Kita hidup dimana kekuatan dewa juga ikut menyertai—abadi. Dimana dunia bawah adalah tujuan ketika kematian menjemput. Dan jika masa itu telah tiba, berapa dolar, euro, atau pounds—kadang mata uang tidak menjadi penting, tinggal kebaikan hati Charon atas tip-tip kecil untuk menyeberangkan ke padang penghakiman. Dimana di sana sudah menunggu, Minos, Rhadamanthys, dan Aiacos. Ada kalanya kebaikan di dunia akan mengantarkan ke Elisyum, katakan itu surga. Dan kalau ketiga Hakim Neraka memutuskan kelamnya semasa hidup tak terampuni, dasar Tartarus menunggu untuk siskaan panjang.
Dunia tidak pernah stabil, ketamakan manusia semakin lepas dari kendali. Tidak perlu disebutkan negara-negara yang masih berperang, ketidakselarasan bukan sekedar campur tangan Dewa lagi. Athena dan Hades bahkan tidak ikut dalam kekacauan manusia. Hades tidak ingin memicu Holy War, dunia sudah sedemikian kacaunya, kematian sudah sedemikian besarnya tanpa ia membuat perkara dengan Athena—mengurus Underworld saja sudah menyita tenaga.
Sekalipun Hades dan Athena telah mendeklarasikan damai, tapi tidak memberikan efek apapun pada dunia. Menyisakan pekerjaan yang tidak ada habisnya di Dunia Bawah. Antrian panjang jiwa-jiwa menunggu penghakiman, membuat para Hakim Neraka ingin langsung melempar mereka semua ke Tartarus—buat apa pembacaan laporan hidup, kalau memang itu bergelimang dosa.
Tapi semua itu, pekerjaan seberat apapun, sekacau apapun dunia saat ini. Untuk sejenak sesibuk apapun Underworld, berikan waktu untuk mereka—untuk kehidupan pribadi di dunia. Sejenak lupakan kekuatan para dewa. Dunia tidak akan runtuh sekalipun mereka menikmati gemerlap kehidupan manusia.
-o-o0o-o-
A Minos x Albafica fanfiction
Alternative Time, Alternative Reality, and lil bit Mithology
Kali Terakhir
By Niero
Saint Seiya © Kurumada Masami
Saint Seiya Lost Canvas © Teshirogi Shiori
-o-o0o-o-
.
PART I
.
London, 2013. Winter.
Salju melayang pelan di udara, berputar mengikuti angin sebelum mendarat dan mencair di telapak tangan seorang pemuda rupawan. Syal tebalnya berwarna hijau—tampak selaras dengan coat hitam dan rambut keperakannya yang tergerai panjang. Tangan kanannya masih terjulur, menunggu salju lain yang akan mendarat di sana. Seperti itu ia melihat kehidupan, jika dibandingkan dengan hidupnya juga waktu hidup para Dewa, kehidupan manusia itu singkat selayak mencairnya salju—hilang karena panas. Menguap menjadi wujud yang lain—seperti reinkarnasi yang tak selamanya manusia akan kembali menjadi manusia.
Reinkarnasi. Sebuah takdir lain, kesempatan yang diberikan kepada manusia. Keabadian memang tidak bisa dimiliki, namun terlahir kembali bukan pula pilihan yang buruk. Hanya saja, jiwa yang telah bereinkarnasi bisakah mengingat masa lalu mereka? Tidak.
Bukan waktunya untuk memikirkan hal sentimentil seperti itu. Minos, pemuda bersurai perak tersebut lebih dari sekedar kesal dengan cuaca negara ini. Ia jauh-jauh dari Underworld, untuk menikmati matahari, bukan gundukan putih di sepanjang mata memandang. Lebih tepatnya ia salah musim, serta salah tempat—terlebih London. Ia menyesal tidak pulang ke Oslo saja, meskipun akan sama saja, salju dan salju. Oh, dan kenapa ia tidak pergi ke wilayah tropis alih-alih London.
"Damn it!" ia hanya merutuk pelan, menggunakan bahasa lokal dimana ia berada.
Dan derum halus mobil sport memasuki gerbang, dari tempat Minos berdiri—mobil berwarna hitam dengan corak kuning itu terlihat mendekat ke arahnya.
"Kau sudah datang?" pemuda tegap dengan surai pirang yang baru keluar dari mobil sport keluaran Bugatti itu bahkan sama sekali tidak tersenyum, terlalu kaku seperti biasa. "Kenapa tidak langsung masuk saja, Minos?"
"Kau sebagai tuan rumah, harusnya ada di tempat saat tamumu datang."
Rhadamanthys, sang Hakim Neraka berambut pirang hanya melambaikan tangan singkat, meminta Minos mengikutinya masuk ke dalam mansion megah itu. "Sejak kapan kau menjunjung tata krama dan berperilaku selayaknya tamu di rumahku," sebelum membuka pintu, ia teringat sesuatu. "Mobilmu sudah sampai kemarin, ada di garasi."
Senyum puas tersungging dari bibir Minos, setidaknya ada hal bagus yang akan ia nikmati. Bangunan di sebelah rumah utama, yang menyimpan koleksi mobil mewah itu menjadi tujuannya. Mengabaikan salju yang jatuh ke kepalanya, ia lebih tertarik untuk segera melihat pilihan mobilnya. Lamborghini keluaran terbaru, warna silvernya yang mengkilat, dan semua itu menarik hasratnya untuk segera memacunya di jalan raya. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan di dunia bawah tentu saja—kecuali jika ingin mencari perkara dengan menghancurkan ladang-ladang opium yang ditanam anak-anak Hypnos.
"Kau benar-benar akan mencarinya?" suara Rhadamanthys terdengar penuh selidik, bercampur dengan sedikit kegurasan. Bersandar pada kisi pintu dorong yang terbuka lebar, sambil bersidekap memandang jengah pada Minos, ia sudah malas dengan perputaran takdir yang akan disaksikannya—lagi. "Jangan mengelak. Dia di London, dan kau tidak akan berada di sini saat ini jika tidak untuk dia. Mau sampai berapa abad lagi kau begini?"
