Kurobas belongs to Tadatoshi Fujimaki
PEDOmine by Me
Warn! : YAOI, Typos, ooc, dan kekurangan lainnya. DLDR!
Chap 1 : Little Cat
.
.
.
Pria terkenal.
Katanya, seseorang bisa disebut pria ketika segala kehidupannya sudah terpenuhi secara maksimal dengan kerja keras sendiri. Dikagumi banyak kalangan, disegani dan dihormati. Dibutuhkan bukan membutuhkan.
Dan, Aomine Daiki, adalah salah satu orang yang sepakat disebut sebagai pria. Secara fisik dia mempunyai tubuh sangat bagus dan bisa membuat para wanita memimpikaknnya. Tidak sedikit yang membayangkan jika mereka dapat diperistri oleh kepala polisi bagian kriminal tersebut, tidak hanya itu dia juga mempunyai bakat sebagai detective dalam setiap kasus yang ditanganinya.
"Aomine-san, lapor! Ada pembunuhan di distrik 6. Kau harus turun tangan"
"Mulai oprasi."
"Siap!"
Dia seorang pria yang harusnya sudah berkepala tiga, usia berada di angka 31 pada Agustus nanti. Namun, sayangnya ia tidak peduli dengan sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa seorang pria jika sudah mapan diharuskan mempunyai pendamping hidup. Dirinya masih asyik memamer otot kotak di perut, masih semangat merealisasikan betapa sexi-nya dia dengan warna kulit gelap, dan yang utama ia masih hobi membuat wanita sakit hati.
Contoh, Momoi Satsuki, sekretarisnya yang sangat tergila-gila. Wanita cantik, berdada besar nan bohay itu sudah melamarnya berkali-kali tetapi, sekali lagi ia tidak tertarik dan hanya membuat pusing.
"Sakurai! Ambil jalan memotong!"
"S-siap! Aku minta maaf."
Selain pekerjaan dan title yang tidak perlu diragukan, kulit eksotis, tubuh penuh otot impian, masih ada Sesuatu dalam dirinya yang menciptakan wanita lupa diri yaitu, warna mata dan rambutnya. Percaya atau tidak,warna matanya dapat menyihir. Terlihat dingin memang tapi, ia orang yang cukup peduli. Terlebih lagi ketika orang yang dikenalnya disakiti.
"Aomine-san, kita sudah sampai."
Aomine menurunkan jendela mobil, melihat keadaan TKP, "Oh, sepertinya sudah banyak yang datang dan lagi banyak warga yang menonton. Sakurai, kau masuklah duluan bergabung dengan yang lain."
"Siap! Aomine -san , hati-hati."
Aomine turun dari mobilnya ketika Sakurai telah menghilang dari pandangan. Ia melipir masuk ke dalam kerumunan warga setempat.
"Mengerikan sekali, ya. Aku tidak menyangka keluarga ini akan berakhir mengenaskan." Segerumpulan bapak-bapak saling berbincang mengenai kejadiaan yang ada di depan mata mereka. Semuanya memasang wajah tidak menyangka.
"Ya, ya. Tapi kudengar ada satu anaknya yang selamat."
"Oh, kudengar juga begitu," seorang menimpalinya. "Apa ini semacam balas dendam seperti di film-film action?"
"Hah? Ada-ada saja."
Aomine menaikkan alis mendengar percakapan mereka. "Permisi, kalian tahu persis kejadiannya seperti apa?" tanyanya.
"Tidak, kami tidak tahu. Sepertinya pembunuhan ini terjadi malam hari."
Aomine mengangguk, memperhatikan rumah besar yang merupakan TKP. Tidak menanyakan lebih lanjut. Dia menunduk masuk melewati garis kuning.
"Aomine-san! Kami menemukan satu anak, sepertinya dia masih hidup, namun sekarang keadaannya kritis. Ada tembakan di kaki kanannya."
"Bawa dia langsung ke rumah sakit, Wakamatsu," katanya tegas. "Dia merupakan bukti dan saksi akurat."
