertumbuhan."
Kesal yang tergambar jelas di kalimat serta kerut di dahi pemuda itu membuat Daiki tertawa lagi, namun tangannya bekerja untuk melepas satu potong jeruk lagi lalu menyuapkannya paksa ke mulut pemuda yang tengah terkatup itu.
"Kau umur berapa memangnya?" Daiki pantang menyerah, selalu. Gelengan tanda penolakan dari pemuda itu tidak ia gubris dan terus saja ia menekankan potongan jeruk ke bibir itu.
"Enam be—khh!" Daiki tersenyum lebar melihat pancingannya sukses. Satu potong jeruk harus pemuda itu kunyah dan telan sekarang! "Enam belas tahun."
Daiki mengunyah lagi dan tertawa, lagi. "Umur kita sama padahal. Kupikir kau masih umur sepuluh tahun."
"Tidak sopan."
"Hahaha! Tidak bermaksud begitu padahal." Daiki kembali menyodorkan potongan jeruk ke mulut pemuda itu lagi. Kali ini pemuda itu hanya menatapnya tajam sebentar dan menyerah—membuka mulut dan membiarkan Daiki menyuapinya.
"Ngomong-ngomong, sedang apa kau disini?" Daiki bertanya, setelah mengunyah potongan jeruk lagi dan kembali duduk di rerumputan. Ia bersandar di batang pohon, santai dan terlindung dari panas serta silau sinar matahari sore. "Libur?"
Tidak biasanya anak dalam istana berkeliaran sampai ke padang rumput di utara istal kuda. Selain jauh, jalan yang harus mereka lewati sama sekali tidak bersahabat. Bisa-bisa mereka tidak boleh masuk istana karena bau kotoran babi dan kuda.
"Bisa dikatakan begitu," jawabnya. "Engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."
Diam sejenak sebelum Daiki mengernyit. "Pertanyaan yang mana?"
Daiki melihat bagaimana pemuda itu menarik nafas dalam, lagi, sebelum menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan mengangkat dagunya sedikit. Angkuh sekali, pikir Daiki.
"Tentang kuda dan kulit jeruk," jedanya, "kuda ini milikmu?"
Ditanya begitu, baru Daiki sadar bahwa kuda putihnya sudah berdiri di belakang pemuda yang warna matanya seperti apel matang. Mengendus rambut merahnya dan mendorong punggung pemuda itu dengan lembut menggunakan hidungnya.
Tidak biasanya.
"Bukan," jawab Daiki. "Aku hanya menggembalakannya."
"...gembala kuda?"
"Begitulah. Kenapa?"
"Terdengar asing saja."
"...jangan tertawa."
"Engkau berhalusinasi."
"BIBIRMU NAIK KE ATAS ITU!"
Mendengarnya, barulah pemuda itu tertawa. Bukan tawa lepas seperti kebanyakan pemuda yang Daiki tahu. Tawanya terdengar sopan dan tertata. Mungkin begitu ya tawa anak dalam istana? Harus ditata seperti baju mereka yang harus selalu kinclong tanpa noda.
"Cukup menakutkan kalau bibirku naik ke atas, ya."
"Tsk! Maksudku kau tadi nyengir!"
"Sama sekali tidak."
"Aku yang lihat tadi, duh! Kau ini keras kepala sekali!"
Pemuda itu tidak menjawab dan hanya tertawa pelan. Sundulan dari kepala kuda putih itu pun tidak mengganggunya. Bahkan, ia mengusap moncong kuda yang kini sudah mengendus-endus pipinya.
"Tidak biasanya Yukki begitu cepat akrab dengan orang yang baru ia kenal," komentar Daiki, tidak beranjak dari tempatnya. Kalau itu kuda lain, mungkin ia sudah siaga dan berjaga-jaga di sampingnya. Yukki adalah kuda yang paling beradab yang pernah Daiki gembalakan sekaligus yang paling sulit untuk akrab dengan manusia.
"Yukki?"
"Nama kuda itu. Sebenarnya sih Yukimaru, tapi kepanjangan. Aku lebih suka memanggilnya 'Yukki'"
"Yukimaru nama yang bagus," komentar pemuda itu. "Seperti salju."
"Oh! Kau sadar? Kata pamong istal kuda istana, nama itu diberikan karena ia lahir di hari bersalju." Daiki tidak tahan untuk tidak menggaruk leher kuda yang sekarang sudah membungkuk di depannya.
