Disclamer: Kuroshitsuji belongs to Yana Toboso

Warning: AU, OOC, Fem!Ciel just in this chapter

Tema pilihan: Pedang, Kematian, Cincin, Kiss


The Lost Memory


Di zaman ketika kerajaan-kerajaan masih berkuasa dan masih terjadi perang, terjadi kisah cinta antara Pangeran dan Putri dari kerajaan yang berbeda. Bisa dibilang kerajaan Pangeran dan Putri itu adalah musuh, tapi kisah cinta mereka tidak ada hubungannya dengan kerajaan mereka.

Di musim salju, dimana warna putih mendominasi di berbagai sudut inilah musim yang disukai sang Putri. Putri dari kerajaan Sebia ini adalah gadis yang tercantik di kerajaan itu. Rambut kelabu panjangnya yang terurai indah, kulitnya yang putih bagai porselin, gaun birunya yang indah, juga sikapnya yang baik. Dia adalah gadis yang sempurna.

Tentu saja gadis secantik itu memiliki seorang pemuda tampan yang menjadi kekasihnya. Pemuda berambut hitam, warna mata merah bagai darah itu adalah kekasihnya. Pemuda itu dari kerajaan Rose. Jika kerajaan mereka tidak saling bermusuhan mungkin mereka sudah menikah.


Sang Putri, Ciella sedang mengamati salju yang sedang turun. Dia berharap bisa menemui kekasihnya. Wajahnya hanya memandang lesu ke arah langit, sudah beberapa hari ini dia tidak menemui kekasihnya itu, Sebastian.

"Sebastian?" gumam Ciella.

Dia terus memandang salju yang turun. Dia ingat di hari bersalju seperti ini Sebastian selalu menemuinya dan memberinya hadiah. Tentu saja, menjelang hari ulang tahun Ciella semuanya harus spesial.

Ciella ingat, dia dan Sebastian berjanji untuk saling bertemu di taman bunga yang sedikit jauh dari kerajaannya. Di musim salju seperti ini, taman itu tertutupi tumpukan salju. Dan ketika musim semi tiba, banyak bunga-bunga indah yang mekar.

Dia langsung saja melangkahkan kakinya menuju taman bunga itu. Untungnya dia bisa keluar dengan bebas tanpa harus dikawal oleh prajurit ataupun diawasi seseorang. Ciella langsung mendekati taman itu dan melihat ke sekelilingnya.

"Dimana kau, Sebastian?"

Ciella terus menunggu di taman bunga yang sepi itu, ditemani oleh salju yang masih saja turun. Wajah Ciella sedikit memerah karena dinginnya hawa di luar, dia berharap bisa menemui Sebastian meski hanya sebentar.

"Ciella..." ujar seseorang yang memeluknya dari belakang.

"Ah, jangan membuatku terkejut begitu." ujar Ciella.

"Maaf, aku terlambat." ujar orang itu lagi, Sebastian. Dia melepaskan pelukannya itu dan menatap ke arah Ciella.

"Tidak apa-apa. Apa karena kau dipanggil oleh Ayah-mu?"

"Iya... Tampaknya kerajaan kita akan berperang lagi."

Ciella terdiam, dia memang tidak ada hubungannya dengan masalah peperangan. Tapi, dia tidak suka tingkah Ayah-nya yang selalu memulai perang dengan kerajaan Rose. Hanya karena kerajaan Rose memiliki wilayah kekuasaan yang lebih luas, kerajaan Sebia ingin mengambil alih.

"Lalu? Kau ikut berperang?" tanya Ciella.

"Iya," jawab Sebastian. "Maaf..."

"Tidak apa-apa. Kenapa kau harus minta maaf?"

Sebastian memperhatikan wajah Ciella yang tersenyum, tapi ia tahu senyum Ciella itu hanyalah senyum yang dipaksakan. Dia tahu Ciella sangat sedih karena kerajaan mereka tidak pernah bisa berdamai, otomatis hubungan mereka juga ditentang orangtua.

Sebastian langsung saja memeluk Ciella dalam pelukannya, wajah Ciella memerah. Dia memperhatikan Sebastian yang memeluknya itu. Seolah-olah tidak ingin dilepaskan.