"Siap, laksanakan!"
Aomine mengikuti Wakamatsu yang berlari ke dalam rumah besar tersebut. Terlihat semua anak buahnya bekerja dengan baik dan gesit. Memperhatikan sekeliling ruangan tamu dengan lantai yang dipenuhi darah. Dia menahan napas karena bau yang tak sedap, kemudian menaiki tangga menuju lantai atas.
Aomine memasuki salah satu kamar berharap menemukan beberapa barang bukti. Di sana sama aja seperti di bawah banyak darah berceceran tapi, tidak ada satu pun benda yang ia curigai sebagai alat bukti. Meski begitu, dia mengambil jam tangan dengan merek mahal yang tergeletak di atas meja lampu tidur.
"Lapor!" Sakurai berteriak lantang ketika Aomine sudah turun ke lantai bawah. "Aomine-san, semuanya sudah beres, mayat sudah di bawa ke rumah sakit kepolisian untuk segera di otopsi. Kami juga sudah mengamankan barang-barang yang kemungkinan bisa dijadikan bukti."
"Yos, kerja bagus," ucapnya. "Oh, ya. Kalian sudah memeriksa dapur?"
"Sudah, kami sudah memeriksa semuanya."
"Oke, tunggu di mobil. Aku ingin melihat dapur dulu."
Mereka pergi berlawanan arah.
Aomine berjalan limit-limit untuk memastikan semuanya terlihat. Ia melihat lukisan-lukisan indah yang tertempel di dinding. "Apa kubawa saja semua lukisannya, ya." Ia bergumam.
Klentranggggg!
Aomine menyerngit, lalu mengambil posisi bersembunyi, "Kucing, kah?" katanya pelan.
Diam-diam namun pasti ia membuka pintu dapur, tidak lama matanya membola. Benar, ada kucing kecil tidak berbulu sedang merampok isi kulkas. "O, o, o … kerja bagus sayang," katanya. Aomine memeluk kucing tersebut dari arah belakang, "Kutangkap kau."
Pihak yang dipeluk merinding sampai membuat telinganya memerah, kagetnya bukan main. Kini jantungnya sudah seperti kuda pacu, ia pun bisa dengan jelas mendengar detakannya. "Lepaskan aku!" teriaknya keras sembari meronta.
Aomine tidak perduli, masih memeluk kucing yang meronta itu dengan kuat.
"Ah, brengsek! Lepaskan aku!"
"Apa? Brengsek?" Aomine mengecup pundaknya. "Anak kecil sepertimu sudah bisa mengumpat, heh."
Dia menggeliat, "Lepaskan!"
"Akhhhhh! Sialan." Aomine mengusap tangannya yang tergigit, koyakan taring membekas dan mengeluarkan sedikit bercak merah. "Oke, juga," ia meringis. "Tidak salah aku menyebutmu kucing." Ia maju mendekati anak kecil yang sedang terpojok di samping kulkas.
"JANGAN MENDEKAT!"
JDOOOR!
Aomine diam di tempat, hanya mengedipkan mata. Peluru lewat membolongi seragamnya di bagian perut, jika tadi dia bergerak lebih ke samping kiri sedikit saja, entah apa yang akan terjadi.
Anak kecil itu masih menodongkan pistolnya tanpa takut ataupun gemetar. Aomine salut akan apa yang ia lihat. Dia memiliki rambut merah tua yang sangat kucel, tidak tahu sudah berapa lama rambut itu tidak di sisir. Ia tebak anak kucing itu usianya sekitar Sembilan tahun. Maniknya berkilat, tak kalah merah dengan surainya. Di sana tersirat begitu besar keinginanya untuk hidup, mungkin karena itu ia tak gentar sedikit pun.
Baju yang di pakai sangat tidak layak, bolong di mana-mana, pipinya kurus dan banyak lebaman. Aomine menyerngit ketika mata merah itu tak lagi menatapnya seperti hewan buas. Dia mengikuti arah pandangnya, dan ternyata anak itu sedang meratap sedih akan makanan yang berhamburan dari kantungnya. Terlebih lagi, ia menginjak dua potong roti sampai penyet.
