Disclaimer: 'Naruto' punya om Masashi Kishimoto

Warn: AU, ooc, misstype, oc.

::

Marry Me

::

#1

A Broken-Heart Girl

::

1829, Inggris

Malam itu udara panas. Angin hampir tak bertiup. Di padang rumput luas dekat Manchester, sebuah kereta hitam melesat. Suara derap langkah kaki sepasang kuda yang memacu menjadi salah satu pengusik ketenangan padang rumput yang indah. Kereta itu terus berjalan hingga mencapai sebuah bangunan besar yang ramai dan terang benderang.

Rumah keluarga Uzumaki.

Dari dalam keretanya, seorang pemuda berjas keluar dengan gaya khas bangsawannya dan langsung menuju pintu masuk utama. Para penjaga memberi hormat, namun dia mengabaikan mereka.

Aula utama dipenuhi kaum bangwasan yang saling bercerita dengan rekan mereka. Bukan suatu bentuk keakraban, melainkan persaingan. Alunan lagu indah yang dibawakan oleh orchestra yang berada di salah satu sudut ruangan menguarkan tensi ketat dari topeng tersenyum wajah mereka.

Saling memberi hormat, memamerkan kekayaannya dengan bersikap anggun, memakai perhiasan yang memberi beban berlebih pada tubuh, dan mengumbar segala kesuksesan usahanya. Saling tertawa bersama, tapi di belakang punggungnya memegang belati.

Tidak. Tidak. Itu hanya ungkapan.

Ini bukan kisah pembunuhan.

Sementara itu, di sudut ruangan yang lain, yang hanya dilalui oleh segelintir orang, berdiri calon pewaris Hyuuga yang punya sinar mata kecewa.

"Menyedihkan, eh, Nona Hyuuga?"

Hinata yang menunduk terkejut. Ada seseorang yang berdiri terlalu dekat dengannya. Punggungnya yang sedikit terbuka karena gaun yang ia kenakan merasa disentuh kain tebal bahan jas orang yang bicara padanya. Saat dia ingin membuka mulut, suara itu kembali terdengar.

"Kau bodoh."

Hinata lantas berbalik, dan terdiam saat melihat senyum palsu itu terkembang untuknya.

Udara dingin yang bertiup cukup keras menyelinap masuk dari jendela besar yang dibiarkan terbuka, membuat rambut hitam si pemuda bergoyang ringan. "Gadis bodoh," katanya lagi.

Di tengah ruangan, udara romantis mulai tercipta saat irama yang dimainkan mulai berubah. Seluruh orang mulai menepi, memberi akses masuk bagi sepasang kekasih untuk masuk dan mulai berdansa di tengah ruangan.

Hinata berbalik untuk melihat pangeran impiannya berdansa dengan belahan jiwa yang selalu ia puja.

Di sana, Naruto yang selalu tersenyum bahagia, merangkul Sakura yang terlihat sangat cantik dengan gaun merah muda yang senada dengan warna rambutnya.

Pesta pertunangan mereka berdua.

Pasangan bangsawan lain mulai bergabung untuk berdansa. Diikuti pasangan lainnya. Satu-satu memenuhi penjuru ruangan.

Di tempatnya berdiri, Hinata tersenyum.

Kecut.

Pemuda bangsawan yang tadi menyapanya maju, mengambil tempat di sisi kanan Hinata yang hampir menangis. "Kau senang?" tanyanya, sekilas matanya melirik. Ada seberkas kekhawatiran yang terlihat jelas di manik hitamnya yang gelap.

"Y-ya."

Pemuda itu mendecih, agak keras sehingga Hinata mengadahkan kepala hanya untuk memastikan dia sedang apa, lalu menarik gadis itu keluar.

Di koridor sepi yang tak terlalu terang, derap langkah kaki mereka membentur dinding tebal yang akhirnya membuat gema yang tak terlalu besar. Angin yang semakin berhembus kencang membuat Hinata kedinginan, tapi tak berani untuk membantah pemuda yang mencengkram pergelangan tangannya terlalu erat.

"Sekarang katakan…" tangannya menarik gadis Hyuuga yang terluka untuk duduk di bangku taman yang ada di sayap kiri bangunan, "… bagaimana perasaanmu?"

