Disclaimer : Samurai Warriors belongs to KOEI. OCs and story plot belongs to me.
Warning : Mainly OC x Tōdō Takatora. OOC yang mungkin tidak disengaja atau sengaja demi alur cerita, sering typo, penulisan gaya bahasa yang tidak baku, suram dan abal. Saya usahakan ceritanya sama dengan game dan sejarahnya. Mohon maaf atas kesalahannya. DON'T LIKE DON'T READ NO FLAMES. REVIEW PLEASE!
-XxX-
Bell of the White Hare
-XxX-
CHAPTER 1
Everything Just Seemingly Vanished Away
-XxX-
'Kita tidak bertemu orang-orang secara tidak sengaja
Mereka bermaksud untuk menyeberangi jalan kita
untuk sebuah alasan.'
Beberapa orang menyatakan itu salah. Mereka mengira bahwa hal itu hanyalah sungguh kebetulan dan tidak akan pernah menyatukan seseorang dengan orang lain yang menyebrangi jalan kita. Takdir yang ada pada setiap orang memang berbeda-beda. Aku juga beranggapan bahwa itu salah.
Tapi seiring berjalannya waktu, waktu membuktikan kalau aku tidak benar. 'Alasan' itu benar-benar terbukti, walaupun rasanya terlambat bagiku untuk menyadarinya. Aku tak punya pilihan selain menerima takdir itu.
Andaikan saja akhir cerita dari setiap manusia seperti kisah dongeng, tapi itu tidak mungkin. Yang menjadi pertanyaan pada setiap dongeng adalah, apa yang akan terjadi pada mereka setelah itu? Bagaimanapun awal atau akhirnya, kematian pasti akan menjemput mereka, sebagai bukti bahwa dulu mereka pernah hidup. Itulah yang dunia ajarkan padaku.
Dunia ini adalah dunia yang hancur. Umat manusia mengejar perdamaian yang tak kunjung datang. Perbedaan mereka membuat dunia ini dipenuhi perang yang tak ada habisnya. Mati atau bertahan hidup. Melarikan diri atau menerima takdir. Yang lemah akan mati dan yang kuat akan hidup. Hanya terdapat kebahagiaan sesaat.
Bagaimana jika takdir membuat orang terdekatku meninggalkan dunia ini? Apa aku juga harus menerimanya karena pada akhirnya mereka berada di bukan tempat yang penuh kekacauan? Mereka semua ingin hidup tenang dan bahagia. Apa yang harus kulakukan bila keraguan itu berada di hadapanku? Dengan kelemahanku ini... apa aku bisa melawan takdir?
Jawabannya hanya dua yang bisa kupilih. Pertama, menyerah atas segalanya. Membuang kepercayaan orang disekitarmu hanya demi keselamatan diri sendiri. Kedua, terus berjuang atas segalanya. Memegang teguh kepercayaan mereka dan pantang menyerah demi keselamatan semuanya.
Awalnya aku ingin mengambil pilihan yang pertama. Namun seiring berjalannya waktu, aku berubah pikiran dan memilih pilihan yang kedua. Tapi... apa pilihanku itu sudah benar?
Karena aku hanya ingin mencari kebahagiaan di dunia yang telah dipenuhi dengan iblis yang mencari perdamaian.
-XXX-
Ah... sudah kuduga aku terlambat. Aku memang payah.
...
Bel kecilku menghilang entah kemana. Aku harus mencarinya, setidaknya benda itu harus tetap bersamaku. Walaupun mereka sering menasehatiku untuk tidak membawa lonceng karena berisik, aku tidak peduli. Bukan, sebenarnya aku mencoba untuk tidak memperdulikan perkataan mereka.
Tunggu, bukankah seharusnya aku melarikan diri? Istana besar ini tidak mungkin bisa bertahan, semuanya telah terbakar dilahap api panas yang membara. Bendera dengan lambang tiga buah segienam yang didalamnya terdapat bunga berkelopak empat itu perlahan menjadi abu kemudian menghilang dihembus angin. Mungkin aku akan mati dengan cara yang sama seperti bendera itu.
"Shiraishi!"
Percuma. Percuma saja menolongku, aku sudah terjebak. Tubuhku terasa amat sakit dicampur lelah, tidak bisa bergerak akibat reruntuhan kayu yang menghimpit tubuhku. Ditambah dadaku terasa berat dan sesak, sulit sekali untuk menarik napas. Jikalau aku bisa, aku hanya akan menghirup asap api.
"Kuharap Tuan Nagamasa dan Oichi-sama sudah selamat, juga Ōtani-dono, dan Tōdō-dono selamat," gumamku seraya memejamkan mata.