Minos menghela napasnya, ia pun lelah. Tetapi tidak bisa berhenti, melepas hal ini jauh lebih berat baginya. Sedikit waktu bersama, lebih baik daripada tidak sama sekali.
"Aku hanya akan memastikan keberadaannya. Dia akan mati lagi jika bertemu denganku." kata Minos, sama sekali tidak memandang lawan bicaranya, matanya terpaku pada mobil barunya, sekalipun pikirannya berada di tempat lain.
"Kau pikir hanya melihatnya dari jauh, ikatanmu dengannya tidak akan terjalin?" pembicaraan di garasi ini, tanpa terasa menjadi berat. "Dan dia hanya manusia biasa, Minos, tidak mungkin bisa terus bereinkarnasi. Setelah ini, aku sebagai Lord Elysium akan benar-benar memutus garis reinkarnasinya."
"Tidak ada yang tahu nasibnya di reinkarnasinya kali ini. Dia bisa saja menjalani kehidupan sampai tua, menikah, memiliki anak..."
"Ha. Ha." terdengar tawa Rhadamanthys yang begitu menjengkelkan. "Betapa hipokritnya kau ini. Aku berani bertaruh, kau tidak akan tahan untuk tidak mendekatinya lagi. Kau tidak akan bisa menerima kalau dia memiliki kekasih lain. Kau terlalu mencintai manusia ini—dan Thanatos akan senang menjemput jiwanya kemudian."
Pilihannya, adalah membungkam mulut Rhadamantys yang laknat itu. Tapi yang dilakukan Minos adalah bergegas memasuki mobil barunya—dan mengemudikannya di jalanan. Tidak mau telinganya semakin panas dengan asupan kata-kata dari Rhadamanthys. Memang, apa yang dikatakan oleh rekan sesama Hakim Neraka itu benar adanya. Ia tidak bisa mengatakan tidak, sekalipun pikirannya memerintahkan tidak, tubuhnya akan bergerak otomatis mendekati Sang Mawar. Lucu sekali, bahkan sekarang pun ia memacu mobilnya mengikuti insting, mengejar aroma mawar yang samar mengganggunya.
Ia tidak berharap menemukannya secepat ini, mengemudikan mobilnya menuju London Barat termasuk hitungan cepat, waktu yang bergulir dalam hitungan jam atau bahkan hari hanya sekejap jika memiliki keabadian.
Fulham, tidak lebih baik, salju tebal memenuhi atap-atap bangunan dan pinggir jalan. Namun bagunan di depannya jelas seperti memiliki dunianya sendiri, rumah kaca yang terlalu hijau dengan tambahan warna-warna cerah mencolok dari bunga-bunga bermekaran. Mawar lebih mendominasi. Penciuman Minos benar-benar terdistraksi oleh bau mawar dari tempat ini, wangi bunga mawar ataukah wangi dari mawarnya, mawar yang pernah dimilikinya. Minos masih menimbang, apakah akan keluar dari mobilnya atau menunggu saja—melihat dari kejauhan seperti rencananya. Dan ia nyaris menghambur keluar saat melihat pemuda dengan surai biru muda melenggang di balik dinding kaca, membawa sebuket mawar merah. Tampaknya melayani pelanggan yang membeli bunga.
Sejenak, Minos hampir yakin. Hampir bersorak senang dengan apa yang ditemukannya. Sampai ia melihat wajah, postur tubuh, gerakan, ekspresi saat melayani pembeli bunga. Sosok itu, bukan sosok yang dicarinya.
"Tidak," Minos mendesis pelan. "Bukan dia, tidak mungkin orang itu yang membawaku ke sini. Tidak mungkin dia. Seharusnya bau mawar ini, seharusnya… Albafica!"
Menggelengkan kepala, tangannya mencengkeram steering wheel erat-erat—ia tidak percaya bisa salah mengenali wangi mawar. Ternyata memang tidak semudah itu, memang tidak mudah menemukan reinkarnasi mawarnya. Menyalakan mesin mobil dan ia memilih bergegas pergi.
.
Pemuda itu, dengan nama Aphrodite—benar, pemuda, sekalipun nama dan kualitas rupa secantik wanita, ia adalah pria. Ia terlihat riang, bersenandung-senandung kecil di dalam rumah kaca, memotong tangkai-tangkai mawar, merawat bermacam bunga—memberinya pupuk, menyemprotnya dengan perangsang bunga dan daun, serta sederet kesibukan lain. Intinya ia selalu bahagia jika menenggelamkan diri di tempat ini, tidak peduli di luar bersalju, hujan badai, atau cuaca apapun—istananya ini akan selalu hangat dan memekarkan bunga.
Sesekali pelanggan datang ke florist yang berada tepat di sebelah rumah kaca—hanya bersekat dinding kaca, ia sudah terlihat sangat biasa dengan bunga dan pekerjaannya. Hanya saja kebiasaan bersolek dahulu tak pernah terlewat, memastikan dirinya menawan untuk melayani pembeli. Sekalipun tangan belepotan pupuk, wajahnya harus senantiasa cantik—harap dicatat itu. Ia memang cerminan androgini.
"Dite,"
Aphrodite yang masih sibuk memotong mawar seketika menghentikan kegiatannya, juga melempar gunting—ia memprioritaskan menghampiri sosok lain yang bersandar di diding yang memisahkan rumah kaca dan tempat tinggal di bagian belakang. "Kakak, kenapa keluar? Sudah aku bilang, panggil aku jika membutuhkan sesuatu, kau harus banyak istirahat."
"Hei, jangan perlakukan aku seperti orang sekarat."
"Tapi..." Aphrodite masih ingin membantah, namun ia mengerti betapa keras kepalanya kakaknya itu. Akhirnya ia hanya memegangi lengan kakaknya, yang kemudian membuatnya beringsut karena lagi-lagi ia didorong untuk menjauh. "Kakak," lirihnya, ia hanya mengikuti di belakang sampai kakaknya itu duduk di sofa yang berada di sisi lain rumah kaca.
Keduanya begitu identik, rambut biru muda panjang, dan keindahan wajah yang sempurna. Tapi tetap tidak sama. Sang kakak, Albafica, dengan pesona keindahan mawar sejati namun lebih berduri, dan dengan keangkuhan lebih tinggi dari egonya sendiri. Hanya bisa dipandang, tidak untuk disentuh—kecuali ingin kecewa dan sakit hati, duri sang mawar terlalu tajam dan beracun.
