RUNAWAY
(PELARIAN)
HUNKAI
NOVEL ASLI KARYA RL STINE
Warn
1. Setting cerita berada di amerika
2. Kai adalah Nama samaran Jongin
Don't forget to review this story
Chap 1
SELAMAT DATANG DI SHADYSIDE
Sambutan tersebut tertulis pada papan di hadapannya. Kegelapan telah menyelimuti sore saat Kim Jongin melihat papan tersebut. Awan pekat tergantung rendah di langit, mengancam akan membuatnya basah kuyup sekali lagi.
"Shadyside," bisiknya. Nama yang asing di telinganya.
Ia menyapukan tangan ke celana jeans-nya, tapi tidak banyak membantu. Ia basah kuyup dari ujung rambut ke ujung kaki. Celana jeansnya terasa berat dibebani air hujan. Sepatu sneaker-nya terasa lunak dan berair. Rambut hitamnya yang sudah sepanjang tengkuk meneteskan air sedingin es kepunggungnya.
Jongin berusaha memandang ke balik papan SELAMAT DATANG tersebut. Ia melihat sebuah jembatan, membentang di atas sungai yang mengalir deras, menyapu dedaunan dan patahan cabang pohon.
Jongin memindahkan ransel merahnya yang berat di bahunya. Ia menarik topi pet biru laut lebih rendah untuk menutupi matanya yang sehitam langit malam.
Shadyside.
Jongin menyukai nama itu. Mungkin aku akan aman di sini, pikirnya. Mungkin aku bisa membuka lembaran baru di Shadyside.
Ia merasa bagai ada yang mengganjal di tenggorokannya. Ia tidak ingin memulai hidup baru. Ia ingin pulang. Pulang ke rumah tempat teman-teman dan orang-orang yang menyayanginya.
Tapi tidak bisa. Ia tidak akan pernah bisa pulang. Tidak setelah apa yang sudah dilakukannya.
Jangan menangis lagi, Jongin, perintahnya sendiri. Kau sudah telanjur basah. Ia berbalik dan menatap ke arah yang berlawanan.
Apa Shadyside layak dicoba—atau sebaiknya ia meneruskan perjalanan?
Jongin berharap bisa melupakan apa yang telah terjadi. Melupakan segalanya dan semua orang dari masa lalunya. Memulai dari awal lagi. Tapi kenangan tidak akan pernah lenyap. Laboratoriumnya, Kabel-kabelnya, Para dokternya,
Terutama Dr. Shanks. Janggut ubanannya yang berminyak dan suaranya yang keras.
Jongin teringat saat pertama kali mereka bertemu. Mereka membimbingnya masuk ke dalam laboratorium. Lampu-lampu neon yang terang benderang menyakiti matanya.
Mereka mendudukkannya di sebuah kursi kayu bersandaran tegak. Kursi paling tidak nyaman yang pernah didudukinya.
Mereka mengerumuninya. Bekerja, bekerja, dan bekerja.
Seorang pria kurus berkacamata menempelkan elektroda-elektroda berperekat di keningnya. Kabel-kabel hijau, hitam, merah, biru, dan kuning menghubungkan elektroda-elektroda tersebut dengan sebuah terminal komputer besar. Para asisten meneriakkan perintah terus - menerus.
"Uji coba modul empat," kata seorang wanita beruban yang mengenakan mantel putih.
"Modul empat laksanakan," jawab pria kurus berkacamata. Ia menceklek sebuah sakelar, dan salah satu mesin mengeluarkan bunyi "bip" yang keras dan berirama. "Denyut tujuh puluh sembilan, tekanan darah satu-dua puluh."
"Apa itu bagus?" tanya Jongin.
Tidak ada yang menjawab. Selalu begitu. Mereka selalu tidak mengacuhkan pertanyaannya.
Pria kurus berkacamata tersebut meletakkan sebuah meja di depan Jongin. Asisten yang lain mendorong kursinya.
"Beritahu Dr. Shanks, subjek telah siap," kata wanita berubantersebut.
"Namaku Jongin," katanya mengingatkan mereka. "Kenapa kalian tidak pernah mau menyebut namaku?"