"Kenapa?" tanya Ciella.

"Suatu hari nanti akan kubuat kerajaan kita berdamai." janji Sebastian.

"Bisakah? Kedua Raja juga tampaknya tidak bisa berdamai."

"Kau harus yakin, Ciella."

"Baiklah..."

Sebastian menatap wajah Ciella yang masih terkesan datar. Meski mau berwajah seperti apapun, Ciella tetap terlihat manis. Tapi, kalau membicarakan masalah perang wajahnya langsung berubah. Raut kesedihan dan kecemasan yang terlihat.

"Selesai perang nanti aku ingin kita bertemu disini." ujar Sebastian.

"Tentu." ujar Ciella sambil tersenyum.

"Aku ingin memberikan sesuatu."

"Apa itu?"

"Rahasia."

"Aku benci rahasia, membuat penasaran saja."

"Kau harus sabar, sayang."

Sebastian mengelus-elus rambut Ciella dengan lembut, Ciella hanya bisa diam dan tersenyum saja. Setidaknya ia yakin, Sebastian adalah pemuda yang akan menepati janji dan ia yakin Sebastian akan memberinya kejutan itu. Sebastian mendekatkan wajahnya ke arah Ciella dan mencium bibirnya lembut. Setidaknya ciuman mereka ini adalah tanda janji mereka berdua.


Keesokannya, meski sudah pagi tetap saja salju turun. Salju turun sedikit demi sedikit, untungnya tidak sampai terjadi badai salju. Dan Ciella masih saja memperhatikan salju yang turun itu. Dia merasa lebih tenang, apalagi kemarin sudah bertemu dengan Sebastian.

"Kenapa Anda berada di luar, Putri? Di sini dingin." ujar salah satu prajurit.

"Tidak apa-apa. Aku ingin melihat salju yang turun." ujar Ciella sambil tersenyum.

"Begitu ya?"

Tidak lama sudah ada banyak prajurit yang berkumpul di luar halaman istana. Ciella bingung melihat banyak prajurit yang keluar. Apakah ini yang dibicarakan Sebastian kemarin? Kerajaan-nya dan kerajaan Serenade akan kembali berperang.

"Kenapa kalian keluar? Berperang?" tanya Ciella.

"Iya, Putri." jawab para prajurit.

Ciella tidak menanggapi apa-apa, hanya saja raut wajahnya kembali berubah. Wajahnya terlihat sendu. Tentu saja, peperangan adalah hal yang menyakitkan. Dimana para prajurit mengorbankan nyawa mereka hanya untuk alasan yang tertentu.

"Kalian semua sudah berkumpul?" tanya seorang pria berambut hitam.

"Ayah..." gumam Ciella pelan. Ia mendekati sosok Ayahnya dan beberapa prajurit.

"Ah, Ciella. Kenapa kau diluar?" tanya Ayah Ciella, Vincent.

"Tidak. Apakah Ayah akan..."

"Iya."

Ciella tetap terdiam, dia melihat Ayahnya sedang menaiki kuda dan membawa para prajurit untuk keluar dari istana. Ciella sama sekali tidak tahu dimana tempat kedua kerajaan itu akan berperang. Kalau bisa dia ingin mencegah peperangan ini.

.

.

.

"Ah, ternyata yang datang kemari bukanlah sang Raja. Tapi, Pangeran." ujar Vincent dengan nada menyindir.

"Maafkan saya apabila mengecewakan Anda." ujar Sebastian datar. Dia bersiap mengeluarkan pedang dari sarung pedang yang ada di sisi kanannya.

"Hmm... Tidak apa. Membunuhmu mungkin lebih baik," ujar Vincent sambil mengarahkan kudanya mendekati Sebastian. "Agar Ciella tidak mendekatimu lagi."

Karena sedikit emosi mendengar nama Ciella disebut-sebut, Sebastian langsung mengayunkan pedangnya ke arah Vincent. Vincent bisa menghindarinya dengan mudah, toh dia sangat ahli dalam hal ini.

