Taufan berlarian dengan skateboard ditangannya. Para preman sekolah yang mengejarnya belum juga jera. Padahal sudah digaplok pake papan seluncur sampe berdarah masih saja mau mengambil dompetnya.
Tidak ada yang berharga dari dompetnya. Itu cuma dompet sedikit mahal yang dibelikan Gempa beberapa bulan yang lalu. Mereka mengincar isinya, bubuk dosa yang Taufan curi dari mereka.
"Sial. Sial. Sial."
Taufan mendapati jalan buntu. Beberapa kotak ia manfaatkan untuk menapak. Ia memanjat tembok, mendapati atap toko kelontong favorit Gempa yang dikelola oleh kenalannya.
Taufan merosot di atap seng. Tanpa memedulikan teriakan preman sekolahnya, ia turun melompat dan menapak tepat didepan teman kakaknya.
"Wah mari kita lihat. Taufan melompat dari atap tokoku."
Laki-laki dengan rambut ungu jabrik melipat tangan di depan dadanya. Manik merahnya menatap jengah sang pembuat keributan.
Taufan cengengesan saja. Ia mendorong Fang masuk ke dalam toko dan menutup pintu kayu.
"Apa-apaan, sih."
"Aku dikejar sama gengnya Ejojo, nih. Bantu dong."
"Hah? Bantu? Pasti lu habis ngambil barang mereka lagi, kan?"
Siswa SMA kelas 1 semester genap itu menatap cemas pada jendela toko yang buram. "Ayolah. Kali ini pasti berhasil ngaduin ke polisi."
"Polisi?" Suara berat yang familiar ditelinga Taufan masuk ke telinganya. Ia menoleh, mendapati manik merah menyala kakaknya menatapnya kesal.
"Eh, Kak Hali...hehe."
"Apa ketawa-tawa? Kamu keluar dari sini cepetan. Nanti Fang kebawa juga," perintah Halilintar. Ia menarik lengan atas Taufan yang langsung ditepis kasar.
"Kak. Fang aja gak protes. Ayo bantuin aku juga, dong!"
Halilintar melotot marah. "Tolong ya, Taufan. Sekarang berikan obat itu padaku atau kau kulempar pada mereka!"
"Lagian kakak ngapain ke sini, sih? Keknya tiap aku gak sengaja ke toko Kak Fang pasti ada kakak." Taufan memicingkan matanya begitu melihat celana Halilintar yang merosot sampai pinggul hingga merk boxernya terlihat.
"Lihat apa kau? Aku dan Fang hanya berlatih. Lagipula selama ini kau dapat berlarian bebas karena aku kerja di sini tahu."
Fang menghela nafas dan keluar. Matanya meneliti daerah sekitar dan menyusuri jalanan.
"Oh? Tapi kan kakak uda kerja di kantor! Dan hey, latihan apa? Latihan gulat di ranjang?"
Halilintar sewot. Ia menjitak Taufan gemas. "Dengar ya, Taufan. Tidak usah mengkait-kaitkan sex dengan segala hal yang berbau Fang."
"Ngomong-ngomong soal bau Fang, aku baru sadar parfummu mulai sama dengan Fang. Apa kalian berbagi parfum?"
Halilintar memutar bola matanya. "Terserah apa katamu. Fang! Fang!"Halilintar membuka pintu. Suara angin menyambutnya. "Fang?"
"Awas Hali! Tutup toko sekarang!" Perintah Fang.
Halilintar membelalak. Fang tengah bergulat dengan seseorang. Tinju dilayangkan dan pria itu sontak mundur. Fang mendorong Hali masuk. Memaksanya menurunkan pintu besi.
"Aku bisa menanganinya," ujar Fang. Senyum tipisnya mengakhiri kontak mata.
"Sial. Taufan bodoh," umpat Halilintar. Ia membuka pintu kayu kesal. Menatap Taufan yang sudah bersembunyi dibawah meja.
"Kau tahu apa yang sudah kau lakukan?!"
Taufan cemberut. "Iya aku tahu. Eh, kok gak bantuin Fang?"
Halilintar membenarkan celananya dan memakai ikat pinggang yang tergeletak dilantai dapur. "Ini mau bantuin."
Pintu besi diangkat dengan cepat. Halilintar menyelinap dan menendang wajah manusia yang hampir membunuh Fang dengan balok kayu.