Si kucing menggeretakkan gigi-giginya, memasang taring. Mengangkat pistol tepat ke arah kepala orang tua di hadapnnya. Aomine bergerak cepat dan menendang tangan kecil tersebut sebelum platuk siap di tarik. "Oi, jangan main-main dengan senjata api!" teriaknya sembari meringkus kuncing kecil tersebut supaya tidak lolos lagi.
"Lepaskan!"
"Tsk!" Aomine berdecih, mengambil ponselnya yang sedaritadi bergetar. "Halo?"
"Aomine-san, kau ke mana sebenarnya? Lama sekali."
"LEPASKAN!"
"Diamlah, bocah!"
"Hah, bocah?"
"Aku sedang menangkap kucing, sebentar lagi aku keluar."
"Hah! Aomi-"
Aomine menutup telpon secara sepihak. "Kenapa kau mencuri di rumah orang yang sedang terkena musibah?"
"Hah, karena ini waktu yang tepat," jawabnya tanpa ragu. "Penghuninya sudah mati, pasti makanan ini tidak ada yang memakan, jadi apa salah jika aku ambil."
Aomine tertawa keras, "Tentu saja, bodoh. Bagaimana pun alasanmu, mencuri itu salah satu tindakan kriminal walau hanya skala kecil." Ia mengambil pistol yang tergeletak, dan menempelkannya di kepala merah, "Apa kau takut?" tanyanya, ia memperhatikan intens bagaimana raut wajah bocah tersebut.
"Sama sekali tidak. Orang tuaku mati juga karena benda ini."
Aomine melebarkan iris. "Wow, menarik." Ia menurunkan pistolnya. "Oke, kutanya. Dari mana kau mendapatkan benda ini?"
"Ada di depan kulkas saat aku masuk," ia bertutur apa adanya.
"Apa!?" Aomine mendelik. "Kau merusak barang bukti." Lalu menghela napas.
"Mana kutahu."
Aomine menggandeng erat kucing kecil menuju pintu. "Sementara, kau ikut aku." Dan mahluk berambut merah hanya terdiam pasrah.
Aomine membuka pintu mobil dan melemparnya masuk sebelum ia mengikuti.
Sakurai yang tergaket langsung menengok ke kursi belakang. Pertama, ia memandangi bocah kucel itu, lalu beralih ke atasannya yang terlihat bahagia. "Ja-jadi … dia … kucing yang kau maksud."
Aomine tidak menjawab, bagaimanapun itu sudah jelas.
"Ah, ternyata penyakitmu belum sembuh," katanya frustasi, ia menarik napas panjang.
"Itu bukan penyakit, sialan!" Aomine menendang kursi kemudi yang berisi Sakurai.
"S-siap! Aku minta maaf, aku minta maaf."
"Jalan sekarang."
Sakurai menancap gas, keluar dari kerumunan orang yang semakin banayak. Kadang tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka ingin tahu, hanya menghambat jalan. Ya, itu tidak masalah selagi mereka tidak melewati garis kuning.
Aomine menengok kucingnya, "Kenapa matamu berbinar-binar?"
"I-ini pertama kalinya aku naik mobil."
Aomine terkekeh mendengarnya, begitupun Sakurai yang sedang konsen menyetir. "Aomine-san, jangan melakukan itu di sini, ya?"
"Hah!? Apa maksudmu?"
"A-aku minta maaf."
"Lagipula, lihat saja tubuhnya penuh kotoran."
"Hahaha, i-iya." Ia membelok di pertigaan. "Lalu, kauakan membawanya ke mana?"
Aomine menumpangkan kakinyaa, "Oh, ya. Tidak mungkin aku membawnya ke kantor."
"Jadi?"
Aomine merogoh ponsel, dia melihat jam sudah menunjukan pukul 01.18 pm, "Sudah ada kabar dari tim forensic?"
"Aku belum mendapat kabar."
