Disclaimer:
Naruto © Masashi Kishimoto
Aisu Kurimu © Aoi Haruno
Warning: AU, CRACK, OC, OOC, TYPO(S), kayak sinetron, lebay, gaje.
Bicara langsung: "Blablabla"
Bicara dalam hati: 'Blablabla'
Tidak menggunakan Japanese honorifics
.
.
.
~Aisu Kurimu~
-1-
.
.
.
Hinata's point of view
Aku pernah bekerja menjadi seorang patissier di salah satu hotel berbintang di Tokyo. Aku hanya bekerja selama dua tahun, karena diberhentikan dengan alasan yang sudah terpikirkan olehku bahkan sebelum aku melamar ke sana. Alasannya adalah, karena aku hanyalah lulusan SMK swasta jurusan tata boga. Sedangkan pelamar baru yang menyisihkanku, adalah seorang lulusan universitas negara tetangga yang terkenal dan terbukti telah menciptakan lulusan yang berkualitas di bidang tata boga. Dia lulusan salah satu universitas di Paris. Huh! Tentu saja aku kalah. Tapi di balik semua itu, aku tahu ada alasan lain yang mendasari pemecatanku, dan aku tidak ingin mengingatnya. Dulu aku diterima karena seseorang, dan aku dipecat juga karena orang yang sama.
Itu kejadian tiga tahun yang lalu. Sekarang, aku sudah dua puluh tiga tahun. Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk membuka kedai es krim di bekas toko kelontong ayahku yang berdiri tepat di samping rumahku. Kenapa membuka kedai es krim? Kenapa tidak toko roti atau cake? Adik perempuanku menanyakan itu, dan jawabanku adalah, "Karena bahan baku dan peralatan yang dibutuhkan untuk membuka usaha es krim, lebih mudah didapat daripada untuk roti atau cake." Itu jawabanku, tapi yang sebenarnya, masalah utamanya waktu itu dikarenakan modal yang hanya cukup untuk membuat es krim, yang bahan bakunya tidak sebanyak roti atau cake. Lagian, menurutku penggemar es krim berasal dari semua kalangan, itu menguntungkan. Apalagi kedai kami dilewati siswa-siswi setingkat SMA yang sering berjalan kaki melewati jalan di depan rumah, ini keuntungan dobel.
Adikku lebih memilih membantuku di kedai setelah lulus dari SMK, daripada melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal aku bekerja dan memutuskan melakukan semua ini untuk pendidikannya, selain untuk memenuhi kebutuhan kami yang hanya tinggal bertiga sejak tiga tahun yang lalu. Tapi, apa boleh buat, aku tidak bisa memaksanya. Dia keras kepala, dia hanya akan melakukan hal yang dimaunya saja. Katanya, "Untuk saat ini, aku belum butuh kuliah. Aku 'kan sudah kerja. Kuliah ujung-ujungnya juga untuk kerja kan…" Begitulah dia itu. Dasar!
Aku dan adikku merintis usaha ini benar-benar dari nol. Kami membersihkan dan mengecat sendiri bekas toko yang sudah kumuh itu. Aku membeli peralatan dan perlengkapan kedai dari uang tabunganku bekerja sebagai patissier. Awalnya kami hanya menjual es krim biasa khas Jepang, seperti matcha dengan rasa teh hijau atau ogura yang berbahan kacang merah, karena keterbatasan modal. Tapi seiring bertambahnya waktu dan keuntungan, kami memutuskan untuk berinovasi. Kami telah menciptakan menu baru, di antaranya Ice Cream Cake. Dulu memang kedai, tapi sekarang kedai es krim kami setara dengan café eksklusif yang menyediakan es krim dengan banyak variasi jenis. Tentu rasa juga setara dengan es krim café. Karena itu, sekarang kami memiliki banyak pelanggan.