Sebastian memandang sebal ke arah Vincent, dan dia kembali menyerang Vincent. Suara pedang, salju yang turun dan beberapa teriakan dari prajurit yang terdengar di tempat itu. Padang salju yang luas tanpa ada tanda kehidupan.

Semuanya memiliki satu tujuan, untuk mengalahkan musuhnya masing-masing. Tapi, berbeda dengan Sebastian. Dia sama sekali tidak memiliki tujuan ikut dalam peperangan ini, dia dipaksa oleh Ayahnya untuk ikut berperang.

Padahal dia memiliki pikiran yang sama dengan Ciella, bahwa dia tidak suka melihat peperangan. Dia merasa kecewa tiap kali melihat banyak prajurit gugur di medan perang hanya untuk alasan perebutan kekuasaan, alasan yang konyol.

Sementara para prajurit sibuk bertarung sendiri, pertarungan antara Sebastian dan Vincent masih terus berlangsung. Karena bertarung sambil menunggang kuda itu merepotkan, Sebastian turun dan segera mengacungkan pedangnya ke depan kuda Vincent.

"Kalau berani, lawan aku!" seru Sebastian.

"Bagus juga idemu. Kalau perlu aku akan membunuhmu di sini." ujar Vincent yang langsung menyerang Sebastian. Sebastian berhasil menghindar dan berusaha menyerang Vincent. Terus seperti itu dan pertarungan diantara mereka juga sengit.

"Hentikan!" terdengar teriakan seseorang.

Semua orang langsung berhenti bertarung karena mendengar teriakan orang itu, mereka menoleh dan melihat sosok gadis berambut kelabu panjang dan memakai mantel bewarna biru sesuai dengan gaun yang dia pakai.

"Ciella?" gumam Sebastian heran.

"Tuan Putri?" ujar para prajurit.

"Hentikan! Kumohon, aku tidak ingin melihat kalian bertarung seperti ini lagi," ujar Ciella. "Aku tidak tahan melihat kalian yang selalu bertarung tanpa alasan yang jelas."

"Ciella, lebih baik kau pergi dari sini!" seru Sebastian.

"Sebastian!" ujar Ciella.

Tapi, tiba-tiba tidak terdengar suara Ciella lagi. Yang Sebastian dan para prajurit lihat adalah sosok Ciella yang tiba-tiba ambruk dan darah. Iya, Ciella terkena panah oleh seseorang. Tubuh Ciella langsung ambruk di tengah salju.

"CIELLA!" seru Sebastian panik.

Dia langsung berlari mendekati Ciella, dia berharap Ciella bisa diselamatkan. Tapi, panah itu tepat tertancap di jantungnya. Otomatis, dia sudah tewas. Tidak mungkin melepaskan panah begitu saja. Sebastian shock melihatnya.

Ia terdiam, tangannya sedikit gemetaran karena menahan amarah. Dia menatap ke arah prajurit dengan tatapan yang dingin. Bahkan lebih dingin daripada bertarung melawan Vincent tadi.

"Siapa? Siapa yang membuat Ciella begini?" gumam Sebastian.

Ia mengeluarkan pedangnya lagi dan dengan membabi buta dia menyerang semua prajurit yang ada. Salju yang seharusnya bewarna putih kini ternoda oleh merahnya darah. Sebastian merasa kehilangan kendali, dia menyerang siapa saja. Baik itu lawan ataupun kawan. Yang lain berusaha melarikan diri, termasuk Vincent yang membawa tubuh anaknya itu kembali ke istana.

"Tunggu!" seru Sebastian.

"Aku ayahnya. Aku berhak membawanya pulang!" seru Vincent. Ia menarik panah yang ada di jantung Ciella kuat dan langsung saja kembali ke istana dengan kudanya.

Sebastian tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya terdiam. Dia melihat sekeliling, banyak para prajurit yang tergeletak. Tangannya juga penuh dengan darah. Apa yang telah dia lakukan? Dia telah membunuh semua orang karena dia shock atas kematian Ciella.

"Ciella..." gumam Sebastian.

.

.

.

Para penghuni kerajaan Sebia merasakan kedukaan karena melihat sosok Putri mereka, Ciella tewas. Ciella tewas karena berusaha menghentikan peperangan itu. Semuanya terdiam. Ibunya, Rachel tidak bsia berkata apa-apa. Hanya bisa menangis melihat tubuh anaknya yang tidak bsia bergerak itu.