Ya, pasti mereka semua akan baik-baik saja. Aku sudah membuatkan omamori agar mereka dilindungi dari segala marabahaya.
...
Apakah tidak masalah jika aku menerima takdir? Aku sudah tak bisa melakukan apapun, aku tak berguna untuk Nagamasa-sama dan Oichi-sama bahkan pada Bibi.
"Shiraishi!"
...
Aku kembali membuka mata. Apa yang harus kulakukan agar dia menyerah mencariku? Jika dia terus berada di sini, dia akan berakhir sepertiku. Aku tidak mengatakan kalau dia melakukan hal yang salah, tapi...
"'Tetaplah bertahan hidup, itu yang terpenting', 'kah?" gumamku berusaha untuk bangkit. Tiang kayu itu tak bergerak sedikitpun. Lihat? Aku memang tidak dibiarkan untuk tetap hidup. Kejam sekali, ya.
Aku sudah tidak tahan lagi. Kelopak mataku begitu berat seolah-olah menyatakan padaku untuk menyerah. Begitu pula tubuhku, rasa sakit dan malas bergerak juga menarikku dari kalimat 'pantang menyerah'.
Oh tidak, aku tidak ingin menangis. Tak ada gunanya, aku tidak akan pernah bebas dari sini.
Percuma.
"SHIRAISHI!"
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Entah dia akan datang atau tidak atau bahkan terlambat. Aku tidak mau, aku tidak mau selamat dari sini. Aku menyerah. Aku ingin ke dunia dimana kedua orang tuaku dan bibi berada.
Tak ada peperangan, tak ada pertumpahan darah, tak ada penyesalan dan tak ada penderitaan.
Kuharap dunia yang seperti itu ada.
Aku tidak ingin berada di dunia ini.
-XXX-
Dua orang prajurit memasuki rumah kami tanpa mengetuk pintu, malahan mereka masuk seenaknya. Derap langkah mereka pelan, mencoba untuk hati-hati.
"Oh, rumah yang ini sudah kosong. Pasti pemilik rumah ini telah mengungsi," ucap salah satu prajurit.
"Ayo, kita ambil semua makanan yang ada disini."
Aku bersama kedua orang tuaku bersembunyi di balik balik bayang-bayang. Ibu memelukku erat dan ayah berusaha menjaga kami. Detak jantungku berdetak keras dan kencang. Aku yakin Ibu bisa mendengarnya. Seluruh anggota tubuhku bergemetar tak mau berhenti. "Ayah, Ibu..." bisikku, mempertahankan nada suaraku sekecil mungkin. Namun sayang rasa takut yang menghantui diriku membuat suaraku bergetar.
"Tak apa, Suzu. Kau akan baik-baik saja," hibur ibu dengan memberikan senyuman hangat. "Nah, kau harus melempar lonceng kecil itu kearah sana. Ayahmu akan mengusir orang-orang jahat itu. Mengerti?"
"Melemparnya?"
"Ya. Lakukanlah..." jawab Ayah dengan senyuman meyakinkan terukir pada wajahnya.
Aku mengunci kontak mata pada Ibuku lalu berpindah ke prajurit tersebut kemudian pada lonceng kecil pada genggamanku. Kutarik napas dengan pelan namun dalam, lalu melempar lonceng itu kearah prajurit tersebut.
"Hm? Suara apa itu?" Mereka langsung menoleh kearah asal suara. Ayah mengambil kesempatan untuk menghadang dan menusuk mereka dengan pisau. Suara tangisan kesakitan yang tajam menusuk kedua telingaku, Ibu menutup mataku dengan telapak tangannya seraya mengecup kepalaku.
"Tak apa, Suzu. Ibu bersamamu."
Meskipun Ibu berkata demikian, indera pendengaranku mendengar suara teriakan dari orang yang tak kuharapkan. Dengan sedikit celah telapak tangan Ibuku, mataku menangkap sosok ayah yang tersungkur di lantai. Darah segar mengalir dari perutnya.
"Suzu! Larilah!"
Aku berniat untuk menarik Ibubersamaku namun terlambat. Katana milik prajurit itu telah menusuk perutnya. Lagi-lagi penglihatanku terkunci melihat darah segar mengalir dari tubuhnya.
"Tunggu! Apa yang kau lakukan!? Mereka pemilik rumah ini! Tidak seharusnya kau membunuh penduduk tidak bersalah!"
"A-Apa!? Sial, aku bertindak terlalu jauh." Salah satu prajurit menghampiriku dengan wajah bersalah. "Kami sungguh minta maaf, nak. Tak kusangka mereka adalah orang tuamu."
