Yoonmin

yoongi x jimin

and BTS

M

yaoi BL

twoshoot

i dont own anything. even the storyline is inspired by real experience of someone i know well. i only write it down here (and change the characters into yaoi/fit it with bangtan/sake of entertain)

and ill be happy if you like it

Dunia kami bagai air dan api, langit dan bumi, siang dan malam: berbeda, sangat.

Namun dua hal yang tak bisa kita pungkiri dan yang membuat kita saling tertarik: kita adalah pemberontak, dan kita tidak bisa berhenti saling menyakiti

Dari mana cerita bodoh ini harus dimulai? Awal ceritaku? Awal ceritamu? Saat kita bertemu? Atau saat dunia kita mulai runtuh? Atau saat kau meninggalkanku?

Saat itu aku hanyalah pemuda yang naif, kampungan. Bertemu denganmu yang saat itu bagiku terlihat sangat keren, meskipun kau sama lugunya. Tapi kau berbeda. Kau adalah definisi lain dari kebebasan. Aku iri. Dan aku tertarik.

Kau penuh dengan obsesimu akan masa depan yang gemilang. Keras kepala, padahal keluargamu menentang. Keluargamu berada, kau cukup mengikuti kemauan mereka maka hidupmu akan mulus. Jika bisa mengulang waktu aku ingin menghentikanmu. Tapi sungguh, Yoon, tekadmu akan mimpimu lah daya tarik terbesarmu.

Sekolahmu masuk ke tahun kedua, tapi bukannya belajar kau lebih suka membuat koneksi. Melebarkan jangkauanmu pada dunia luar, padahal kau bukan orang yang aktif. Tapi ku rasa bangku sekolah memang tak cocok untukmu. Kau lebih dari itu. Buku-buku itu terlalu kuno untukmu.

Pertama kita bertemu adalah saat sekolahmu mengadakan festival. Aku hanya seorang penyusup kala itu. Ku lihat kau berada di kantin sekolah-awalnya kau terlihat tak bernyawa tapi saat kau mulai membuka suara matamu bersinar-sinar, kagum, dan aku penasaran akan topik pembicaraan kalian, yang nanti mulai ku pahami saat mengenalmu.

Aku yang orang desa, saat itu baru selesai dengan kelulusan sekolah menengah pertamaku dan memutuskan untuk ke kota, mencari sesuatu yang aku tak tahi. Mungkin pelarian. Orang tua sudah menyiapkan pasangan untukku, dan demi Tuhan aku tidak mengenal orang itu. Menikah, titik, seperti saudara-saudaraku yang lain. Lahan pertanian sudah dipersiapkan pula. Tapi saat aku pulang kerumah, saat itu untuk pertama kali aku memberontak pada keluargaku.

Pertengkaran tak terelakkan. Aku ingin melanjutkan sekolahku! Saat itu aku sadar, aku ingin hidupku berbeda, aku ingin punya mimpi, tapi mimpi itu berbeda dari keinginan keluargaku.

"Jimin, kau harus menerima takdir keluarga kita! Kita ini petani!"

Ayahku berteriak saat aku mengungkapkan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan.

"Tidak peduli. Aku ingin bersekolah. Takdirku biar aku sendiri yang menulisnya".

Aku hanya menjawab ayahku dengan nada biasa karena bagaimanapun dia orang tuaku dan aku tak pernah dididik untuk menjadi anak yang durhaka.

Saat itu ibu setuju dengan ayahku. Pendidikan mereka tidak tinggi, bahkan ayahku masih kesulitan untuk hitung menghitung sederhana, sama dengan ibu. Kehidupan kota itu berat. Sekolah itu mahal dan tidak menjamin keberhasilan. Dan banyak lagi alasan yang mereka sebut. Aku tetap kekeh dengan keinginanku.

"Terserah! Pergilah, tapi tidak ada lagi uang untukmu. Ayah tidak mau membiayai apapun lagi keperluan hidupmu. Dan lihat sampai mana kau akan bertahan".

Itu ucapan terakhir ayahku. Ibuku tak rela aku pergi, tapi tak juga setuju akan keinginanku. Tak lama aku pergi dari rumah. Meski begitu, aku cukup lega karena mereka masih menganggapku sebagai keluarga, meski mereka menunggu kegagalanku, saat aku menyerah dan kembali.

