Entah sudah berapa kali Yoo Seonho menguap sore itu.

Jika boleh jujur, dia ingin sekali pulang dan memeluk Joseph—boneka ayamnya—kemudian terlelap. Masa bodo dengan perut keroncongannya yang minta diisi, dia sudah keburu mengantuk. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah kasur, selimut, dan Joseph. Bukan yang lain.

Dua jam bersama Jung songsaennim dan dongengnya mengenai sejarah Korea benar-benar membuat Seonho kewalahan menahan kantuknya. Andai saja Chenle—teman sebangkunya—tidak mencubiti lengannya, ia pasti sudah terlelap lima menit setelah guru tersebut mulai bercerita. Dan jika saja itu terjadi, mungkin saat ini dia sedang membersihkan toilet bersama Samuel dan Haechan.

Membayangkannya saja Seonho sudah meringis duluan. Untung ada Chenle tadi, batinnya.

"Jangan tertidur dulu, ppiyak. Mau menabrak pilar sekolah memangnya?"

Seonho yang saat itu pandangannya tidak fokus berjengit saat pipi kanannya tercubit cukup keras. Mengerang kesal, ia segera menepis kasar tangan sang pelaku pencubitan lalu memandangnya sinis. Asli ya, mood Seonho saat ini benar-benar buruk untuk diajak bercanda. Kenapa sih masih ada yang cari ribut dengannya? Heran.

"Apa sih, Kak?! Ganggu saja!" gerutu Seonho sambil mengusap pipinya yang memerah karena dicubit.

"Duh, galaknya adik Kakak satu ini," bukannya jera, orang itu justru semakin menggodanya. Sambil tersenyum menyebalkan, ia mengelitiki pelan dagu Seonho. "Utu-utu, sakit, ya? Sini Kakak cium biar sakitnya hilang."

"Jijik, ish!" erang Seonho lalu kembali menepis tangan orang tersebut. "Kakak kenapa kemari, sih? Sana pergi! Hush-hush, aku mau pulang!"

"Adik kurang ajar kamu," orang itu tersenyum jenaka usai puas mengacak surai kelam Seonho hingga berantakan. "Kakak 'kan juga mau pulang."

Seonho mendengus, "Terus kenapa lewat sini, sih? Parkiran mobil 'kan di sebelah gymnasium."

"Kamu lupa? Kakak 'kan bawa sepeda bukannya mobil."

Benar juga. Padahal pagi tadi aku diboncengi dia, ya? Kenapa aku bisa lupa?-_-

"Ya, sudah sana. Nanti keburu sepeda Kakak dibawa orang lain."

"Mana ada yang berani ngambil sepeda Kakak, Ho."

"Ada kok satu orang."

"Siapa?"

"Aku."

Seonho lagi-lagi berjengit kesakitan saat pipinya yang lain menjadi korban cubitan orang itu.

Anjir, baru juga Seonho merasa lega karena pipi kanannya mulai membaik.

Serius, deh. Orang ini kenapa senang sekali mencubit pipinya, sih? Seonho sadar dia memang gemuk di pipi sementara tubuhnya kurus kering walaupun banyak makan. Namun, bisa tidak sih orang ini sehari saja tidak mencubit Seonho? Seonho 'kan khawatir pipinya semakin melar jika terus dicubit begini. Bisa-bisa impiannya memiliki wajah tirus tanpa lemak bayi seperti Kak Hyunbin tidak terealisasikan gara-gara orang ini.

"Aduh, Kak! Lepas!"

"Nggak."

"Ish, nanti pipiku makin melar! Lepas, nggak?!"

"Tetap nggak ma—"

"Guanlin!"

Kemudian cubitan tersebut terlepas saat seseorang memanggil orang itu.

Baik Seonho maupun Guanlin—orang yang sejak tadi mengganggu Seonho—langsung menoleh ke arah sumber suara.

Dan Seonho langsung tersenyum lebar saat menyadari sosok yang memanggil kakaknya tadi.

Malaikatku datang!

.

.

Pacar Pertama Seonho
©janicekim—2017

Main Cast: Yoo Seonho, Lai Guanlin, Jeon Somi, Park Jihoon, PD101-S2, IOI, others

Summary: Selama 16 tahun hidupnya, Seonho tidak pernah sekalipun berpacaran maupun jatuh cinta pada seseorang. Memang cukup banyak orang yang mengincarnya tapi, Seonho masih betah dengan status single happy-nya. Terlebih Seonho bukanlah seorang yang bisa serius kecuali saat pertandingan maupun ujian di kelas. Tentu berhubungan seperti itu bukan gayanya sama sekali. Lalu, bagaimana jika salah seorang senior paling populer meminta Seonho memberikannya kesempatan mendekat? Akankah Seonho jatuh cinta atau tetap pada pendiriannya?