"Ck. Kau kira kau sehebat apa," ujar Halilintar dingin. Fang mendengus kasar dan membanting lawannya.
"Hei, aku disini," ujar pria yang tadi ditendang Hali. Hali berbalik, membelah balok kayu dengan kakinya lalu meninju dada pria itu dua kali.
Hali melompat, melayangkan sikunya ke tengkuk pria itu lalu beralih pada dua pris lain yang baru menyusul dengan mengambil jalan lain.
"Dimana, Taufan?"
"Ada apa? Taufan tidak ada di sini. Yang ada hanya aku, Fang dan orang-orang yang ingin menghancurkan toko."
Ejojo melayangkan tinjunya mendadak. Halilintar mundur beberapa langkah lalu meludahkan darah.
Fang mendelik pada Ejojo, namun teman yang dibawa Ejojo sudah menyerangnya bertubi-tubi dengan balok kayu.
Manik menyala Halilintar menatap marah Ejojo. Ia dengan cepat melancarkan serangan. Tendangan tinggi 3 putaran berturut-turut telak mengenai wajah Ejojo. Pada tendangan keempat, pria berambut hijau itu berhasil menangkap kaki Halilintar dan hendak membantingnya.
Halilintar dengan cepat bersalto dan menyengkat Ejojo. Tinjunya telak mengenai dada Ejojo.
Sebuah pisau kecil dikeluarkan dari saku celana. Fang yang melihatnya auto panik, ia mengambil botol merica yang tak sengaja ia bawa dan menaburnya kewajah sang lawan.
"Hali!"
Botol merica ditangkap oleh Halilintar. Dengan cepat wajah Ejojo dibubuhi merica. Sambil menahan perih di mata, Fang dengan cepat mengumpulkan komplotan Ejojo dan menumpuknya diujung jalan. Halilintar memlintir tangan Ejojo, mengikat tangannya dengan ikat pinggang.
"Dengarkan aku, ya." Halilintar menendang Ejojo yang terduduk ditanah. "Aku tidak mau adikku berurusan denganmu lagi. Ambil ini dan jauhkan dirimu dari Taufan." Bungkusan putih dilempar keperut Ejojo.
Masih dengan mata tertutup, Ejojo membalas. "Katakan itu pada adikmu yang sok jadi pahlawan. Bawa dia ke psikolog kalo perlu. Tingkat keponya terlalu tinggi, tahu?"
"Terima kasih sudah mengingatkan. Akan kuberi dia pelajaran setelah ini. Lain kali, jangan merusak prasarana umum, oke?"
Fang menarik tangan Halilintar dan membawanya ke toko. "Urusan Ejojo selesai. Sekarang mari urus bocah tengik itu."
"Memang anak bangsat."
LARI
#eleficsoflove
Jatuh cinta itu seperti terperosok dalam ladang ganja yang terbakar. Sekali kau menghisapnya, tak ada jalan keluar selain kematian.
Taufan sudah duduk bersimpuh diruang keluarga selama satu jam. Mata Halilintar tak jenuh menatapnya dengan kejam. Rotan ditangan sudah seperti pensil. Dipegang dan digunakan untuk mengukir goresan indah ditubuh.
Halilintar meminum tehnya dengan khidmat. Sambil duduk santai diatas sofa, ia mulai berceramah layaknya Gempa.
"Jangan mentang-mentang Gempa gak ada di sini terus kamu jadi seenaknya, ya. Sekali lagi kamu kejar-kejaran sama Tengkotak, papan skateboard kamu aku patahin semua."
Taufan menganga. "Ah, kak! Masa skateboard dari kakak juga?!"
Halilintar terdiam sejenak. "Iya. Tanpa terkecuali. Berdiri. Hukumanmu selesai."
Taufan berdiri lalu menjatuhkan dirinya lagi diatas karpet berbulu. Ia merengek dan menangis seperti anak kecil.
"Kaaaaaak. Aku kan cuma mau bantu teman-teman keluar dari obat-obatan gajelas itu!"
Rotan yang bersiteru dengan meja membuat Taufan berjengit.
"Gak. Itu urusan keamanan sekolah. Biarin mereka yang urus."
"Ih kak!" Taufan berlutut dan memeluk kaki kakaknya. "Kalau gitu aku jadi anggota keamanan aja, ya."