"Kuda putih milik pangeran. Benar-benar seperti negeri dongeng," gumam Daiki setengah terkekeh ketika Yukki mencium pipinya. "Ngomong-ngomong, pernah bertemu pangeran? Kau kan hidup di dalam istana. Ya mungkin saja pernah papasan atau mungkin kau pelayannya begitu?"
Pemuda itu menggeser posisinya. Selangkah lebih rapat ke arah pohon dan terlindung dari sinar matahari yang makin rendah. Mungkin dia tidak pernah keluar saat matahari terik kalau reaksinya untuk matahari hangat senja saja seperti ini.
"Beberapa kali," ujarnya. "Sebentar. Sejak tadi engkau tidak berhenti bertanya kepadaku dan belum menjawab pertanyaanku."
Kini Daiki yang mendengus. Sesungguhnya ia tadi berniat untuk menunggangi Yukki sampai ke perbatasan utara untuk mengambil buah beri hitam. Namun, kehadiran pemuda ini entah mengapa membuatnya enggan untuk pergi.
"Kan sudah yang soal kuda tadi."
"Tentang kulit jeruk. Engkau belum menjawab untuk apa meminta kulit jeruk itu."
Daiki menatap pemuda di hadapannya, setengah heran atau malah agak mengejek dari cengiran kecilnya. "Kau bercanda, ya?"
"Lihat? Engkau memberiku satu pertanyaan lagi."
"Maksudku bukan begitu, duh!" Sarkasme yang Daiki tangkap membuatnya kesal sekali entah mengapa. "Kulit jeruk kan jelas-jelas untuk dijadikan selai!"
Saat berikutnya, ganti pemuda dengan rambut dan mata sewarna apel itu yang menatapnya heran. Seolah kepala Daiki baru saja berubah jadi kepala medusa.
.
"Kau libur lagi?"
Seminggu kemudian, pemuda itu kembali.
"Engkau menunggangi kuda pangeran?"
"Jawab dulu pertanyaanku, hoi!"
Pemuda itu hanya mengedikkan bahunya ringan. Tangannya sudah meraih Yukki dan mengusap-usap kedua rahang datarnya, sekaligus memeriksa tali kekang yang terpasang di sekitar moncongnya.
"Tidakkah engkau memasang tali kekang ini sedikit longgar?" ujar pemuda itu. Ada rasa tidak suka dan ketidaksetujuan dalam suaranya. "Berbahaya."
"Nah, biarlah. Yukki lebih suka kalau tali kekangnya lebih longgar saat jalan-jalan." Daiki memeluk leher Yukki, sekaligus merendahkan posisi tubuhnya hingga bisa menatap pemuda itu lagi. "Hei, kau tampak lebih kecil lagi kalau dari sini."
Pemuda itu hanya memberinya satu tatap peringatan, yang entah mengapa cukup membuat Daiki begidik dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tak lagi mengulangi ejekannya. Pemuda kecil itu, yang tampak makin kecil karena ia tengah duduk di punggung Yukki, tampak lebih sangat menakutkan kalau kesal.
"Saat dibawa pangeran apa tali kekangnya selonggar ini?"
"Tidak, tentu saja. Talinya akan kueeratkan baik-baik. Aku tidak mau kehilangan pekerjaan hanya karena hal sepele macam itu."
Pemuda itu menatapnya, tidak bicara apa-apa selain mengusapkan pipinya dengan pipi Yukki. Tidak peduli dengan simpul-simpul kulit yang bisa saja menggores pipi mulusnya.
Mulus seperti pantat babi, pikir Daiki. Anak dalam kerajaan ini tiap hari dipulas susu, ya?
"Aku libur hari ini." Jawaban pemuda itu membuyarkan Daiki dari lamunnya. Matanya sudah kembali menemukan arah tatap Daiki dan lagi-lagi tampak cerah terkena sinar matahari.
Pemuda bermata apel itu hari ini memakai tunik berwarna selai kulit jeruk.
"Mau ikut aku makan siang?" Ia sedang beruntung minggu ini, menang undian lotre di pasar. Beberapa koin perak cukup untuk kebutuhan di tempatnya selama satu bulan ini. Roti bagel di kantung sadel Yukki juga setoples selai kulit jeruk bikinan orang tempatnya menjadi bukti. Kali ini selainya dicampur madu, bukan cuma gula keruh kelas tiga yang biasanya ia beli.
"Engkau belum menjawab pertanyaanku."
Daiki mendengus. Benar-benar deh pemuda satu ini ribet sekali.