Seluruh tubuhku bergetar hebat, air mataku tak bisa berhenti mengalir, seluruh pikiranku kacau. Hanya satu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, yang mengacaukan seluruh akal sehatku. Kedua orang tuaku telah tiada. Mereka tak akan pernah menyelamatkanku bahkan menyebut namaku. Meninggalkanku di dunia yang hancur ini. Itu semua karena aku yang terlalu lemah, kecil dan tak berdaya.
Bukan... bukan salahku.
Tapi dunia ini.
Aku terlahir di dunia ini, untuk melihat kedua orang tuaku mati tepat didepan mataku.
Aku tidak akan menerimanya.
Tak bisa kumaafkan.
"Mati..." gumamku. Kutarik katana milik prajurit tersebut dan segera menebas mereka. Detak jatungku terasa ikut tertusuk saat ujung pedang itu menusuk perut prajurit tersebut. Ajal langsung datang menjemput dengan seketika. Cairan merah mengotori pakaian dan kulit wajahku. Kulepas pedang tersebut kemudian meratapi tanganku yang berlumuran darah.
Padahal mereka pantas mendapatkannya.
Tapi kenapa?
Aku kembali mengambil pedang tadi, lalu menusuk perut mayat itu berulang kali.
Kenapa...?
Kenapa?
Aku merasa tidak puas sama sekali.
Balas dendam ternyata tak ada gunanya.
Kedua orang tuaku takkan pernah kembali bernapas.
Aku sendirian.
Di dunia yang kini dijungkir balikkan dari hari-hari kebahagiaan dan kedamaian yang terus berulang.
Yang tertinggal hanyalah mayat yang mati.
Mati.
Aku tidak mau.
Meskipun artinya mati itu tidak akan bisa membuka mata lagi untuk melihat hari esok.
Namun aku tetap ingin hidup.
Tapi demi apa?
Di dunia yang sudah membusuk seperti ini.
-XXX-
Ah... Mimpi ya? Hal seperti itu sudah biasa terjadi di dunia ini. Kehilangan orang yang sangat kau sayangi, sudah sering terjadi bukan? Bukan hanya aku yang mengalaminya.
"...Nona!?"
Siapa...?
Aku mendengar suara wanita yang terdengar sangat panik. Sebuah handuk lembab menyeka sedikit keringat pada wajahku.
Seraya mengumpulkan nyawa, kubuka mataku yang masih terasa berat. Kulihat ada beberapa orang wanita yang menurutku seorang dayang yang merawatku. Mereka tersenyum lega. Lalu muncul seorang wanita berambut pendek dengan balutan kimono berwarna kuning menghampiriku. "Ah, akhirnya kamu sudah sadar! Tadi kamu tiba-tiba teriak. Dasar, kau membuatku terkejut." Ucapnya sembari mengusap rambutku.
Mataku menelusuri setiap sudut ruangan. Sepertinya aku berada di ruang perawatan. Bau ramuan dan obat-obatan lainnya tersusun rapi di lemari dan meja. Aku tertidur diatas futon. Kuubah posisiku agar bisa duduk dan kembali memastikan keadaan di sekitarku.
...tunggu, kenapa aku masih hidup? Dan siapa wanita ini?
"Oh sudahlah. Jangan memasang wajah panik seperti itu! Oh iya, namamu siapa?"
"..." Aku menjauhi kontak mata dengan wanita itu. Aku tidak boleh berada di sini. Mungkin saja aku ditemukan lalu ditahan.
"Hei, jangan mengabaikanku, gadis kecil." Wanita itu menarik pipiku. "Dasar anak nakal, padahal selama ini aku sudah merawatmu dan inilah yang kudapat? Ya ampun..."
Dia yang merawatku? Gawat, aku sudah membuatnya repot. Bahkan aku bersikap seperti orang sombong. Aku bergegas beranjak lalu menunduk dalam. "M-Maafkan aku. Namaku Shiraishi Suzu. Terima kasih telah merawatku selama ini. Dan lalu... um..."
Wanita itu tertawa pelan. "Sepertinya aku terlalu cepat menilaimu. Ternyata kamu gadis yang baik! Hm hm!" Ucap wanita itu manggut. "Karena kamu sudah memperkenalkan diri. Aku juga harus melakukan hal yang sama. Namaku Nene, istri dari Hashiba Hideyoshi."
"Hashiba... Hideyoshi...?" Ulangku.
Hideyoshi, aku pernah mendengar nama itu, sering sekali. Dia adalah tangan kanan Oda Nobunaga yang sangat dipercayai. Berarti saat ini aku berada di...