Aku menyewa sebuah kamar kecil dengan uang yang ku simpan selama ini. Segera mendaftar di sekolah tempat mu menimba ilmu. Selanjutnya yang kulakukan adalah mencari pekerjaan, apapun itu. Menjaga toko, mencuci piring di restoran keluarga, bahkan membersihkan pekarangan rumah-rumah yang berada di sekitar kamar yang ku sewa. Bagaimanapun tahun-tahunku ku habiskan membantu orang tua di ladang, tak heran aku hebat jika berubungan dengan tumbuhan.

Tubuhku rasanya sangat lelah karena bekerja bahkan saat tahun ajaran belum dimulai. Tapi itu semua sirna saat akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi. Dan benar, kau adalah siswa yang populer. Siapa siswa yang tidak mengenal Min Yoongi, anak angkatan tahun ketiga? Min Yoongi yang terkenal akan mulutnya yang ceplas ceplos, yang aktif di klub music. Bahkan anggota band klub itu kalah popular. Padahal kau bekerja dibalik layar.

Tapi kekagumanku hanya sebatas itu, menjadikanmu panutan. Siapa yang sangka interaksi antara kita akan terjadi. Aku masih ingat. Saat itu aku izin dari kelas untuk ke kamar mandi, malah menemukanmu berada disana sedang memencet-mencet ponselmu sambil bersandar di pintu salah satu bilik. Aku membungkukkan badan untuk menunjukkan rasa hormatku sebagai junior, tak lebih, meski aku sangat ingin menyapa. Tapi kemudian dengan bodohnya saat itu aku hanya bisa membalas ucapanmu yang tak terduga dengan hanya satu dua kata.

"Bunga merah atau putih?"

Tiba-tiba kau bersuara. Aku diam. Tidak yakin apakah pertanyaan itu untukku atau pertanyaan pada dirimu sendiri. Pasalnya kau bahkan tak mengalihkan mata dari ponselmu.

"Ck, aku bertanya padamu. Mana yang lebih bagus, bunga merah atau putih?"

"Aku?".

Aku menunjuk diriku sendiri di depan wastafel saat aku mencuci tangan. Ku lihat dari pantulan kaca kini kau melihat ke arahku, dan mukamu terlihat tak senang. Mungkin karena menunggu sebuah jawaban. Aku segera berbalik agar tetap terlihat sopan saat berbicara.

"Mmm... itu... tergantung?"

Bodohnya aku balik bertanya. Dan kau tak mau repot meminta penjelasan. Hanya tatapanmu yang membuatku yakin aku harus menjelaskan.

"Tergantung untuk siapa. Maksudku... mmm begini... mawar merah itu... artinya cinta, atau hasrat... mawar putih..."

"Cukup".

Aku terkejut. Kau memotong ucapanku begitu saja dan kembali fokus pada ponselmu. Ah,mungkin kau ingin memberikan bunga untuk seseorang, pacar mungkin.

"Kembalilah. Kau tidak berniat untuk bolos, kan?"

Terkejut kuadrat. Padahal yang membuat terkejut tidak melihat atau bahkan melirik. Aku membungkukkan badan lalu berlalu.

Sebulan kemudian band klub musik bekerja sama dengan klub radio memperdengarkan lagu terbaru mereka melalui pengeras suara di setiap kelas saat jam istirahat. Awalnya aku tak terlalu tertarik hingga namamu disebut-sebut, 'lagu yang ditulis oleh jenius Min Yoongi'. Saat itu aku sedang membuka roti yang sudah ku beli di mejaku sendirian. Sebagai anak desa, aku masih sulit beradaptasi dengan teman-teman sekelasku. Rencana makan siang sederhanaku ku urungkan. Memilih untuk fokus pada radio sekolah. Menanti lagu seperti apa yang kau buat. Aku sudah mendengar bahwa kau menyukai musik, jenius, tapi ini pertama kali bagiku mendengar musikmu.

'Red rose? White rose?'

'Selama kau berjuang, kaulah rose'

'Kau indah, tapi kau kuat'

'Duri mu melindungimu"

Seketika tubuhku tegap saat mendengar lirik itu. Jika benar kau menulis lirik itu, berarti saat itu...? Arghh aku malu pada jawabanku saat itu. Andai saja saat itu aku tidak berlagak sok tau dan menjawab asal. Tapi saat lagu itu selesai, aku tak bisa menyembunyikan senyumanku. Rasanya lagu itu ditujukan padaku agar terus berjuang dan tidak menyerah.