Wanita beruban tersebut tidak memedulikannya, tidak mengatakan apa-apa. Ia meraih sebuah clipboarddan mulai mencatat.
"Ejaannya J-O-N-G-I-N," kata Jongin dengan nada menggerutu.
Wanita beruban tersebut berhenti mencatat dan menatapnya.
"Apa aku terlalu cepat?" ejek Jongin. Wanita tersebut meletakkan pensil danclipboardlalu meninggalkan ruangan.
Beberapa detik kemudian, seorang pria botak berjanggut tebal berderap masuk ke dalam ruang periksa, mantel putihnya melambai - lambai seiring setiap langkahnya. Tingginya lebih dari 180 cm dan berperut besar. Hidungnya panjang dan bengkok. Matanya dalam.
Mata yang marah, pikir Jongin. Tidak ada tawa di sana. Cuma kehampaan besar, dingin, dan gelap.
"Jongin," kata pria tersebut, melipat lengan di dada."Bagaimana kabarmu hari ini?"
"Baik."
"Bagus. Namaku Dr. Shanks. Aku yang menjalankan percobaan tahap ini. Tidak seperti Dr. Cooper, aku tidak akan mentoleransi kesinisan apa pun. Kau harus mengerti, Jongin. Kau datang kemari bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk mengajar. Kami perlu belajar darimu. Jadi kau harus mengosongkan pikiranmu dan berkonsentrasi. Kalau kau menolak untuk mematuhi satu peraturan sederhana itu, kau akan diusir dari Ridgely College ini. Jelas?"
Kemarahan meledak dalam diri Jongin. Memangnya orang ini siapa? Mereka yang lebih memerlukan aku daripada aku memerlukan mereka.
Jongin menatap lurus ke mata cekung Dr. Shanks. Pria tersebut tidak bergerak. Ia balas menatap Jongin.
"Kau harus belajar mengendalikan bakatmu. Kalau tidak, kau bisa membahayakan jiwa orang lain dan dirimu sendiri."
Jongin menggigil. "Aku mengerti," jawabnya kemudian.
"Bagus. Mari kita mulai." Dr. Shanks mencabut sebatang pensil dari saku mantelnya dan meletakkannya di atas meja di depan Jongin.
"Coba geser pensil ini."
"Apa?"
"Geser pensil ini," ulang Dr. Shanks.
"A—aku tidak yakin kalau bisa," kata Jongin. Ia mendengar bunyi "bip" dari mesinnya meningkat seiring dengan kecepatan jantungnya. Telapak tangannya mulai berkeringat.
"Itu tidak masuk akal," jawab Dr. Shanks. "Geser pensil ini!"
"Aku tidak bisa, tahu!"
Dr. Shanks menggebrak meja. "Apa yang baru saja kukatakan padamu? Ini bukan permainan. Ini bahkan bukan uji coba. Ini hidupmu, bocah!"
"Jangan membentakku!" jeritnya.
"Aku tidak bisa berbuat apa -apa! Aku bukan salah satu mesin bodohmu itu! Kau tidak bisa menghidupkan atau mematikanku seenakmu! Pergi kau!"
Dr. Shanks menghela napas dalam. Ia membungkuk di atas meja, memegang kedua tepi meja. Ia membungkuk begitu dekat hingga Jongin bisa merasakan napas pria tersebut mengembus wajahnya. Baunya campuran antara bawang putih dan permen.
"Anak kecil, entah kau tahu atau tidak, kau dikaruniai salah satu bakat paling luar biasa di muka bumi ini. Sebaiknya kau bekerja sama dan memusatkan perhatian. Kalau tidak, sudah menunggu orang-orang yang akan melakukan uji coba yang jauh lebih sakit daripada ini. Jelas?"
Jongin ingin mencabuti elektroda-elektroda dari keningnya, yang menyebabkan kulitnya terasa gatal, dan melarikan diri dari laboratorium. Tidak, katanya sendiri. Aku harus kuat. Aku harus mencobanya.
Karena ia tahu Dr. Shanks tidak berbohong. Ayahnya telah mengatakan hal yang sama—sederet panjang dokter telah menunggu untuk menguji bakat anehnya. Shanks bukanlah yang paling buruk.
Ia menatap pensil di meja.
