LUDUS

a playful love

.

.

Cast : Kang Daniel, Ong Seongwoo

Rate : T

Genre : Romance/Comedy

Warning : Boys Love

.

.

PROLOGUE

Apakah itu cinta?

Betapa klise pertanyaan tersebut terumbar di awal cerita. Mungkin sebagian dari kalian akan mendengus, tertawa, atau bahkan menangis karena terbawa perasaan dan teringat akan kenangan manis-pahit seputar keempat huruf magis tersebut. Penulis sendiri tidak tahu apakah artinya cinta. Satu kata yang menyimpan banyak makna sehingga variasi tersebut tak dapat menjelaskan dengan benar inti dari definisi yang diharapkan.

Bila kalian tidak mengerti, begitu pula pemeran utama lugu yang akan menjadi bintang dari kisah atraksi hati dan perasaan ini.

Namun, kita semua tahu awal mula dari timbulnya kata 'cinta'.

Semua diawali dari sesuatu yang murni yaitu rasa 'ingin tahu'.

Dan itulah yang membuat Ong Seongwoo terjebak dalam petualangan pencarian arti kata 'cinta' bersama dengan Kang Daniel.

ᴡᴀʟᴀᴜᴘᴜɴ sᴇʙᴇɴᴀʀɴʏᴀ ᴘᴇᴍᴜᴅᴀ ʙᴇʀᴋᴇɴᴀᴍᴀᴀɴ ᴋᴀɴɢ ᴅᴀɴɪᴇʟ﹣ʟᴀʜ ᴏʀᴀɴɢ ᴘᴇʀᴛᴀᴍᴀ ʏᴀɴɢ ᴍᴇɴᴀʀɪᴋ ᴏɴɢ sᴇᴏɴɢᴡᴏᴏ ᴅᴀʟᴀᴍ ᴘᴇᴛᴜᴀʟᴀɴɢᴀɴ ᴛᴇʀsᴇʙᴜᴛ

Jadi, bagaimana kisah cinta Ong Seongwoo berawal mula? Apakah kisah tersebut akan terlihat seperti roman picisan favorit remaja yang memimpikan hidupnya akan berlanjut seperti Drama Korea? Atau mungkin saja kisah itu akan menyerupai badai ombak yang bergelora dan membawa dirinya terombang-ambing dalam kebingungan?

Yah, mari kita ikuti saja petualangan pemuda bermarga Ong tersebut.

.

.

.

semua berawal dari detik ini

.

.

.

Permadani biru di atas awan terlihat cerah memamerkan warnanya. Terik matahari dengan bangga menemani, menggunakan kesempatan yang ada untuk ikut menerangi dan memberikan kesempatan pada dedaunan untuk senantiasa berfotosintesis.

Lain halnya dengan dedaunan yang dengan senang hati mengubah sinar matahari menjadi zat kimia, manusia yang berada di bawah langit yang sama malah mengeluh walau dengan antusiasme yang serupa.

"Pa-panas…"

"Astaga, hari ini rasanya seperti sedang dipanggang hidup-hidup…"

"Haus…Haus…"

"Es krim satu gratis satu! Beli sekarang sebelum kehabisan!"

Baiklah, pengecualian untuk kalimat terakhir yang merupakan bentuk promosi dari penjual es krim di taman dalam area Universitas Korea yang tetap semangat mempromosikan barang dagangannya walaupun tubuh dibasahi peluh keringat.

Beruntungnya sudah merupakan rezeki bagi sang penjual ketika lelaki bertubuh jangkung dengan paras tampan berjalan mantap dengan temannya yang tidak kalah tampan menuju gerobak es krim tersebut. Keduanya terlihat seakan telah menemukan oasis di tengah padang pasir. Seperti itulah panas yang terasa kala itu.

"Aku ingin es krim rasa coklat. Satu saja. Dan satu lagi es krim rasa stroberi untuk Tuan Jaehwan yang terhormat," ucap pemuda yang terdahulu menghampiri penjual tersebut itu dengan sarkasme kental di atas lidah dan segera disambut dengan pukulan ringan di belakang kepala.