Tubuh putih yang tergores merah karena rotan menempel erat dengan kaki Halilintar yang hanya dibalut celana basket selutut. Halilintar memutar ujung rotan dipunggung polos.
"Kamu mau jadi keamanan atau jadi anak nurut terserah kamu. Tapi kamu tahu akibatnya kalo memberontak 'kan?"
Ancaman yang diberikan Halilintar terdengar begitu serius. Taufan sudah merasakan rotan sejak kecil. Halilintar tanpa ampun akan memukul kakinya, tapi tidak tubuhnya. Hari ini ketegasan sang kakak sudah ditunjukkan.
Taufan hanya tersenyum sedih lalu duduk disamping kakaknya. Bagian privasinya hanya dilindungi celana dalam yang sudah merosot sampai belah selangkangannya terlihat.
Halilintar merangkul Taufan, menyesap tehnya lalu mencium kening Taufan lembut.
"Aku tidak mau tahu apa mau atau tujuanmu. Aku hanya tidak ingin kau terjebak dalam lingkaran narkoba, Taufan."
Taufan menyembunyikan wajahnya didada bidang Halilintar. Bau tubuh Fang tercium jelas meski kakaknya sudah mandi.
"Kak, kalau aku make, Kakak bakal ngapain?"
"Mungkin memenggalmu akan jadi pilihan yang bagus."
Taufan memukul dada Halilintar. "Ih jangan!"
"Daripada kamu ikut-ikutan nyimeng, mending kamu nyimeng kakak aja."
Manik biru muda mengerjap. "Nyimeng kakak sama aja nyimeng Fang. Baunya sama."
Senyum misterius tergores. "Kalo nyimeng yang dibawah nggak kok."
Taufan sontak memerah. Ia sudah besar dan mengerti maksud kakaknya. Manik birunya melirik pintu yang tertutup dan meneguk ludahnya diam.
"Bercanda doang. Gausa dibawa serius."
Halilintar meninggalkan Taufan yang terduduk di sofa. Meringkuk, ia merasakan perih kembali menjalar. Manik biru terpejam erat. Ia enggan menyentuh lukanya, hanya diam menahan sakit.
"Kak...Fang..." gumam Taufan. Bibirnya bergetar. Air mata mulai mengalir seiring rasa sakit yang makin menjadi.
.
Nggak. Taufan gak lari. Dia gakkan lari. Ini kejadian tahun lalu. Kala ia baru masuk SMA dan berakhir dikepung oleh sekelompok senior yang mulai meneriakinya.
Bukan karena alasan yang simpel. Bukan karena senior itu hanya ingin bermain dengan Taufan. Ia telah mencyduk senior itu menghisap ganja. Asap yang mengepul menganggu pernafasannya.
Lorong gang yang sempit menjadi paru-paru mendadak. Diisi oleh asap beracun yang memabukkan.
Taufan memegang keningnya, ia mencari oksigen sebisanya. Manik birunya memudar. Ini tidak benar. Tapi dia tidak lari.
"Jadi, kamu adiknya Halilintar?" tanya Ejojo. Rambut hijaunya disibak, puntung rokok yang sudah habis dibuangnya.
"Iya. Halilintar kakakku."
Ejojo mengangkup wajah Taufan. "Mirip. Tapi kau lebih...terlihat normal. Punya pacar?"
Taufan menaikkan sebelah alisnya. "Apa maksudmu menanyakan itu?"
"Siapa tahu kau ikutan belok. Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong." Ejojo mengambil sebatang rokok baru dan menyalakannya. "Ini untukmu."
Batang rokok itu diselipkan paksa dicelah bibir Taufan. Sontak Taufan memberontak. Kakaknya itu mengoleksi medali emas bela diri, ia tidak boleh merusak nama baik keluarga.
"Uhuk! Jauhkan ini dariku! Akan kulaporkan kalian pada polisi."
Ejojo tertawa. "Siapa kau melaporkan aku pada polisi? Sebentar lagi aku lulus. Tahun depan juga kamu gaakan liat aku lagi. Nikmati masa mudamu, Taufan."
Ejojo mendecak dan menghisap rokok itu. Taufan kembali menolak dan malah menendang kakinya.