"Vincent, anak kita..." ujar Rachel sambil menangis.

"Aku tahu." gumam Vincent.

Para penghuni kerajaan merasa sedih dan mengurus jenasah Ciella. Sedangkan Rachel dan Vincent berada di ruangan lain. Rachel masih sangat sedih atas kematian Ciella, sedangkan Vincent hanya bisa terdiam. Dia terkejut melihat anaknya tiba-tiba tewas di hadapannya.

"Maaf, Anda tidak boleh masuk." terdengar suara seorang pelayan yang berusaha menahan seseorang untuk masuk ke ruangannya.

"Siapa itu?" tanya Vincent dan dia membuka pintu. Betapa terkejutnya dia melihat sosok Sebastian berada di dalam istananya, tepat di hadapannya. "Wah, wah. Putra mahkota Michaelis datang kemari. Ada apa?"

"Dimana Ciella?" tanya Sebastian langsung.

"Untuk apa aku memberitahumu?"

"Aku ingin membawanya."

"Membawanya? Jangan bercanda?"

"Aku tahu ada yang tidak wajar dari kematian Ciella."

"Oh ya?" tanya Rachel yang tiba-tiba berada di samping mereka.

"Iya. Ini hanya perasaanku atau Anda, Vincent Phantomhive memang tidak peduli pada Ciella." ujar Sebastian.

"Maksudmu?" tanya Vincent.

"Ciella tewas tepat di depan Anda, tapi Anda tidak bereaksi apa-apa. Dan tadi Anda langsung saja menarik panah itu. Seolah-olah Anda tahu kalau dia itu sudah tewas."

"Tentu saja. Seseorang yang terkena panah langsung tewas dan..."

"Dan yang menembakkan panah ke Ciella itu Anda."

"APA?" seru Rachel kaget. "Benarkah itu, Vincent?"

"Jangan percaya padanya, Rachel. Dia dari kerajaan musuh, kau percaya padanya?" ujar Vincent.

"Tapi ada hal ganjil lain. Tanpa orang lain sadari, aku sekilas melihat Anda membawa anak panah. Ketika melawanku, Anda langsung menyembunyikannya. Dan ketika pandangan semuanya tertuju ke arah Ciella, Anda langsung menembakkan panah. Makanya tadi Ciella sempat menatap Anda."

"Atas bukti apa kau bilang begitu?"

"Aku memiliki banyak bukti lagi."

"Benarkah itu, Vincent?" tanya Rachel.

Vincent hanya terdiam, tiba-tiba saja dia tertawa ala maniak. Dia menatap ke arah Sebastian dan Rachel bergantian sambil sesekali menyeringai. Dia mengelus pedangnya dan mengeluarkannyaa dari sarungnya.

"Itu benar, Michaelis. Aku membunuh anakku sendiri." ujar Vincent.

"APA? Kenapa Vincent?" tanya Rachel kaget.

"Kau tahu? Ciella sama sekali tidak menyetujui rencanaku mengambil kekuasaan kerajaan Rose. Begitu aku mengetahui dia memiliki hubungan khusus dengan Pengeran ini, aku makin merasa Ciella sulit diberi tahu."

"Lalu kenapa Ciella ada disana?" tanya Sebastian.

"Aku menyuruhnya kesana. Aku menaruh surat di mejanya, memintanya untuk datang dan menghentikan peperangan. Dia datang sesuai harapanku, dan aku perlu membunuhnya. Dia menghalangi jalanku untuk menguasai semuanya."

'PLAK'

Langsung saja Rachel menampar Vincent. Air matanya terus mengalir dan dia menatap tajam ke arah Vincent. Vincent terdiam dan menatap wajah istrinya yang makin berkaca-kaca itu.

"Ayah macam apa kau? Tega membunuh anak sendiri karena menghalangi jalanmu!" seru Rachel marah.

"Aku? Huh, keluarga dan kawan tidak ada bedanya dengan musuh jika berbeda pandangan denganku."

"Apa..."