Pemilik nama 'Jaehwan' yang sudah berdiri di sampingnya menggelengkan kepalanya gusar,"kalau kau tidak ikhlas membelikan es krim untukku sebaiknya tidak usah beli sama sekali! Kau tahu aku tidak suka rasa stroberi, Seongwoo hyung!"

'Seongwoo' hanya menyunggingkan seringai jenaka kepada temannya yang satu tahun lebih muda darinya sebelum kembali mengalihkan atensinya pada penjual es krim di hadapannya,"maksud saya satu es krim rasa vanilla bukan stroberi. Jadi, dua, ya!"

Penjual yang nyatanya merupakan sesama mahasiswa tersebut tertawa sopan dan menyiapkan pesanan mereka.

Siang hari ini, Seongwoo mendapatkan kesempatan untuk beristirahat sejenak dari jadwal kuliahnya yang amat padat. Hari ini dia sudah disibukkan dengan 4 kelas untuk variasi mata kuliah yang memiliki tingkat kesulitan yang sama. Level Dewa. Baru saja 1 kelas terlewati, otak lelaki muda itu sudah terasa dipenuhi beban berat 100 nyawa kehidupan. Seutas nadi pada lobus frontal seakan siap untuk pecah andai saja dia tidak menyelinap keluar saat dosen yang bertugas mengajar kelasnya tengah melipir ke toilet.

Walau hanya 15 menit waktu yang dapat ia curi, pemuda itu tidak ingin membuang kesempatan tersebut dengan sia-sia. Setelah mengajak—lebih tepatnya memaksa—Jaehwan keluar dari ruang klub paduan suara, dia segera membawa mereka menuju taman dalam Universitas Korea yang merupakan tempat mereka menempuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi dan mengejar gelar 'sarjana'. Temannya yang pandai bernyanyi itu sebenarnya tidak ingin keluar ruangan karena cuaca yang luar biasa panas hari itu tapi Seongwoo tidak menerima kata 'tidak'.

"Bukankah kau masih ada kelas, hyung?" Tanya Jaehwan dengan satu alis terangkat, maniknya bersinar seakan dia tidak peduli apabila Seongwoo mau menjawabnya atau tidak tapi pemuda yang lebih tua memutuskan untuk menjawab saja.

"Istirahat dulu,"jawabnya singkat. Tangannya terulur saat es krim coklat pesanannya sudah jadi dan diberikan kepadanya, Jaehwan pun sudah mengambil es krim miliknya. Dengan lihai, Seongwoo melempar dua koin untuk membayar es krim tersebut dengan jentikkan ibu jari dan mendarat tepat di kotak pembayaran.

Jaehwan hanya tertawa kecil walau ada nada sarkastis tak luput dari pendengaran pemuda di sampingnya. Seongwoo hanya melirik temannya itu dengan pandangan polos tak bersalah yang dibuat-buat.

Mereka berdua berjalan menuju salah satu pohon rindang yang berada di taman dan tak membuang waktu lama untuk duduk di atas rumput dan berteduh di bawahnya. Seongwoo sudah menyibukkan diri untuk menjilat es krimnya yang mulai meleleh pesat tak kalah cepatnya dan Jaehwan mulai mengikuti walau dengan kecepatan yang lebih manusiawi. Keheningan yang nyaman meliputi kedua orang yang tengah bersantai ria itu dalam waktu beberapa menit sebelum yang lebih muda di antara keduanya memutuskan untuk angkat bicara.

"Seongwoo hyung, aku sudah memutuskan," pemuda kelahiran tahun 1996 itu menghentikan kegiatan memakan es krimnya, dengan tatapan serius yang mengejutkan—bagi Seongwoo, entah bila bagi orang lain—dirinya memfokuskan pandangan pada sang kelahiran tahun 1995. Seongwoo mengambil jilatan akhir dari es krimnya yang sudah habis dan hanya meninggalkan cone tanpa lupa membalas tatapan Jaehwan dengan miliknya yang berkilat penasaran.

