A VOCALOID FANFICTION
Disclaimer: Vocaloid [c] YAMAHA
E-mail and My Love Story
[c] Rin 'aichii' Kagamine
[ Aku tersenyum, setiap menerima e-mail darimu. Ya, satu-satunya yang membuatku dekat denganmu hanyalah e-mail ini ]
Warning: I do not know what is missing from this story. What is clear, only the reader who can give input on the shortcomings of this story. If it's a title that does not make sense with the story, I'm sorry.
Special Fic from Love, Disease and The Remaining Time
Full Miku's POV!
.
.
Satu-satunya yang menjadi penghubungku denganya adalah e-mail— Ya, karenanya, sampai sekarang aku masih bisa berhubungan dengannya.
Meskipun bukan aku yang selalu dia tanyakan…
.
.
Aku meraih handphone-ku dengan sedikit tergesa-gesa begitu Rin— sahabatku rubuh karena penyakit Leukimia yang dideritanya. Aku tidak bisa berlama-lama kali ini, karena Rin dalam bahaya. Dan 'dia' juga telah mempercayaiku untuk mengawasi Rin selama dia berada bersamaku.
Kutekan panel-panel yang ada dan segera mengetikan e-mail yang semoga saja tersampaikan padanya.
From: Miku_NegiNegi
To: Kaito_DarkBlueIce
Subject: Gawat!
Kaito, ini gawat, Rin rubuh lagi!
Kutekan tombol send yang ada dan kupercayakan pada jaringan untuk menyampaikan e-mail ini padanya.
"Semoga saja Kaito-niisan melihat e-mail ini…" kugamitkan jemariku satu sama lain, dan kupanjatkan harapan kecil dariku— demi keselamatan sahabatku.
Meskipun sebenarnya aku masih memiliki harapan lain…
.
.
RRRR!
Aku yang tadinya tenggelam dalam diam segera mengambil handphone-ku. Kurasakan dada ini yang berdegup cepat dan juga perasaan lega yang melanda dadaku begitu tertera sebuah nama di layar handphone-ku.
From: Kaito_DarkBlueIce
To: Miku_NegiNegi
Subject: re; Gawat!
Apa? Rin rubuh lagi? Bagaimana keadaannya? Apa dia masih belum sadarkan diri?
Hanya diam dan tersenyum tipis. Hanya itu yang bisa— dan biasa kulakukan begitu e-mail darinya berbaur dengan daftar inbox-ku. Sudah terlalu sering hal ini kulakukan, dan terlalu sering juga aku menaruh harapan pada e-mail darinya— berharap kalau dia pun ikut menanyakan keadaanku.
Harapan bodoh— dengan hasil yang nihil…
Mana mungkin dia menanyakan kabarku. Yang ada juga ejekan darinya yang ditujukan untukku.
Aku terlalu menaruh harapan pada satu subjek— subjek yang begitu kecil kemungkinannya untuk melakukan apa yang aku harapkan. Ini hanya delusiku saja.
From: Miku_NegiNegi
To: Kaito_DarkBlueIce
Subject: re; re; Gawat!
Dia masih belum sadarkan diri :'(
Tapi pasti tidak lama lagi dia akan sadar, soalnya Rin kan kuat! XDD
Hanya itulah yang bisa kubalaskan. Emoticon yang biasanya kuterakan disetiap membalas e-mail darinya adalah kebohongan. Sesungguhnya—andaikan dia tahu—kalau hatiku begitu sakit rasanya, begitu mengetahui kalau dia lebih memperhatikan Rin ketibang aku yang selalu mencoba untuk berdiri di sampingnya.
Aku tahu, Rin adalah adiknya, dan Rin adalah anak yang lemah dalam hal fisik. Berbeda denganku; aku kuat, semangat, dan juga selalu menyunggingkan senyuman.
Tapi—
Aku tahu, aku adalah anak yang kuat… Tapi bagaimanapun, dan sampai kapan pun, bukannya anak yang kuat juga memiliki hati? Hati yang menaruh harapan untuk diperhatikan, sama seperti anak lemah lainnya.
Aku— kuat, tapi aku juga lelah untuk menanti.
Sampai kapan aku menunggu, secercah keajaiban untukku?
.
.
"Miku… aku benar-benar takut…" aku hanya mampu mengernytikan dahi bagitu mendengar ucapan Rin. Dia tidak main-main, dapat kulihat dari tubuhnya yang bergetar.
"K-Kau takut kenapa, Rin?" tanyaku dengan heran. Aku sangat heran dengan tingkah sahabatku yang satu ini.