Tapi sebelum Rachel menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah ditebas oleh Vincent. Tubuh Rachel langsung ambruk ke lantai, Sebastian terkejut melihatnya. Sedangkan Vincent menatap datar tubuh istrinya yang berlumuran darah itu.

"Kau juga menghalangiku. Aku akan menghabisimu." gumam Vincent.

"Cukup!" seru Sebastian. "Apa kau tidak puas telah membunuh keluargamu?"

"Aku? Tidak. Aku baru puas setelah mendapat apa yang aku inginkan!"

Vincent kembali mengayunkan pedangnya kepada Sebastian dan Sebastian berhasil menghindar. Dia mengeluarkan pedangnya dan melawan Vincent. Kali ini Sebastian berusaha mengatur emosinya, saat di padang salju tadi emosinya memang tidak terkendali.

Karena muak melihat sikap Vincent yang tidak memiliki rasa sayang kepada keluarga itu membuat Sebastian bertarung makin keras. Dia berusaha mengalahkan Vincent, dan Sebastian sempat membuat Vincent melepaskan pedangnya karena terpojok. Sebastian langsung saja mendekatkan pedangnya ke arah leher Vincent.

"Tindakanmu tidak bisa diampuni!" seru Sebastian.

"Jangan berlagak sok. Kau tahu apa?" ujar Vincent.

"Yang aku tahu? Aku kehilangan kenanganku dengan Ciella."

Sebastian langsung saja menebas tubuh Vincent dan ia tewas seketika. Sebastian memandang datar ke arah Vincent yang sudah berlumuran darah itu. Dia memperhatikan ada sebuah buku yang terletak di dekat meja, dia mengambil buku itu dan segera pergi mencari Ciella.


"Katakan dimana Ciella!" ujar Sebastian kepada para pelayan di kerajaan Sebia.

"Kami tidak bisa memberitahumu." jawab mereka.

"Aku kekasihnya. Tidak boleh aku melihatnya untuk yang terakhir kalinya?"

"Tapi... Raja..."

"Raja kalian sudah kuhabisi. Dialah yang membunuh Ciella. Raja seperti dia lebih baik mati saja!"

Para pelayan terdiam mendengar ucapan Sebastian, mereka hanya menunjukkan ke arah mana kamar Ciella berada. Sebastian langsung menuju ke sana dan dia mendapati sosok Ciella yang sedang tertidur dengan bunga mawar putih di tangannya.

"Ciella..." gumam Sebastian. "Aku akan membawamu dari sini."

Sebastian langsung mengangkat tubuh Ciella dan pergi lewat jendela kamar Ciella. Dia tidak peduli tentang masalah peperangan itu atau apa pun. Yang dia inginkan adalah membuat Ciella hidup kembali.

Buku yang tadi Sebastian ambil bukanlah semabarangan buku, itu adalah buku sihir. Magic Book yang disebut-sebut sebagai buku sihir yang terlarang itu berada di tangannya. Buku sihir yang disebut-sebut memiliki kemampuan untuk menguasai jiwa orang yang memegangnya.

Sekarang mereka sudah berada di taman tempat mereka janjian dulu, taman bunga yang ditutupi salju. Sebastian merebahkan tubuh Ciella di sana dan menatapnya dengan sedih. Dia mengelus rambut kelabu Ciella.

"Ciella, maaf..." gumam Sebastian.

Ia memperhatikan buku sihir itu. Ia membukanya pelan dan tiba-tiba ada cahaya yang muncul dari buku itu. Sebastian menutup matanya sekilas untuk menghindari dari silaunya cahaya itu. Tidak lama Sebastian membuka mata dan melihat sosok tinggi besar yang memakai jubah hitam.

"Si... Siapa kau?" ujar Sebastian dengan suara sedikit bergetar.

"Aku adalah iblis yang disegel di buku itu. Panggil saja aku Lucifer." ujar sosok misterius itu.

"Lalu? Apa yang kau mau?"

"Apa gadis itu, kekasihmu?"

"Tentu! Kenapa?"

"Dia sudah meninggal."

"Tidak perlu kau ucapkan."

"Aku akan membangkitkannya."

"Apa?"