"Apa? Apakah kau sudah memutuskan untuk menyatakan perasaanmu pada si dia?" Tembaknya tepat sasaran dan hal itu didukung dengan ekspresi terperanjat milik Jaehwan. Temannya itu memang mudah untuk ditebak.

"Yah—b-bagaimana kau bisa tahu secepat itu?" Jaehwan gelagapan, pemandangan ini membuat Seongwoo tidak dapat menahan tawanya,"…ah, sudahlah. Memang benar aku ingin menyatakan perasaanku padanya. Dan rencananya…aku akan melakukannya saat rapat pertemuan komite paduan suara nanti."

"Ah, benarkah? Kalau begitu semoga beruntung, Jaehwan," Seongwoo menepuk pundak teman selaku junior-nya itu. Tidak disangka pemuda tersebut akan mendapatkan keberanian untuk menyatakan perasaan. Rasanya baru satu hari yang lalu Jaehwan datang padanya untuk menceritakan fenomena aneh yang tengah terjadi pada dirinya.

Munculnya sebuah 'perasaan' pada seseorang.

Pemuda dengan marga unik itu sendiri—Ong—sebenarnya belum pernah mengalami fenomena tersebut dalam kehidupannya. Memang, ketertarikan pada lawan jenis dan terkadang untuk kaum sejenisnya itu tak terelakkan namun Seongwoo tidak pernah merasakan sesuatu yang 'aneh' yang katanya—mengutip perkataan Jaehwan—dapat membuat seseorang kehilangan identitas dirinya, linglung di tengah garis realita dan khayal, dan mengalami gejolak emosional seumpama menaiki rollercoaster.

'Tidak, hyung, aku tidak telat puber. Hal ini benar-benar berbeda!' Begitulah seruan frustasi Jaehwan kala Seongwoo menceletukkan sesuatu yang sangat tidak membantu.

'Aku…aku jatuh cinta, hyung!'

Seongwoo dapat menyukai dan dapat tertarik, namun semuanya hanya akan berakhir di batas 'mengagumi'. Tidak ada kata 'cinta' dalam kamus kehidupan pemuda berumur 23 tahun tersebut. Selama dirinya hidup, dia tidak pernah menyimpan perasaan istimewa pada seseorang. Kasih sayang dan perhatian penuh hanya ia tunjukkan pada keluarga dan mimpi. Tak ada waktu untuk 'cinta-cintaan'.

Menurutnya, hal aneh seperti 'cinta' itu adalah sesuatu yang tidak nyata. Heat of the moment, pikirnya. Karena bila hal itu adalah sesuatu yang nyata, mengapa realita kian tidak membaik? Bila cinta itu nyata…

…kedua orang tuanya tidak akan berpisah, bukan?

Tak ada yang tahu definisi sebenarnya dari empat huruf magis—implementasi dari estetika yang destruktif—yaitu 'C.I.N.T.A'. Terutama seorang Ong Seongwoo.

"Jadi, hyung, kira-kira bagaimana cara seseorang untuk menyatakan perasaan?"

Pertanyaan Jaehwan menariknya kembali ke dunia nyata dari sesi lamunan ke-3 yang sudah terjadi pada hari itu. Pemuda yang ditanya mengerjapkan mata dan melahap langsung cone yang berada di tangannya untuk menyembunyikan fakta bahwa dia sedikit terkejut karena pertanyaan itu ditujukan padanya.

Seongwoo yang tidak mengenal 'perasaan' itu tentu saja kebingungan harus memberikan jawaban seperti apa pada temannya. Tapi, gengsi menang melawan pasrah, maka dari itu laki-laki yang memiliki visual seperti aktor tersebut menegakkan tubuhnya lalu melingkarkan satu lengannya di atas pundak sang pemeran pembantu yang sedang jatuh cinta—kejam juga kau, Ong Seongwoo.

