Author's note: Ini FF pertama saya yang 'serius', maksudnya bukan humor, dan langsung topiknya serem begini... tentang kenakalan remaja gitu deh. Maaf banget kalau agak fail. Oh iya, rasanya ini pertama kali saya melibatkan Henry dan Zhoumi, dan sekalinya terlibat, mereka langsung jadi tokoh penting ^^
Anyway, here's chapter 1, enjoy!
Henry sedang berdiri di depan pintu apartemen kakaknya dengan ditemani koper dan tas ransel. Untuk kesekian kali, ia melihat jam tangannya. Sudah jam setengah sepuluh malam, tetapi kakaknya itu belum datang juga. Ia menghembuskan napas lelah. Dia teringat pada seorang wanita paruh baya tetangga kakaknya yang tadi sore menyapanya. Ketika wanita itu tahu bahwa Henry adik Zhoumi, ekspresinya langsung berubah. "Oh, kau tak mau menginap di tempatku dulu?" Wanita itu menawarkan dengan wajah penuh keibaan, "Dia tak akan pulang sampai malam nanti. Kau bisa kedinginan kalau menunggu di luar sampai kakakmu pulang." Henry menolak tawaran itu; orang tuanya selalu mengajari untuk tidak mudah percaya pada orang asing. Lebih baik menginap di apartemen kakaknya yang terpercaya daripada harus menginap di tempat orang, walaupun itu artinya dia harus menunggu sampai malam dalam deraan angin dingin.
Terdengar langkah kaki berat yang perlahan-lahan semakin mendekat. Henry bangkit. Ia yakin itu pasti kakaknya. Benar saja. Seorang pemuda tinggi berjalan terhuyung-huyung ke tempat Henry berdiri. Henry merasa aneh. Ia bisa pastikan itu Zhoumi, kakaknya, tetapi dia tampak...lain. "Hyung?" sapanya, sedikit ragu.
Zhoumi, begitu menyadari adiknya sudah di depan apartemennya, berusaha untuk meraih kembali kesadarannya. "Oh, Henry, wasseo?" sapanya balik.
"Hyung, kau kenapa?" tanya Henry cemas pada keadaan kakaknya yang kacau. Zhoumi membuka pintu apartemennya. "Kau sudah lama di situ? Maafkan aku. Masuklah dulu."
Henry melangkah masuk ke apartemen dengan ranselnya saja karena kopernya sudah dibawakan Zhoumi. Bocah berpipi lembut itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi Zhoumi sudah mendahuluinya bicara. "Kau sudah makan?"
"Belum." jawab Henry singkat. Zhoumi meletakkan koper Henry di dalam sebuah kamar yang sepertinya sudah disiapkan untuk Henry. "Istirahatlah dulu di sini. Akan kubuatkan makanan."
"Tak perlu repot, Hyung. Aku akan membantu—"
"Tak usah. Kalau kau tak mau ke kamar, duduk saja di ruang makan." Zhoumi melangkah ke dapur. Henry mengikutinya dan duduk di kursi makan. Mata sipit Henry tak pernah lepas dari kakaknya yang kelihatannya kehilangan kendali atas tubuh sendiri; berkali-kali Zhoumi menjatuhkan sendok dan barang-barang kecil lain. Zhoumi bukanlah orang yang asing dengan dapur, jadi kecanggungannya yang tiba-tiba ini membuat Henry berpikir yang tidak-tidak. "Hyung—"
"Apa kabarmu?" tanya Zhoumi tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Sekali lagi, Henry terpaksa menjawab kakaknya. "Baik."
"Eomma dan—"
"Eomma dan Appa baik-baik saja, jika kau akan menanyakan mereka," Henry menyahut kesal karena kalimatnya dipotong terus, "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Hyung."
Zhoumi meletakkan sepiring makanan di depan adiknya. Henry mulai makan, tetapi tatapan menuntutnya masih terarah pada si pemuda tinggi. Zhoumi tersenyum sambil menyangga kepalanya dengan tangan. "Aku cuma agak lelah. Tak usah cemaskan aku, Mochi."
"Tentu saja aku cemas. Hyung tak perlu mengambil banyak ekstrakurikuler lagi seperti saat SMP. Lihat, Hyung jadi kelelahan seperti ini." Tatapan Henry melunak. Zhoumi mengacak-acak rambut adiknya. "Kau tidak cocok pasang tampang cemas begitu. Aku cuma butuh tidur dan aku yakin kau pun sama. Cepat makan dan istirahat; besok hari pertamamu 'kan?"