"Disini Istana Nagahama, Suzu."
Kenapa dia bisa tahu apa yang kupikirkan? Lalu disini istana Nagahama, katanya? Aku tidak pernah mendengar nama istana itu. Tapi tempat ini terlihat familiar. Aku pernah disini sebelumnya...
"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Suzu. Kau pernah berada disini bukan? Wajar saja, selama ini kamu berada di klan Azai. Ini adalah Istana Imahama. Omae-sama mengganti nama istana ini menjadi Nagahama. Nah, kamu tak perlu cemas! Kamu aman disini-"
"T-Tunggu dulu! Bolehkah aku bertanya sesuatu?"
Ia mengedipkan kedua matanya lalu kembali tersenyum. "Tentu saja, tanyakan apa saja yang mengganggu pikiranmu."
"Baru saja Anda mengatakan nama istana ini diganti oleh Hideyoshi-sama. Lalu apa yang terjadi pada Nagamasa-sama dan Oichi-sama?"
Ia terdiam sejenak lalu menghela napas. "Oichi-sama sudah kembali pada Nobunaga. Sedangkan Nagamasa, sudah tiada..."
"Eh...?"
"Beliau dan putranya telah melakukan seppuku. Lalu Omae-sama sudah merekrut seluruh pasukan klan Azai yang tersisa."
"..." Begitu, ternyata beliau gagal melarikan diri dari Istana Odani, jadi artinya... "Dan Hideyoshi-sama ditunjuk untuk memerintah provinsi Omi? Juga, mengambil alih istana ini?"
Wanita bernama Nene itu tersenyum. "Wah, ternyata kamu gadis yang pintar! Kau benar!"
...ini semua salah Nobunaga. Ia merebut kebahagiaan Nona Oichi dan menghancurkan tekad Tuan Nagamasa.
Bukan, yang salah adalah dunia ini.
Tapi waktu itu, Hideyoshi tak berniat untuk menghancurkan klan Azai dan Asakura, beliau terpaksa menuruti perintah Nobunaga. Kurasa aku tidak bisa menyalahkan mereka. Dendam pun tak ada gunanya.
Bibiku pernah mengatakan padaku untuk tetap hidup walaupun semua yang kulewati membuatku menderita.
Namun sekarang, apa yang bisa kulakukan?
Wanita itu berdiri. "Nah, sekarang kamu sudah sadar. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan? Aku tahu kamu akan bosan jika terus istirahat."
"Ya, tubuhku terasa kaku. Tapi, aku ingin pergi sendirian."
"Baiklah, kalau itu maumu."
"Omong-omong, Onene-sama. Sudah berapa lama aku tertidur?" Tanyaku seraya mengganti pakaianku.
Nona Nene mengurut dagu. "Hm... kira-kira dua minggu lebih."
"Eh!? Selama itu!?" pekikku kaget.
"Benar!"
Ah, sudahlah. Lebih baik sekarang aku pergi keluar untuk mencari udara segar lalu berpikir apa yang harus kulakukan setelah ini. "Anu... Onene-sama?"
"Ada apa?"
"Apa nona menemukan sebuah bel saat aku pingsan di Istana Odani? Belnya kecil berwarna emas..."
"Maaf, aku tidak melihatnya. Sepertinya bel itu sangat berharga bagimu, ya?" tanya istri dari Hideyoshi itu dengan wajah sedih.
"Ah, tidak apa kok! Itu hanya bel. Tak perlu dipikirkan..." Setelah memasang pakaian, aku membungkukkan badan. "Terima kasih banyak telah merawatku, Onene-sama. Aku sungguh berhutang nyawa padamu."
Ia tersenyum ramah. "Hm! Sama-sama."
-XXX-
Matahari perlahan menurun hendak terbenam, membuat langit berwarna jingga kemerahan. Suara hiruk pikuk kesibukan penduduk membisingkan kedua indera pendengaranku. Kupasang kerudung untuk menutupi kepalaku. Aku tak ingin rambut perakku menjadi pusat perhatian orang, bahkan aku memiliki mata merah seperti batu rubi. Aku tak pernah menginginkan ini. Bahkan dulu orang-orang penyandang klan Azai sering memanggilku 'Inaba no Shirousagi', hanya karena memiliki warna rambut dan mata seperti kelinci putih. Tapi jangan salah sangka, kepribadianku tidak sama dengan hewan dari cerita dongeng itu. Memalukan sekali. Tapi Nona Oichi dan Tuan Nagamasa memuji rupa anehku ini. Begitu pula Bibi.