Interaksi kedua. Saat itu aku bersisihan denganmu di kantin. Semenjak insiden lagu itu, aku dengan percaya diri membungkukkan badan ke arahmu. Temanmu seketika berhenti, dahinya mengerut.

"Kau kenal, Yoon?"

Temanmu bertanya padamu. Aku tersenyum. Berharap kau berkata 'iya' dan bahwa kau sempat meminta pendapatkan untuk salah satu lirikmu.

"Tidak".

Aku tersenyum kecut. Kuangkat kepalaku dan melihat ke arahmu. Saat itu kau sedang menelisik wajahku.

"Oh, sepertinya iya".

Kau berkata tapi dengan wajah datar.

Saat itu aku ditarik menuju meja bersama kalian. Lebih tepatnya temanmu, Kim Namjoon yang menarikku. Dia bilang sangat jarang ada adik tingkat yang dikenali olehmu, jadi tanpa ragu dia menyeretku. Tapi dia terkejut bukan main karena saat duduk hal yang pertama kau ucapkan adalah kau bertanya siapa namaku. Namjoon sudah berpikir terlalu jauh bahwa kau dan aku saling kenal.

"Namaku Park Jimin. Kelas satu. Maaf sunbae. Aku dan Yoongi sunbae tidak saling kenal, kami hanya pernah tidak sengaja bertemu".

Aku buru-buru menjelaskan agar Namjoon tidak tidak kecewa dan salah paham.

"Oh. Kau tau namaku"

Celetuk dirimu. Namjoon dengan iseng menyikumu.

"Siapa yang tidak tau Min Yoongi".

Dan kau hanya membalas seringaian Namjoon dengan tatapan jengah.

"Mawar, kurasa kau sudah dengar".

Ucapmu.

Aku tersenyum. Merasa kau memanggilku dengan kata mawar, padahal kau mengacu pada lagumu.

"Maaf, jawabanku saat itu terdengar aneh".

"Aku yang bertanya tanpa memberitahu konteks , jadi santai saja".

Dan Namjoon terlihat bingung, merasa di dunia lain karena tidak mengerti pembicaraan kita. 'kita?' Aku bersemu saat membayangkam kata itu.

"Yoongi sunbae saat itu bolos. Aku ke kamar mandi, tidak sengaja bertemu. Lalu tiba-tiba menyuruhku memilih mawar merah atau putih. Ternyata sunbae sedang menulis lirik, aku tidak tau. Dan akhirnya dia menggunakan keduanya, mawar merah dan putih".

Aku menjelaskan. Entah dari mana datang kepercayaan diriku. Aku bahkan tak pernah bicara sepanjang itu dengan teman sekelasku. Kau terlihat santai, Namjoon hanya mengangguk-angguk.

"Jadi kau fikir kenapa aku bertanya?"

Yoongi bertanya.

"Itu.. errr... ku fikir sunbae ingin memberikan bunga untuk seseorang... mungkin pacar?"

Tiba-tiba Namjoon tertawa karena ucapanku. Aku menatapnya bingung sedangkan kau menutup telinganmu. Ku akui suara tawa Namjoon cukup lantang.

"Pacar? Manusia bebas seperti kami tidak butuh itu. Lagi pula tidak akan ada yang tahan pada kelakuan Yoongi".

Saat itu aku hanya tertawa karena tawa Namjoon makin menjadi, dan kau menatapnya kesal. Andai aku percaya pada kata Namjoon saat itu.

Setelah percakapan itu Namjoon terus membawaku dalam lingkaran pertemanan kalian. Katanya entah bagaimana aku mengerti mu dan bisa menjadi juru bicaramu karena kamu terlalu irit bicara sedangkan aku boros. Sama seperti vokalis band klub musik, Kim Seokjin, dan si pemain bass, Kim Taehyung. Aku jadi mengenal mereka karena kamu. Si gitaris Jeon Jungkook, dan drummer, Jung Hoseok, mereka semua senior ku, kecuali Jungkook yang berada setingkat denganku. Dia menggantikan gitaris yang dulu karena sudah lulus. Taehyung lebih muda dariku, tapi dia pintar dan sempat berada dikelas akselarasi.