Henry menghela napas panjang, lalu tersenyum. Ia tahu Zhoumi bisa menjaga diri. Yang bisa Henry lakukan untuk Zhoumi sekarang adalah tetap patuh pada perintahnya, supaya sang kakak tidak kerepotan. "Baiklah, Hyung juga istirahat yang banyak. Kuharap kau cepat sembuh."
"Aku bahkan tidak sakit," Zhoumi tertawa kecil, lalu beranjak dari kursinya setelah sekali lagi mengacak-acak rambut mochi kesayangannya, "Aku tidur duluan, kalau begitu. Malam, Henry."
"Malam, Hyung." Sebenarnya, di kepala Henry masih banyak pertanyaan tentang bagaimana sekolah barunya, tetapi Henry tak ingin memaksa Zhoumi bersamanya lebih lama. Besok memang hari pertama Henry di sekolah pindahan—sekolah yang sama dengan sekolah Zhoumi. Itulah yang melatarbelakangi kedatangan Henry ke apartemen itu. Sekolah dan apartemen Zhoumi dekat. Selain itu, Eomma yakin Zhoumi bisa menggantikan posisinya dan Appa untuk mendidik Henry di sekolah yang baru. Zhoumi anak yang baik dan dianggap bisa melindungi Henry dari berandal-berandal sekolah yang mulai bermunculan.
Di tempat tidurnya, Zhoumi memejamkan mata, tetapi tidak bisa lelap. Dia berharap Henry bisa menjalani hidupnya dengan aman dan selamat di sekolah itu karena dia tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika Henry terkoyak di sana, seperti dirinya.
Paginya, Zhoumi terlihat jauh lebih segar. Henry lega ketika melihat sosok kakak yang ia kenal telah kembali. Mereka sarapan bersama, membangun suasana yang lebih akrab dari malam sebelumnya, dan yang lebih menyenangkan, untuk pertama kalinya, Henry dan Zhoumi berangkat sekolah bersama! Biasanya, Henry diantar ayahnya dengan mobil ke sekolah, sedangkan Zhoumi berangkat sendiri dengan kereta.
"Kau bisa pilih orkestra atau musik klasik untuk melatih kemampuanmu main biola." Zhoumi merekomendasikan beberapa ekstrakurikuler dalam perjalanan ke sekolah. Henry mengernyitkan dahi, lalu tertawa malu sambil mengusap-usap tengkuknya. "Sebenarnya, akhir-akhir ini aku lebih tertarik pada dance."
"Oh, benarkah? Kalau begitu, pilihlah yang kau mau. Akan kudukung." Zhoumi menepuk-nepuk bahu adiknya. Henry tersenyum senang. Dia senang kalau kakaknya menyatakan persetujuan terhadap apa yang dia sukai karena ia pikir mereka terlalu berbeda dan sulit menjadi dekat.
Zhoumi tiba-tiba menyadari di mana ia dan adiknya berada. Sambil pura-pura khawatir terlambat, Zhoumi berkata, "Cepat, Henry. Para guru tidak sabaran itu akan menghukummu nanti kalau kau lama."
Henry tidak menanggapi, pun tidak segera menyusul kakaknya yang sudah berjalan jauh di depan. Dia masih asyik mengamati sekitar, maklum orang baru. Saat itulah, dia menangkap pemandangan yang mengerikan di sebuah gang.
Seorang pemuda tambun sedang menarik kerah seorang pemuda lain yang jauh lebih kecil darinya. Dia menghantamkan tubuh si pemuda kecil ke tembok dan menghimpitnya.
"Yakk, ibumu tidak memberimu uang saku? Kau diberi uang saku atau tidak, itu bukan urusanku. Sekarang berikan uangmu, cepaat!" Pemuda tambun itu berteriak geram. Pemuda yang lebih kecil tetap menolak memberikan uang dan berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri.
"A-a-aku tidak punya uang sama sekali, Shindong-hyung, aku tidak bisa memberimu uang..." kata si pemuda kecil dengan terbata. Si pemeras, Shindong, mendengus kesal. Dia mundur beberapa langkah sehingga si korban bisa sedikit mengambil nafas sekarang.