"Konsentrasi," kata Dr. Shanks memerintah.
Jongin memusatkan perhatian pada pensil tersebut. Pada penghapus merah mudanya. Warna kuning pensil itu. Ujungnya yang tajam dan hitam.
Di latar belakang, bunyi "bip" terdengar semakin cepat. Jantung
Jongin berdebur dalam dadanya. Penuh kemarahan. Penuh ketakutan.
Lakukan, katanya sendiri. Lakukan saja.
"Kau tidak memusatkan perhatianmu!" bisik Dr. Shanks.
Tapi justru itu yang sedang dilakukannya. Jongin melontarkan seluruh energinya ke pensil tersebut. Dan ia merasakan sesuatu.
Sesuatu yang bertumbuh dalam dirinya. Menggembung perlahan - lahan, seperti sebuah balon.
"Konsentrasi," ulang Dr. Shanks.
Suara pria tersebut menancap jauh ke dalam otaknya. Kekuatannya bertambah berusaha makin bunyi "bip" pada mesin semakin cepat dan semakin cepat. Jongin merasakan darah mengalir deras dalam pembuluhnya.
"Detak jantung satu-sepuluh," terdengar suara seseorang, entah dari mana. "Tekanan darah satu-delapan."
Kuku-kuku Jongin menancap ke dalam tangannya sendiri. Lalu tangannya terasa lembap, mungkin keringat—atau darah.
"Konsentrasi," ia mendengar suara itu lagi. Suara dokter itu.
Suara musuh.
Bunuh musuh itu.
Kekuatan tersebut bagai meledak dalam benak Jongin. Seketika pensil tersebut menjadi bagian dari kehendaknya. Dan ia tahu persis apa yang ingin dilakukan dengan pensil itu.
Pensil tersebut bergerak-gerak. Perlahan-lahan berputar di meja, ujungnya mengarah ke Dr. Shanks.
Dalam benaknya, Jongin mencengkeram pensil tersebut sekuat tenaga. Pensil itu tidak lagi bergoyang-goyang, tapi terangkat beberapa inci dari meja, melayang, seakan menunggu perintah.
Sekarang, pikirnya. Lakukan!
Ia yang menyebabkannya. Ia memaksa seluruh kemarahannya, ketakutannya, dan frustasinya ke dalam batang pensil itu. Ia tahu kalau perbuatannya salah. Tapi tidak bisa menahan diri.
Jongin mengincar satu-satunya sasaran yang bisa dilihatnya, dan melontarkan pensil tersebut sekuat tenaga. Jongin menjerit seiring dengan usahanya. Rasanya seperti melontarkan sebatang tombak raksasa. Berhasil! pikirnya. Ya!
Lalu ia mengawasi pensil tersebut melesat ke seberang ruangan—ke arah mata kiri Dr. Shanks.
Jongin merasa bagai dicekik. Ia memejamkan matanya, tidak tega untuk menyaksikan. Tidak mampu melihat bagaimana pensil tersebut menembus bola mata Dr. Shanks.
"Jongin!" ia mendengar Dr. Shanks melolong.
Jongin menggeleng-geleng, matanya masih tetap terpejam rapat.
"Jongin!" panggil Dr. Shanks sekali lagi. Jongin merasa seseorang mencengkeram bahunya, menahannya agar tetap duduk.
"Tidak!" jeritnya. "Aku tidak sengaja! Tidak sengaja!"
"Aku tahu!" seru Dr. Shanks. "Hebat, bukan?"
Apa katanya? pikir Jongin.
"Buka matamu, Jongin," desak dokter tersebut, suaranya terdengar penuh semangat.
Apa yang terjadi? Kenapa ia tidak kesakitan?
Perlahan-lahan, Jongin membuka matanya.
Dr. Shanks berdiri di hadapannya—menyeringai. Matanya baik-baik saja. Tidak ada pensil yang tertancap di sana. Tidak ada darah dan cairan yang mengalir di wajahnya.
"Lihat perbuatanmu!" perintah Dr. Shanks. Ia menunjuk ke pensil yang tertancap di papan pengumuman di belakangnya.
"Apa...?" Jongin hampir-hampir tidak mampu berbicara.