Gelar 'sunbae' sudah menjadi 'hyung'. Aku ikut berkumpul di basecamp kalian, dan kalian menerima. Padahal siapa aku. Anak-anak yang tidak suka padaku memanggilku sebagai pesuruh di lingkaranmu. Tapi aku tidak peduli. Disini aku bersekolah, bukan untuk mendengar mereka.

"Setelah ini kita akan mencari lokasi lain yang sesuai. Aku sudah meminta Jihoon dari klub photography untuk menyiapkan alat-alatnya. Yoongi, kali ini kau ikut. Kau harus ingat ini projek kita bersama".

Namjoon mengingatkan jadwal kami setelah latihan di basecamp. Band kami sudah memutuskan untuk membuat music video. Sebelumnya mereka sudah mulai mengambil gambar, tapi aku tidak ikut karena pekerjaan ku tidak bisa ku tinggalkan. Mereka bilang kamu juga tidak ikut. Alasannya karena dia mengantuk. Terdengar sangat kamu.

"Note ku tertinggal dirumah. Jimin, temani aku mengambil itu sebelum pergi ke lokasi".

Kau berucap padaku, tak menatapku. Mungkin terlihat acuh. Tapi aku sudah mengerti dirimu. Kau memang sulit berekspresi secara langsung. Mungkin karena itu kau sangat suka menulis lirik.

"Tapi hyung, aku harus bekerja".

Seperti sebelumnya aku menolak ajakan mereka. Bagaimanapun aku harus bekerja jika ingin terus bersekolah.

"Izin saja. Sekali".

Setelah berfikir aku memutuskan untuk ikut. Faktor utama adalah karena kau mengajakku ke rumahmu. Karena meski aku sudah sedekat ini dengan kalian, aku mulai tamak tentang dirimu.

Saat masuk pekarangan rumahmu, aku sudah siap dengan berbagai macam pertanyaan yang mungkin keluargamu akan kau tanyakan padaku, serta jawabannya. Otakku dipenuhi skenario-skenario lucu hingga membuatku terkekeh sendiri. Saat pintu terbuka ibumu terkejut melihat kita. Tapi kau masuk begitu saja, sedangkan aku membungkuk canggung pada ibumu, mengucap salam lalu mengekor dibelakangmu. Memperhatikan sekitar. Rumahmu bagus.

"Yoongi".

Ibumu memanggilmu tapi kau seakan tidak mendengar.

"Yoongi. Ayahmu sudah pulang. Ibu harap kau tidak lupa makan malam kita malam ini".

Kau berhenti, lalu menghela nafas sebelum akhirnya berbalik.

"Tunda saja besok. Aku ada tugas sekolah"

Setelah itu kau kembali berjalan. Ku yakin menuju kamarmu. Sekarang aku mengerti, kau mengajak ku karena butuh alasan untuk pergi. Apa sebelumnyapun kau dilarang oleh keluargamu?

Aku tidak bisa melakukan apapun selain mengikuti langkahmu. Keadaannya canggung, antara kita, dan keluarga mu. Aku merasa tak diharapkan keberadaanya di rumahmu. Saat sudah di kamar kau mengganti baju mu dengan baju santai, dan meminjamkanku jaket kulit cokelatmu, ukuran baju kita sama. Tanpa berkata apa-apa, dan kita hanya segera keluar. Saat menuruni tangga bisa ku lihat ibumu dengan seorang lelaki, ayahmu ku rasa. Dan kau terus menuju pintu keluar saat ku perhatikan lelaki itu menatapmu lurus.

"Yoongi, kau fikir kau mau kemana?!"

"Yoongi!"

Lelaki itu menaikkan suara karena kau mengacuhkannya. Teriakkannya yang kedua membuatmu berhenti tapi tetap tak berpaling.

"Ibu, aku sudah bilang padamu kan?"

"Yoongi, tolong, turuti kemauan kami"

Kata-kata ibumu yang membuatmu berpaling ke arah mereka.

"Ayah, ibu. Selama ini aku sudah menuruti kalian. Kali ini giliran kalian yang menuruti keinginanku".

Ucapanmu membuat ayahmu geram. Bisa ku lihat dari raut wajahnya yang mengeras.

"Ini semua demi kebaikanmu!"

Ayahmu membentak. Tapi kau juga kehabisan kesabaranmu.