Kedua mataku mengarah ke gunung dimana Istana Odani berada. Namun yang tersisa hanyalah reruntuhan kayu yang rapuh. Aku ingin pergi kesana, tapi itu hanya akan membuatku semakin sedih. Lagipula aku yakin bahwa aku tidak akan bisa menemukan belku disana.
Entah sejak kapan aku sampai di depan pohon momiji. Satu persatu dedaunan merah kekuningan menjari itu jatuh diatas kepalaku. "Tunggu, lalu apa yang terjadi pada Tōdō-dono dan Ōtani-dono?" gumamku. Sejak aku terjebak di Istana Odani, aku tidak tahu apa mereka selamat atau tidak. Apa mungkin mereka masih mengikuti Nona Oichi? Ah bukan, itu tidak mungkin. Lalu kemana mereka berdua pergi?
Aku menghela napas panjang seraya mengacak rambutku dengan kesal. "Duh! Apa yang harus kulakukan sekarang!?" Aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi, kepalaku rasanya ingin meledak. Semua orang didekatku menghilang begitu saja. Bahkan belku juga hilang entah kemana. "Kenapa aku bisa seceroboh ini?"
Tunggu, aku baru ingat. "Oh iya, Nene-sama tadi bilang kalau Hideyoshi-sama merekrut pasukan klan Azai yang tersisa. Pasti mereka masih berada di sini!"
"Oi. Kau yang disana."
"Eh? Siapa?" Aku menoleh ke belakang, melihat orang yang sepertinya memanggilku. Seorang anak laki-laki yang terlihat seumuran denganku berdiri di hadapanku. Memiliki rambut sebahu berwarna coklat dengan tatapan matanya yang tak ramah seperti tak mau akrab dengan orang lain.
'Dasar, jangan menatapku seperti itu. Pergi sana, dasar penganggu. Tidakkah kau lihat aku sedang berpikir dengan serius?'. Itu yang ingin kutakan tapi aku mengurung niat buruk tersebut. Aku mencoba untuk bersikap baik padanya.
"Ada apa?" tanyaku tersenyum pada anak laki-laki itu.
"Onene-sama memanggilmu, ikut aku."
"Onene-sama?" Padahal tadi dia menyuruhku untuk pergi jalan-jalan. Tubuhku masih terasa kaku karena sudah terlalu lama tertidur.
"Jangan banyak tanya. Ayo cepat." Dia langsung berjalan meninggalkanku.
"Baik..." Jawabku seraya menyusulnya. Pasti suasananya akan semakin canggung jika aku berjalan di sampingnya, jadi aku berjalan di belakangnya.
Ia bahkan tidak mengajakku mengobrol. Sepertinya orang ini benar-benar sombong, sesuai perkiraanku.
"...hei."
Apa? Apa dia memanggilku? Sepertinya aku terlalu cepat menilainya. "Ya?"
"... kau... siapa namamu?" Nada suaranya terdengar sedikit gugup. Dasar, sepertinya dia tidak ingin aku menganggap dirinya sombong ya? Aku berhenti berjalan, lalu membungkuk. "Shiraishi Suzu. Salam kenal."
"...oh."
Aku mengernyitkan alisku mendengar jawaban singkatnya. "Hei, bukan jawaban singkat itu yang ingin kudengar. Seharusnya dari awal kau memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum kau ingin mengenalku." Jawabku mulai kesal sambil melipat tangan.
"D-Diam kau! S-Siapa yang mau berkenalan dengan perempuan aneh sepertimu!?" bentaknya terbata-bata.
Alisku mengernyit lagi. 'Perempuan aneh', katanya? Ya, memang. Aku menghargai tanggapan jujur itu, aku juga menganggap diriku aneh. Tapi tetap saja, sikap laki-laki ini sangat menyebalkan. "Oh? Baiklah kalau begitu..." Aku berjalan cepat mendahuluinya. "Terima kasih sudah memberitahuku. Aku akan pergi bertemu dengan Nene-sama sendiri. Kau boleh pergi." Setelah mengatakan itu aku langsung berlari menuju ke dalam istana.
"Kau...!" Ia berlari mengejarku. "Tunggu dulu! A-Aku...!"
Aku berhenti berlari kemudian menoleh. "Ada apa lagi?" Aku membalas tatapannya tadi dengan tatapan yang jauh lebih dingin, setidaknya aku usahakan seperti itu. Mata dibalas mata.
"Namaku... Ishida Mitsunari..." Aku mengedipkan mataku berkali-kali lalu tertawa kecil. "Kau! Kau mempermainkanku!?" bentaknya kesal.