Hinata menggigit bibirnya, takut. Takut kalau ia akan menangis karena ini semua. Takut kalau ia yang lemah dilihat orang lain. Takut kalau emosinya akan menghancurkan segala pertahanan yang ia bangun.

Sang pria melepaskan jasnya, lalu melapisi punggung gadis yang begitu kosong tanpa perlindungan. Hinata terkejut, namun ia membiarkannya. "Dunia ini menyedihkan," katanya, kemudian duduk di sebelah Hinata. "Kemana Caroline?"

"D-dia... tadi izin ke toilet," sahut Hinata, "Tuan datang?"

"Apa yang kau harapkan?" Sai balik bertanya, dia memundurkan sedikit punggungnya untuk bisa bersandar pada kursi, lalu mengadah, melihat langit yang tertutup awan gelap. "Naruto dan Sakura itu temanku. Kau ingat?"

"Ya."

"Kau, kenapa datang?"

"Aku… diundang," jawabnya agak ragu, mengundang senyum sinis Sai yang tengah meliriknya.

"Kau tahu kau akan merasa sakit, namun kau tetap datang?" tantangnya. Hinata tak menjawab. Dia sudah terlalu sibuk untuk mengatur air matanya yang hampir keluar. "Kau bodoh atau apa?" Nafas Hinata yang mendengarnya terasa berat, "Malah tersenyum. Kau tak tahu wajahmu itu mengerikan? Kau tersenyum saat matamu menangis?"

"Iya." Suara serak Hinata akhirnya membuat Sai terdiam. "Iya." Gadis itu menyerah, air matanya mulai keluar, menggenangi pipinya yang sedikit memerah karena dingin, "iya," ulangnya untuk yang ketiga kali. Tangannya mulai beralih menghapus jejak air matanya yang deras, "Aku memang bodoh." Isak tangisnya mulai terdengar dan semakin keras.

Senyum Sai pudar. Ada ekspresi marah yang coba ia tekan dari rahangnya yang semakin mengeras.

"Aku bodoh," Hinata terus mengulang-ulang pernyataan itu. Membuat Sai yang melihatnya berteriak-teriak dalam hati seperti orang gila yang terbakar emosi.

Tidak. Tidak. Jangan. Berhenti. Hentikan itu. Kau sakit! Jangan bicara! Itu membuatku gila!

"Aku bodoh. Gadis bodoh. Menyedihkan…" Hinata tertawa di tengah tangisnya.

Sai yang tak tahan segera meraih bahu Hinata, mendorong gadis itu ke arah tubuhnya, lalu memeluknya erat. "Berhenti," suaranya terluka, "Hentikan itu," lalu Sai membawa kepalanya beristirahat di atas kepala Hinata, "Hentikan." Saat Sai mengatakannya, dia mengeluarkan segala harapan dalam hatinya yang selalu tersembunyi.

"…"

"Kau benar," sahut Sai lagi, "Kau memang bodoh. Menyedihkan. Dan itu sebabnya aku ada. Kau membutuhkanku untuk bisa melindungimu."

1829, malam hari di kediaman Uzumaki, Sai mengutarakan rahasia yang selama ini ia jaga.

.

.

.

"HINATA! Caroline hilang!"

Hanabi yang sedang mengenakan gaun seakan lupa tentang tata krama yang telah dia pelajari sejak kecil. Dia berlari dari koridor sambil mengangkat ujung pakaiannya yang terlalu panjang, menghampiri kakaknya yang buru-buru melepaskan diri dari pelukan pemuda yang selalu suka mengejeknya.

Hanabi yang terengah-engah melihat wajah Hinata yang memerah, dan itu sukses membangkitkan rasa penasaran yang dia punya sebagai seorang Hyuuga yang punya cita-cita jadi jurnalis. "Kalian ngapain?" tanyanya. Untuk sesaat, Hanabi lupa masalah penting yang baru saja ia umumkan.

"Gak ngap-pain, kok."

Sebagai seorang adik yang sudah hidup bertahun-tahun bersama Hinata, Hanabi tahu kalau kakaknya sedang berbohong. Alisnya yang naik sebelah mengindikasikan pikirannya yang akhirnya malah membuat Hinata merasa tertangkap basah.

Sebentar.