"Tidak. Ini demi kalian! Memang kalian pernah benar-benar peduli denganku? Yang kalian inginkan hanya aku sebagai alat, untuk kalian pajang sebagai harta kalian dan kalian gunakan semau kalian. Aku ingin bebas!".

Kepalan ayahmu terangkat untuk kemudian menyapa rahang kirimu disertai dengan teriakan ibumu, dan noda merah yang mengotori sudut bibirmu yang cantik.

Kau tersenyum remeh sambil memegangi pipi mu yang berdenyut.

"Aku pergi".

Saat itu ada beberapa fakta baru yang aku ketahui tentang dirimu: satu, kau seperti aku, membangkang orang tuamu, dua, ku kira kau sudah lama bebas, tapi siang itu, momen itu, kau baru benar-benar bebas.

Kau menarikku kasar. Melewati pintu rumahmu bahkan tanpa repot menutupnya. Masuk ke dalam mobil yang baru pertama ini ku lihat. Menyalakan mesin dan membiarkan kita terdiam selama kau fokus menyetir dan aku fokus mengkhawatirkanmu.

Awalnya ku kira kau menuju lokasi pengambilan gambar, tapi ku rasa moodmu sudah rusak. Kau berhenti di depan sebuah sekolah dasar yang sudah tak lagi digunakan. Rumahmu sudah jauh kau tinggalkan. Keheningan masih bersama kita. Dan saat kau tak juga bersuara, ku kira kau menyesali keputusan mu, kau menangis.

"Hyung..."

Aku mengelus bahumu, bermaksud menenangkan, tapi kau malah memelukku. Erat. Dan meski tangismu tak bersuara, ku rasakan bahuku basah. Mungkin kau kau menggigit bibirmu dengan keras agar suara pilumu tak terdengar.

"Hyung, kau bisa memperbaiki ini. Aku yakin keluarga mu masih menerimamu jika kau kembali sekarang".

Kau melepaskan pelukanmu. Menatapku nanar dengan mata dan wajah merahmu. Sangat kontras dengan kulit putih pucatmu.

"Aku tidak akan kembali kesana! Tidak akan pernah!"

Kau membentakku. Tapi aku tak lantas langsung menciut karena setauku kau memang selalu sulit mengartikan perasaanmu sendiri.

"Hyung. Kau bisa bicara baik-baik dengan mereka".

Aku teguh akan pendapatku. Seburuk-buruknya hubunganku dengan keluargaku, aku masih memberi mereka kabar sekali-kali. Tapi jika kau pergi seperti ini, akan sulit bagimu untuk sekedar menyapa nantinya.

"Kau tidak tau apa-apa Jimin! Aku sudah mencoba bicara dengan mereka bertahun-tahun!"

Kali ini sedikit bagian dadaku berdenyut. Benar. Aku tidak tau apa-apa tentang mu. Aku membuang muka. Jika aku terus menjawabmu dan melihat wajahmu, mungkin aku juga akan berakhir menangis, karena saat ini saja mataku sudah terasa panas.

"Maaf. Aku keterlaluan".

Kau mendesah halus setelah sebelumnya menggeprak kemudi cukup keras untuk meluapkan kemarahanmu. Hening sejenak.

"Kau tau, musik adalah segalanya bagiku. Tapi ayahku... Dia ingin aku menjadi dokter, seperti dia. Dan aku bersumpah tidak akan pernah bersedia menjadi seperti dia, meninggalkan kami hampir disetiap momen penting kami".

Aku tak bisa tak menatapmu karena pangakuanmu yang tak terduga itu. Kau, meremas rambutmu.

"Musik ku hanya sampah bagi mereka".

Dan kali ini aku tak bisa tak membawamu ke dalam dekapanku.

Mengelus surai lembutmu di tanganku

"Musikmu, mereka indah Yoongi".

Kau mengangkat wajahmu. Menangkap semua atensiku dalam matamu yang jernih. Seolah jarak kita masih kurang dekat, kau terus memangkasnya. Bibirmu menyentuh bibirku dan aku seakan sudah menanti momen ini selama beratus-ratus tahun hingga aku hanya menutup mata, lekat-lekat menyimpan rasa saat bibirmu tak bergerak dari milikku selama beberapa menit.

"Terimakasih, Jimin".

Kau berucap tepat di depan wajahku saat akhirnya kau melepas ciuman kita. Matamu dan mataku seolah tak ingin berhenti berpandangan. Hingga sesuatu menyadarkanmu.