Sekarang aku dan adikku tidak bekerja sendiri. Kami dibantu beberapa pegawai dan terkadang juga pekerja part time. Aku juga membuka kursus bagi segala usia, tentu ini dilakukan langsung di dapur kami. Biasanya yang datang untuk mengikuti kursus adalah para siswa-siswi SMK, yang kebanyakan adalah adik kelasku yang memang sekolahnya tidak jauh dari rumahku. Bahkan dulu aku hanya jalan kaki jika ke sekolah. Pegawai yang kurekrut juga kebanyakan teman-temanku dari SMK, dengan keahlian yang berbeda-beda. Ada yang ahli membuat cake, waffle, atau pancake. Aku membutuhkan mereka semua untuk menu-menu baru yang disediakan di café saat ini.
Sepertinya perkenalannya cukup sampai di sini…
Langsung saja…
Selamat datang di café kami…
Aisu Kurimu
.
.
.
Normal pov
"Hinata! Lihat nih! Bukannya dia…" Kalimat laki-laki berambut coklat itu menggantung saat Hinata menerima majalah yang disodorkannya.
Hinata hanya diam saat melihat gambar seseorang di cover depan majalah.
"Dia kembali," lanjut si rambut coklat.
"Memangnya kenapa, Kiba?" tanya Hinata yang tetap berwajah tenang. Ia mengembalikan majalah ke tangan Kiba.
"Bukannya dia suam—"
"Bukan lagi," potong Hinata cepat. "Sudah waktunya kita membuka café, ganti dulu pakaianmu dengan seragam," lanjut Hinata yang mulai melangkahkan kakinya ke dapur café. Hinata memang lebih suka bekerja di dapur daripada melayani pelanggan.
"Kak! Hōbi udah bangun! Nangis terus tuh!"
"Jangan teriak-teriak, Hanabi…" tegur Hinata lembut.
"Nggak apa-apa 'kan… Belum ada pembeli juga…"
Hinata hanya tersenyum dan melangkahkan kakinya cepat ke rumahnya yang ada di samping café. Rumah mungil berlantai dua bergaya tradisional Jepang, dengan lantai dua yang hanya diisi satu kamar.
"Iya, tapi telingaku sakit denger suara cemprengmu," timpal Kiba sambil mengorek telinga kanannya.
"Bodo amat!" Hanabi berteriak di telinga kiri Kiba yang tidak tertutup jari, membuat Kiba cepat menutup kedua telinganya seketika.
"Dasar cewek nggak sopan! Aku lebih tua darimu, tau!" Kiba berteriak di muka Hanabi. Boleh-boleh aja sih kalau mau teriak-teriak, tapi nggak perlu pakai kuah kale…
Hanabi mengelap wajahnya yang basah, lalu mengibaskan tangannya dengan jijik. Tatapan jijiknya juga masih mengarah pada Kiba.
"Iiihhh…" Hanabi mengatakannya sambil bergidik, dan melangkah pergi ke rumahnya. Mungkin mau membasuh mukanya dengan kembang tujuh rupa, biar sialnya ilang. Pagi-pagi udah kena semprot. Namanya apa kalau bukan sial, coba?
"Awas kau ya!" teriak Kiba yang hanya dibalas juluran lidah Hanabi.
"Bisa-bisa kau jatuh cinta padanya… Kau tahu, batas antara benci dan cinta itu sangat tipis." Suasana hati Kiba yang sedang kesal semakin memburuk karena petuah singkat dari si pria berambut nanas yang tiba-tiba nongol. Memangnya sejak kapan si cuek jadi puitis? Uaneh!
"Amit-amit jabang bayi!" seru Kiba sambil mengetukkan kepalan tangannya di kening dan meja dapur secara bergantian. "Amit-amit… amit-amit…" Dan mulutnya masih terus komat-kamit. Mungkin akan berhenti kalau sudah berbusa.
.
.
.
"Bunda…" Suara cempreng khas bayi yang menyambut Hinata di ambang pintu kamarnya, membuat Hinata menoleh. Anak laki-laki berambut merah jabrik yang mengenakan piyama kuning, berlari mendekati Hinata yang masih menutup pintu rumahnya. Tingginya belum mencapai seratus centimeter, sepertinya umurnya tak lebih dari tiga tahun. "Bunda…" ucapnya manja. Suaranya sedikit parau, dan tangannya mengucek matanya yang basah.