"Kuanggap jawabanmu sebagai 'ya'," balas Daiki. Ia tidak menghiraukan kerut yang mendalam di antara kedua alis pemuda itu ketika melompat turun dari punggung Yukki. Tidak pula ia bicara ketika mengeratkan tali sadel lapuk juga tali kekang di dekat tulang pipi kuda putih itu.
"Kupikir Yukimaru tidak suka kalau tali kekangnya terlalu erat saat jalan-jalan." Dengus keras dari Yukki seolah mengonfirmasi ucapan pemuda itu.
"Kalau berdua, memang harus erat."
"Berdua?"
Daiki yang telah selesai mengeratkan tali kekang menoleh kepada pemuda di hadapannya, satu senyum lebar terpampang di wajahnya.
"Berdua."
Tanpa meminta ijin, tanpa aba-aba, dan tanpa persetujuan, kedua tangan Daiki memegang pinggang pemuda itu. Tangannya yang lebar dan kokoh dengan mudah mengangkat tubuh itu hingga ia duduk di punggung Yukki.
"H-hey!"
"Jangan panik. Pegang tanganku dan langkahi punggung Yukki. Duduklah yang nyaman di sadel itu."
"Bukan begitu maksudku!"
"Kau lebih suka naik kuda menyamping begitu seperti seorang perawan?"
"Sudah kubilang bukan be—"
"Ayolah. Aku sudah lapar!"
Daiki tidak berkedip ketika pemuda itu menghujamkan tatapan tajam padanya. Untung saja tatapan itu tidak bisa mengutuk, melukai kulit, atau mencolok matanya. Kalau bisa, mungkin dia sudah jadi kodok yang setelah itu akan diinjak Yukki.
Sedikit di luar dugaan melihat pemuda itu membetulkan posisi tubuhnya dengan mudah. Tidak gamang karena duduk di atas punggung kuda gagah.
"Pernah naik kuda sebelumnya?"
"Beberapa kali," jawabnya.
"Ah, kupikir hidupmu hanya mendekam di perpustakaan."
Belum sempat pemuda itu menjawab, kini giliran Daiki yang naik ke punggung Yuki. Mudah baginya untuk mengatur posisi, duduk nyaman di belakang pemuda itu.
"Pegang tali kekangnya tapi jangan ditarik. Biar aku saja yang bicara dengan Yukki," kata Daiki. Kedua lengannya kini menjadi penahan tambahan di sisi tubuh pemuda tersebut. Genggaman tangannya tampak mantap di tali kekang kulit yang menipis karena usia.
"Aku Daiki. Siapa namamu?" tanya Daiki, ketika Yukki mulai melangkah setelah ia menarik pendek tali kekang itu.
Pemuda di depannya tidak langsung menjawab. Tidak juga memegang tali kekang. Mungkin ia ngambek. Namun, apa pedulinya untuk Daiki, kan?
"Seijuurou."
Seijuurou, Daiki mengulang nama itu di dalam otaknya. Panjang amat.
"Sei."
"Maaf?"
"Sei dari Seijuurou."
"Aku tidak suka namaku disebut seperti itu."
"Oh," respon Daiki, "pegang kekangnya, Sei. Aku akan memacu Yukki lebih cepat."
Daiki menekan kedua lututnya ke sisi kuda putih itu, serta mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan—meski tidak bisa serendah biasanya karena ada pemu—Sei, maksudnya—yang duduk disana. Sebuah isyarat agar Yukki mempercepat derapnya.
"Engkau keras kepala," komentar Sei.
Daiki hanya tertawa saat itu. Entah karena terbiasa dibilang seperti itu atau geli melihat perbedaan mencolok dari warna kulitnya ketika tangan Sei akhirnya memegang tali kekang. Bersandingan dengan kepal kuat Daiki yang memacu Yukki melintasi padang rumput.
Awan putih pun seharusnya malu kalau harus diadu dengan cerah yang melumuri kulit Sei.
.
Ada sebuah lembah setelah padang rumput di utara istal kuda, yang dilewati seulir sungai jernih yang berbatu kali dan tetap menjadi sarang banyak ikan pada musimnya. Batu-batu besar yang jarang dijamah manusia tampak kelabu karena kering, sedangkan dasarnya berwarna gelap atau menghijau berlapis lumut empuk.
"Pernah kemari?"
Daiki mengulurkan tangannya, meminta Sei untuk menjadikannya sebagai pegangan saat dia turun dari Yukki. Namun, Sei bergeming di punggung Yukki. Matanya seolah sibuk menangkap segala pemandangan di sekitarnya.