"Tentu tidak. Kita baru saja bertemu, bukan? Aku hanya salah menilaimu." Kemudian aku tersenyum. "Salam kenal, ya."
"...ya. Salam kenal, Shiraishi."
Kulebarkan senyumanku. "Begitulah caranya berkenalan dengan orang yang baru kau temui, Ishida-san."
"Aku sudah tahu itu..." Ia membuang muka.
Aku kembali tertawa. "Kau memang tidak bisa bersikap baik, ya? Nah, ayo."
-XXX-
Sepanjang jalan menuju istana, aku bertanya banyak hal mengenai dirinya. Ishida Mitsunari, dia baru saja direkrut oleh Tuan Hideyoshi. Dia setahun lebih tua dariku. Dia tidak sendirian, ia memiliki dua orang teman yang bernama Katō Kiyomasa dan Fukushima Masanori. Dan alasan Nona Nene memanggilku adalah memperkenalkan tiga anak laki-laki itu.
"Semoga kalian bisa berteman baik!" ucap Nona Nene menepuk kedua tangan dengan wajah senang.
Sebenarnya selama ini aku tidak pernah berteman. Maksudku, aku tidak pernah memiliki teman sungguhan. Bahkan aku belum pernah bermain dengan anak laki-laki. Lagipula, aku ini―
"Woooh! Shiraishi ternyata sangat manis! Ya 'kan, Mitsunari―"
"Diam kau." ucap Mitsunari dengan dingin. Ia menginjak kaki Masanori sehingga ia menjerit kesakitan.
"Selama ini kami telah menunggumu hingga kau sadar. Apa kau sudah merasa lebih baik, Shiraishi?" tanya laki-laki rambut berwarna abu-abu, Kiyomasa.
Aku mengangguk. "Tidak apa. Terima kasih sudah bertanya, Katō-san."
"Omong-omong, Shiraishi. Nene-sama pernah bilang kalau kau itu miko. Apa itu benar?" tanya Mitsunari.
Dengan sekejap, senyumanku menghilang ketika mendengar pertanyaan dari Mitsunari. Wajar Nona Nene tahu, karena aku mengenakan seragam miko saat aku berada di Istana Odani.
Tapi yang tidak kumengerti adalah sebagian dari diriku tidak ingin menceritakannya, dan sebagiannya yang tersisa adalah sebaliknya. Tapi, jika disembunyikan tak akan ada gunanya. Pada akhirnya mereka akan tahu yang sesungguhnya.
"Shiraishi...?" Kiyomasa memanggilku.
"Itu benar," jawabku. "Tapi aku tidaklah hanya seorang miko. Dulu, Obaa-sama adalah murid dari Mochizuki Chiyome-sama. Dan semua ilmu yang Bibi pelajari diturunkan padaku."
"Mochizuki Chiyome? Kunoichi dari klan Takeda itu?" tanya Nona Nene kaget bukan main.
"Benar. Aku tidak terlalu menganggap diriku sebagai kunoichi. Karena selama ini, aku menggunakan kekuatanku hanya untuk melindungi Oichi-sama. Sebenarnya dulu, Obaa-sama melakukan penyamaran sebagai miko, untuk membunuh Nagamasa-sama."
"Membunuh...?" gumam Mitsunari.
"Aku tidak tahu demi apa. Tapi, Oichi-sama begitu mempercayai Obaa-sama. Oleh karena kepercayaan Oichi-sama, ia membatalkan misinya dan terus berjuang untuk melindungi Oichi-sama. Tapi Nobunaga, Istana Odani, Nagamasa-sama dan juga Obaa-sama. Semuanya menghilang begitu saja."
"Shiraishi..."
Aku mengangkat kepalaku. "Onene-sama, orang sepertiku ini... apakah tidak apa dibiarkan hidup? Bahkan sekarang aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku bersedia melakukan jigai jika itu hukumanku."
"Shiraishi! Apa yang kau katakan!?" bentak Kiyomasa.
Nona Nene tertawa pelan. "Apa yang kau bicarakan, Suzu? Kau terlalu berlebihan, terlalu! Kamu masih anak-anak dan mana mungkin aku akan memintanya pada Omae-sama. Lagipula, kau tidak melakukan kesalahan apapun." Kemudian wanita itu menghampiriku, kedua tangannya berada di bahuku. Mata coklatnya terkunci pada mataku. "Walaupun Suzu belum mengetahui apa yang akan kau lakukan, aku yakin kau akan menemukannya."
Mendengar kalimatnya itu, aku ingin protes. Tapi, Nona Nene ada benarnya. Cepat atau lambat, mungkin aku akan menemukannya. Mungkin saja...