"Oke, antarkan aku ke rumah. Aku ke kantor sekitar jam tujuh."
Tepat di pertigaan lagi, Sakurai mengambil jalan lurus. Mereka tak banyak berbicara. Mahluk kecil bermata crimson masih asyik memandang benda-benda yang ia lihat di sepanjang jalan. Mata itu tidak pernah redup akan ketakjuban. Aomine mengembangkan senyum tipis.
Lima belas menit berlalu, Sakurai memarkir di halaman besar sebuah gedung. "Oke, thanks. Katakan pada yang lainnya aku punya urusan sebentar." Ia turun dari mobil sembari menggandeng kuncingnya, berjaga-jaga kalau kabur.
"Siap!"
Aomine membawanya masuk ke dalam lift, ia melepaskan gandengan tangan. "Kukira sudah aman."
"Kita mau pergi ke mana?" polos dia betanya.
"Ke rumahku."
"Rumahmu? Sebesar ini."
"Tentu saja tidak, rumahku ada di lantai tujuh, oh .." ia berhenti bicara saat lift terbuka, "Kita sudah sampai."
Dia mengikuti Aomine di belakang sembari melihat-lihat sekelilingnya yang terasa asing. Sampai pada Aomine berhenti di apartemen nomor 67 dan ia menabraknya. Aomine tidak peduli, ia menggesekan sebuah kartu di depan pintu, dan tak lama pintu tersebut terbuka, si kucing hanya melongo. "Kenapa?" Tanyanya.
"Keren, itu keren," ungkapnya tanpa ragu.
Aomine tersenyum, "Ayo, masuk." Lalu setelah di dalam ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang terasa empuk. Ia menguap, tubuhnya sangat lelah. Hari ini dirinya tidak bisa tidur siang. Mencopot seragamnya dan meninggalkan kaus yang ketat, tubuhnya begitu berbentuk. "Oke, kau," katanya menunjuk anak kecil di hadapannya yang hanya berdiri. "Jangan duduki sofaku karena kau sangat kotor."
Dengan wajah datarnya dia menjawab, "Kau tidak lihat, aku kan sedang berdiri."
"Oke." Aomine menyenderkan tubuhnya. "Mengapa kau mencuri, tidak bisakah kau bekerja? Atau menjadi pengamen saja."
"Tidak ada yang mau memperkerjakanku, mereka bilang aku masih kecil. Aku sudah coba menjadi pengamen, hanya penghasilannya tidak cukup."
Aomine menyerngit, "Sadarilah, memang dirimu masih kecil. Usiamu berapa? Sembilan tahunkah?"
"Aku baru delapan tahun."
"Hah? Aku melesat. Tetapi tubuhmu cukup untuk ukuran anak Sembilan tahun. Ya, walaupun kau sangat kurus dan kurang gizi. Itu artinya, pendapatanmu tidak disukai oleh Tuhan."
"Siapa yang peduli."
Aomine menghela napas, pintar juga menjawabnya anak kucing satu ini, "Aku punya kerjaan untukmu, bagaimana?" ia menebar senyum.
"Jadi, kau tidak memasukkanku ke dalam penjara."
"Hahaha, tentu saja tidak, bocah. Kau masih di bawah umur dan aku malas mengurusnya," katanya, ia melepaskan kaus kaki. "Tetapi aku punya syarat, jika kauingin hidup lebih lama bekerjalah padaku. Aku akan memenuhi semua yang kaumau."
"Apa pun yang kumau?"
"Ya, apa pun."
"Kau tidak berbohong?"
"Untuk apa aku berbohong," cuapnya menyeringai. "Aku sudah mulai menua, nak. Jadi tidak ada untung buatku."
"Aku mau!" katanya semangat, dia menjulurkan tangan kecilnya untuk membuat perjanjian. Itu ia pelajari dari preman-preman di tempatnya tinggal, tempat sampah.
Aomine membola, namun kemudian ia tertawa. Anak kecil tetaplah anak kecil. "Sepakat," ia menjabat tangannya, mereka bersalaman. "Siapa namamu?"