"Aku takut… rasanya aku sudah mati saat ini, Miku…" isakan dari Rin mulai terdengar pilu. Aku tahu, Rin pasti takut akan penyakitnya, tapi— aku tidak bisa apa-apa. Selama ini, aku hanya bisa diam, menatap Rin yang semakin hari semakin melemah saja.
"Tenanglah, Rin… kau tidak akan mati, kok." Sebagai seorang sahabat, yang bisa kulakukan hanyalah memberikan support pada Rin. Hanya itu— yang bisa kulakukan, tidak lebih.
Rin berusaha tersenyum, hingga sederet gigi-giginya terlihat. "Ya, aku tahu, Miku. Aku tidak akan mati." Aku tersenyum tipis mendengarkannya, semangat Rin kini telah kembali.
"Oh ya, tapi –err bagaimana keadaanmu? Kau sudah baikan?" tanyaku.
"Tentu. Aku baik-baik saja, Miku. Aku bahkan sudah bisa ikut bela—"
BRAAAAK!
Pintu UKS terbuka, dan terlihat seorang pemuda dark blue yang berdiri di ambang pintu dengan air muka yang terlihat cemas dan juga khawatir.
"AKH! Kagamine Kaito!" seruku begitu saraf mataku mulai dapat mencerna siapa sosok yang berada di ambang pintu itu. Kagamine Kaito— Kakak dari Kagamine Rin, sahabatku, dan juga orang yang— kusukai.
"RIN!" Kaito berlari menuju Rin yang duduk di atas tempat tidur UKS. Dia melewatiku, begitu saja—. Rasanya rahangku mulai mengeras, namun kupaksakan sudut bibir ini terangkat hingga membentuk lekukan kecil sembari menggelengkan kepalaku. "B-Bagaimana keadaanmu?" tanyanya dengan sangat panik. Di saat itulah aku mulai berpikir akan satu hal—
Kalau seandainya aku memiliki posisi sebagai Rin— apa dia akan mengkhawatirkanku? Sebagaimana dia mengkhawatirkan Rin?
Tidak akan— meskipun aku mengidap penyakit layaknya Rin, perhatian Kaito-niisan tetaplah tertuju pada Rin. Untuk apa dia memperhatikanku? Aku ini bukan siapa-siapanya. Aku hanyalah seorang gadis biasa yang selalu berusaha untuk membangun pijakan tepat di sampingnya, namun pijakan itu selalu rubuh.
Aku— lemah terhadapnya.
.
.
TING! TONG! TING! TONG! Kutekan bell yang terpasang di sudut pintu rumah Rin dengan perasaan senang; senang karena akan melihat keadaan Rin, dan juga senang karena akan bertemu dengannya.
Hari ini jam pelajaran tidak selesai seutuhnya. Semua itu karena sensei-ku mengamuk lagi. Mengamuk tanpa alasan itu tidak masuk akal, jadi kuterangkan saja alasannya. Yah, dia mengamuk karena Kagamine Len— salah satu siswa bermasalah di sekolahku.
Aku sedikit bersyukur karena adanya Kagamine Len, dengan begitu pelajaran sekolah sering tertunda – terutama fisika.
CKREK! Tidak lama aku menunggu di depan pintu, pintu dengan tekstur coklat itu terbuka. Dan langsung saja wajahku memanas begitu melihat seorang pemuda dark blue yang berdiri di depan pintu.
"Apa?" tanyanya heran saat aku hanya bisa cengo di tempat.
"Aku ingin menjenguk Rin." tuturku. Kaito-niisan menaikkan sebelah alisnya.
"Hanya itu?" tanyanya (lagi) yang kini terdengar memastikan.
"Eh? Bukan hanya itu, sebenarnya aku juga ingin—" rahangku mengeras, bibirku terasa kelu saat ini. Tidak, aku tidak boleh mengatakannya kalau aku juga ingin melihat wajahnya— tidak boleh.
"Mencuri muksudmu?"
Glek. Satu tutur kata darinya menarik emosiku dalam kebohongan. Langsung saja, ekspresi kesal kututurkan padanya, namun dia tidak bergeming, seakan-akan dia tidak takut akan glare yang kuarahkan.
"Kaito-niisan! Dasar maniak es krim!" aku menggeram kesal. Aku— dikatai mencuri? Haha, sialan, tapi— aku sedikit senang karena dapat berbicara empat mata dengannya.
"Ayo cepat, Rin ada di kamarnya." Ajak Kaito-niisan. Aku mengangguk dengan debaran hati yang sungguh tidak terkontrol.