Di luar gang itu, pria dengan kemeja hitam yang terbuka dua kancingnya berjalan santai. Asap yang begitu tebal disertai bau yang ia kenal jelas masuk indra penciumannya. Manik merahnya mendelik, mendapati beberapa pertikaian disana.
Skateboard hitam berseluncur bebas. Ujungnya menabrak sepatu pantofel Fang, berhenti seketika.
Saat itu juga Fang tahu, ia harus ikut campur.
Ia masuk ke dalam gang seperti ialah sang pimpinan, seringai ia tunjukkan, anak-anak SMA itu langsung terkejut, mendapati Fang berada diantara mereka.
"Hai, Ejojo."
"Fang, huh?" Ejojo membuang rokoknya dan menghampiri Fang.
"Mana sopan santunmu, bocah. Dan hey, siapa anak ini?" Tepukan dipundak Ejojo diberikan oleh Fang. Ia maju dan menunjuk wajah Taufan bingung.
Jari telunjuk yang menunjuk wajah Taufan digigit keras. Fang mengaduh, mendelik kesal dan hendak membenturkan kepala tertutup topi putih biru itu kedinding. Untung saja ia sadar betul siapa anak itu.
"Taufan?"
Manik biru muda Taufan yang tadinya tertutup karena takut langsung terbuka. Tangan Fang menangkup pipi yang sedikit tirus.
"Kau mengenalnya?" tanya Ejojo. Fang mengendikkan bahunya.
"Aku bawa dia. Lihat, matanya sudah merah begini masih kau paksa-paksa."
Fang menyeret Taufan keluar. Nafas yang sudah sesak dan mata yang perih membuat Taufan tak berdaya. Fang memungut skateboard, berjalan perlahan menuju motornya yang terparkir didepan sebuah supermarket.
"Pegang ini," perintah Fang sambil menyodorkan papan seluncur Taufan.
Taufan memeluknya erat, berusaha mengembalikan penglihatannya yang mengabur karena air mata yang menggenang.
"Naiklah. Cepat."
Taufan menggeleng. "Aku...aku akan panggil kakakku."
Fang memutar bola matanya. "Gempa atau Halilintar tidak akan datang. Mereka berdua sedang sibuk."
"Kau mengenal kakakku?"
"Kenal dengan sangat amat baik."
Taufan memeluk erat pinggang Fang. Motor yang Taufan ketahui tidak berharga murah melesat cepat dijalanan aspal. Taufan terdiam, enggan melihat apa yang terjadi disekitarnya.
Mereka berhenti di sebuah toko kelontong. Taufan mengerjapkan matanya perlahan, familiar dengan toko itu.
"Apa? Ini tokoku."
"Ini 'kan langganannya Gempa."
Fang tertawa dan membuka pintu. "Ya memang gitu."
"Selamat datang kembali, Tuan," sapa salah satu penjaga toko. Fang tersenyum dan mengangguk, masuk ke dalam toko sambil menyeret Taufan yang lemas.
"Mereka itu pakai ganja. Jangan temenan sama mereka," ujar Fang. Tangannya membuka kran diwastafel, kemudian menekan kepala Taufan dan membersihkan wajah Taufan dari sisa asap.
"Su-Sudah! Aku bisa sendiri."
Fang memberikan sebuah handuk kecil. Taufan mengeringkan wajahnya, kemudian menatap Fang.
"Aku tidak berminat berteman. Aku hanya melihat mereka lalu aku bertanya. Tiba-tiba aku sudah dikejar."
Fang tertawa kecil dan membuka kulkas. "Duduklah. Begini ya, jangan urus urusan yang tidak ada hubungannya denganmu. Apalagi Ejojo. Bisa-bisa kamu dibunuh," ujar Fang sambil mengobrak-abrik isi kulkasnya.
"Nanti Gempa laporin ke polisi kok. Halilintar yang bunuh Ejojo balik. Kelar!"
"Kelar ndasmu." Fang menatap kotak jus. "Bekas Hali kemarin ya..." gumamnya. "Taufan mau jus jeruk? Pabrikan, nih. Sisa setengah. Bekas kakakmu kemarin. Kalau mau yang lain akan kuambilkan juga. Jus stroberi? Apel?"