"... itu bukan bohong, 'kan?" tanyaku.
"Kalau aku berbohong, kau boleh menarik telingaku."
Entah ia bercanda atau tidak, aku tak tahu. Tapi untuk sekarang, aku akan memegang kata-katanya. "Baiklah."
Tiba-tiba Nona Nene memelukku erat. "Suzu benar-benar... Padahal aku sudah susah payah menyelamatkanmu tapi kamu malah berniat membuang nyawamu."
Astaga, benar juga. Kenapa aku bisa sebodoh ini. "M-Maafkan aku, Onene-sama! Aku terlalu egois, aku malah membuat pertolonganmu sia-sia."
Lalu ia meregangkan pelukannya, ia meraih wajahku dan tersenyum. "Suzu, bukan itu yang ingin kudengar. Karena aku sudah menyelamatkanmu, kau harus berterima kasih. Bukan meminta maaf. Ya?"
Kalimatnya begitu menghangatkan semua perasaanku. Sosok Nona Nene membuatku teringat akan kedua orang tuaku dan juga bibi. Kini, aku akan percaya― bukan, aku sangat percaya bahwa kehidupanku nanti menumbuhkan tujuan baru yang pantas. "Terima kasih, Nene-sama."
Beliau kembali memelukku erat diiringi dengan tawa kecil. Aku hanya pasrah dan tersenyum, membiarkannya mengeluarkan seluruh kasih sayangnya yang begitu persis seperti seorang ibu padaku. "Suzu, meskipun kamu belum tahu apa yang akan kau jalani, ingat perkataanku. Hiduplah dari hasrat yang sungguh kau inginkan."
"'Yang aku inginkan...?"
"Ya, dan Suzu tidak sendirian. Aku, Omae-sama, Mitsunari, Kiyomasa, Masanori dan semuanya pasti akan selalu ada untukmu."
"...Nene-sama."
Nona Nene tak menjawab, beliau masih tersenyum. "Baiklah! Kalau begitu, ayo kita latihan! Mitsunari, Kiyomasa, Masanori! Kalian juga! Aku akan mengajari kalian Nene Ninpo!" Ucapnya setelah melepaskan pelukannya.
"Eh? Apa aku juga harus ikut?" tanyaku.
"M-Mohon bimbingannya, Onene-sama!" ucap Kiyomasa semangat.
"Woah! Kiyomasa mulai bersemangat! Baiklah, aku juga!" pekik Masanori. "Ayo, Mitsunari!"
"...berisik, bodoh." gerutu Mitsunari dengan sombongnya.
Melihat mereka, aku menyadari dua hal. Aku harus tetap hidup, bagaimana pun caranya aku pasti akan menemukannya. Lalu yang kedua, sekarang aku memiliki teman, teman yang sesungguhnya.
Selama ini aku hanya selalu sendirian, hanya berfokus pada posisiku untuk melindungi Oichi-sama. Tak pernah menghabiskan waktu bermain seperti anak-anak yang lain. Hidup biasa seperti penduduk desa. Tapi hanya karena rupaku seperti si kelinci putih penipu dan posisiku untuk melindungi Oichi-sama, aku dianggap tak pantas memiliki teman.
Yah, meskipun begitu... yang penting sekarang aku sudah mendapatkannya. Teman sesungguhnya. Masanori, walaupun dia sangat berisik tapi dia selalu saja membuat suasana menjadi menyenangkan. Kiyomasa, dia sangat peduli dengan orang terdekatnya. Mitsunari, walaupun sombong terkadang dia juga bisa menunjukkan sisi baik.
Meskipun begitu banyak hal buruk yang menimpaku, aku akan menyimpan seluruh momen yang telah lewat, yang akan datang dan sekarang.
"'Tetaplah bertahan hidup, itu yang terpenting,' 'kah...?"
-XXX-
Malam pun tiba. Nona Nene sudah memberikanku kamar di Istana Nagahama. Mungkin aku tidak akan bisa tidur malam ini. Aku sudah terlalu lama tidur. Kupanjati pohon momiji yang ada di depan halaman kemudian duduk diatas dahan.
"Bulan sabit..." lirihku seraya menengadahkan kepala memandang langit malam. Ucapan Nona Nene terus terulang di dalam kepalaku ditambah dengan satu pertanyaan yang sulit kujawab.
"Apa yang akan kulakukan sekarang?"
Tidak ada tempat bagiku untuk pulang. Tidak ada pula orang yang berharga bagiku yang ingin kulindungi. Aku benar-benar tidak punya tujuan. Tapi ucapan Nona Nene membuatku kembali sadar. Aku tidak sendirian.