.
.
"Rin, apa kau menyukai Len?" tanyaku saat hendak berpisah dengan Rin di dekat rumahnya. Ekspresi Rin berubah menjadi dingin.
"Tidak, kok. Dan tidak akan pernah."
Aku menatap punggung Rin dengan mata yang membulat. Aku tahu, kalau Rin pasti menyukai Len, tapi— dia enggan untuk mengakuinya padaku. Kenapa?
Apakah aku harus berperan sebagai cupid di antara mereka? Seperti hal yang selalu aku lakukan jikalau ingin menyatukan insan-insan yang tengah merasakan cinta? Tapi— bagaimana denganku?
Aku hanya bisa diam dan menatap punggung Rin yang kini memasuki rumahnya. Tanpa kusadari, air mata menetes dari pelupuk mataku. Aku— gagal sebagai seorang sahabat untuk Rin. Saat ini aku tidak bisa apa-apa. Kalau dilihat dari sikap Rin yang begitu 'mengelak' hal itu dan juga Len yang terlihat 'memasrahkan' satu hal yang menghambatinya, rasanya aku tidak bisa apa-apa. Apalagi kalau memikirkan soal perasaanku pada Kaito-niisan yang nampaknya tidak menemukan titik terang. Aku— tidak bisa apa-apa. Baik pada Rin, mau pun pada diriku sendiri.
"Maaf Rin…" gumamku dengan pelan. Air mata menitik dari pelupuk mataku, memaksaku untuk segera menyembunyikan image lainku. Image yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali aku sendiri. Image dari seorang gadis yang begitu rapuh dalam hal percintaan sendiri.
Hanya mampu menangis dan juga menangis. Apa itu sosok diriku yang sebenarnya?
.
.
.
Aku berdiri mematung, menunggu kereta yang akan membawaku ke Shibuya. Rumahku sebenarnya di Shibuya, tapi aku juga tinggal di apartemen di kota Tokyo. Tapi entah kenapa, aku ingin ke Shibuya saat ini. Aku ingin menjauh dari segala hal yang menjadi beban untukku.
"Miku!" sekilas, sebuah suara terdengar di telingaku. Seperti suara— Rin? Aku pun reflek menoleh dan berusaha untuk menduga kalau itu hanyalah khayalanku saja, tapi ternyata tidak. Rin memang terlihat dari sudut lain dengan setengah berlari padaku.
"R-Rin! Apa yang kau lakukan?" tanyaku kaget. Rin mengatur nafasnya sejenak.
"A-Aku… hh… a-aku membawakanmu i-ni…" Rin memberikan sebuah tas kecil padaku. Aku hanya dapat bertajuk heran. "Memang tidak bisa dibilang sempurna, tapi kumohon terimalah!" pinta Rin sedikit menunduk padaku.
Aku hanya menangguk, lalu kubuka tas itu dan seketika wajahku menjadi cerah begitu melihat sebuah tupperware yang berisikan sup dengan bahan utama dari daun bawang.
"S-Sup negi? Nee, terima kasih, Rin! Kau repot-repot membawakanku ini!" seruku dengan rasa terima kasih yang sangat besar. Aku sudah lama tidak menikmati sup negi. Karena aku tinggal di apartemen— dan juga sendirian, jadi tidak ada yang bisa memasakkannya untukku.
"Ini Kaito-nii yang buat, lho!"
"Eh?" aku terkesiap. Dapat kutebak kalau air mukaku berubah saat ini— di hadapan Rin.
"Kaito-nii membuatkanmu ini sebagai ucapan terima kasih!" ujar Rin. Aku hanya mengangguk dan tenggelam dalam kediaman sendiri.
Apa hanya sebagai ucapan terima kasih saja?
"Oh…," responku singkat. "Ucapkan terima kasih untuknya. Maaf Rin, aku harus menaiki kereta ini, jadi dah!" aku berpamitan pada Rin dan segera memasuki kereta yang akan mengantarkanku ke Shibuya.
"Hati-hati di jalan, ya?" ujar Rin tersenyum semangat. Aku melambaikan tanganku dari dalam kereta hingga kereta meninggalkan stasiun.
Aku— apa harus menyerah tentangnya?
"Bagaimana ini?" gumamku dengan kepala yang sandarkan pada dinding kereta. Aku berdiri mematung karena seluruh kereta kini dipenuhi oleh berbagai macam orang. "Apa aku harus menyerah..?" aku mengutak-atik handphone-ku dan melihat sebuah e-mail yang sejak lama ku biarkan tersimpan di draft handphone-ku.