"Tidak perlu, Kak. Aku akan pulang sekarang. Terima kasih sudah menolongku tadi." Senyum lebar diberikan Taufan. Ia hendak berdiri namun Fang sudah melempar sekotak jus pada Taufan, disusul gelas.
"Berterima kasihlah pada kakakmu. Mereka sering sekali menceritakan adik kecil yang hobi keluyuran di taman."
"Ehehehe..." Pipi yang tidak gatal digaruk. "Terima kasih jusnya."
"Hm. Jadi kau mau tinggal lebih lama atau tidak? Beberapa jam lagi mungkin Gempa baru akan datang. Masalah?"
"Tentu saja masalah. Ia bisa membunuhku kalau tahu aku...argh."
"Kau apa, hah? Kau takut dibunuh Gempa tapi tidak takut dibunuh Ejojo," gumam Fang pelan.
"Eungh." Taufan memegang perutnya. "Aku pinjam toilet, ya."
Fang mengangguk saja dan membiarkan Taufan masuk ke toilet. Smartphonenya bergetar, sebuah pesan masuk dari orang yang ia namakan "Tsundere tjayank".
'Hei, kau sudah minum jusku yang tersisa kemarin?'
Fang menimbang-nimbang jawaban. Agak ngeri kalau mendadak temannya ngamuk.
'Memangnya kenapa? Kau masukkan racun, ya?'
'Sudah, ya? Kapan?'
'Lima menit yang lalu mungkin.'
'Tidak merasakan sesuatu?'
'KAU BENAR-BENAR MEMASUKKAN RACUN?! GILA!'
'Aku kan nanya. Tidak ada reaksi?'
'Astaga. Benar-benar racun? Sejak kapan kau jadi yandere?
'Aku bukan yandere! Aku hanya iseng memasukan anu.'
'Anu?'
'Itu loh. Ah bodo.'
'Apa sih. Jelas kali.'
'Kalau merasakan sesuatu yang aneh, telpon aku, ya. Kalau tidak yasudah.'
'Hali! Jawab yang benar!'
'Gamau. Bacot.'
'Astaga. Bangsat tingkat dewa.'
Fang buru-buru mengantongi smartphonenya. Ia menggedor pintu kamar mandi dengan keringat yang bercucuran.
Sumpah. Ia tahu Hali punya dendam pribadi. Tapi masa pake racun segala. Demi Tuhan Fang tidak tahu harus komentar apa lagi. Pikirannya kacau.
"Taufan! Taufan! Kau tidak apa-apa?"
"Hah...a-ah."
Desahan berat itu membuat Fang membelalakkan matanya. Ia kembali menggedor pintu.
"Taufan! Buka pintunya!"
Pintu terbuka sedikit, setidaknya kuncinya sudah terlepas. Buru-buru ia mendorong pintu dan menemukan Taufan memegangi perutnya dengan wajah memerah dan keringat parah.
Fang mengguncang tubuh Taufan, menepuk-nepuk pipi yang begitu panas secara konsisten untuk menjaga kesadaran Taufan.
"Taufan! Taufan! Kau mendengarku? Maaf, Halilintar memasukkan sesuatu. Aku tidak tahu itu apa tapi...eh? Taufan?"
Tangan bergetar Taufan memegangi celana hitam Fang. Ia nampak berusaha meminta sesuatu tapi suaranya enggan keluar. Air matanya menumpuk dan menunggu untuk mengalir. Fang menangkup wajah Taufan dan menghapus air mata yang terbendung.
"Dimana yang sakit? Katakan padaku."
"Perutku...sakit. Aku ingin...sesuatu..."
"Apa yang kau inginkan? Akan kuambilkan."
"Sakit sekali...dibawah sini..."
Fang mengerutkan keningnya. Ia menyelipkan tangannya dan menyentuh perut Taufan. Perut Taufan begitu panas dan terasa jelas sekali kedutannya. Tangannya merayap kebawah, tak sengaja menyentuh kepala kejantanan yang keras.
"Ini masalahmu?"
Taufan mengangguk lemah.
Fang menghela nafas lega dan mengutuk Halilintar dalam waktu yang bersamaan. Resleting celana sekolah diturunkan. Celana dalam yang mulai basah karena cairan putih ditanggalkan. Fabrik itu digantung digantungan belakang pintu, membuatnya yakin celana Taufan tidak akan kotor.