"Heh, aku sudah berlaku sopan padamu, kau masih tidak mau memberiku uang. Kalau begitu, mau tidak mau aku harus menggunakan kekerasan." Shindong mengakhiri kata-katanya dengan tendangan kuat di dada korbannya, hingga membuat korbannya jatuh tersungkur. Dia merogoh saku korbannya dengan paksa dan mengambil beberapa lembar uang. Shindong tertawa puas sambil menghitung hasil rampasannya. Si korban hanya bisa menatap pasrah uang sakunya berpindah tangan ke pemuda tambun ini. Scene ini membuat Henry, yang sedari tadi tidak sengaja mengawasi, menjadi kalut. Dia tidak pernah menyangka, adegan menakutkan yang hanya pernah ia lihat di film atau acara-acara kriminal kini terjadi di depan matanya sendiri. Di hari pertama ia masuk sekolah lagi! Belum hilang keterkejutan Henry ketika dia menyadari preman tambun itu mengetahui keberadaannya dan berjalan ke arahnya.
"Oh, ada penonton ternyata. Kau anak baru, ya? Aku tidak pernah melihat wajahmu di lingkungan ini." Preman tambun itu makin dekat. Henry merapatkan jas seragamnya dan berjalan mundur beberapa senti. Jantungnya berdetak seribu kali lebih cepat dari biasanya. Dia menoleh ke berbagai arah, mencari seseorang yang bisa menolong, tetapi kakaknya sudah jauh meninggalkannya.
"Kau terlihat seperti anak orang kaya. Henry Lau. Sepertinya familiar." Shindong membaca name tag yang ada di seragam Henry.
Glk. Keringat dingin meluncur dari dahi mulus Henry. Dia membayangkan nasibnya akan berakhir sama dengan anak tadi atau mungkin lebih buruk.
"Menjauh darinya." Zhoumi muncul di sebelah Henry. Entah kapan pemuda itu menyadari bahwa adiknya dalam bahaya dan muncul di situ.
"Woo, Zhoumi-ssi. Apakah dia adikmu? Wah, kalian sangat mirip. Tenang saja, aku tidak akan mengganggunya. Aku hanya ingin berkenalan dengannya. Ya 'kan, Henry-ssi?" jawab Shindong santai. Tanpa banyak kata, Zhoumi menarik tangan Henry dan mengajaknya pergi dari situ. Tempat ini sama sekali tidak aman untuk adiknya.
Henry masih tidak mengerti dengan apa yang barusan terjadi. "Hyung, siapa orang itu? Bagaimana dia mengenalmu?" tanyanya. Zhoumi tidak menjawab. Henry hanya bisa menelan ludah. Kalau Zhoumi sedang mendiamkannya, maka dia akan sulit mengajak Zhoumi bicara sampai mood Zhoumi membaik.
Henry berjalan bingung di koridor sekolah. Kelas kakaknya berada di gedung yang berbeda dengan kelasnya. Mau tidak mau, dia harus mencari kelasnya sendiri. Lorong itu sepi. Hanya ada dirinya dan dua anak lelaki bodoh yang bermain lempar-lemparan permen cokelat di sepanjang koridor.
"Yaa, Hyukjae. Lempar yang benar, bodoh!" Pemuda pendek yang bertampang seperti anak kecil protes pada temannya yang ada di seberang. Permen cokelat yang dilemparkan temannya itu tidak masuk ke mulutnya, malah mengenai dahinya dan jatuh ke lantai.
"Kau yang tidak bisa menangkapnya dengan baik, bodoh. Sekarang kau yang lempar!" Pemuda satunya protes. Dua orang ini tidak menyadari bahwa kegiatan mereka ini sangat menghalangi jalan. Henry tidak enak kalau harus 'mengganggu' mereka, tetapi dia tidak akan bisa lewat kalau begini.
"Emm, permisi..."
"Oh, kau mau lewat, ya? Donghae, berhenti dulu." Pemuda yang lebih tinggi menginterupsi temannya.
"Kau anak baru, ya? Kenalkan, aku Donghae, Lee Donghae. Ini Lee Hyukjae." Pemuda yang lebih pendek menjabat tangan Henry, lalu memperkenalkan dirinya dan Hyukjae. Memang sih mereka sudah pakai name tag, tetapi akan lebih enak memperkenalkan diri dengan cara biasa, 'kan?
"Aku Henry Lau."
"Kau kelas berapa?" tanya Hyukjae.
"Kata songsaengnim, aku masuk kelas 1-B, tapi sampai sekarang aku belum menemukan kelasku." kata Henry sambil tersenyum malu.