From: Miku_NegiNegi
To: Kaito_DarkBlueIce
Subject: Unknown
Kaito-niisan, aku ingin mengatakan satu hal padamu. Ini sudah kurasakan sejak lama. Sebenarnya aku menyukai Kaito-niisan.
Kembali lagi air mata membuat jalur di kedua pipiku. Rasanya panas dan juga pilu begitu melihat e-mail yang tidak pernah berani kukirim tersebut. Aku hanya mampu menyimpannya di draft, berharap suatu hari nanti aku memiliki keberanian dan kesiapan mental untuk mengirim e-mail ini.
"Kapan aku bisa mengirimkan e-mail ini?" aku bergumam dengan tatapan kosong, menerawang ke setiap sudut kereta.
Dapat kurasakan kalau sendi yang menahan berat tubuhku melemah. Rasanya— aku lebih lemah ketibang Rin. Aku memang kuat, tapi kuat di luar. Nyatanya, aku lemah di dalam. Hatiku rapuh. Sangat berbeda dengan Rin yang kuat di dalam, meskipun fisiknya begitu lemah.
Sesaat, aku merasa iri dengan Rin…
.
.
Aku— begitu lemah…
Aku benci dengan diriku sendiri…
Kalau seandainya Tuhan memberikanku permohonan, aku ingin terlahir kembali— sebagai orang lain yang tidak gagal seperti ini; gagal dalam percintaan maksudku.
.
"Aku— harus berdiri kembali!"
Eh?
"Aku tidak akan takut untuk ditolak! Bagaimanapun, percintaan pasti memiliki sisi yang pahit, bukan?"
Perhatianku tertuju pada sosok gadis yang sepertinya seumuran denganku. Dia berseru dengan hal yang baru saja dia ucapkan tanpa perasaan ragu?
Sangat berbeda denganku ini…
Aku terlalu penakut…
Sedangkan gadis itu— semangatnya menggebu-gebu, layaknya api yang berkobar di medan perang. Dan aku— Hatsune Miku— kenapa harus terjatuh?
Image-ku adalah sosok gadis ceria yang tidak kenal yang namanya takut— aku bahkan selalu melindungi Rin dengan karateku yang mencapai sabuk hitam. Cinta— kata gadis itu benar. Bagaimanapun kita harus menyiapkan mental jikalau jatuh cinta, bukan? Daripada memendamnya seperti ini akan membuat hatimu sakit, Miku!
Aku— semangatku telah kembali seutuhnya.
Aku tidak takut lagi akan yang namanya cinta!
"Hei—" kutepuk lembut pundak gadis itu sembari tersenyum tulus padanya. Reflek, gadis itu menoleh dengan wajah heran padaku. "—terima kasih." Ucapku sembari menekan beberapa panel di layar handphone-ku.
"A-Apa?" gadis itu nampak keheranan. Namun kuabaikan, aku berjalan meninggalkannya karena kereta telah berhenti di Shibuya.
From: Miku_NegiNegi
To: Kaito_DarkBlueIce
Subject: Unknown
Kaito-niisan, aku ingin mengatakan satu hal padamu. Ini sudah kurasakan sejak lama. Sebenarnya aku menyukai Kaito-niisan.
Kutarik nafas dalam-dalam, lalu dengan mata yang terpejam, aku menekan tombol send— aku berhasil…?
Aku— berhasil mengirimnya…? Perasaan ini yang kuterakan dalam bentuk e-mail telah terkirim…?
Aku hanya tersenyum kecil, lalu segera kumatikan handphone-ku. Bukannya aku pengecut, aku hanya ingin membuatnya kaget setengah mati begitu membaca e-mail ini. Namun, sebelumnya kalian harus tahu, berapa jumlah e-mail yang kukirimkan padanya.
Ada 30 e-mail yang sama— dia pasti akan kaget!
Dan esok, aku bersiap untuk menerima jawabannya.
Ya atau tidak, yang jelas aku— Hatsune Miku telah berhasil berdiri dan mengungkapkan perasaanku padanya!
END
A/N: Hiks… fic apaan ini…? DX
Gak tahu bagus atau tidak. Dan menurutku banyak typo karena saya ngetiknya dengan konsentrasi yang kuraaaaang banget! Gomen ne,
Ini adalah cerita kecil dari Love, Disease and The Remaining Time XDD Maaf kalau masih ada yang kurang XDD
Terakhir, berikan masukan ya? Agar saya niat lagi ngetik Miku :D
Rin 'aichii' Kagamine