"Apa kau tadi memanggilku, Dite?" tanya Albafica kemudian, sambil membenahi syal yang melingkar di lehernya.
"Aku?" Aphrodite menunjuk mukanya sendiri dengan bingung, "Tidak."
Albafica mengarahkan pandangannya ke sekeliling, melihat keluar menembus dinding kaca—salju di luar belum berhenti, di sana pasti dingin. "Aku mendengarnya tadi, ada yang memanggil namaku."
"Tidak ada siapa-siapa di sini, tadi ada pelanggan—tapi tidak ada yang memanggilmu."
"Begitukah," kata Albafica sangsi. Apakah ia setengah bermimpi, meski rasanya ia belum tertidur, tidak penting juga sebenarnya. Sejak kondisi tubuhnya tidak bagus—ia benci menyebut dirinya sakit, dan ia tidak suka diperlakukan seperti orang sakit. Kadang, ia memang seperti merasa ada yang memanggilnya, ada perasaan mengganjal yang sama sekali tidak dimengertinya. "Lanjutkan pekerjaanmu," katanya kemudian.
"Iya... Iya... Bunga itu tidak akan layu sekalipun aku tinggal tidur siang." ucap Aphrodite sambil bergegas menekuni mawarnya lagi.
Albafica sama sekali tidak meragukan kemampuan adiknya dalam hal botani, ia paham benar bagaimana adiknya itu jika sudah berada di dekat mawar. Tapi beberapa hari belakangan, rumah kaca dan florist sebesar ini, hanya Aphrodite sendiri yang mengurusnya. Kondisi tubuh Albafica melemah, dan ia tidak bisa berlama-lama bekerja. "Maaf ya, Dite. Kau jadi kehilangan waktumu untuk pergi keluar dengan teman-temanmu karena sibuk di sini."
"Kau ini bicara apa," Aphrodite menyahut, "Aku suka sekali dengan tempat ini, menghabiskan hidupku di sini pun tak masalah. Lagi pula… Angelo dan Shura sebentar lagi datang untuk membantu." ia agak memelankan suaranya saat menyebut dua nama itu.
"Oh, sebenarnya yang mana sih pacarmu?" goda Albafica. Karena ia sendiri tidak mengerti hubungan adiknya dengan dua orang itu sebenarnya bagaimana, terlalu intim jika disebut teman, tapi kalau berpacaran, dengan yang mana—mereka bertiga tidak terpisahkan. Tidak mungkin juga mereka bertiga—tidak mungkin, kan?
"Ih, apaan. Seharusnya kakak yang mencari pacar, turunkan standartmu, jangan terlalu pemilih, jangan terlalu galak pada orang-orang yang mendekatimu." jelas sang adik panjang lebar. "Tapi kalau preman kampung bertampang hooligans yang kelihatan suka cari rusuh di Stamford Bridge—macam Manigoldo itu, aku tidak setuju."
Mau tidak mau Albafica tergelak. Tapi cepat ia berhenti karena sesaat kepalanya terasa pusing. "Tidak apa-apa," ucapnya saat melihat raut khawatir di wajah Aphrodite.
"Tapi Manigoldo itu sepertinya sudah menyerah mendekatimu, terakhir kali kau mengusirnya dengan kejam." Aphrodite mendengus, atau sebenernya ia menghembuskan napas disertai tawa pelan sadis.
"Aku tidak bisa memiliki hubungan seperti itu—berpacaran, memiliki pasangan. Tidak dengan kondisiku."
"Kenapa sih, tetap saja—kau berhak bahagia."
Albafica tidak segera menjawab, diam sejenak memandang pada bunga-bunga, namun terlihat menerawang, sama sekali tidak fokus. "Tapi orang yang bersamaku tidak akan bahagia. Pada akhirnya aku akan—"
"Ah! Cukup," seru Aphrodite, tampangnya sudah ingin menangis saja tiap kali mendengar nada putus asa dalam perkataan Albafica, "Jangan bicara yang tidak-tidak lagi."
Menghela napasnya pelan, ia menurut untuk tidak berbicara—kalau dirasakan, diam lebih menentramkan. Albafica tidak mau adiknya sedih jika ia mengungkit kondisi tubuhnya, jika kini sudah menerima, seharusnya tidak perlu diungkapkan lagi bukan—karena apapun yang dilakukannya tidak akan bisa mengubah keadaan. Sudah habis kemarahan dan kekecewaan, sudah kering air matanya, sudah hilang keinginan untuk membalas dendam atau menuntut habis habisan. Bunga-bunga yang dulu dihancurkannya, pelampiasan karena tidak menerima fakta sekarang sudah bermekaran dengan indah, hidupnya mungkin pupus—tapi bunga yang tumbuh lagi memberinya sedikit semangat hidup dan kerelaan.
Tidak lama, Shura dan Angelo benar-benar datang. Melihat interaksi tiga orang itu, termasuk hiburan tersendiri untuk Albafica, adiknya bahagia itu yang terpenting. Dirinya sesekali bahkan diikutkan dalam candaan yang mereka buat. Salju di luar boleh membekukan, tapi di dalam sini kehangatan lah yang membuncah.
-o0o-
"Sedang apa di sini?"
Aiacos, satu dari tiga Hakim Neraka yang masih bekerja dan tidak mengambil waktu bersenang-senang di dunia, karena menurutnya pergi ke Kathmandhu tidak ada bagus-bagusnya, berbeda dengan Minos dan Rhadamanthys. Tapi kini ia memandang heran pada Minos yang rapi dengan pakaian serupa dengan yang dikenakannya, namun tetap tidak sama. Pakaian itu jelas berbeda, karena ketiga Hakim memiliki bagian pekerjaan yang berbeda juga. Minos sebagai penentu keputusan akhir kini duduk di posisinya, yang beberapa hari kemarin digantikan Lune. Lune sendiri sekarang berdiri patuh di belakang Minos.
"Sedang menjernihkan pikiran," jawab Minos singkat.