"1-B, eoh? Itu 'kan kelas Kibumie. Kami akan mengantarmu ke sana." kata Donghae yang langsung disetujui oleh Hyukjae. Henry tersenyum lega; kalau diantar dua orang ini, dia akan lebih cepat sampai ke kelasnya. Mereka bertiga berjalan menyusuri lorong dan berbelok ke kanan. Tidak lama kemudian, mereka sudah sampai di depan kelas Henry.
"Jjaa, ini kelasmu. Masuklah, akan kucarikan bangku untukmu." Donghae menggandeng Henry masuk dan memilihkannya tempat duduk di dekat jendela. Kelas terlihat sedikit sepi, entah karena ini masih terlalu pagi atau siswanya yang terlalu enggan masuk kelas. Hyukjae duduk di meja Henry dan melihat keluar jendela, sedangkan Donghae menempati bangku di sebelah Henry.
"Dari sini, kau bisa mendapatkan pemandangan yang indah. Apalagi saat jam olahraga. Kau bisa melihat banyak gadis cantik di bawah sana bercelana pendek dan berlumur keringat, hahahaa..." Hyukjae tertawa menunjukkan gusinya. Donghae melayangkan pukulan keras ke kepala Hyukjae. "Dasar otak kotor," katanya, lalu berpaling pada si junior, "Henry-ah, kau tahu 'kan kalau beberapa minggu lagi akan ada ujian mid-semester?"
"Ya, songsaengnim sudah mengatakannya padaku. Aku akan belajar keras untuk mempersiapkan diri." jawab Henry semangat.
"Haha, tidak perlu seserius itu. Saat menghadapi ujian besok, yang kau butuhkan hanyalah aku. Kau tidak perlu belajar atau apapun itu."
Henry hanya diam mendengar pernyataan Donghae itu. Menangkap kebingungan di wajah Henry, Donghae melanjutkan, "Kau tahu apa julukanku di sini? Aku disebut Dewa Penakluk Soal. Apapun ujian yang akan diselenggarakan dan bagaimanapun bentuk soalnya, aku akan menyediakan kunci jawabannya. Dijamin 100% akurat." Donghae mengedipkan sebelah matanya.
"Huaa, dari mana kau mendapatkan jawaban-jawaban itu? Apa kau orang yang jenius?" Pertanyaan Henry membuat Hyukjae tertawa sampai terjatuh dari duduknya.
"Tentu saja ia mencuri kunci jawaban dari songsaengnim, bodoh. Otak ikan sepertinya menyelesaikan perkalian anak SD saja belum tentu bisa." jawab Hyukjae, masih terbahak. Donghae tidak mempedulikan ocehan temannya itu. "Makanya, kau tidak perlu belajar terlalu keras. Kau hanya perlu berteman baik denganku, maka kau akan menjadi siswa dengan nilai terbaik di sekolah—"
"Tugas siswa adalah belajar dengan keras untuk meraih prestasi, Lee Donghae, bukannya mengambil jalan mudah yang kau tawarkan." Seorang siswa masuk ke kelas Henry, memotong perkataan Donghae. Donghae dan Hyukjae yang familiar dengan suara itu langsung menoleh ke asal suara. Keduanya langsung tersenyum sinis pada anak itu. "Memangnya kau sendiri pernah belajar, Kim Ryeowook?" cibir Donghae.
"Ya, bukankah kau hanya menghabiskan malammu dengan minuman keras? Kau tak bisa belajar sambil mabuk." tambah Hyukjae, lalu menepuk kepala Henry dan berjalan keluar kelas diikuti Donghae. Ryeowook mendengus kesal. "Mereka tidak berguna: satunya playboy, satunya pencuri," gumamnya saat menatap dua orang senior itu, lalu duduk di samping Henry dan tersenyum ramah, "Kau anak baru yang dibilang songsaengnim, 'kan? Aku Ryeowook."
Henry menjabat tangan yang terulur padanya. "Henry Lau—ehm, panggil aku Henry saja."
Ryeowook sedikit kaget mendengar nama marga Henry, tetapi kekagetannya itu berhasil disembunyikannya. "Apa yang sudah mereka berdua lakukan padamu?" tanya Ryeowook serius. Henry mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. "Mereka mengantarkanku ke sini."
"Itu saja?"
"Ya."
"Syukurlah," Ryeowook menghembuskan napas panjang, "Mereka itu berandal kelas atas yang suka pura-pura membantu anak baru, padahal mereka mau mempengaruhimu ke jalan yang sesat. Berhati-hatilah!"
Brak! Seorang pemuda lain masuk kelas dan langsung membanting tasnya di atas meja, menimbulkan bunyi keras yang mengagetkan Ryeowook, Henry, serta beberapa orang lain di dalam kelas. Pemuda berkacamata itu sepertinya sengaja memotong percakapan Henry dan Ryeowook.