Disclaimer: The cast belongs to God, their family, their fans, and their agencies.

—[Rated: T / BL x STR / School-Life; Humor; Lil-bit Drama / PRODUCE101 FF]—

.

.

"Err… gue ganggu, ya?"

Menurut Seonho, seniornya yang bernama Park Jihoon itu menggemaskan sekali!

Setiap melihatnya, Seonho benar-benar tidak tahan untuk tidak memeluknya. Terkadang, Seonho juga menguyel-nguyel pipi tembamnya yang sering memerah seperti ceri. Paras kelewat manis dan postur tubuhnya yang mungil seperti Kak Jimin—guru privatnya—membuat Seonho semakin gemas padanya. Terlebih tingkah laku Jihoon yang kadang kekanakan membuat Seonho menganggap Park Jihoon itu seperti adik kecil alih-alih seorang kakak macam Guanlin.

Pokoknya, jika harus membuat essay mengenai Park Jihoon, Seonho mungkin bisa menulis hingga berlembar-lembar karena rasa gemasnya pada pemuda itu.

"Nggak, kok!" – SH / "Iya." – GL, jawab Seonho dan Guanlin berbarengan.

Mendengar jawaban Guanlin, buru-buru Seonho memukul bahunya keras. Inginnya sih Seonho langsung menjudonya, apalagi saat ia menyadari tatapan sendu Jihoon. Namun, mengingat reputasinya sebagai seorang byeongari kalem dan penuh kasih sayang, Seonho memutuskan memukulnya saja. Ngamuknya nanti saja kalau Kak Jihoon sudah tidak bersama mereka, ehe.

"Jangan didengar, Kak! Orang jahat biasa begitu," Seonho mengabaikan ringisan Guanlin dan tersenyum lebar pada Jihoon. "Kakak ada urusan sama Kak Guanlin, ya?"

"Iya," jawab Jihoon sambil tersenyum manis pada Seonho. "Boleh pinjam kakaknya sebentar, Ho?"

"Jangankan pinjam, ambil saja juga nggak apa-apa!"

"Apaan sih—"

"Sstt, sudah Kakak diam saja!" Seonho melotot ke Guanlin yang hendak melayangkan protes. Usai mendapat dengusan malas darinya, ia pun beralih ke Jihoon. "Nih, Kak, bawa saja Kak Guanlin. Eksistensinya mengganggu soalnya."

Guanlin mendengus sebal, "Kamu tuh kenapa menyebal—"

"SEONHO! JANGAN PULANG DULU LO!"

Ketiganya menoleh saat mendengar teriakan keras dari arah belakang Seonho.

Duh, Jeno mau apa, sih? Perasaanku kok tiba-tiba nggak enak, ya. — Yoo Seonho, degem yang baru mau pulang sekolah dan bobo sore.

"Kenapa, Jen?" tanya Seonho pada Lee Jeno—orang yang memanggilnya—saat pemuda itu sudah menghampiri mereka bertiga.

"Ayo, latihan!"

"HAH?"

"Latihan, ayamku sayang," pemuda itu meraih lengan Seonho. "Ayo!"

"Nggak mauuu~!" rengek Seonho tanpa sadar waktu teman sekelasnya itu mencoba menariknya pergi dari sana. "Hari ini kita nggak ada jadwal latihan!"

"Ish," Jeno berdecak. "Jadwal kita diubah karena pertandingan minggu depan!"

"DEMI APA? KOK GUE NGGAK TAHU APA-APA?"

"Makanya lihat gc sekali-sekali! Lo sibuk main sama Joseph begini 'kan jadinya!" sungut Jeno. "Ayo, sebelum Kak Yoongi ngamuk di lapangan!"

"Tapi, gue nggak bawa baju ganti!"

"Gue pinjemin nanti! Pokoknya ayo latihan sekarang!" Jeno pun menari Seonho pergi usai membungkuk sejenak ke arah Guanlin dan Jihoon dan berkata, "Kami pergi dulu, sunbae! Permisi!"

