I


MERAH


.

.

.

.

.

Rasanya seperti memenangkan sebuah undian ketika dia datang kepadaku. Dia yang memperkenalkan dirinya sebagai Jung Daehyun, sederhananya adalah pria tertampan dan terkaya yang pernah kutemui. Bagaikan sebuah mimpi indah yang menjadi kenyataan, dia menghampiriku yang bukan siapa-siapa dan mengatakan bahwa ia telah lama mencariku, menceritakan tentang sebuah ramalan kuno yang menyebut diriku sebagai seseorang yang ditakdirkan untuk mendampinginya. Dan aku, seakan tersihir olehnya, mempercayai setiap perkataannya. Seperti seorang anak kecil yang mempercayai bahwa kisah dalam dongeng bisa menjadi kenyataan, seperti seorang bocah polos yang percaya akan adanya akhir yang bahagia untuk setiap cerita, aku melihatnya sebagai seorang kesatria yang datang untuk menyelamatkanku dari hidup yang penuh dengan kesengsaraan ini.

Bagaikan pangeran berkuda putih, dia mengajakku tinggal bersama di rumahnya yang megah. Tidak, ini lebih menyerupai sebuah istana. Bangunan besar bergaya Victorian ini terdiri dari 6 lantai, memiliki puluhan ruangan dan kamar tidur berukuran besar. Bahkan kamar mandinya lebih besar dibandingkan rumah kontrakan mungil yang kutempati sebelumnya. Tidak hanya bangunan rumahnya yang berukuran sangat besar, halamannya pun seluas lapangan golf, atau mungkin lebih luas; lengkap dengan kolam besar dan air mancur di muka, taman bunga di samping kiri dan garasi dengan sederetan mobil mewah si samping kanan rumah, serta kandang kuda, danau, dan hutan di bagian belakang. Aku takut akan tersesat jika berjalan-jalan sendirian di sini. Mungkin akan butuh waktu lebih dari sehari untuk mengelilingi keseluruhan tempat ini.

Namun istana indah ini memiliki rahasia mengerikan di baliknya. Tersembunyi di ruang bawah tanah, sebuah peti mati terbujur di tengah ruangan. Di dalamnya, terbaring seorang perempuan muda, terlelap dalam tidur panjangnya yang tak berujung. Mengenakan gaun pengantin berwarna merah darah, kedua lengannya bersedekap di dada, memeluk seikat bunga mawar merah, putih, dan hitam. Wajah putih pucat, rambut hitam panjang yang terurai, dan bibir semerah gaun yang dikenakannya; wanita ini adalah orang tercantik yang pernah kulihat.

Di ujung ruangan, berseberangan dengan bagian kepala peti mati terdapat meja tinggi menyerupai altar yang diletakkan menempel ke dinding. Tangkai-tangkai mawar merah berserakan di lantai antara peti dan meja bagaikan permadani merah yang menghampar di atas batu granit hitam. Di atas meja terdapat sebuah cawan kaca yang dihiasi berlian pada pegangannya, lilin-lilin merah berjajar rapi di sisi kiri dan kanan cawan, nyala apinya menyebarkan semerbak bau mawar ke segenap penjuru ruangan. Namun yang paling menarik perhatianku adalah sebuah pedang yang tergantung di dinding tepat di atas cawan, bagaikan sebuah salib yang terbalik.

Pedang dengan ukiran sulur daun mawar itu berkilau, memanggilku untuk menyentuhnya. Begitu tangan ini menggenggam pegangannya, terdengar sebuah suara yang membisikkan di telingaku untuk menusuk dadaku dengan pedang itu, tepat di jantung. Seolah terhipnotis oleh suara yang entah darimana datangnya tersebut, aku melakukan persis seperti yang diperintahkan. Untuk sesaat aku merasakan sakit yang teramat pada bagian dada, seolah hatiku tercabik-cabik oleh sebuah tangan tak kasat mata, kemudian... gelap.

.

.

.

.

.

TBC