Jawaban yang diberikan Minos makin membuat kening Aiacos berkerut. Menjernihkan pikiran di Dunia Bawah, yang benar saja. Ia bahkan mempunyai pemikiran bahwa Minos mengalami kecelakaan di dunia manusia sana saat mengemudikan mobil barunya, dan otaknya sedikit bergeser.
"Jangan jebloskan semua itu ke Tartarus." ucapnya khawatir sambil menunjuk pada antrian panjang jiwa-jiwa yang tampak ketakutan. "Dan ada beberapa jiwa yang harus dihadapkan ke Lord Hades langsung," lanjutnya sambil memberikan beberapa lembaran berisi daftar panjang.
"Lune, gantikan aku disini. Tentang jiwa-jiwa ini, aku akan menemui Lord Hades dahulu." kata Minos, dan langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari asistennya itu.
"Dia Minos, kan?" Aiacos melihat Lune dengan bingung. "Kau tahu apa yang terjadi di dunia manusia?"
"Tidak," jawab Lune, tidak tertarik dengan pertanyaan Aiacos, ia sudah sibuk membuka buku besar dan tebal di hadapannya.
Segera kembali ke Dunia Bawah, memang lebih baik daripada berdiam di London. Minos masih tidak percaya—bagaimana mungkin aroma mawar itu bukan Albafica. Apakah ratusan tahun yang sudah berlalu mulai mengacaukannya juga, ia tahu tidak memiliki banyak waktu—kehidupan manusia tidak pernah panjang, tapi ia benar-benar harus menjernihkan pikirannya untuk bisa kembali ke London dan memilah hal-hal yang mengacaukannya. Tapi setidaknya di Underworld tidak ada mawar yang bisa mengusiknya, sayangnya saat melewati taman Persephone, taman yang selalu bersemi tanpa peduli musim dan keadaan Dunia Bawah mengingatkannya dengan rumah kaca yang dilihatnya di London. Ia penasaran dengan rumah kaca itu, mencolok di antara putih salju, ia bisa membayangkan dengan jelas—tergambar, terpampang nyata seolah sedang menatapnya langsung.
Dan dorongan untuk kembali ke London dirasanya menguat lagi.
"Dewa Hermes," sapa Minos, saat berpapasan dengan Dewa muda yang tengah melayang di udara itu, terbang dengan sayap di kakinya—di sepatu yang dikenakannya. Memang bukan hal aneh melihat Hermes di sini.
"Oh, Minos. Pekerjaan semakin berat, ya," ucapnya sambil melambaikan Caduceusnya ke kejauhan, menunjuk keadaan Underworld yang sebenarnya sama saja dari waktu ke waktu, hanya penduduknya semakin banyak. Kemudian ia mengeluarkan koin emas dari sakunya, "Untukmu, sekedar promosi saja, kalau-kalau kau membutuhkan jasa pengantar atau pemesanan apapun, panggil aku menggunakan itu—tentu saja tidak gratis."
"Er," Minos bahkan bingung harus mengucapkan apa, tapi tetap menerima koin yang disodorkan padanya. "Terima kasih, Dewa Hermes."
Hermes mengangguk sebelum melanjutkan, "Sepertinya pekerjaanmu harus menunggu dulu beberapa waktu. Dewa Hades baru berangkat ke Olympus, ada pertemuan dengan Lord Zeus."
Hades tidak ada di tempat. Meskipun lima atau sepuluh tahun membiarkan para jiwa menunggu tidak akan begitu bermasalah. Charon saja belum tentu berbaik hati menyeberangkan mereka. Tapi tidak, pekerjaannya tidak akan terbengkalai, apa gunanya ia mempekerjakan Lune jika tumpukan berkas di mejanya kemudian menumpuk.
Tidak peduli disebut galau oleh Aiacos, yang membuat Minos berpikir darimana pemuda itu belajar kosakata tersebut, Minos sudah menanggalkan pakaian Hakimnya, dan benar-benar melimpahkan pekerjaan pada Lune—lalu kembali ke dunia manusia. Yang kemudian akan disebut labil oleh Rhadamanthys, yang ia tidak mau berpikir kata macam apa yang telah dipakai untuk mengatainya itu.
.
Mencoba ke London Utara, dan juga Manchester mungkin tidak ada salahnya. Tapi jangankan berangkat, Minos masih merenung di kursi depan perapian di kediaman Rhadamanthys. Mengingat kali pertama ia bertemu dengan Albafica, tangannya bermandikan darah, lengkap dengan kelopak mawar berterbangan karena kepakan sayap surplicenya. Dramatis, jika ingat Albafica mati di sana karena perbuatannya—dan dirinya pun menghilang.
Masa itu Athena dan Hades masih gencar mengumandangkan perang, dan ia tidak bisa mengelak dari takdir yang dibawakan untuknya. Ia setia di pihak Hades, dan Albafica terlahir untuk pihak lawan. Berapa nyawa yang habis di perang itu, berapa banyak kerugian Hades, dan pemerintahan Dunia Bawah menjadi kacau. Kosongnya kepemimpinan, padang penghakiman yang tidak ada Hakim. Sampai Zeus turun membenahi semuanya, mengembalikan semua pada fungsingnya. Minos bahkan malas mengingat detail ikrar damai yang kemudian terjadi.
Karena sialnya atau sebenarnya adalah anugrah, peperangan membuatnya terikat dengan Albafica. Itu adalah kali pertama Minos tertarik dengan seseorang. Pertama kalinya ia menginginkan seseorang untuk dimilikinya sendiri.
"Disfungsional sekali yang kau lakukan beberapa hari ini," kata Rhadamanthys. Ia menghampiri Minos, menyodorkan segelas scotch yang dibawanya. "Aku sudah bilang padamu, bahwa tujuanmu ke London Barat sudah benar. Apa lagi yang kau tunggu, menunggu dia dimasukkan peti mati, baru kau akan datang? Atau menunggunya menghadap padamu langsung di saat penghakiman?"
Semakin lama telinganya kebal dengan kata-kata itu, meski terbesit keinginan memakai Surplice Griffin-nya dan mengajak Rhadamanthys berkelahi. "Huh, aku bahkan meragukan keyakinanmu. Di sana bukan Albafica, tapi Aphrodite, Rhade."