Hinata berjongkok, memeluk dan membelai rambutnya dengan lembut. "Cup cup cup… Kenapa nangis, Sayang?"
"Bibi Hanabi jahat…" katanya sambil mengerucutkan bibirnya, membuat pipi chubby-nya semakin menggembung.
"Hei hei hei…" Hanabi tiba-tiba sudah muncul dari pintu depan rumah mereka. "Udah aku bilang berkali-kali 'kan Hōbi, aku nggak mau dipanggil Bibi. Panggil kakak…" kata Hanabi sambil menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan muka Hōbi.
Hōbi mulai mewek lagi. Bibir mungilnya bergetar, dan air mata sudah siap meluncur dari sudut matanya.
"Huh, cengeng… Cowok nggak boleh cengeng, tau…" ejek Hanabi seraya menjewer kedua pipi empuk Hōbi.
Itu malah membuat Hōbi kembali menangis di pelukan ibunya. Kedua tangannya melingkari leher Hinata, sedangkan mata emerald-nya melihat Hanabi dengan tatapan takut.
"Cengeng cengeng… cengeng cengeng…" Hanabi masih terus melontarkan yell-yell, sampai suaranya terdengar samar karena masuk ke kamar mandi.
Hinata hanya menggelengkan kepalanya pelan. Bosan melihat adik dan anaknya yang tidak pernah akur. Hanabi memang tidak suka dengan anak kecil. Itu yang membuatnya selalu menjahili Hōbi. Ia menepuk pelan punggung Hōbi untuk menenangkannya.
Hinata berdiri dan menggendong Hōbi menghadap ke arahnya. Ia memandangi wajah putranya lekat-lekat, dan dengan lembut menghapus sisa air mata di pipi chubby Hōbi. "Ayo mandi," ajaknya semangat dengan senyum mengembang. Hōbi mengangguk semangat dan ikut tersenyum setelahnya.
.
.
.
"Shikamaru, Ice Cream Waffle dua, meja nomor sembilan belas," ucap Kiba pada Shikamaru yang sedang memanggang wafel di belakang counter café.
"Oke," jawab Shikamaru malas.
"Eh, para pekerja part time udah dateng tuh!" seru laki-laki beralis tebal yang tiba-tiba mengalungkan tangannya di leher Kiba yang masih di depan counter.
"Apa-apaan kau ini, Lee!" bentak Kiba seraya menjauhkan tangan Lee dari pundaknya. "Aku masih normal, tau!"
"Aku 'kan juga normal," kata Lee dengan polosnya, sambil mengarahkan jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
"Berisik!" timpal Shikamaru dari belakang counter.
Kiba tidak berminat berdebat dengan mereka, apalagi saat para pengunjung melihat ke arahnya dengan tatapan heran. Pasti para pengunjung terusik dengan suaranya yang menggelegar. Ia hanya membungkukkan badannya kepada para pengunjung, dan setelahnya tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal disertai cengirannya.
"Lee, bawa para pekerja itu ke Hinata." Kali ini Kiba berkata dengan pelan.
"Oke, Bos!" balas Lee semangat dengan tangan yang mengisyaratkan sikap hormat.
Lee membimbing dua orang yang sebelumnya menunggu di depan café, ke tempat Hinata sekarang berada. Di dapur café.
"Hinata, mereka udah dateng nih!" seru Lee semangat sambil mengacungkan jempolnya ke Hinata. Tidak lupa senyum gigi berkilaunya.
Hinata hanya membalas dengan senyum. Ia kemudian memperkenalkan dirinya kepada dua pekerja part time barunya, yang katanya masih kuliah.