"Kau hampir saja membunuhku!" seru Dr. Shanks. "Cuma meleset satu inci! Hebat, bukan?"
Gelombang kelegaan menyapu Jongin.
Ia tidak membunuhnya.
Ia tidak membunuhnya.
Tapi tadi aku ingin membunuhnya, pikir Jongin. Aku ingin pensil itu merobek matanya.
Perutnya terasa melilit karena pikiran tersebut. Tidak! Itu tidak benar. Ia bukan seorang pembunuh! Pasti kekuatannya. Kekuatannya yang menimbulkan keinginan untuk menyakiti dan merusak.
Kekuatannya benar-benar jahat.
"Kau lihat seberapa dekat kau hampir menusukku?" tanya Dr. Shanks.
Rasa antusias Dr. Shanks membuat Felicia muak. Ia hampir saja membunuh dokter itu—dan dokter itu justru merasa gembira!
"Aku tahu kalau kau bisa melakukannya. Aku sudah tahu!
Bayangkan apa yang bisa kaulakukan kalau kau belajar mengendalikan kemampuanmu dalam melakukan telekinesis. Bayangkan!"
Telekinesis.
Jongin gemetar mendengar kata itu.
Kedengarannya seperti penyakit, bukan kekuatan untuk menggerakkan benda-benda dengan pikirannya. Itu tidak indah, apalagi berkat. Ayahnya telah membuktikannya. Kekuatan tersebut cuma menimbulkan kesengsaraan...
Jongin menggeleng. Jangan pikirkan lagi, katanya sendiri.
Laboratorium di Ridgely College sekarang sudah sangat itulah yang ia inginkan. Tidak ada lagi percobaan. Tidak ada lagi elektroda. Tidak ada lagi Dr. Shanks.
Sekarang cuma adaShadyside, dan masa depan. Ia cuma perlu menyeberangi jembatan di depannya.
Sebuah mobil mengklakson dari belakangnya. Jongin berputar, matanya terbelalak.
Cahaya lampu depan yang terang benderang bagai meledak didepan matanya. Ia mendengar gemeretak roda menginjak kerikil.
Jongin menjerit.
Mobil tersebut melesat tepat ke arahnya!
Ia menyadari kalau tidak punya kesempatan menghindar.
Tidak sempat bergerak!
MOBIL tersebut meraung-raung ke arahnya, roda-rodanya terkunci karena selip.
"Berhenti!" teriak Jongin.
Tapi mobil tersebut terus mendekat. Gelombang kerikil berhamburan ke atas tergencet roda-rodanya.
Mobil tersebut berhenti hanya beberapa inci darinya. Jongin diam terpaku di tempatnya, seluruh tubuhnya gemetar.
Ia menatap mobil tersebut, sulit untuk percaya mobil itu tidak menabraknya.
Mobil tersebut mengilat bahkan dalam keremangan saat itu. Warnanya merah cherry. Dan besar. Sebuah GTO. Mesinnya menderum keras. Marah. Kaca jendela sisi penumpang bergerak turun. Jongin beringsut maju, dan mengintip ke dalam.
"Caramu bunuh diri hebat juga," kata seseorang dengan suara berat dari dalam mobil. Mula-mula Jongin tidak bisa melihat pengemudinya. Lalu orang tersebut membungkuk ke jendela. Rambut pria tersebut berwarna biru, dengan tubuh tegap dan agak pendek. Sewaktu tersenyum, tampak gigi-giginya yang telah berwarna putih rapi.
"Dua atau tiga inci lagi kau pasti mampus," katanya.
"Ma—maaf," kata Jongin. Jantungnya masih berdebar kencang.
"Aku tidak mendengar kedatanganmu."
Pria tersebut menaikkan salah satu alis matanya dan menderumkan mesin mobilnya."Kau tidak mendengar mesin ini?" tanya pria tersebut dengan nada ragu - ragu.
Jongin mengangkat bahu. "Kurasa aku sedang melamun."
Tatapan pria tersebut menyusurinya dari kepala hingga kaki.
"Kau perlu tumpangan." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
Hawa dingin merayapi tulang punggung Jongin. Apa ia memerlukan tumpangan? Tentu aja. Ia membeku. Apa ia mau menumpang pria ini? Ia tidak yakin.