"Kagami Taiga."
"Nama yang bagus. Aku, Aomine Daiki."
"Aku sudah tahu."
"Hah!?" shock. "Bagaimana kautahu?"
"Aku mengingat siapa saja yang mengancam hidupku, termasuk polisi. Dan salah satunya, kau, Aomine."
"Apa? Aomine, tidak salah dengar. Aku lebih tua darimu berpuluh-puluh tahun. Setidaknya pakai –san."
"Tidak mau."
Aomine berdecak, sepertinya bocah ini sangat ajaib. "Terserah kau sajalah."
"Dan kapan aku mulai bekerja?"
Aomine memandang Kagami dari atas sampai bawah, dari pucuk rambut sampai ujung kaki, tak terlepas secuil pun. "Sebelum bekerja, kau harus membersihkan dirimu dulu. Masuk kamar mandi dan bersihkan kotoran-kotoran itu."
Kagami mengangguk, dan pergi setelah Aomine memberi tahukan di mana kamar mandinya. "Kagami, bajunya buang ke kotak sampah." Ia mendengar teriakan Aomine dari dalam.
Sebelum melepaskan baju-bajunya, Kagami memperhatikan dulu sekeliling; itu adalah hal yang selalu ia lakukan jika mengenal tempat baru, menghidupkan keran air, memegangi botol shampoo, sabun dan yang lainnya.
Matanya berbinar ketika ia melihat ada jendela di atas toilet. Cepat, Kagami menuju ke sana dan menaiki toilet tersebut. Menjangkau jendela tetapi, raut wajahnya berubah ketika jendela itu tidak bisa di buka. Jendela tersebut hanyalah berfungsi supaya sinar matahari bisa masuk. "Ah, ternyata aku tidak bisa kabur. Tapi, mana bisa aku loncat dari gedung setinggi ini, mungkin aku mati. Dan aku sudah membuat keputusan dengannya."
Kagami tidak memusingkan itu, harusnya ia bersyukur bisa tinggal di rumah besar seperti ini, ia tidak perlu berebut makanan dengan anak jalanan lain, tidak perlu berkelahi dengan preman-preman yang lebih besar darinya sehingga membuat tubuh lebam-lebam. Ia mengangkat bibirnya, melompat dari toilet dengan percaya diri dan-
Brukkk! "Auuu!" teriaknya. Ia terpeleset karena lantai kamar mandi Aomine sudah sebulan tidak dibersihkan. "Auuu, sakit," rengeknya lagi sembari memegangi pantatnya. Tak lama ia berdiri, membuka bajunya dan membuang ke kotak sampah persis seperti yang diperintahkan Aomine.
….
….
"Tolong carikan baju untuk anak umur delapan tahun, agak besar juga tidak apa-apa," jelas Aomine kepada pelayan di salah satu toko pakaian yang paling dekat dengan apartemennya.
"Untuk anak? Anak siapa Aomine-san?" Tanya salah satu pelayan yang sekaligus penggemarnya. Dia memasang wajah bertanya-tanya.
"Tak perlu tahu, sudah carikan saja."
"Oke, butuh berapa?"
"Terserah, sebanyak-banyaknya."
45 menit menunggu, akhirnya Aomine meninggalkan toko pakaian tersebut dengan membawa tentengan yang lumayan.
"Habis Belanja, Aomine-san?" salah satu security yang berjaga bertanya ketika Aomine memasuki area apartement. Tidak ada yang tidak mengenalnya dengan baik.
"Haha, iya. Kutinggal dulu, Miyagi-san," balasnya ramah.
…
"Kagami?" panggilnya, ia meletakkan barang-barang di dekat meja. "Oi, Kagami? kau masih mandi?"
Tidak ada jawaban.
Aomine membuka kamar mandi untuk mengecek, tetapi sama saja, hanya ada serakan busa sabun. "Ke mana bocah itu."
"Aomine, kau dari mana?" Kagami muncul di belakang dengan mulut penuh pisang dan tubuh tanpa sehelai kain.