Fang meremas kejantanan yang tegang itu, perlahan ia mengocoknya dan memijatnya, lalu memberinya kecupan ringan di perut rata untuk membuat Taufan nyaman. Desahan yang keluar dari bibir tipis Taufan cukup membuatnya ikut tegang, tapi Fang menahan diri. Ia tahu ia tidak pantas.
Mulutnya melingkupi seluruh kejantanan Taufan yang ia yakini belum pernah dimanjakan oleh siapa pun. Fang menikmati erangan Taufan yang meminta berhenti diiringi tangan yang meremas rambut ungunya yang begitu mungil dan halus.
Taufan yang ia dengar begitu nakal kini berada dalam dekapannya.
Taufan begitu mungil.
Taufan begitu manis.
Taufan begitu memabukkan.
Taufan yang enggan melepaskannya.
Taufan yang berbeda jauh dari kakaknya.
Taufan memang...berbeda.
Tidak ada rintihan perintah dari Gempa. Tidak ada ocehan dari Halilintar. Tidak ada kata-kata sensual yang menggoda dari Gempa. Tidak ada omelan yang berujung ciuman dari Halilintar. Taufan hanya diam. Ia tidak meminta bantuan. Ia menyerahkan dirinya begitu saja.
"Dasar Hali dan obatnya..." gumam Fang pelan.
Fang hampir tersedak dengan semburan hangat air mani yang mendadak. Ia menelannya lalu menghapus sisa dibibirnya, membersihkan cairan putih yang lengket.
Taufan masih mendesah. Ia meremas kemeja putihnya. Dasi yang masih terpasang sudah mengendur sejak pertama kali ia masuk toilet. Fang meneguk ludahnya, menahan diri untuk tidak menyentuh adik dari Gempa. Bisa-bisa tokonya rata dengan tanah.
"Merasa lebih baik? Aku akan minta Bibi untuk membuatkanmu teh untuk menghilangkan efek obatnya. Sekalian aku carikan celana pendek untukmu." Fang hendak berdiri namun Taufan menggenggam tangannya erat dan menggeleng keras.
Fang menatap Taufan khawatir, maka dari itu ia membuka celah dipintu kamar mandi dan menongolkan kepalanya.
"Bibi Aling, tolong buatkan teh untuk tamuku. Tidak usah pakai gula. Buat yang kental dan pahit, ya!" Pinta Fang. Bibi yang ia panggil buru-buru masuk dan mengiyakan permintaan tuannya.
"Nah, Taufan. Apalagi yang bisa aku bantu?"
Taufan berusaha menegakkan tubuhnya dan meremas kemeja Fang. Ia menubrukkan dahinya pada dada bidang, berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Air liur yang terus menetes mengotori Fang, membuat perutnya basah.
Fang memberanikan diri untuk menyentuh Taufan lebih jauh. Ia menyelipkan jarinya kelubang mungil yang berada dibelah pantat yang kenyal. Taufan menjerit, merasakan perih ditempat yang tidak seharusnya. Giginya menancap pada bahu Fang, mengigit keras agar Fang berhenti.
Fang meringis. Perih memang terasa tapi ia sudah terbiasa dengan taring Halilintar. Ia tetap memainkan jarinya diantara lubang ketat yang berkedut menyambutnya.
Taufan kembali menegak. Fang memberikan servis didua tempat, membuat Taufan terus mendesah diantara tangisnya yang terdengar begitu menggoda.
"Maaf mengganggu, Tuan. Tehmu kuletakkan dimeja kecil samping pintu."
Fang menyahut singkat. "Oke. Terima kasih banyak."
Ketika Taufan sudah terbiasa, Fang menambah jarinya dan menambah kecepatannya. Desahan Taufan menjadi candu baginya. Pikiran kotor terlintas. 'Bisa-bisa aku keluar hanya dengan desahan. What a shame.'
.
Fang membersihkan semuanya. Ia menggendong Taufan ke kamarnya yang setengah telanjang setelah meminumkannya segelas teh. Taufan nampak lebih tenang setelahnya. Pahitnya teh mampu mengalihkan pikirannya.
Fang memakaikan Taufan celana dalamnya lalu mengganti kemeja sekolah yang sudah basah oleh keringat dengan kaus putih bertuliskan 'hello'. Celana basket diberikan untuk mengganti celana panjang yang sedikit basah.