"Salam kenal… Aku Chōji Akimichi. Ini kartu mahasiswaku…" ucap laki-laki gend—err jangan katakan gendut di depannya. Aa… Author baru saja mengatakannya. Maksudnya laki-laki chubby yang kemudian menyerahkan kartu tanda mahasiswanya ke Hinata.
Hinata menerima dan membacanya sejenak, kemudian mengembalikannya.
"Aku Naruto Namikaze, dua puluh tahun, kuliah semester empat. Untuk lebih jelasnya kau bisa lihat kartu mahasiswaku." Perkenalan dari laki-laki berambut pirang yang kemudian menunjukkan cengirannya yang lebar. Wajahnya bersemu merah saat Hinata tersenyum padanya. Ia jadi terlihat salah tingkah setelahnya.
"Yang sopan ya… Hinata ini lebih tua darimu…" kata Lee yang memasang tampang tak berdosa.
"M..masa?" Naruto memandang Hinata dengan tatapan tak percaya. Sedangkan Chōji hanya mengangguk tanda mengerti.
Hinata membalasnya dengan ketawa kecil.
"Selamat bergabung di café kami. Kami akan membutuhkan tenaga kalian sampai Natal nanti. Semoga kalian betah…" Seperti biasa, Hinata memberikan kalimat sambutannya kepada pekerja paruh waktunya dengan ramah.
"Tentu saja, aku pasti betah…" Chōji pasti memang betah jika berada di tempat yang penuh makanan. Ia tak bisa sedetik pun jauh dari yang namanya makanan. Lihat saja di tangannya saat ini, sekantung besar keripik kentang yang tersisa setengahnya. Kadang-kadang kalau nggak ada snack, permen juga boleh lah…
"Aku tinggal dulu ya…" pamit Hinata yang membungkukkan badannya sedikit ke arah Naruto dan Chōji.
Selanjutnya Naruto hanya bisa melihat punggung Hinata yang menjauh, senyum terus mengembang di bibirnya.
"Kau kenapa, Naruto?" tanya Chōji sambil menyikut Naruto yang masih asyik dengan lamunannya.
"A..apa?" Naruto balik bertanya dengan gugup.
"Kau menyukainya, ya?" tanya Lee dengan polosnya.
"A..apaan sih…" Naruto masih terlihat gugup. "Ah, iya! Kita bisa mulai kerjanya 'kan…" Naruto mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Tentu," balas Lee dengan semangat. "Ayo semangat! Yeah!" Lee mengepalkan tangan kanan di depan dadanya.
'Orang aneh…' batin Naruto dan Chōji.
.
.
.
Hōbi yang duduk di depan kotatsu, sedang mengamati makanan yang disiapkan Hinata. Warnanya yang tampak hijau tidak menarik perhatian Hōbi. Itu malah membuat Hōbi menutup mulutnya rapat-rapat saat Hinata mencoba menyuapinya.
'Memang susah menyuruh anak-anak untuk makan sayur,' batin Hinata.
"Aku mau ini aja…" seru Hōbi seraya meraih gelas yang berisi susu cokelat dan menegaknya hingga tersisa setengahnya.
Hinata hanya menghela nafas lelah.
"Aku mau main sama paman-paman di café…" teriak Hōbi yang sudah berlari menjauhi kotatsu.
"Hōbi, makan dulu…" Hinata siap mengejar Hōbi yang sudah lari keluar rumah. Tapi perhatiannya teralihkan pada suara teko yang menandakan air di dalamnya sudah mendidih. Ia pergi ke dapur untuk mematikan api di kompor yang masih menyala.
Hōbi berlari ke depan café ibunya. Aisu Kurimu Café. Matanya berbinar saat melihat sosok berambut merah, yang melipat kedua tangannya di dada dan menyandarkan punggungnya di pintu sedan merah maroon yang berhenti di depan café. Pandangan si rambut merah mengarah ke café.
"Ayaaah…" teriak Hōbi yang sudah berlari mendekati si rambut merah.
Pemilik rambut merah menoleh ke arah datangnya Hōbi. Wajahnya yang tenang tampak sedikit bingung. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hanya ada dirinya dan anak laki-laki kecil yang berlari ke arahnya.