"Naiklah," kata pria tersebut.
"Aku tidak tahu..."
"Kalau kau tidak mau naik, aku tidak akan meminta maaf karena hampir menabrakmu. Bye."
Pria tersebut memasukkan gigi persneling.
"Tunggu!"
Pria tersebut berpaling, ekspresi wajahnya mengatakan kalau ia telah menduga tindakan Jongin. Well... udaranya memang benar-benar dingin, pikir Jongin.
"Oke," katanya kemudian. "Permintaan maaf diterima."
"Hebat," gumam pria tersebut. "Masuk saja."
Jongin pun masuk ke dalam mobil, meletakkan ranselnya di sela kakinya di lantai.
Pengemudi mobil tersebut menginjak pedal gasnya dalam -dalam, dan mobil melompat masuk ke jembatan dengan ban berdecit.
Ia mempercepat laju kendaraan sewaktu mereka tiba di jalanan beraspal di sisi seberang jembatan.
Jongin bergegas mengenakan sabuk pengaman.
"Kau punya nama?" tanya pria tersebut.
"Kai," jawabnya, dia sudah memikirkan nama ini sepanjang pelariannya. Ia mengamati pria tersebut dengan teliti sementara pria itu mengemudi. Pipi pria tersebut terlihat memiliki berapa bekas luka. Matanya dalam. Lengan-lengannya besar berotot. Tato berbentuk kawat berduri melingkari lengannya dari pergelangan hingga ke siku, dengan tetesan-tetesan darah mengalir dari luka palsu.
Ini bisa jadi kesalahan besar, pikir Jongin.
"Namaku Donghae," gumam pria tersebut.
"Teman-temanku memanggilkuHomicide." Ia meringis. "Tapi kau tidak perlu. Belum perlu."
Jongin balas tersenyum. Sulit dipercaya aku berada satu mobil
dengan pria bernama "Pembunuhan" (Homicide), pikirnya. Sebaiknya aku tidak membangkitkan kemarahannya. "Hebat juga. Kenapa mereka memanggilmu begitu?"
Tawa Donghae meledak. "Karena aku seorang pembunuh!"
Jongin membeku.
"Apa?" tanyanya pelan.
"Cuma bergurau," gumam Donghae.
Jongin tersenyum gugup. Ia tidak yakin kalau pria tersebut hanya sekadar bergurau.
"Eh, Donghae?" Jongin menelan ludah. "Bisa aku turun di sini saja?"
Ia sulit percaya suaranya bisa terdengar setenang itu. Ia merasa ketakutan setengah mati.
Donghae memelototinya. "Ada apa?" katanya.
"Well... kurasa hujan sudah berhenti. Aku ingin berjalan kaki."
"Tunggu sebentar." Donghae merapikan jambul rambutnya hingga membentuk ujung yang lancip. "Aku cuma ingin memperjelas ini sejelas-jelasnya. Kau meminta bantuanku, memaksaku menawarkannya, bersikap seakan-akan kau layak mendapatkannya, dan sekarang inikah balasanmu? 'Berhenti, Donghae, aku sudah tidak memerlukan dirimu lagi'?" Donghae mencibir dan Jongin menyurut kepintu mobil.
"Maafkan aku, Donghae," kata Jongin. "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku tidak memintamu berhenti—"
"Bohong. Kau memaksaku menghentikan mobil!" Donghae menjejalkan tangan ke bawah kursi mobilnya dan mengeluarkan sebatang pisau lipat otomatis. Klik! Mata pisau sepanjang enam inci pun terlontar keluar.
"Donghae!" jerit Jongin. "Letakkan pisaumu! Kumohon letakkan!"
"Sekarang kau mengerti dari mana asalku," jawab Donghae.
"Benar, bukan?"
Jongin tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pisau lipat itu. Tangannya merayap ke tombol pintu, tapi mobil tersebut melesat semakin cepat.
Terlalu cepat. Aku tidak bisa meloncat keluar dengan kecepatan seperti ini!
Tapi ia harus melarikan diri. Harus bertindak. Apa pun.
Oh tidak... Aku berjanji tidak akan menumpang lagi. Tidak akan pernah selamanya!