"Kunci dari pernyataan perasaan adalah keyakinan," mulainya dengan nada yang dibuat-buat untuk terdengar meyakinkan. Pendengarnya mengernyitkan dahi dan mendekatkan telinga tanda dia benar-benar memfokuskan pendengarannya pada perkataan Seongwoo, sial,"bila kau tidak yakin dengan perasaanmu, apa yang perlu dinyatakan? Sekarang biar aku tanya, apakah kau yakin dengan keputusanmu?"

Jaehwan mengangguk mantap,"aku yakin."

Yang lebih tua tersenyum,"baguslah. Kalau begitu kau siap pada tahap kedua. Hampirilah orang yang kau sukai itu atau kau juga bisa mengajaknya ke tempat romantis untuk menyatakan cinta. Kalau aku sendiri sebenarnya lebih suka yang to the point saja karena bagaimana kalau kau ditolak padahal sudah mempersiapkan makan malam mahal? Semua akan sia-sia saja, bukan?"

Pemuda di sampingnya itu membelalakkan matanya saat peringatan akan kemungkinan terburuk itu menghantamnya keras di kepala,"astaga—benar juga! Bagaimana kalau aku ditolak?! Apa yang harus aku lakukan, aku—"

Seongwoo segera menutup mulut temannya itu dengan telapak tangannya yang bebas,"maka dari itu lebih baik kau nyatakan saja dengan cara yang sederhana. Tidak perlu hiasan yang muluk-muluk—"

Ketika dia melihat Jaehwan yang sudah tenang dari sudden panic attack, Seongwoo melepaskan tangannya hanya untuk menunjuk ke udara dengan jari telunjuknya. Senyuman yang terukir pada paras terlihat percaya diri dan sangat meyakinkan walau dalam hati dia sudah sangat siap untuk kabur dari tempat itu saat itu juga,"—Dan jangan lupa determinasi. Keinginan yang kuat untuk mencintai dan memiliki. Sampaikan itu dengan jelas melalui pernyataan perasaanmu. Bila dia dapat melihat betapa seriusnya dirimu terhadapnya, aku yakin presentase kemungkinan dirimu akan diterima akan semakin besar."

Jaehwan mengangguk-anggukan kepalanya, polos sekali seperti mahasiswa baru yang menelan bulat-bulat perkataan omong kosong dari kata-kata motivasi rektor—Tidak, Ong Seongwoo tidak menyindir rektor universitasnya, apa yang kau pikirkan?—pada hari perkenalan mahasiswa baru.

"Apa kau bisa memberikan contoh, hyung?" Jaehwan, temannya yang diam-diam menyebalkan itu tidak memberikan kemudahan pada Seongwoo dengan meminta hal yang tidak perlu. Seniornya itu tidak dapat menahan diri untuk mendelik kesal ke arahnya,"apakah itu perlu?"

"Tentu saja perlu! Biasanya aku lebih cepat memahami apabila diberikan contoh. Ayolah, hyung. Bantulah aku~" Jaehwan menunjukkan aegyo-nya yang bukannya terlihat lucu namun terlihat mengerikan karena senyuman dan pandangannya lebih menyerupai senyuman dan pandangan seorang psikopat.

Seongwoo menghela nafas berat, memutuskan untuk mengakhiri percakapan itu saat itu juga,"baiklah, aku berikan contoh singkat saja y—"

"KANG DANIEL! BERHENTI!"

Kedua pemuda yang sedari tadi sibuk berbincang itu dibuat terkejut dengan seruan melengking yang memekakkan telinga. Es krim Jaehwan jatuh saat dirinya terlonjak dan si empunya terlihat sangat syok saat mendapati miliknya sudah berada di atas rumput dan tak berbentuk. Untung saja milik Seongwoo sudah habis dan dicerna baik dalam perut sehingga dia tidak perlu menghadapi nasib naas yang serupa. Seongwoo mencari-cari arah sumber suara, mencoba untuk melihat apa yang sudah berani mengganggu perbincangan serius mereka—walau sebenarnya, dia juga bersyukur karena dirinya tidak perlu melanjutkan perkataannya.