Sementara itu, Seonho pun hanya bisa pasrah mengikuti Jeno dengan bibir merengut dan alis tertekuk. Hah, pupus sudah harapannya untuk bobo tampan di rumah sore ini.

—o0o—

"Kenapa?"

Lai Guanlin bukanlah orang yang suka basa-basi.

Sejak kecil, ayahnya selalu mendoktrinnya menjadi pribadi penganut talk less do more. Karena hal tersebut, Guanlin tumbuh menjadi pemuda yang irit bicara tapi, selalu bisa melakukan banyak hal. Dan karena hal itu juga, Guanlin pun banyak dipercaya oleh orang-orang untuk memiliki jabatan-jabatan penting di sekolah. Benar, Guanlin dipercaya oleh Choi songsaennim menjadi kapten di tim sepak bola juga dipercaya oleh Byun songsaennim menjadi Ketua Komisi Kedisiplinan.

Well, prestasi yang cukup membanggakan memang.

"Ada yang mau kubeli di COEX, bisa temani ke sana?"

Jika Guanlin harus jujur, pemuda yang sedang bicara di hadapannya saat ini amatlah manis dan menggemaskan. Mungkin jika ia seorang perempuan atau gay, Guanlin bisa saja jatuh cinta padanya. Namun entah karena otaknya yang korslet atau bagaimana, Guanlin justru cukup merasa terganggu jika harus berhadapan dengannya. Apalagi terus-terusan seperti perintah ibunya.

Sungguh, Guanlin tidak membencinya—sama sekali tidak.

Hanya saja, Guanlin benar-benar tidak bisa membalas sirat penuh makna darinya. Dan hal ini benar-benar membuat Guanlin selalu merasa bersalah dan frustasi saat mereka bersama.

Contohnya seperti sekarang.

"Tapi, gue bawa sepeda," jawab Guanlin.

"Kita bisa pakai taksi," ujarnya sambil tersenyum manis. "Aku akan mentraktirmu gogi dan Starbucks setelahnya! Bagaimana?"

Demi Mobile Legends yang belum diselesaikannya, Guanlin ingin sekali menolaknya.

Namun, melihat manik cokelatnya yang menatapnya penuh harap begini membuat Guanlin kalah untuk kesekian kalinya.

Guanlin benar-benar tidak tega merusak binar cerah dari matanya.

"Hanya sampai pukul enam, ya?" tawar Guanlin pada akhirnya. "Besok gue ada ujian Fisika."

" Aye-aye, captain!" jawabnya riang lalu mengamit lengannya dengan gerakan lucu. "Ayo!"

Pemuda tampan itu hanya tersenyum tipis saat pemuda bertubuh mungil tersebut memimpinnya untuk pergi dari tempat mereka berada.

Apa boleh buat, batinnya.

Tanpa sepengetahuan pemuda itu, diam-diam Guanlin mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu membuka katalk. Setelah mendapat kontak yang diinginkannya, Guanlin segera mengetik sebuah pesan dan mengirimnya. Lalu, usai mendapat balasan yang diinginkannya, ia pun memasukan ponselnya lagi.

Lai Guanlin
Kakak mau mengantar Jihoon ke COEX sebentar
Sepedanya Kakak tinggal jadi kamu pakai saja untuk pulang
Jangan makan malam di luar, oke? Kakak usahakan bawakan sushi nanti
Semangat latihannya! :)
Read 16.05

Ppiyak
Ciee yang akhirnya kencan:p
Siap laksanakan, bos!
Berarti Kakak hari ini menginap lagi, 'kan? Aku bilang Bunda dulu ya, Kak!
Makasih, Kak Alin!
(Byeongari sent you sticker)
Read 16.07

—o0o—

Waktu sudah menunjuk ke angka tujuh saat Seonho mengambil sepeda milik Guanlin di parkiran kendaraan roda dua. Usai memastikan semua barang-barangnya ada di dalam ransel, ia pun segera naik ke sepeda tersebut dan mengayuhnya menuju ke luar sekolah. Senyum lebar terpatri di wajahnya sejuknya angin malam menubruk wajahnya sehingga rasa kantuknya mulai menguap ke mana.

Iya, Seonho memang masih mengantuk.