Tertangkap basah?

Hinata bukan maling!

"Ada apa kau kemari?" dari pada Hinata yang cuma bisa bengong, Sai lebih tahu bagaimana mengungkapkan ketidaksukaannya pada Hanabi yang menginterupsi momennya. Jadi, dengan suaranya yang lembut namun menusuk, Sai bertanya.

Dan pertanyaan dari Sai sukses menyalakan kembali alarm Hanabi yang sempat mati.

Si bungsu nepuk jidatnya, lalu langsung melihat Hinata dengan panik. Keringat memenuhi keningnya yang tak berponi, lalu mulai bersuara, "Caroline… dia… hilang."

.

.

.

Pertama, Naruto yang bertunangan dengan Sakura. Terus, ada Sai yang terus menghinanya. Lalu sekarang, Caroline hilang?

Jadi seorang Hyuuga Hinata itu emang gak gampang.

::

"Kami menemukan boneka beruang ini di depan gerbang." Seorang penjaga menyerahkan boneka itu ke tangan Hinata.

"Mungkin dia pergi menaiki kereta ini," sahut temannya, seorang pria gembul berpakaian setelan hitam, menunjuk ke jejak roda sebuah kereta yang masih baru.

Hinata mendekap erat si beruang seraya berharap semoga Caroline baik-baik saja.

"Kelihatannya masih bisa terkejar," lalu Sai menarik Hinata ke arah belakang rumah.

Kandang kuda.

::

Seorang pria tua berambut putih duduk di kursi kemudi sambil mengarahkan sepasang kuda-kudanya untuk menarik kereta bugi yang dia anggap kosong.

Jika saja dia tahu ada seorang gadis kecil yang tengah ketakutan meringkuk di dalam kereta, apa yang akan terjadi?

Kereta itu terus berjalan, melintasi sebuah lahan pertanian jangung milik keluarga Pendleton, lalu berbelok menuju sebuah jembatan kayu yang membelah sungai kecil berair jernih, dan terus berjalan menuju pusat kota Manchester yang ramai.

::

"Siapa yang terakhir kali keluar dari sini?" Sai yang telah bersiap pergi berhenti sebentar untuk bertanya pada penjaga gerbang.

"Seorang pria tua," sahut salah satu dari mereka, "Hampir botak, memakai mantel coklat dan syal merah," tambah yang lain, "Oh, dan juga sedikit kumis di wajahnya."

Sai mengangguk, lalu berbalik untuk melihat Hanabi yang wajahnya hampir menangis karena rasa bersalah. "Hei, segera lapor polisi."

Hanabi mengangguk, lalu kembali masuk ke dalam, memanggil Neji untuk mengantarnya ke kantor polisi terdekat.

Sai melingkarkan salah satu lengannya di pinggang Hinata, mencegah gadis yang duduk di depannya agar tak jatuh, lalu merunduk sambil memegang tali kekang kuda, "Siap-siap," katanya, membuat Hinata mau tak mau menelan ludah akibat gugup.

Saat Sai mulai memacu kudanya, Hinata mencengkram erat punggung kuda yang membawa mereka.

::

Part 1 completed.

::

Saya gak tahu apa ini udah cukup bagus atau belum, tapi semoga reader gak kecewa membacanya…

Sedikit eksperimen dengan mencoba mereka keadaan Inggris di tengah masa revolusi industry. Mohon maafkan saya jika terdapat tahun yang bertabrakan dengan penemuan teknologi atau peristiwa sejarah lainnya. Ke-minus-tahuan saya tentang sejarah menjadikan cerita ini aneh dan menyimpang dari kondisi sebenarnya.

Pendleton, nama berlakang suami masa depan Judie Abbot, Jervis Pendleton. Tokoh utama dalam cerita serial Daddy long leg. Sebuah novel terkenal yang ditulis dalam bentuk surat. Novel lama. Saya maklum kalau ada yang gak tahu.

Bedewe, Ini udah cukup Western belum ya? Haha, mudah-mudahan sudah.

Kritik dan saran tetap diharapkan.

Fic ini gak bakalan discontinued. Tapi, saya akan ingin tahu dulu bagaimana respon pembaca. Jadi, mohon reviewnya ya?

Salam…

Marineblau12