Jantung Jongin bagai menggedor-gedor tulang rusuknya.
Napasnya tertahan di dada.
"Donghae?" bisiknya. Suaranya terdengar gemetar. "Kenapa kau punya pisau?"
Donghae mencibir dan menginjak pedal gas semakin dalam. Mobilpun melesat semakin cepat.
"Donghae—hentikan!" jerit Jongin. "Apa-apaan kau?"
"Aku sudah memberimu tumpangan," kata Donghae kepadanya.
"Sekarang kau harus membayarnya."
"Kau ini bicara apa?!" tanya Jongin. Ia merasa bagai dicekik.
Donghae mencibir. "Kau bisa turun, Kai," katanya. "Tapi tinggalkan dompetmu."
Donghae menatapnya keheranan. "Ta—tapi aku tidak punya uang," katanya.
"Well, memalukan," kata Donghae. "Tapi, kalau begitu, kurasa aku tidak harus mengizinkanmu turun." Ia menarik lengannya, mengayun -ayunkan pisaunya dengan sikap mengancam.
Jongin merasa ada yang terusik dalam dirinya.
Sesuatu yang bertambah besar... kekuatannya. Menggelembung seperti sebuah balon. Siap untuk meledak. Kuku-kuku jemarinya menancap ke dalam lapisan kain mobil dan ia melesak makin lama makin masuk ke dalam kursi. Ia tidak boleh melepaskan kekuatan itu. Tidak di sini. Bukan sekarang. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi?
Kekuatan tersebut terus bertambah besar. Ia tidak mampu mengendalikannya lebih lama lagi.
Tidak! pikirnya dengan perasaan putus asa. Paksa kembali!
Tapi sebuah bayangan tergambar dalam benaknya. Begitu jelas dan kuat. Bayangan pisau lipat otomatis di tangan Donghae melayang ke kursi belakang. Bayangan telapak tangan Donghae kembali memegang kemudi, dan mencengkeramnya kuat-kuat. Menyentaknya ke kiri.
Bayangan Donghae mengemudikan mobil memasuki jalur lain.
Tidak! Jangan biarkan terjadi! Kau akan mati!
Tapi ia membayangkan semuanya: pisau melayang, mobil meliuk tajam, logam melesak di sana-sini, kaca pecah berantakan, darah di mana-mana.
Kejadiannya berlangsung begitu cepat.
Dengan kilasan cahaya baja yang mengilat, pisau tersebut melesat lepas dari tangan Donghae.
Jongin mendengar Donghae menggerung terkejut. Ia menyentakkan kemudi ke kiri. Mobil tersebut pun melesat melintasi garis kuning.
Jongin melihat sebatang pohon mendekat dengan cepat, semakin besar, dan semakin besar.
Tidak! Kami akan mati! Kami berdua akan mati. Terlambat.
Mobil tersebut menghantam pohon dengan kecepatan penuh!
Jongin terlontar ke depan, sabuk pengamannya menekan perutnya.
Terdengar suara logam membentur.
Kaca depan pecah.
Kepala Jongin menghantam kembali ke kursi. Darah yang hangat dan asin terasa memenuhi mulutnya. Lidahku, pikirnya. Aku sudah menggigit lidahku sendiri tanpa sengaja.
Jongin bisa mendengar penghapus kaca berayun-ayun menyapu secara teratur. Tidak terdengar suara lain lagi. Tidak juga dari pria disebelahnya.
Perlahan-lahan, ia membuka mata.
Ia menatap ke balik kaca depan, ke kap mesin mobil yang ringsek di depan batang pohon. Bagian depannya robek. Uap berdesis keluar dari radiator.
Jongin berpaling memandang Donghae. Cowok tersebut menyandar lemas ke kemudi, darah mengalir dari luka yang dalam di dahinya, melewati hidung dan dagunya, turun ke kemudi.
Lengannya terjuntai lemas. Tato kawat berduri di pergelangannya tampak lebih nyata lagi karena darah segar yang membasahinya.
Jongin menggigil. Apa ia masih hidup? Dengan hati-hati ia mengulurkan tangan dan menyodok tulang rusuk Donghae. Seluruh otot di tubuhnya menegang. Ia mengira Donghae akan meraung bangkit dan mencekiknya.
