Kalau kata orang; cinta bisa datang tiba-tiba.

Benar juga, kalau Taeyong pikir-pikir ulang. Pemuda berambut putih abu itu menutup kelopak matanya yang lelah, pernyataan tersebut tentunya sedikit banyak merupakan kontradiksi dari 'tak kenal maka tak sayang'.

Ia mendengus, hujan deras begini saja kenapa harus berpikir topik yang berat? Ditambah, prakiraan cuaca tadi pagi tidak mengatakan bahwa hari ini awan akan menangis.

(Apalagi bukan menangis, tapi juga meraung. Sudah menghitung berapa kali petir meledek ke arahnya karena kurang beruntung hari ini?)

Bau petrikor belum menyeruak sepenuhnya, memang, toh hujan belum berhenti menitik. Lantas apa yang harus ia lakukan sekarang?

Taeyong mengintip langit di depan halte bus berwarna hijau kelam itu, langit sedikit gelap namun tak terlalu hitam menerkam. Ini sudah memasuki musim gugur, mengapa hujan turun gerangan?

Sebenarnya ada payung di tasnya, hanya saya Taeyong tidak ingin mengambil resiko pulang dengan seragam terpercik hujan sampai bisa digolongkan basah, lebih baik pemuda itu menunggu sebentar lagi.

(Biasanya disaat seperti, sekitar dua tahun yang lalu, ada orang lain yang akan menawarinya payung dan berkata, hei, ingin pulang bersama?)

(Sudah lampau benar. Memoar Taeyong menangis.)

Kalau langit saja sudah menutup mata batin seperti ini, mana mungkin keajaiban semacam itu akan datang dengan sendirinya? Taeyong menggeleng kecil, tangannya sudah memegang gagang payung hitam dan berancang-ancang membukanya.

Netra hitam gelapnya mengerjap sedikit― kali ini, hujannya sangat bersih, bening. Tak bernoda, tak keruh.

Atau ia yang melebih-lebihkan? Taeyong harus pulang, ia mulai merasa tolol karena banyak pemikiran tak perlu berpapasan dan menyapa di otaknya.

Sampai ada tepukan pelan di bahu kanannya.


"Tak sangka akan bertemu denganmu disini― kenapa baru pulang?"

Taeyong kenal benar pemuda jangkung di depannya. Jangan sangka ia memalingkan wajah karena ditegur sapa oleh orang asing, justru familiar sekali dirinya dengan sosok di depannya ini.

Ia sekilas dapat melihat rasa hesitat dalam netra pemuda di depannya ketika Taeyong tak ingin menatap matanya secara langsung, tapi Taeyong memutuskan untuk pura-pura tak tahu.

"Kerja kelompok,"

Taeyong buru-buru melanjutkan, karena ia melihat si pemuda Jepang itu akan membuka mulut untuk bertanya perihal kelompoknya, atau lainnya, "kalau kau?"

"Oh," Yuta sedikit terenyuh, ia bisa merasakan bahwa Taeyong menghindarinya sedikit secara verbal, dalam hal ini. Tak lama lagi mungkin pemuda itu akan kabur juga, "kegiatan klub, kau tahu?"

Hati Taeyong tak merasakan lagi sakit ketika melihat Yuta memancarkan senyumnya yang besar dan menenangkan, mengangkat tali sepatu olahraganya yang sudah pasti digunakan untuk menendang bola ke gawang; kemudian semua orang akan menyoraki Yuta, anggota klubnya akan memukul bahunya dan bersorai kencang.

Kenapa Taeyong tahu? Oh, mudah, dulu Taeyong salah satu yang berteriak paling keras untuk Yuta di kursi penonton, paling depan, sampai suaranya habis, dan keesokan harinya Yuta dan dirinya akan pergi memakan es krim, kata Yuta, maka suara kita akan sama-sama habis.

Taeyong akan tertawa, dan memaksa Yuta membayar pesanannya. Kemudian mereka sering kali menghabiskan waktu di taman, atau balai pustaka, sering kali penjaga perpustakaan memukul kepala Yuta yang justru menumpang tidur, dan Taeyong akan terkekeh lagi.

"Taeyong?"

"Apa?"

Jemari Yuta ingin meraih pelupuk matanya, "kau menangis,"

Di bawah atap hijau tua yang menaungi mereka, Taeyong menepis tangan Yuta,

―berlari lagi dari kenyataan.


Gw mau mandiiiii.