Rhadamanthys memutar bola matanya jengah, atas dasar apa Minos meragukan dirinya. "Bukan aku, tapi kau ragu pada dirimu sendiri. Apa sebenarnya maumu? Seratus tahun lalu kau bisa langsung menemukannya di Perancis, tanpa membuang waktu sia-sia seperti sekarang."
Senyum getir tersungging di bibir Minos, "Kau pikir itu hal bagus, tergesa-gesa. Lalu satu minggu kemudian, dimana seharusnya dia menjadi kekasihku. Senang sekali jika aku—jika dia tidak ditemukan—"
"Di kantong mayat," lanjut Rhadamanthys, ia gerah dengan kelakuan Minos yang maju-mundur tidak jelas. "Dia korban pembunuhan, bukan kau yang membunuhnya seperti saat berperang. Jaman sudah berbeda, dia terlahir bukan untuk menjadi Saint. Meskipun begitu aku tidak menyebutnya kebetulan, karena memang dia akan mati. Ikatan yang menghubungkan kalian adalah untuk saling menghabisi—akan tetap terjadi jika kalian bersama, meski tidak dengan tanganmu sendiri."
Minos tidak bereaksi.
"Minos, apa yang terjadi jika saat itu kau berada di sampingnya?"
Itu sebuah pertanyaan hipokrit, tidak perlu Minos jawabpun seharusnya Rhadamanthys tahu. Tapi Minos tetap menjawabnya, "Psikopat gila yang mengincarnya tentu akan mati di tanganku sebelum dia sempat menyentuh Albafica."
"Kau paham apa intinya? Takdir ada di tangamu sendiri, sekalipun sang Oracle meramalkan—itu bisa saja bermakna ganda." sesaat raut seriuslah yang meyelimuti wajah Rhadamanthys, hanya sesaat—kemudian kembali ke wajah dinginnya. "Meski aku tidak menyarankanmu untuk menentang Thanatos."
Jika kali ini Minos kehilangan Albafica lagi, lucu sekali takdir mempermainkannya. Dimana para Dewa saja banyak menebar benih pada para fana, berganti dari satu wanita ke wanita lain, atau bahkan pria. Lihat saja Rhadamanthys yang sudah pergi dengan pemuda bernama Kanon itu, sementara di Underworld masih memiliki Valentine. Minos tidak seperti itu, dan tidak adakah di jajaran para Dewa yang seperti Hades—disepanjang keabadian hanya setia pada satu wanita?
Seperti halnya Minos, hanya bisa melihat Albafica di dalam mata hatinya. Kali terakhir ini, ia tidak akan membiarkan Albafica lepas darinya.
-o0o-
Minos berdiri di depan rumah kaca yang tampak luar biasa saat diamati dari jarak dekat. Bagian dalam terang-benderang—seperti memindahakan berbagai jenis tumbuhan dan bunga dalam kotak kaca besar, ia tidak mengerti nama-nama tanaman yang ada di sini, ia hanya bisa menyaksikan keindahannya. Tidak hanya bunga, satu sisi bahkan rumput tumbuh hijau dan subur, dengan pohon-pohon yang dikerdilkan, ada juga pohon yang setinggi tubuh manusia. Minos sangat ingin masuk kesana. Sampai matanya terpaku pada papan nama yang tepasang di depan florist; PISCES. Sangat tipikal, lengkap dengan simbol zodiac yang dimodifikasi melilit di sekitar huruf-huruf tersebut. Nama yang lebih cocok untuk toko ikan hias daripada florist, pikiran liar yang tanpa sengaja hinggap di benak Minos, yang cepat-cepat dienyahkannya.
Salju mulai turun lagi, dan suasana di dalam florist memang lebih hangat. Dari sini, ia yakin, ia bisa merasakan mawarnya, demi Surplice Griffin yang bahkan kali ini ia tinggalkan di Underworld—ia bisa merasakan keberadaan Albafica.
"Ada berapa jenis mawar di sini?" tanya Minos sekedar basa-basi. "Apakah ada mawar hitam?"
Aphrodite mengerjapkan matanya, sosok di depannya tampak lain dari pembeli yang biasanya datang. "Hitam?"
"Hanya bercanda," kata Minos, sekalipun raut wajahnya tidak menunjukkan candaan.
Bukan Aphrodite namanya kalau tidak bisa menangani tamu seperti ini, ia kembali berusaha menarik perhatian Minos. "Saya bisa membantu memilihkan mawar untuk Anda, apakah untuk kekasih?"
Sayangnya usaha Aphrodite bahkan tidak Minos dengarkan, semula ia melihat mawar-mawar merah yang tersusun rapi, tapi saat ia melihat pada rumah kaca—sosok berambut biru muda yang bagai lukisan hidup itu tengah duduk di sofa, menyilangkan kaki, dengan gaya angkuh dan wajah terangkat, kearoganan yang sama. Minos menunduk sebentar, mengeyahkan bayang tentang apa yang disaksikannya itu seperti déjà vu.
Terlebih saat ada pemuda lain menghampiri, membawa sebuah majalah. Menunjukkan sesuatu yang kelihatannya menarik perhatian Albafica—Minos tidak bisa mengalihkan fokusnya, melihat bibir ranum Albafica bergerak mengucapkan kata-kata yang tidak didengarnya, gerakan tangan yang menunjuk sisi lain dimana ada beberapa bonsai. Ia menemukannya, itu memang Albafica. Albaficanya.
"Sir?" panggil Aphrodite, entah keberapa kalinya. Bukannya ia kehabisan kesabaran, hanya saja melihat tamunya mengamati kakaknya dengan intense membuatnya cemas.
"Aku minta mawar putih, satu tangkai saja." kata Minos, tanpa mengalihkan pandangan dari Albafica.
Dan untuk pertama kalinya di masa ini, pandangan mata mereka akhirnya bertemu. Rasanya Minos sudah ingin langsung menggoda Albafica—tapi Aphrodite yang datang membawa bunga pesanannya menghentikan niatnya itu. Setangkai mawar putih, seperti mawar yang dulu digunakan Albafica untuk membunuhnya, mawar putih yang berubah merah karena darah. Mawar yang menjadi berarti untuknya.