Tidak memakan waktu lama bagi pemuda tersebut untuk menemukan pemandangan aneh dari sudut tenggara. Seongwoo melihat sosok dua pemuda yang tengah berlari dengan kecepatan tinggi. Pemuda kedua yang berada di belakang sosok pemuda pertama terlihat sekarat walau dia masih berusaha keras untuk berlari—tampaknya dia sedang mengejar orang yang berlari di hadapannya itu yang bernama—

"—Kang Daniel?" Seongwoo mengeja nama itu di lidahnya. Rasanya ada sesuatu yang tidak asing dari nama itu.

Tapi apa?

Seongwoo yang sibuk dalam dunianya dikejutkan sekali lagi dengan Jaehwan yang menusuk pinggangnya keras dengan sikut. Lelaki yang tidak sudi dikejutkan untuk kedua kalinya itu baru saja ingin membuka mulut untuk protes namun seruan Jaehwan membuatnya bungkam.

"Laki-laki itu berlari ke arahmu, hyung!"

Jaehwan menolehkan kepala Seongwoo paksa dengan tangan yang berada di bawah dagu miliknya. Mau tidak mau, Seongwoo membelalakkan mata saat sosok 'Kang Daniel', pemuda jangkung dengan pundak lebar yang memiliki rambut berwarna dirty blonde dan sekujur tubuh yang dibasahi peluh keringat sehingga kemeja putihnya merekat pada kulit memang benar tengah berlari ke arahnya dan menatapnya intens.

Apa-apaan tatapannya itu? Dia terlihat ingin menelanku hidup-hidup!

"Astaga—apa-apaan- Ayo lari!" Seru pemuda yang dijadikan target itu panik sembari mendorong punggung temannya yang malah semakin terpaku dengan pemandangan di hadapannya. Namun, reaksinya itu ternyata cukup lamban sehingga dirinya tidak bisa lari dari tempat itu tepat waktu saat satu telapak tangan besar nan kuat mencengkeram lengannya dan menarik tubuh miliknya ke belakang.

Jaehwan hanya dapat menatap ngeri dengan mulut yang terbuka membentuk huruf 'O'.

Seongwoo menoleh cepat, kedua matanya bergerak liar tidak tenang. Telapak tangan kirinya sudah mengepal kuat dan dia siap melayangkan tinjunya,"hei—apa yang kau lakukan?! Lepas—"

Saat ia akhirnya melayangkan tinjunya, Daniel menangkap kepalan tangannya dengan sangat mudahnya sebelum dirinya memutar tubuh Seongwoo untuk berhadapan dengannya. Nafasnya yang memburu menghempas wajah Seongwoo yang berjarak dekat dengannya, kedua tangannya mencengkeram lengan pemuda yang menatapnya takut dan marah itu dengan kuat. Seongwoo sendiri semakin khawatir dibuatnya, dia nyaris saja menendang selangkangan Daniel kalau saja pemuda berambut terang itu tidak mengatakan—lebih tepatnya menyerukan—sesuatu yang benar-benar mengejutkan.

"Hyung, aku mencintaimu. Jadilah kekasihku!"

BRAK!

Pemuda yang tadi mengejar Daniel terjatuh mencium rumput saat tali sepatu kanannya yang lepas terinjak kaki kiri.

Jaehwan melongo.

"Jadi begitu…contoh pernyataan perasaan yang penuh keyakinan dan determinasi?"

.

.

.

"HAH?!"

.

.

.

Dan petualangan seorang Ong Seongwoo yang belum pernah mengenal cinta pun…dimulai…?


A/N :

Akhirnya kesampaian juga bikin FF OngNiel. Sebenarnya cerita ini sudah di publish di wattpad. Bisa di search kok di profil saya, tinggal cari TheLazyFool (uname saya disitu) terus scrolling works saya deh hehe. Dan kayanya bakal coba di selesaiin di wattpad dulu aja baru disini.

Anyway mind to review?