"Tidurlah dulu. Akan kuberi tahu kakakmu kalau kau bersamaku. Tidak perlu takut," ujar Fang.
Taufan mengangguk pelan dan merapatkan selimut tebal yang memeluknya erat. Wangi Fang yang menguar membuat Taufan merasa tenang. Ia terlelap dengan cepat, melupakan efek aphrosidac yang dicampurkan kakaknya ke jus.
Langit sudah menggelap dan Taufan belum bangun. Toko Fang sudah ia tutup namun ia tidak bisa pulang. Yah. Ada Taufan.
Ia memasak di dapur. Mungkin makanannya tidak begitu enak, tapi setidaknya masih bisa dimakan.
Fang meloncat kecil. Seseorang membanting pintunya dengan kasar. Tanpa melihat pun ia sudah tahu, pelakunya pasti si pemegang mendali emas taekowondo.
"Apa yang kubilang soal menendang pintu? Kalau rusak kau yang ganti," tegur Fang sambil menuangkan ikan asam manisnya diatas piring.
"Kenapa kau membiarkan Taufan minum, hah?!" sewot Halilintar mendadak. Ia menggebrak meja kesal. Fang tersenyum kecut, beberapa tetes kuahnya sampai mengenai meja bersihnya.
Manik merah mendelik. "Aku sudah tawarkan yang baru tapi Taufan tidak menjawab. Yasudah kuberikan saja padamu. Lagipula kalian kakak adik. Salah?"
Halilintar cemberut dan duduk. "Kan sengaja ninggalin."
Fang memutar bola matanya. "Buat apa juga nambahin obat gajelas. Mau aku menelponmu untuk minta kau datang secepatnya agar aku bisa *piiipppp* denganmu?"
Halilintar memerah. "Nggak! Aku salah masukin! Tadinya mau masukin sianida."
"Oh ya? Lalu kenapa bisa ada aphrosidac didalam sakumu hm?"
"Ada yang memasukkannya! Aku yakin!"
"Lalu kau tidak sadar? Wah apa kemampuanmu menurun?"
Halilintar menggeram dan berdiri. Ia menghampiri Fang dan mendorongnya sampai tertabrak kompor oven.
"Kau meragukanku?"
"Ya. Aku sangat meragukanmu."
"Bangsat."
"Kak Hali?"
Tinju yang hampir mengenai Fang tertahan. Halilintar menoleh, mendapati Taufan dengan pakaian Fang yang kebesaran keluar dengan rambut mencuat kesana sini karena topi yang dilepas.
"Kau tidak apa-apa? Fang tidak me*piiipp*mu kan?" tanya Halilintar sambil berlari kecil menghampiri Taufan.
Taufan mengerjapkan matanya beberapa kali. "Ti-Tidak! Kakak apa-apaan, sih?!"
Halilintar mengelus dadanya lalu mendelik pada Fang. "Kau selamat kali ini."
Fang mengendikkan bahunya tidak peduli dan memberikan isyarat untuk makan. Taufan makan dalam diam sementara Fang tengah berdebat dengan Halilintar mengenai rasa saus asam manis yang kurang bumbu.
Kakak tertua Taufan masuk setelah mengetuk pintu dua puluh menit kemudian. Fang tengah mencuci piring sementara Halilintar sibuk membereskan meja yang kotor. Taufan langsung menubruk Gempa yang masih mengenakan pakaian kerjanya.
"Kaaak."
"Mana Ejojo itu? Akan kuberi dia pelajaran grr."
Halilintar mendengus. "Sudah Fang selesaikan. Seharusnya kau tidak perlu kemari, Gem."
"Kau menolak kakakmu sendiri? Lihat betapa Taufan senang bertemu denganku."
"Bukannya menolak. Lihat dirimu. Masih pakai kemeja juga."
Fang turut menghampiri Gempa dan menepuk pipi gembil yang nampak lebih tirus dari sebelumnya.
"Kau tidak menjaga dirimu sendiri?"
Gempa meraih tangan Fang. "Apa aku punya waktu menjaga diriku diantara kompor yang menyala?"
"Kerja bagus, Gempa." Fang diam-diam dengan cepat mencium punggung tangan Gempa. "Makanlah. Masih ada ikan."
"Terima kasih."