"Mawar ini, berikan untuknya." ucap Minos, setelah memberikan uang senilai harga bunga itu.
Aphrodite mengerti, tamunya terpesona pada kakaknya. "Kenapa tidak Anda berikan sendiri, Tuan—"
"Minos," ia menyebutkan namanya. "Sampaikan saja padanya,"
.
"Kau melihatnya tadi, dia tampan," ucap Aphrodite, sambil menghempaskan diri di sofa lain di sebelah kakaknya duduk. "Dan penampilannya—demi petirnya Thor di film yang aku tonton kemarin... Orang tadi itu sangat lady killer."
Albafica memegang mawar putih yang diberikan Aphrodite dengan kedua tangannya, memandang bunga itu lekat dan mengingat wajah pemuda yang tadi dilihatnya dari balik kaca. Ia menyukai mawar merah, semua tahu itu. Tapi hanya sedikit yang tahu jika ia lebih menyukai mawar putih. Tidak perlu satu buket, tidak perlu terlalu banyak, satu tangkai mawar putih saja cukup banyak memberikan arti.
Lalu bagaimana bisa orang itu memberinya mawar putih?
"Kenapa sih, banyak yang jatuh cinta padamu hanya dengan sekali pandang." Aphrodite pura-pura cemberut, ia menempelkan kedua telapak tangannya ke pipinya sendiri. "Wajahku kan tidak beda jauh darimu, rambut kita juga sama. Orang tadi bahkan tidak melirikku."
"Oh, jadi kau tidak puas ada aku di sini," kata Angelo, memberikan pandangan terluka pada Aphrodite. Yang hanya dibalas sang mawar muda dengan memberikan kecupan di pipi.
"Kenapa kau berpikir begitu? Cinta tidak hanya dari sekilas pandang." kata Albafica, menanggapi penyataan Aphrodite tadi.
"Um... Minos—" kata Aphrodite, masih berusaha mengingat nama. "Iya, dari cara Minos memandangmu, sudah tergambar jelas, raut wajahnya mengicirikan ketertarikan. Tidak heran, banyak sekali memang pelanggan yang terpana tiap kali melihatmu."
Albafica justru terlihat marah. "Blacklist orang itu dari florist."
"Eh, kenapa?!" spontan Aphrodite berteriak. Tapi ia hanya mendapati punggung Albafica yang menjauh—sang kakak berjalan ke arah kamarnya sendiri.
Tidak lagi. Jangan terjadi lagi. Albafica lelah menjauhkan orang-orang yang tertarik padanya, ia lelah harus bersikap jahat untuk membuat orang-orang itu meninggalkannya. Cukup sampai Manigoldo orang nekat bodoh yang berusaha mendekatinya. Terlebih untuk orang yang memberinya mawar putih tadi—Albafica bisa merasakannya bahwa orang itu berbahaya.
.
Sudah dua kali masa kehidupan Minos berhadapan dengan Albafica, sudah kelewat mengerti bagaimana sifat pemuda itu, sudah memperkirakan adanya penolakan. Maka tidak heran, saat keesokan harinya ia kembali ke florist, lemparan mawar putih bersama vas kecil berisi air yang menyambutnya. Yang membuat Minos bingung, jika Albafica menolak bunga pemberiannya—kenapa tidak dibuang saja dari kemarin, alih-alih menyimpan mawar itu agar tidak layu.
"Bawa bunga itu pergi. Dan jangan buang waktumu untuk memberikan hal seperti itu padaku, aku tidak tertarik."
Pedas, Minos pikir di kehidupan kali ini sifat pemuda itu lebih lunak. Ternyata ia salah.
"Jangan salahkan seorang pria yang berusaha," ucap Minos, memegang dadanya dengan sebelah tangan, bajunya basah. "Aku hanya mengapresiasi apa yang aku rasakan saat pertama kali melihatmu. Dan mawar ini," ia memungut mawar di lantai, "Lebih mencerminkan dirimu."
Albafica terkesiap, lancang—pemuda di depannya ini sangat lancang. "Kau melupakan duri yang tumbuh di batangnya—itu lebih mencerminkanku. Kau tidak mengerti apa-apa tentangku, hentikan omong kosongmu."
"Begitukah, kalau begitu buat aku mengerti kenapa kau menyembunyikan kecantikan itu dengan duri?"
Cukup sudah, Albafica tidak tahan lagi. Apa yang diperkirakannya, orang ini justru lebih berbahaya dari yang ia duga. "Kau... Pergi dari sini!"
Jika ini benar-benar kali pertama Minos bertemu Albafica, ia bisa langsung membungkam bibir itu dengan ciuman dan mengikatnya dengan marionette saat itu juga. Tapi ini adalah Albafica, dan cara itu tidak akan berhasil... Demi Hades. Suara tinggi dan emosi kemarahan Albafica bukan menyurutkan Minos, tapi membuatnya semakin ingin merengkuh pemuda itu.
"Pergi..." Albafica mendesis lirih, sorot mata tajamnya sedikit menggelap. Napasnya beberapa kali tertahan—ia kesulitan mengambil napas, dadanya terasa sesak.
Melihat itu Minos gentar, ada yang salah dengan Albafica. Dan seharusnya ia menyadari dari awal, tapi ia terlalu terpana sampai tidak melihat kemungkinan lain bahwa Albafica tidak dalam kondisi yang baik. Saat ia melangkah untuk mendekat, Albafica justru bersikap lebih defensif—menjauh. Dan saat Aphrodite mendekat pun sama, Albafica berbalik dan berjalan pergi. Menyisakan Minos diliputi kemarahan, bukan marah pada Albafica, tapi marah pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah sudah dimulai—dimana ia bertemu dengan Albafica, maka sabit kematian langsung terkait di leher pemuda itu.
"Maaf ya, kakakku memang seperti itu." kata Aphrodite, nada suarannya terdengar menyesal, "Minos—bisa aku memanggilmu begitu. Er, mau mampir," lanjutnya sambil membuka pintu rumah kaca yang tadi dilewati Albafica. "Biar aku buatkan teh untukmu,"
"Boleh, kalau kau tidak sibuk… Um, bagaimana aku harus memanggilmu?" tanya Minos.