"Ya Tuhan. Maaf Jimin... Aku tidak bermaksud... Bukan... Maksudku.. Aku takut kau ketakutan karena ini..."

Lucu. Itu pertama kali ku lihat kau panik. Aku menyebut namamu agar kau tak lagi salah tingkah.

"Yoongi... Ssstt"

Aku menangkupkan wajahmu agar melihat kearahku.

"Aku baik-baik saja"

Wajahmu memerah. Oh mungkin wajahku juga sudah memerah sejak tadi.

Aku tidak tau denganmu, tapi untukku itu tadi adalah ciuman pertama ku. Dan aku tergoda untuk merasakannya lagi. Jadi ku cium bibirmu pelan, membuatmu tak percaya.

"Jimin, kau tau kan kalau ini semua salah?"

Mungkin kau hanya ingin memastikan keputusan ku, padahal sudah jelas: aku juga menginginkanmu.

"Bukankah kau orang yang bebas sekarang? Untuk apa kau peduli pada apa yang benar dan apa yang salah?"

Aku mengangguk setelah menjawab pertanyaanmu dengan pertanyaan juga. Kau menciumku sekali lagi. Ternyata ini bukan ciuman pertama mu. Kau ahli, karena ciumanmu kali ini lebih menuntut.

Sore itu di dalam mobilmu, di depan sebuah sekolah yang terbengkalai, aku merasakan pengalaman pertama lainnya di dalam hidupku. Kau menyentuh ku. Lembut dan penuh perasaan. Tiap jengkal tubuhku merekam tarikan jarimu yang tak puas bermain. Kenikmatan yang terlarang dalam setiap hentakanmu membawaku sejenak melupakan dunia. Mungkin aku sudah di surga. Dan jika bisa aku tidak ingin kembali.

"Yoonh... Tunggu... Pelan sedikit".

Tidak, nyatanya aku ingin kau lebih cepat. Tapi aku juga ini bertahan lama. Tak penting. Karena kau tak peduli, lebih fokus mendorong dirimu makin dalam.

"Emhhh Jim, sebentar lagih..".

Entah di dalam sana kau makin menggembung atau aku yang semakin mengetat, atau kedua-keduanya. Yang jelas tak lama kita sama-sama berteriak lega. Puas.

Kau kembali ke kursimu sambil merapikan pakaianmu, menarik zipper dan menepuk-nepuk kaos, saat aku masih kesusahan bernafas. Aku menarik celana sekolahku terlebih dahulu yang sudah sampai ke mata kaki ku. Lalu mengancingkan kemeja sekolahku yang terbuka sempurna. Jaketmu yang kau pinjamkan tergeletak di kursi belakang.

"Apa kita akan menyusul yang lain sekarang?" tanyamu sambil menurunkan suhu mobilmu. Kita berdua kepanasan, itu kuakui.

"Kau gila hyung. Aku merasa penuh sekarang. Kita ke tempatku".

Kau terkekeh sedangkan aku bersemu merah mengingat kau keluar di dalam.

"Padahal aku sudah setuju ikut karena kau akhirnya ikut juga".

Kau mulai menyalakan mesin mobil.

"Benarkah? Ku kira hyung membawaku hanya karena butuh alasan untuk kabur". Aku sudah merasa senang akan ucapan mu. Kau membuatku terbang dengan perasaan yang berbunga-bunga.

"Iya, kau adalah alasanku. Kau mengubahku, Park Jimin".

Seperti biasa kau tak menatapku, tapi aku tau ucapanmu tulus. Aku tersenyum. Kau tak tau. Kau lah yang terlebih dulu mengubahku, Min Yoongi.

"Kita harus segera membeli seragam untukmu, hyung. Kau meninggalkannya di rumahmu".

Kataku mengalihkan pembicaraan.

"Kau yang atur. Lagi pula, rumahku yang sekarang adalah tempat mu".

TBC

Jadi ini terinspirasi kisah nyata ya. Tapi bukan berarti 100% sama. Hanya konflik secara umumnya.

Masih ada tanggungan ff lain, tapi ga bisa dilanjutin karena rate nya M dan ngerasa kurang pantes kalo update selagi masih puasa (padahal kemaren2 update)

Ini rencananya rate T tapi g tau kenapa malah jadi M. Dikit lah ya, g terlalu detail.

Semoga ada yang nunggu kelanjutannya. Bye.