"Sei?"
Kali ini Sei menoleh, lalu menanggapi uluran tangannya—yang malah Sei tarik agar ia dapat bertumpu pada kedua pundak Daiki untuk turun dari kuda. Aneh, karena Daiki tidak protes dan langsung siaga mengamankan tubuh di hadapannya agar selamat hingga ia berdiri tegap.
"Baru kali ini aku tahu ada tempat seperti ini di sekitar istana."
"Nah. Karena kau terus mendekam bersama kutu-kutu buku, jelas saja kau tidak tahu. Coba tiap hari kau habiskan di desa atau istal kuda, pasti tahu," ada cibir yang tidak mengejek di akhir katanya. Kalaupun Sei tersinggung, Daiki tidak melihatya.
"Ya, tentu saja," balas Sei kalem. "Sudah pasti juga nanti kulitku sehitam kulitmu, ya?"
"Oi!"
"Masih untung engkau tidak diusir dari wilayah kerajaan karena salah dikenali sebagai warga kerajaan lain, ya."
Mendengarnya Daiki hanya tertawa, tidak membalas. Sibuk mengambil perbekalan kecil dari kantong sadel Yukki. Sebotol kecil selai kulit jeruk, beberapa lembar roti gandum kasar, juga kantong kulit lusuh tempat air.
"Kalau yang itu, sampai aku mati pun tidak akan pernah terjadi, Sei."
Sei tidak bicara apa-apa lagi setelahnya. Kaki melangkah penuh kehati-hatian dari satu setapak ke tapak lain. Tangan Daiki yang terulur secara otomatis Sei raih setiap ada pijakan batu di tanah lunak atau berlapis lumut tipis yang berlendir licin.
Terus, hingga Daiki sampai beberapa langkah dari tepi sungai.
"Kita makan siang di sini," kata Daiki.
Sei, yang selama beberapa saat sebelumnya tampak terfokus dengan jernih air sungai di hadapannya, mendongak.
"Tidak ada tempat duduk di sini, Daiki."
"Ada, tentu saja." Daiki menunjuk satu batu besar di tepi sungai, di bawah sebuah pohon rimbun yang rindang. "Tuh. Batu itu tempat makan siang yang enak."
"Engkau memintaku duduk di sana untuk makan siang?"
Daiki mengedikkan bahu, tak peduli. "Tidur siang di sana pun nyaman. Ayolah, anak istana. Jangan sia-siakan usahaku yang mengajakmu kemari."
"Aku tidak meminta untuk diajak," balas Sei, namun meraih tangan yang diulurkan oleh Daiki tanpa mengajukan protes.
"Ya. Tapi bukan aku yang sejak tadi matanya melirik kanan kiri atas bawah penuh rasa penasaran seperti baru pertama kali datang ke festival musim panas."
Daiki menuntun Sei, memberinya tanda dengan langkahnya batu mana yang perlu diinjak. Ia naik dulu ke atas batu kali besar lalu membantu Sei untuk naik. Ia bahkan, tanpa sadar, berjaga di belakang Sei setelah pemuda itu berdiri di atas batu. Takut-takut kalau pemuda itu tergelincir dan jatuh.
"Jangan berdiri terus, Sei. Kalau kakimu lemas lalu kau jatuh ke dalam sungai, bisa gawat."
Sei melemparkan satu lirikan padanya, meminta keterangan lebih lanjut atas kalimat barusan meski tidak berkata apa-apa.
"Nanti aku kehilangan pekerjaan, disangka membunuh anak istana." Daiki menuang sesendok selai ke atas selembar roti dan menyodorkannya kepada Sei. "Makanlah. Kau belum pernah makan selai kulit jeruk, kan?"
"Meski nyawa seorang pelayan?" Sei mengambil lembar roti itu, menatapnya penuh ragu. Kembali ia melirik ke arah Daiki, mendapati pemuda itu tengah menggigit sepotong besar roti dengan selai meluber dari satu sisinya.
"Nyawa anak istana, siapa saja pokoknya asalnya dari dalam istana, lebih mahal daripada nyawa anak istal kuda."
"Aku baru tahu."
"Bukan kamu yang diancam akan dibuang ke jurang kalau salah menakar makanan kuda, kan?"
Sei tidak bicara apa-apa lagi setelahnya, kembali menatap roti di tangannya.
"Tidak ada racunnya!" Gerutu Daiki diikuti decak kesal sembari ia melepas tunik warna tanah yang ia kenakan, lalu membeberkannya di atas batu.