Sebastian memperhatikan sosok misterius itu yang bernama Lucifer. Dia sama sekali tidak yakin bahwa sosok misterius itu bisa membangkitkan Ciella hidup, tapi dia juga berharap dari buku sihir itu.

"Caranya gampang. Kita saling membuat kontrak." tawar Lucifer.

"Kontrak?" tanya Sebastian.

"Iya. Aku akan menghidupkan kembali kekasihmu itu, sebagai gantinya aku ingin kau memberikan tubuhmu dan kau akan menjadi hidup abadi sama sepertiku."

"Hidup abadi?"

"Iya. Karena membangkitkan seseorang tidak semudah yang kau kira. Kau hidup abadi sehingga kau bisa hidup bersama selamanya dengan kekasihmu itu."

Sebastian terdiam, dia melirik sosok Ciella yang terbujur kaku dan sosok Lucifer itu. Sebastian menganggukkan kepalanya. Lucifer langsung menyeringai, dia memasuki tubuh Sebastian dan Sebastian merasa ada yang aneh. Seolah-olah dirinya merasakan kedinginan yang luar biasa.

Tiba-tiba suasana kembali normal, Sebastian tetap menjadi dirinya. Bedanya tidak ada sosok Lucifer itu. Sebastian memperhatikan Ciella, dia mendekatinya dan mengguncangkan tubuh Ciella itu.

"Ciella, apa kau bangun?" tanya Sebastian.

'Aku belum menghidupkannya.' terdengar suara Lucifer.

"Belum?"

'Aku butuh waktu. Karena rohnya sudah dibawa lebih dulu, paling cepat sekitar 10 tahun.'

"Itu lama!"

'Paling lama 100 tahun. Karena kemungkinan dia juga tidak kembali hidup sebagai dirinya yang sekarang, tapi terlahir kembali sebagai sosok yang lain.'

"Begitukah?"

Sebastian mengeluarkan sebuah kotak kecil, dia membukanya dan isinya adalah dua buah cincin. Sebastian merasa sedih tidak bisa memberikan cincin ini kepada Ciella ketika dia masih hidup. Dia memakai cincin itu di tangannya dan memakaikannya kepada Ciella sebagai kalung, menggantikan kalung Ciella.

"Tadinya aku ingin melamarmu. Tapi, sekarang tidak mungkin." gumam Sebastian.

'Mungkin saja setelah dia hidup kembali.' ujar Lucifer.

"Cincin itu lebih cocok sebagai liotin yang ia pakai di lehernya."

Sebastian memandang Ciella, dia mencium bibir Ciella pelan. Rasanya dingin, tentu saja Ciella sudah meninggal. Dia menggali tanah yang ada dan memasukkan tubuh Ciella disana. Dia mengubur Ciella dengan seadanya, karena dia ingin hanya dia sendiri yang melihat Ciella ketika dikubur.

"Mungkin kita akan berjumpa di lain waktu, Ciella..."

Sebastian terdiam dan terlihat sedikit air mata di sudut matanya. Dia langsung saja pergi meninggalkan Ciella yang sudah dikubur di dalamnya. Dia yakin bahwa Lucifer akan melakukan cara untuk menghidupkan kembali Ciella, jika tidak sia-sia ia mengikat kontrak dengannya.

"Kau harus secepatnya menghidupkan Ciella. Hidupku tanpanya terasa hampa." ujar Sebastian.

'Jangan khawatir. Tapi, kau juga jangan terlalu banyak berharap.' gumam Lucifer.

"Yang penting aku bisa menemuinya kembali. Itu cukup."

TBC

A/N: Yay! Fic Kuroshitsuji-ku setelah sekian lama...^^

Aku persembahkan fic ini untuk Sebastian x Ciel Days. Di chapter awal Ciel memang seorang gadis, tapi aku akan membuatnya sebagai Shounen-ai kok.

Dan menyesuaikan dengan tema, aku membuat seperti ini. Karena pertama kalinya aku buat fic dengan tema seperti ini, semoga saja sesuai.

Ditunggu kesannya lewat review. Dan aku akan meng-update fic ini dengan cepat (diusahakan), jadi jangan lupa review ya, minna-san...^^