Aomine speechless menelan ludah, kucingnya mulai nakal. Dia merendah, menyetarakan tingginya dengan Kagami. "Oh, jadi kau mencuri lagi." ia mendekatkan wajah pada Kagami sampai membuat anak itu mundur seketika.
"Tidak, ini kan rumahmu," jawabnya. Dia memperhatikan ke mana mata Aomine memandang dan bibirnya tidak berhenti tersenyum. Kagami menelan potongan pisangnya yang terakhir, lalu melihat dirinya sendiri. "Ah, maaf aku telanjang. Aku tidak tahu harus memakai apa, aku mencari handuk pun tak menemukannya."
"Ah, manisnya," Aomine bergumam. Ia tidak menyangka jika Kagami akan semanis ini jika bersih, dia tertawa ketika melihat alis Kagami yang bercabang.
"Aomine, kenapa tertawa?"
"Tidak apa. Mendekat sini," katanya. Aomine menarik Kagami supaya lebih dekat, lalu memeluk dan melumat bibirnya.
Kagami hanya berkedip-kedip, tidak mengerti dengan apa yang sedang di lakukan Aomine pada bibirnya. Dan ketika Aomine menarik diri, ia polos mengelap cairan yang tertinggal, "Aomine, apa yang kaulakukan?"
"Menciummu."
"Hah-mphhh." Lagi Aomine menciumnya. "Oke, kau sudah mulai pekerjaanmu."
"Pekerjaan apa?"
Aomine menciumnya sekali lagi, "Seperti ini."
Kagami menggaruk kepala, "Jadi pekerjaanku hanya berciuman denganmu?"
"Hahaha, tepat," Aomine berdiri dan menggandeng Kagami, di bawanya ke sofa. "Dan banyak lagi," gumamnya.
"Apa?"
"Tidak." Aomine mengambil kantung belanjaan. "Pakailah, itu semua bajumu. Ada sandal, sepatu dan lainnya."
Mata Kagami berbinar penuh, "Kau yakin?"
Aomine tersenyum hangat.
Kagami cepat memilih baju yang akan ia pakai pertama kali. Baju baru dan keren. Dan saat ia menemukan celana dalam, mimiknya berubah, "Aomine, celana dalamnya kenapa harus gambar bebek."
Aomine terkekeh geli, "Mana kutahu, yang memilihkan semua itu pelayan tokonya, jadi jangan salahkan aku."
Kagami diam, mencari lagi, tapi semua sama saja celana dalam dengan gambar-gambar kartun. Ia cemberut, namun begitu tetap dipakainya juga. "Terima kasih," katanya.
Aomine mengangkat Kagami yang sudah rapi ke pangkuannya. "Jika sedang kucium pejamkan matamu."
Kagami mengangguk. Aomine menciumi leher Kagami yang harum sabun sama sepertinya.
Alasan utama dari yang utama seorang pria mapan bernama Aomine Daiki, yang sampai saat ini tidak tergoda oleh wanita adalah karena ia hanya jatuh hati dan menyukai bocah kecil, khususnya yang … berjenis kelamin laki-laki.
YA, DIA SEORANG PEDOPIL! DAN ITU BUKAN SUATU PENYAKIT YANG DIKATAKAN SAKURAI.
Beeeeepppppppppp.
Aomine berdecak, kesal terhadap Kagami yang di cumbu malah tertidur, dan bunyi ponsel yang tidak ada henti-hentinya. "Hallo, Sakurai."
"Aomine-san, bisakah kau ke sini sekarang."
"Ya, ya."
Aomine memandang Kagami yang terlelap di dalam pelukannya, dia berdiri dan menggendongnya ke dalam kamar. Menidurkan di atas kasur kemudian menyelimuti. Menarik napas ringan, melihat Kagami yang tertidur itu membuatnya tambah manis. Aomine mencium kening Kagami sebelum pergi menutup pintu.
...
TBC
…
SALAM AOKAGA,
Zoka