Taufan melepas pelukannya begitu Gempa meminta. Ia duduk manis di samping kakaknya yang jarang pulang karena restoran yang selalu menunggu Gempa. Celotehan dilontarkan oleh Halilintar dan Fang. Cerita mengenai Ejojo diuraikan dengan jelas dari dua perspektif. Gempa mengulas senyum, sahabatnya tidak pernah berubah.
"Hali, kita pulang bersama malam ini. Terima kasih telah menjaga Taufan, Fang. Aku sangat bersyukur kau melewati gang itu. Tak terbayangkan olehku apa yang akan terjadi kalau kau tidak datang."
Fang mengangguk. "Itu wajar. Aku melakukan hal yang akan dilakukan oleh sahabat yang baik."
Taufan memeluk singkat Fang sebelum masuk ke dalam mobil putih. Pakaian yang Fang pinjamkan ia bawa pulang, dengan senyum tipis Taufan melambaikan tangannya, berharap tidak akan terlibat dengan Fang lagi.
.
Masa-masa itu tidak pernah kembali terulang. Ia hanya mampir saat lewat lalu bersenda gurau dengan Fang. Sentuhan Fang ia tinggalkan begitu saja dibelakang bersama dengan baju dan celana yang ia simpan didalam lemari pakaiannya.
Taufan berusaha berdiri. Perlahan ia berjalan masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua. Perih ditubuhnya akan segera terganti dengan air dingin yang menyegarkan.
Kala ia hendak menaiki tangga, Halilintar muncul dari atas. Wajah dinginnya tidak berubah, selalu sama persis seperti pertama kali ia bisa mengenali wajah Gempa dan Halilintar.
"Tunggu di sana, Taufan."
Kaki telanjangnya menopang tubuh. Halilintar bergerak cepat turun dan mendekap Taufan erat. Manik merahnya menatap cemas sang adik, menggendongnya keatas untuk dibawa ke kamar dengan nuansa langit cerah yang kental.
Halilintar dengan cepat mengambil ember berisi air hangat. Ia membuka lemari, mengambil handuk kecil untuk kemudian dibasahi.
Perlahan, Halilintar membersihkan luka sayat yang memerah gila dengan handuk. Taufan meringis, meremas kain sprei dibawahnya sambil menahan diri untuk tidak menangis.
"Kau harus ingat ini baik-baik. Aku tidak memukulmu untuk melampiaskan kekesalanku. Aku melakukannya agar kau tidak kembali ke sana, Taufan."
"Kak..."
"Jangan membantah. Aku akan beritahu Gempa mengenai ini saat dia pulang."
Taufan menenggelamkan wajahnya dibantal, membiarkan Halilintar mengeksplorasi tubuhnya.
Usai membersihkan, Halilintar mulai mengoleskan salep. Ringisan Taufan sudah mereda dan manik biru yang sedih menatap sendu tembok polos disampingnya.
Taufan mengira kakaknya sudah selesai setelah seluruh tubuhnya diolesi salep, mendadak tangan Halilintar meraba dadanya dan menyubit puting merah mudanya yang sudah menegang sejak pulang.
"E-Emhh..."
Halilintar membungkuk, menjilat cuping telinga adiknya. "Sudah berapa lama?"
"Ap-Apa?"
"Ini." Tangan Halilintar meremas bokong Taufan.
"Mana kutahu! Sejak Kakak diajak Gempa ke toko Fang, Kakak sibuk dijebol!"
Wajah Hali memerah. Spontan ia menampar bokong Taufan dan menggigit pundak yang sudah memerah.
"Jadi kau rindu Kakak atau tidak?"
"Tidak! Rindunya Kak Gempa aja. He fck me good."
"Bagaimana dengan Fang?"
"Gaada apa-apa kok. Kan cuma beli makan sama dia."
Halilintar mencium Taufan cukup lama. "Aku sih percaya saja. Kalau dia apa-apain kamu lapor, ya. Jangan diem aja."
"He'eeeh. Santuy kak."
.
Ya. Gitu. Aja. Oke.
Ayo ditunggu next daynya! Jadi ini projek buat ultah gue sendiri wkwkwkkw. I challenge myself to make fics to countdown my birthday. Sekalian muasin diri sebelum sibuk sama yang lain-lain.
Keep waiting for my fics! Love ya pals!