"A, berandal berdasi kita sudah datang rupanya. Jangan membuat kaget siswa baru, Kibum." kata Ryeowook sinis. Telinga Henry menangkap sesuatu yang tak asing. "Tadi, Donghae-hyung menyebutkan nama itu sebelum ke sini. Jadi, ini Kibum yang dimaksud Donghae-hyung?" batin Henry. Dia tidak mengerti kenapa anak yang kelihatan seperti siswa teladan itu bisa dibilang 'berandal'.
Kibum menatap tajam Ryeowook. Henry merinding. Kibum punya aura aneh yang membuat takut semua orang, kecuali Ryeowook. "Jangan sok suci." katanya dengan suara rendah, tapi mengancam. Dia duduk di bangkunya dan mulai membuka buku. Sikap Kibum yang dingin membuat Henry memikirkan ulang langkahnya untuk berkenalan dengan anak itu.
Penampilan rapi dan sikap diam Kim Kibum memang menipu siapa pun yang melihat, dari anak baru hingga kepala sekolah. Siapa yang sangka, anak kelas 1 yang suka menyendiri di taman belakang sekolah pada jam istirahat itu sering melakukan tindakan kriminal tingkat tinggi. Dengan laptopnya yang tampak biasa, dia membobol pusat pengolahan nilai di sekolahnya dan mengubah input nilai. Karena itulah, tak aneh jika anak-anak yang kelihatannya tak berbakat, seperti Lee Donghae dan Lee Hyukjae, tiba-tiba melejit nilainya. Tak ada yang bisa menghentikannya, kecuali satu: bel masuk kelas.
Namun, hari itu, Kibum lebih memilih untuk membaca buku sambil mendengarkan musik saja. Ketika bel masuk kelas berbunyi, ia mematikan iPodnya, menutup bukunya, dan kembali ke kelas.
"Sopanlah pada kakak kelasmu!"
Kibum menghentikan langkahnya. Tatapannya menyiratkan rasa tidak senang pada si cantik penyiksa yang sedang melakukan hobinya di koridor sekolah. Seorang siswa yang sekelas dengan Kibum tampak begitu takut saat dihimpitkan sang senior cantik ke dinding. Anak malang itu tak tahu bahwa dia tanpa sengaja telah menyenggol seorang preman. Kini, dia harus menghadapi akibatnya. Kibum memang bukan tipe anak yang peduli pada teman sekelasnya. Dia hanya tidak suka pada sikap si senior cantik yang emosional itu.
"Maafkan aku, Hyung, aku benar-benar..."
Si cantik langsung menampar korbannya dengan keras hingga anak itu terjatuh. "Memangnya ada yang menyuruhmu bicara, hah?"
"T-tidak ada... a-ah!" Si korban berteriak kesakitan ketika kerah bajunya direnggut dan ditarik ke atas oleh seorang pemuda lain, teman si senior cantik. Pemuda kekar itu melemparkan si korban kembali pada si cantik. Si cantik terkekeh setelah mendaratkan pukulan di wajah juniornya itu. Ia baru akan mendaratkan pukulan selanjutnya ketika Kibum merenggut kerah bajunya dengan kasar dan menendang perutnya.
"Uhuk, uhuk!" Si senior cantik memegangi perutnya. Partnernya segera menolong, sedangkan si korban lari tunggang-langgang menjauhi dua senior seram itu. "Heechul, kau tidak apa-apa?" Si pemuda kekar membantu si cantik berdiri.
"Ya. Kalau hanya dengan anak kecil seperti dia," Heechul menatap tajam Kibum, sebuah senyuman jahat menghiasi wajahnya, "aku tak mungkin terluka."
Kibum menatap seniornya dengan berani.
"Apa kau sengaja mencari masalah denganku, anak kecil? Eomma-mu tak ada di sini. Kalau kau—"
Buak! Kibum mendaratkan tinjunya, meninggalkan lebam di wajah si cantik yang tak sempat menyelesaikan kalimatnya itu. Partner si cantik tentu saja tak terima. "Kurang ajar!" Sebuah pukulan dari pemuda kuat itu berhasil membuat Kibum tersungkur dan mendapatkan lebam juga di wajahnya. Kibum membersihkan sudut bibirnya dari darah yang mengalir, lalu tersenyum melecehkan. "Melindungi istrimu, hah?" katanya pada senior yang menjatuhkannya, "Astaga, aku baru tahu kalau kalian adalah pasangan homo yang serasi."