Ia teringat perkataan Rhadamanthys—kalau memang seperti itu, pergi meninggalkan Albafica bukan dalam rencananya. Yang akan ia lakukan adalah menjauhkan kematian itu sendiri dari Albafica. Maka ia menerima tawaran Aphrodite, melangkah ke rumah kaca—ia terpana. Tempat ini seperti surga.
"Aphrodite. Tapi panggil Dite saja," kata Aphrodite menyilahkan Minos duduk.
"Kau tidak keberatan aku di sini?" tanya Minos, saat Aphrodite kembali dengan dua cangkir teh.
Aphrodite menggeleng, tawa lirih canggung meluncur dari bibirnya. "Albafica—kakakku itu mungkin keberatan, tapi aku tidak."
"Berarti boleh aku datang lagi besok, tempat ini membuatku nyaman." ucapnya sambil mengedarkan pandang ke seluruh rumah kaca.
"Kau menyukainya—menyukai kakakku, maksudku,"
Minos tersenyum, ia memang tidak menutupi maksud kedatangannya. Bukankah bagus jika ia mendapat dukungan dari Aphrodite. "Kau keberatan dengan itu?"
"Sama sekali tidak, hanya saja... Mungkin kau akan kecewa."
Aphrodite bukannya tidak setuju, tapi hal ini beresiko—dilihat-lihat Minos cukup pantas untuk kakaknya, sekalipun karakternya terlalu kuat—pertama bertemu sudah bisa membalas Albafica seperti itu. Yang ia khawatirkan, bagaimana kalau Minos ini justru menyakiti Albafica? Meskipun lebih besar probabilitas dimana pada akhirnya orang yang mendekati Albafica lah yang terluka dan pergi dengan kecewa. Tapi masih ada kemungkinan lain, Aphrodite sangat mengharapkan ini—bahwa keduanya tidak akan saling mengecewakan, bagaimana jika Minos ternyata bisa membahagiakan kakaknya?
"Okay... Datang saja besok," lanjut Aphrodite kemudian.
.
Kali kedua Minos datang, Albafica bahkan tidak kelihatan. Sedang tidur kata Aphrodite, namun dari gelagat gelisah pemuda itu, Minos tahu Albafica tidak hanya sekedar tidur. Ia tidak tahan hanya diam tanpa mencari tahu, mengangkat sedikit tangannya—sebaiknya ia melakukan sesuatu tehadap Aphrodite dahulu, tentu saja bukan cosmic marionette—itu terlalu ekstrim dan ia tidak ada niat membunuh siapapun.
"Tidurlah sebentar, Aphrodite," ucapnya sambil mendudukkan pemuda itu di sofa, "Aku menurunkan kadar oksigen di otakmu, tidak akan lama, kau hanya akan merasa telah ketiduran."
Saat ia menyelinap ke dalam, mencoba menebak kamar Albafica, ia dituntun suara percakapan dari sebuah ruangan. Tidak perlu memakai kekuatanya atau apa ia tidak akan ketahuan, manusia biasa tidak sebanding dengannya. Ia bisa melihat jelas dari sini, terima kasih pada pintu yang terbuka. Dan apa yang ditemukannya, meja penuh botol kecil tempat obat, bahkan tabung oksigen pun tersimpan di sudut kamar. Albafica sendiri duduk bersandar pada tumpukan bantal di ranjangnya. Seseorang lagi berambut hijau panjang memakai kaca mata—dari jas putih yang dikenakannya, Minos asumsikan orang itu adalah dokter, dan tengah menyuntikkan sesuatu pada lengan Albafica.
Ini lebih dari apa yang diprediksi Minos, ia menduga Albafica sakit. Tapi tidak sampai seperti ini—tidak mungkin sakit biasa saja jika kamar tidurnnya sampai meyerupai klinik kesehatan begitu. Menahan diri untuk tidak mendekat—belum sekarang, ia tahan perasaannya yang terasa nyeri.
Aphrodite masih tidur saat ia kembali. Langkahnya terasa melayang, dan saat duduk di sofa pun tidak begitu disadarinya. Apakah sakit parah yang akan merenggut Albafica darinya?
"Hoo, kenapa dia tidur?" tanya pemuda yang Minos ketahui dulu adalah Death Mask, lalu menggoncang tubuh Aphrodite, membangunkannya. "Kau, yang kemarin membeli bunga untuk Albafica itu kan?"
Minos menganguk.
"Aku Angelo," katanya memperkenalkan diri, kali ini sambil menepuk-nepuk pipi Aphrodite. "Dite, bangun. Dite, Dite..."
"Whoaaa!" bingung dengan keadaan sekitar, Aphrodite masih agak linglung dan tanpa sadar berdiri tergesa. Melihat Minos di sana, rasanya ia melupakan sesuatu. "Minos, maaf... Aku lelah sekali, tidak terasa ketiduran. Padahal tadi kau memintaku mengajarimu menamam bunga, ya?"
"Tidak apa-apa." kata Minos, sama sekali tidak merasa bersalah. Angannya masih penuh dengan Albafica.
"Bagaimana kalau langsung praktek menanam mawar saja? Tapi... Kau yakin?" Aphrodite mengamati penampilan Minos, apa cocok dengan pakaian yang terlihat mahal seperti itu jika berjongkok mengaduk tanah dan pupuk.
Minos hanya melepas coat hitamnya, melipat lengan kemeja dan ikut dengan Aphrodite juga Angelo ke bagian sisi timur rumah kaca. Saat meliat ke atas, atap di sana juga terbuat dari kaca, salju sedikit menutupi permukaaanya, tapi jika matahari bersinar—cahaya yang menembus masuk pasti terasa hangat.
Membunuh lawan, menjebloskan jiwa-jiwa ke Tartarus, Minos berpengalaman dengan hal itu. Tapi sepanjang masa hidupnya, menanam bunga adalah hal yang sama sekali tidak pernah terpikir dalam benaknya. Dan dicandai bocah-bocah manusia juga tidak termasuk daftar kejadian di hidupnya. Sampai pemuda yang mengaku bernama Shura datang, Minos sama sekali tidak menyangka bisa menikmati kegiatannya. Namun suara yang selalu ingin didengarnya menginterupsi.