Bahkan waktu latihan tadi, ia nyaris terkena detensi akibat tertidur saat Kak Yoongi—pelatih basket sekolahnya sekaligus alumni—sedang memberi arahan. Jika saja Jeno dan Justin yang duduk disebelahnya tidak mencubiti pinggangnya, mungkin Seonho tidak bisa mengayuh sepeda seperti ini. Well, bagaimana mungkin ia bisa mengayuh saat kakinya gempor karena harus lari dua puluh putaran di sekeliling gymnasium? Mungkin yang ada Seonho hanya tinggal nama jika itu terjadi.

Omong-omong soal latihan, entah mengapa Seonho merasa porsi latihannya hari ini benar-benar kelewat wajar. Pemanasan yang biasanya selalu membuat Seonho kelelahan duluan juga terasa lebih ringan. Seonho bahkan hari ini dapat ikut serta dalam tiga pertandingan padahal biasanya ia hanya mampu mengikuti dua pertandingan saja.

Agak aneh memang sih karena yang melatih timnya hari ini adalah tiran bernama Min Yoongi dan bukan malaikat bernama Jung Jaehyun. Sedikit-banyak Seonho jadi curiga jika pelatihnya itu sedang sakit. Atau jangan-jangan kesambet hantu penunggu gymnasium? Namun jika itu benar terjadi, kenapa Seonho tidak melihat Kak Yoongi histeris seperti di acara TV, ya?

"Kok aku jadi penasaran begini, ya?" gumam Seonho saat sepeda yang dikayuhnya sudah memasuki kompleks perumahannya. "Sepertinya aku harus membahas masalah ini dengan anak-anak di grup nanti dari pada penasaran."

Seonho bersiul pelan saat ia sepeda yang dikendarainya sudah memasuki Blok D. Tinggal dua blok dan mengikuti jalan lurus menuju pertigaan, ia akan sampai di rumahnya! Uh, Seonho benar-benar sudah tidak sabar bertemu kasur serta Joseph yang sepertinya sudah merengek minta dipeluk olehnya.

"Kenapa rumahku rasanya jauh sekali, ya? Padahal tinggal mencari pertigaan." — Yoo Seonho, 16 tahun, sudah tidak sabar tepar di kasur.

Dan setelah perjuangan panjang menyusuri jalan lurus menuju pertigaan rumahnya, Seonho tersenyum lebar. Pemuda itu langsung menambah laju sepedanya saat balkon kamar kakaknya sudah terlihat jelas dari tempatnya. Dengan semangat kemerdekaan Korea yang dimilikinya, Seonho pun mengayuh cepat sepedanya ke arah persimpangan. Ia bahkan lupa membunyikan bel yang sengaja Guanlin pasang untuk dijadikan klakson mini agar menghindari hal-hal negatif yang mungkin terjadi—

"E-EH! AWAAAAS!"

CKIIIT! BRUUUK!

—seperti sekarang.

"D-duh…"

Pemuda yang baru mengecat surainya menjadi brunette itu mengaduh saat merasakan perih di siku kirinya. Ia juga bisa merasakan ngilu di sekitar panggulnya yang langsung bertubrukan dengan jalan beraspal di sini. Kaki kirinya juga terasa cukup berat karena sepeda gunung yang digunakannya telah menimpanya dan cukup membuatnya kesulitan bergerak.

Kenapa aku sial sekali hari ini, ya Tuhan, Seonho membatin pilu kala menyadari kondisinya saat ini.

Kemudian saat mendengar ringisan dari arah berlawanan, ia mematung. Sambil menahan perih dan ngilu di sekujur tubuhnya, Seonho pun beralih pada sosok yang ditabrak (atau menabraknya?) juga tengah meringis sambil memegangi lutut kirinya yang berdarah. Dan harus ia akui, sepertinya luka orang itu jauh lebih parah dari punyanya.

"Astaga, Tuhan!"

to be continue

Halo, semua!

Perkenalkan aku adalah salah satu pembaca FFN yang selama ini belum pernah mempublish cerita apapun di sini, hehehe. Awalnya, aku cuma ingin menjadikan akun ini sebagai akun untuk baca-baca saja. Namun, berhubung sedang libur kuliah dan akan menganggur cukup lama, kuputuskan untuk mempublish cerita selagi senggang.

Well, cerita yang kubuat memang cukup mainstream tapi, kuharap kalian dapat menikmati karyaku ini! :) Oya, berhubung aku masih sangat baru dalam dunia tulis-menulis, aku mohon bimbingan kalian semua, ya! Kuharap kita dapat berteman baik nantinya! :D

Dan terakhir, mind to RnR?:)