"Apa kau bilang?" Heechul meradang. Dia maju, hendak menambah penderitaan juniornya yang tak tahu sopan santun itu ketika partnernya menahannya. Sang partner membenturkan tubuh Kibum ke dinding, begitu keras hingga kacamata Kibum terjatuh. "Jaga mulutmu atau aku akan merobeknya untukmu." Pemuda kuat itu menginjak kacamata Kibum sampai pecah.
"Robek saja kalau berani." Kibum masih tetap dengan nada datarnya. Hal ini sukses membuat si senior kuat menendang perut Kibum.
"Hei, dilarang berkelahi di koridor!"
"Uh, guru sialan!" umpat Heechul, "Hangeng, kita pergi!"
"Cih!" Hangeng mengikuti Heechul melarikan diri. Sejenak ia berpaling pada Kibum. "Urusan kita belum selesai!"
Kibum menggigit bibir bawahnya secara samar untuk menahan sakit di perutnya. Dibersihkannya lantai dari serpihan kacamatanya. "Kim Kibum, apa kau baik-baik saja?" tanya guru itu ketika membantu Kibum berdiri. Kibum merapikan dan menepuk-nepuk jasnya yang kotor, lalu membungkukkan tubuhnya hormat pada sang guru. "Saya baik-baik saja. Terima kasih." Setelah membuang serpihan kacamatanya ke tempat sampah, ia berjalan kembali dengan tenang menuju kelasnya.
Henry baru saja kembali dari toilet dan sedang berjalan menuju kelas ketika ia melihat Kibum. Pemuda itu juga berjalan ke kelas dari arah berlawanan dengan Henry. "Ah, Kibum, apa yang terjadi dengan wajahmu?" tanya Henry polos, sedikit kecemasan tampak di wajahnya. Kibum tak menjawab. Dia berlalu begitu saja dan langsung duduk di bangkunya. "Lagi-lagi begitu. Aku jadi makin penasaran dengannya." Henry bergumam. Matanya tak teralih dari Kibum.
"Dia pasti membuat ulah lagi."
Seketika Henry menoleh mendengar ucapan teman barunya. Ryeowook menganggukkan kepalanya. "Sudah kubilang 'kan, dia itu berandal berdasi. Tidak kelihatan tabiat aslinya." Ia meyakinkan Henry akan sikap jelek Kibum. Henry duduk di depan Ryeowook, matanya masih tidak teralih. "Kupikir tidak begitu. Dia mungkin jadi korban tindakan kekerasan senior." Henry jadi teringat pada pemuda tambun yang tadi tampak sangat mengancam di jalan menuju sekolah.
Tak disangka, Ryeowook tertawa. "Anak seperti itu? Jadi korban kekerasan senior? Jangan bercanda!"
Henry memilih diam. Dia sendiri tak tahu yang sebenarnya; dia hanya murid baru, tetapi hari pertamanya sudah mengundang rasa penasaran yang besar tentang orang-orang di sekelilingnya: pemuda tambun pemeras, kesengitan antara Donghae-Hyukjae dan Ryeowook, juga Kibum yang misterius. Ada yang salah di lingkungannya sekarang, hanya saja kebenaran masih terlalu jauh dari gapaian Henry.
"Bagaimana hari pertamamu, Henry?" tanya Zhoumi saat ia dan Henry pulang sekolah bersama. Henry tersenyum lebar saat menceritakan berbagai hal menarik dari pagi sampai sore itu. "Ryeowook orang yang sangat ramah dan rajin. Dia memberitahuku banyak hal dan..."
"Ryeowook?" potong Zhoumi, nadanya terdengar waspada, "Apa maksudmu Kim Ryeowook?"
Henry mengangguk cepat. "Hyung sudah mengenalnya, rupanya. Aku akan lebih mudah mengenalkan Hyung padanya nanti."
"Lalu, siapa lagi yang kau kenal hari ini di kelas?"
"Banyak, tapi satu orang lagi yang paling berkesan adalah Kim Kibum. Dia tidak banyak bicara dan lebih sering membaca buku atau sibuk dengan laptopnya. Aku penasaran, tapi juga takut dengannya, jadi tak berani mengajaknya berbincang-bincang."
Zhoumi tersenyum. "Yah, kalau sudah satu kelas dengannya dalam waktu yang lama, mungkin ada satu sisi lain dari dirinya yang terlihat."
"Kuharap begitu."