"Aku belum memakannya bukan karena itu, Daiki."
"Lalu?"
Sei tidak menjawab pertanyaan Daiki, sayangnya. Ia hanya duduk di atas pakaian Daiki yang terbentang di atas batu. Merasa tidak sungkan karena duduk di atas pakaian seseorang yang baru dua kali ia temui.
"Tidak ada alasan khusus. Selamat makan."
Dasar anak istana, cibir Daiki dalam hati. Tidak mau pakaiannya kotor.
Atau memang tidak boleh kotor.
.
Adalah pertemuan ketiga ketika Daiki menyerahkan tali kekang yang mengamankan Yukki kepada Sei.
"Apa maksudmu?"
Daiki mengedikkan bahunya, tak acuh. "Kau menatapku seperti itu sejak tadi. Iri karena aku bisa naik kuda sehebat itu?"
Sei mengerjap beberapa kali, mungkin berusaha mengelak dari apa yang Daiki katakan. Siapa tahu, kan?
"Tidak. Sama sekali tidak iri," sergah Sei, tangan meraih tali kekang Yukki dan mengarahkan kuda tersebut untuk mendekat padanya.
"Lalu?"
Sei mengusap leher Yukki, menyisir bulu-bulunya perlahan. "Kau merawat Yukimaru dengan sangat baik, Daiki."
Daiki melengos. Capek sudah dengan sikap Sei yang terlalu seenaknya sendiri kalau sudah menyangkut arah pembicaraan.
"Kalau tidak begitu, aku bisa-bisa tidak makan."
"Bayaranmu kurang pantas?"
Daiki menggeleng. "Terlalu banyak mulut yang harus diberi makan."
"Kalau pangeran tahu bahwa kau yang mengurus Yukimari hingga ia sesehat ini, beliau tidak akan ragu untuk menaikkan bayaranmu."
Daiki terbahak mendengarnya. Keras sekali bahkan meski sesaat cukup untuk membuatnya menitikkan air mata. Konyol sekali ucapan kenalannya ini.
"Kalau begitu—pfft—sampaikan salamku pada pangeran kalau kau bertemu, ya!"
Sei, di luar dugaan, tersenyum.
"Akan kusampaikan."
Tak ada yang bicara selama beberapa saat sampai Sei mengembalikan tali kekang itu ke dalam genggaman Daiki. Menyadarkan pemuda berkulit sawo matang itu dari lamun singkatnya.
"Aku pergi dulu, Daiki."
"Oh? Sudah mau pulang? Kukira ini hari liburmu."
Sei menggeleng, seulas senyum yang hangat bagai air sumur di musim panas itu tak lepas dari wajahnya. Kalau dipikir lagi, Sei ini agak menakutkan. Di satu sisi bisa tersenyum menenangkan, di lain waktu ia bisa memberi tatapan yang bisa mengutuk tujuh turunan.
"Ini terakhir kalinya aku ke sini."
Penekanan kata 'aku' membuat Daiki mengernyit, namun tidak berkomentar apa-apa.
"Selamat tinggal, Daiki."
Usai mengucapkannya, Sei mengangguk sekali lalu berbalik dan melangkah pergi. Tidak menoleh lagi.
Daiki hanya diam mematung di tempatnya, menatap punggung yang menjauh kemudian menghilang karena tertutup deret pohon, lalu menguap dan mengedikkan bahu tak peduli.
"Yah, kita memang tidak akan bertemu lagi, sih. Kemungkinan besar."
Namun, ketika ia berbalik dengan tali kekang Yukki di tangannya, berniat untuk kembali rebahan di bawah pohon, ada merah yang berdiam manis di bawah pohon tempat biasanya ia duduk. Di samping gelaran kain yang sengaja ia siapkan untuk Sei.
Sekeranjang apel ranum sewarna dengan kedua bola mata pemuda yang baru saja mengucapkan selamat tinggal padanya.
"Apel yang bagus," gumam Daiki, sembari meraih satu dan menekuri warnanya.
Ia lapar, dan sekeranjang apel ranum tersedia untuknya. Namun, enggan menggerogoti inginnya untuk segera menggigit santapan matang di tangannya. Daiki hanya diam, mengusap kilap di kulit merah ranum tersebut.
"Tidak jernih," gumamnya, sebelum memberikan satu apel tersebut untuk camilan Yukimaru sore itu.
[a/n] L'appel Du Vide - the inexplicable urge to leap from high place. The premise of this story is save me from this cramped routine and lemme fall in love with the sun.