Hōbi melingkarkan kedua tangannya di kaki si rambut merah. Ini membuat pemilik kaki semakin menunjukkan wajah kebingungan. Tapi sepertinya orang itu pandai sekali menyembunyikan emosinya, karena raut wajahnya kembali tenang tidak lama kemudian.
"Ayah…" panggil Hōbi dengan kepala mendongak ke atas.
Si pemilik rambut merah menatap Hōbi dengan heran. Bagaimana bisa ia dipanggil 'ayah' oleh anak kecil yang baru ditemuinya?
Hōbi perlahan melepaskan pelukan tangannya. Setelahnya ia melompat kecil hendak meraih tangan si rambut merah.
Pemilik rambut merah berjongkok di depan Hōbi, seketika membuat Hōbi tidak lagi melompat. "Hey… Apa kau mencari ayahmu?" tanyanya dengan senyum tipis, gemas melihat pipi chubby anak laki-laki yang hanya setinggi pundaknya saat ia jongkok.
Hōbi hanya mengangguk dengan semangat. Matanya berbinar, dan senyum terus mengembang di bibirnya.
Si rambut merah berdiri dan meraih Hōbi ke dalam gendongannya. Hōbi semakin terlihat senang, kedua tangannya melingkari leher si pemilik rambut merah dan kepalanya dijatuhkannya ke pundaknya. "Ayah…" panggilnya manja.
Pemilik rambut merah sebenarnya masih bingung dengan anak kecil yang tiba-tiba memanggilnya ayah. Ia berpikir anak kecil dalam gendongannya adalah anak dari salah satu pengunjung café di depannya. Tapi anehnya, tadi ia tidak melihatnya keluar dari sana.
"Hōbi… makan du—" panggil Hinata yang berdiri di depan rumahnya.
Hinata terpaku di tempat saat menemukan Hōbi dalam gendongan sosok berambut merah yang senada dengan rambut anaknya. Jantungnya mendadak berdetak cepat.
Si rambut merah menoleh ke arah Hinata saat menyadari kehadiran orang lain di sana. Raut wajahnya berubah saat melihat Hinata. Senyum tipis yang semula hadir, kini perlahan memudar. Tatapannya berubah lembut, tatapan yang menyiratkan kerinduan yang dalam. Tiba-tiba ia merasakan tangannya melemas. Ia menurunkan Hōbi yang masih betah menyandarkan kepalanya di pundaknya. Ia masih berjongkok karena Hōbi tidak mau melepas kedua tangan yang melingkari lehernya. Ia kembali menoleh ke arah Hinata, Hōbi mengikuti arah pandangnya.
"Bundaaa…" teriak Hōbi semangat saat menyadari Hinata ada di sana. Ia melepas pelukannya pada si rambut merah, dan berlari ke arah Hinata. "Bunda…" panggilnya lagi saat kedua tangannya melingkari kaki Hinata.
Pria berambut merah sedikit membulatkan matanya saat melihat pemandangan di depannya. Perlahan ia berdiri dari posisi jongkoknya dengan mulut sedikit terbuka, menandakan keterkejutannya juga seolah ingin mengatakan sesuatu. Apa yang akan dikatakannya seperti tertelan kembali, ia kemudian mengatupkan bibirnya kembali.
Hinata tertegun. Mata lavender-nya yang berkaca-kaca, bertemu mata emerald yang sewarna mata anak laki-lakinya.
"Kak Gaara…" gumam Hinata dengan suara bergetar.
.
.
.
~To Be Continued~
.
.
.
Di sini ada OC, anaknya Hinata. Hōbi Hyūga.
Kok aneh banget ya namanya?
Hōbi = anugerah, hadiah
Saya anggap artinya anugerah.
Biarin deh aneh sedikit juga nggak apa-apa. *menghibur diri sendiri*
.
.
.
~Go Koui~
~Arigatou Gozaimashita~
.
.
.
~Review Please~
.
.
.