"Apa-apaan ini? Apa yang kau lakukan di rumahku?"
"Albafica," panggil Minos, senang melihat reaksi pemuda itu saat ia menyebut namanya.
"Darimana kau—" tidak perlu repot bertanya, Albafica sudah tahu adiknya yang memberi tahu namanya pada orang ini.
Aphrodite berdiri di antara keduanya—menengahi, tidak ingin keduanya bertengkar. "Kakak, Minos tamuku, oke... Dia di sini untuk menanam bunga denganku."
"Ck! Terserah,"
.
Kesekian kali Minos datang, ia berhasil mengajak Albafica berbincang. Mendekati sang mawar tanpa tertusuk durinya memang harus perlahan dan memilah jalan dengan hati-hati, hanya saja Minos belum mendapat jawaban tentang sakit yang diderita Albafica. Ada kalanya bahkan sang mawar itu tidak keluar dari kamarnya seharian. Selain itu, Albafica-nya ini menjadi seperti Gold Saint Pisces yang diketahuinya di masa perang. Pemuda itu menjauh dari semua orang, dari pengamatannya—Albafica selalu menyingkir, membuat jarak untuk tidak bersentuhan dengan adiknya sendiri, Angelo, dan Shura. Dokter yang dilihatnya kapan harilah satu-satunya yang dibiarkan Albafica.
"Perhatikan guntingmu, Minos." Albafica berkacak pinggang, "Jika cuma mau memandangiku seperti itu, sebaiknya kau pulang saja. Salah-salah kau menghancurkan mawarku."
"Aku menghargai mawarmu, Albafica. Sama seperti aku mengagumimu. Jadi bagaimana mungkin aku sampai salah potong," kata Minos, terselip sedikit rayuan diucapan itu.
Albafica berdecak kesal, "Kau selalu menyamakanku dengan mawar,"
"Apakah itu salah, esensi kecantikan mawar sempurna ada padamu, kau menawan—tapi tajam, aku mengerti dengan duri yang kau maksudkan tempo hari." Minos tersenyum, sekalipun samar ia bisa melihat kadang Albafica tersipu. "Itukah caramu melindungi diri?"
"Kau mengacu pada sikapku?"
"Tepat,"
Albafica mundur beberapa langkah, ia merasa lelah—meladeni Minos lebih melelahkan lagi. "Mungkin benar, tapi jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan tentangku."
"Kau baik-baik saja, Albafica?" lanjutnya saat melihat Abafica tampak kepayahan.
"Ya," jawab Albafica, berbohong. Tubuhnya terasa lantak, tapi tidak separah itu.
"Tidak, kau tidak baik-baik saja. Lihat, wajahmu sudah pucat begitu,"
"Bukan urusanmu,"
Setiap kali Minos selalu mencoba untuk mendekat, kali itu juga Albafica menjauh. Dan entah kenapa ia merasa bangga pada dirinya karena belum menyerang Albafica. Namun seharusnya tidak sesulit ini, "Aku senang kau tidak lagi mengusirku, tapi bisakah kau tidak bersikap dingin lagi seperti itu? Aku ingin lebih mengerti tentangmu."
"Kalau tidak suka kau bisa pergi, dan aku tidak peduli kau mau tahu tentangku atau tidak."
Demi Zeus, ini lebih buruk dari masa perang dan masa reinkarnasi sebelumnya di Perancis. Meskipun kata Aphrodite, Albafica lebih lunak padanya daripada pria-pria lain yang pernah mencoba mendekatinya. Katanya lagi itu kemajuan yang bagus, Albafica juga lebih terlihat sehat dari beberapa hari sebelum Minos datang. Itu semua bukan info yang membuat Minos puas, karena kenyataannya ia tetap tidak bisa menyentuh Albafica, sampai kapan ia bisa manahan perasaan untuk tidak sampai limit dan berbuat hal yang tidak-tidak.
"Aku akan istirahat di—" ucapan Albafica terdengar pelan, bahkan tersengal. "—kamar," lanjutnya, nyaris tak terdengar. Dan saat berbalik, ia limbung.
Albafica pikir, kerasnya lantai yang akan dirasakannya. Tapi lengan kekar telah menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Minos tentu saja reflek meraih Albafica, meski langkah cepat yang dilakukannya melebihi kecepatan manusia—ia sampai tidak peduli jika ada yang melihat, ia hanya tidak bisa diam melihat Albafica kelihatan sakit.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu! Menjijikkan!" teriak Albafica, pemuda itu menjerit dan berontak, serta mendorong Minos menjauh.
Minos tidak pernah melihat Albafica seperti ini, tidak dengan pandangan kebencian dan kemarahan yang mengerikan. Yang membuat Minos bahkan benar-benar mundur, tenggorokannya tecekat kehilangan kata, ia hanya bisa memandang nyalang pada Albafica yang terduduk di lantai. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi.
"Kau berani-beraninya menyentuhku! Aku muak padamu! Aku muak melihatmu setiap hari datang ke sini, tidakkah kau mengerti—kenapa kau masih tidak tahu diri selalu datang padahal aku mengusirmu berkali-kali!"
"Kakak, cukup. Dan kau sebaiknya pergi, Minos." Aphrodite berhenti beberapa langkah dari Albafica, dalam keadaan biasa mungkin ia akan mundur, tapi ini sudah lebih dari sekedar gawat. "Cukup, Albafica! Diam, dan jangan berontak." ia meraih lengan kakaknya mantap, mengajaknya berdiri.
"Ugh," rintih pelan meluncur keluar dari bibir Albafica. Ia sempat melihat Minos yang berjalan keluar dari rumah kaca.
Rasa itu menyakitkan. Albafica pikir, ia akan lega saat akhirnya bisa membuat Minos pergi meninggalkannya. Ia seharusnya senang, tapi kenapa ia justru ingin menangis. Sesak dan perih sekali—ia tidak pernah merasakan hal seperti ini, ia ingin berteriak memanggil Minos kembali. Tapi untuk apa, kenapa ia bahkan ingin melakukan itu padahal ia mati-matian berusaha menjauhkan diri dari orang-orang di sekitarnya.
-o-o0o-o-
END OF PART I
-o-o0o-o-