Tapi Donghae tidak bergerak.
Jongin membungkuk lebih dekat.
Itu dia—ia melihat dada Donghae bergerak naik. Ia masih bernapas, pikir Jongin. Ia masih hidup.
Aku tidak membunuhnya.
Tapi tadi kau ingin membunuhnya, bisik suara hatinya. Kau sudah pernah membunuh—di Ridgely. Sekarang terasa mudah. Kau tahu betapa mudahnya untuk membunuh seseorang.
Kau tadi ingin Donghae melayang menerobos kaca depan dan menghantamkan kepalanya ke batang pohon itu, dan kau hampir saja membuatnya terjadi. Benar, bukan?
Tidak penting, kata Jongin pada dirinya. Kalau tidak kuhentikan, ia pasti akan menusukku.
Donghae mengerang.
Jongin harus keluar dari sana. Sekarang.
Ia menanggalkan sabuk pengamannya dan menarik tangkai pintu. Pintunya tidak bergerak.
"Oh tidak," bisiknya. "Ayo."
Ia menghantamkan bahunya ke pintu. Tidak terjadi apa-apa. Ia mencoba lagi, lebih kuat. Tetap tidak terjadi apa-apa.
Lalu ia teringat pada jendelanya. Kacanya meluncur turun dengan mudah.
Jongin menyambar ranselnya dari lantai, menarik topibaseball-nya lebih rendah di kepala, dan merangkak keluar. Ia mengamati kerusakan mobil dan menggigil.
Deruman mobil menarik perhatian Jongin. Ia berbalik ke jalan dan melihat kilasan cahaya sekitar setengah mil jauhnya dan mendekat dengan cepat. Lampu depan mobil!
Ia melesat ke tepi jalan dan melambai-lambaikan tangan sekuat tenaga. "Berhenti! Kumohon, berhenti!"
Ia mendengar erangan dari dalam mobil.
"Ooooh, apa yang sudah kaulakukan?" kata Donghae. "Apa yang sudah kau lakukan?"
"Tolong!" jerit Jongin. Ia melambai-lambaikan tangannya lebih cepat. "Tolong!"
Sorotan lampu depan mobil semakin dekat.
Erangan Donghae terdengar semakin keras.
Jongin mendengar suara memukul-mukul dari mobil. Donghae ingin keluar, ia tahu. Donghae ingin keluar dan mengejarnya. Kalau mobil itu tidak mau berhenti...
Ia melangkah ke jalan, ke jalur mobil tersebut. "Tolong aku! Berhenti! Berhenti!"
"Kau merusak mobilku!" erang Donghae.
"Mobilku yang bagus. Akan kubunuh kau!"
Kepanikan mencengkeram Jongin. Mobil di depannya mulai mengurangi kecepatan.
"Terima kasih," bisik Jongin. "Terima kasih, terima kasih, terima kasih."
"Akan kubalas kau, Kai," teriak Donghae, terdengar sedikit lebih kuat.
Jongin melirik ke mobil Donghae. Pemiliknya tengah berjuang keluar melalui jendela. Ia akan bebas dalam beberapa detik lagi.
Mobil yang lain berhenti. Jongin melesat ke sisi penumpang dan menarik tangkai pintunya. Terkunci.
"Buka!" lolongnya.
"Tunggu," kata pengemudinya, seorang cowok yang kurang- lebih sebaya dengan Felicia "Ada apa? Kau butuh ambulans?"
Ia menatap cowok tersebut dengan pandangan tidak percaya. Ia tidak punya waktu untuk tanya-jawab! Donghae sudah separuh keluar dari jendela mobilnya.
"Kumohon. Bu-ka-pin-tu-nya."
Cowok tersebut bergeming. "Orang itu butuh pertolongan," jawabnya.
"Dengarkan aku!" teriak Jongin. "Aku menumpang padanya dan ia mencoba menusukku!"
"Kau merusak mobilku! Akan kubunuh kau!" jerit Jongin.
Jongin berusaha untuk tetap tenang. Ia menatap lurus ke mata cokelat cowok di belakan kemudi tersebut. "Ia mencoba untuk merampas uangku. Aku cuma menyambar kemudinya dan menariknya," katanya menjelaskan. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi! Kau harus menolongku. Ia akan membunuhku!"
"Oke, oke," jawab cowok tersebut. "Naiklah. Kita pergi dari sini."
Ia membukakan pintu dan Jongin bergegas masuk. Ban-bannya mencicit di aspal basah saat mereka melesat pergi.
Jongin berbalik di kursinya dan melihat Donghae dari kaca belakang. Wajah Donghae mengerut marah, berteriak-teriak sambil mengejarnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya cowok di sampingnya.
"Yeah," jawab Jongin. "Sekarang aku baik-baik saja."
Ia berbalik kembali menghadap ke depan dan mengamati cowok tersebut dengan teliti untuk pertama kalinya. Cowok itu memiliki mata cokelat yang lembut dan rahang yang kokoh. Sudah satu atau dua hari ia tidak bercukur.
"Apa yang terjadi tadi?" tanya cowok tersebut.
"Sudah kukatakan," jawab Jongin. Ia tidak bisa menghentikan tangannya yang gemetar. Jadi ia mengepalkannya.
"Kau menumpang pada orang itu?"
"Hei, di luar sangat dingin," sergahnya. "Aku basah kuyup. Aku tidak punya banyak pilihan."
"Menumpang itu perbuatan yang bodoh," jawab cowok tersebut. "Tidak peduli seberapa kedinginan dirimu."
"Menurutmu begitu?"
"Lihat apa yang terjadi padamu," katanya. "Kau tidak tahu kalau, seandainya ia seorang psikopat."
"Ia mengaku bernamaHomicide—Pembunuhan," kata Jongin sambil menggeleng.
"Tidak mungkin!" jawab cowok tersebut. "Pembunuhan?"
"Yeah. Waktu itulah aku tahu kalau sudah terlibat masalah."
"Well, sekarang kau tidak apa-apa," kata cowok tersebut.
"Namaku Sehun. Cuma Sehun."
Jongin tersenyum. "Apa itu nama panggilanmu?"
Sehun tergelak.
Jongin mengulurkan tangan. "Aku Kai."
"Senang berkenalan denganmu, Kai." Sehun menyalaminya, genggamannya hangat dan mantap. "Kurasa ini bukan hari baikmu."
"Kurasa ini bukan tahun baikku," gumam Jongin.
Sehun tampak terkejut. "Seburuk itu?"
"Aku tidak ingin membicarakannya, oke?"
Sehun mengangkat tangannya. "Oke, oke. Sorry."
Jongin merasa tidak enak. Ia tidak bermaksud membentak Sehun.
Sehun membuatnya merasa nyaman. Ia ingin menceritakan dirinya pada Sehun. Tapi tidak bisa. Tidak kalau ia ingin tetap aman.
Jongin tidak bisa menceritakan tentang kekuatannya pada siapapun. Atau kejadian di hari yang mengerikan di Ridgely.
"Kau mau ke polisi?" tanya Sehun saat mereka melaju disepanjang River Road menuju ke Shadyside.
"Tidak!" semburnya, jauh lebih keras daripada yang diinginkannya. Jangan membuatnya curiga.
"Tapi orang itu sudah menyerangmu," kata Sehun.
"Yeah, tapi aku baik-baik saja. Ia sudah mendapat pelajaran."
"Oke," kata Sehun dengan enggan. "Itu urusanmu."
"Trims." Jongin melirik Sehun sekali lagi.
Ia berharap seandainya dirinya seorang anak sekolah biasa. Pulang ke rumah setelah kencan dengan Sehun.
Astaga. Dari mana ia bisa berpikiran seperti itu?
Well, Sehun memang benar-benar menggemaskan, pikirnya. Dan ia sudah menyelamatkan diriku dari orang gila itu.
Tapi ia tidak bisa mempercayai cowok itu. Ia tidak bisa mempercayai siapa pun.
Lolongan sirene membuyarkan lamunan Jongin. Ia berputar dikursinya. Lampu merah, putih, dan biru berkilau-kilau bergantian dibelakang mereka.
Jantungnya bagai melonjak ke tenggorokan.
Polisi!
Mereka sudah menemukan dirinya!
TBC