Namun, apa tidak apa aku terus berada disini? Apa yang akan kulakukan? Menjadi prajurit? Aku tidak mau. Aku tidak mau lagi melihat peperangan. Itu hanya membuat nyawaku melayang percuma. Anak kecil sepertiku mana mungkin memiliki tekad seperti prajurit lainnya.
Kalau aku meninggalkan Omi, apa aku harus menemui Nona Chiyome? Tapi, entah mengapa aku merasa tidak yakin. Entah aku akan diperlakukan seperti apa, aku tidak mau membayangkannya. Bahkan aku tidak mengenal satu orang pun di klan Takeda.
Setidaknya aku harus hidup demi diriku sendiri. Lalu apa yang harus kulakukan? Mencari pekerjaan selain menjadi bawahan sangat susah apalagi untuk anak kecil sepertiku. Aku ini bodoh, lemah, dan tak berguna.
Tapi aku tidak ingin terus seperti ini.
...
Semua pemikiran ini membuat kepalaku sakit, kusandarkan kepalaku pada pohon lalu nenghela napas. "Mungkin sekarang bukan waktunya aku menemukan jawabannya."
-XXX-
Hari berikutnya, aku mengunjungi dojo. Karena aku tidak memiliki urusan dengan hal apapun, aku hanya memerhatikan Kiyomasa dan Masanori yang sedang latihan.
"Oh, Shiraishi! Kau mau latihan juga?" seru Masanori tersenyum lebar dan melambaikan tangan.
"Tidak. Aku hanya ingin melihat-lihat saja." jawabku seraya duduk memperhatikan mereka.
"Begitu ya―ack!" Kiyomasa langsung memukul kepalanya dengan pedang kayu. "Kiyomasa, kau tidak adil! Padahal aku sedang berbicara dengan Shiraishi!" bentak Masanori mengusap kepalanya yang sakit.
"Bodoh! Kau pikir kau punya kesempatan untuk menyapa seseorang di medan perang?"
"Disini dan medan perang 'kan berbeda―gah!" Kiyomasa memukul kepalanya lagi.
"Jangan banyak mengoceh! Lawan aku dengan seluruh kemampuanmu, Masanori!"
Aku hanya terdiam melihat mereka berdua bertengkar. Seluruh isi kepalaku masih mencari jawaban yang ingin kutemukan.
Apa tidak apa jika aku terus berada disini?
"Shiraishi? Ada apa?" sapa Kiyomasa menghampiriku.
"Ah, tidak. Sebenarnya aku ingin jalan-jalan sebentar. Nah, permisi..." ucapku seraya berdiri lalu membungkukkan badan sebelum meninggalkan ruangan.
"Ah, baiklah..." ucap Kiyomasa.
Aku berjalan keluar istana, sebetulnya aku tidak tahu harus pergi kemana untuk menenangkan pikiranku. Namun aku menyerahkan arah tujuanku pada langkahku saja. Kupasang kerudung hitam untuk menutupi rambutku lalu terus berjalan.
Suasananya sama seperti kemarin, para penduduk melakukan aktivitas mereka masing-masing. Lalu pandanganku berpindah kearah gunung, reruntuhan Istana Odani masih ada disana.
"...aku akan pergi kesana saja deh. Ah!" Tidak sengaja aku menabrak seseorang. Aku langsung membungkukkan badan untuk meminta maaf. "Maafkan aku, Tuan!"
"...kau."
Suara itu, aku mengenalnya. Aku mengangkat kepala agar bisa melihat sosok orang itu. Pria bersurai hitam yang mengenakan topi berwarna putih-biru dengan lambang klan di tengahnya, ia menutupi separuh wajahnya dengan kerah. Iris matanya berwarna abu-abu.
"...Shirousagi?"
"Ōtani-dono! Kumohon jangan memanggilku itu!"
"Jangan khawatir, arwahmu akan segera kukirim ke surga. Ah, atau neraka?"
"Jangan seenaknya mengataiku sudah mati! Aku masih hidup!" balasku lagi. Lalu tangan kanannya mendarat diatas kepalaku.
"Syukurlah kalau begitu."
"Telat, tahu! Lalu apa maksud Tuan 'kalau begitu'!?" balasku lagi. Aku malah mengikuti candaannya.
Ia tertawa pelan. "Aku bercanda. Sudah dua minggu kau tak sadarkan diri. Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya pria itu menurunkan tangannya.
Aku mengangguk. "Ōtani-dono berada disini artinya..."
"Ya, aku sudah memutuskan untuk melayani Hideyoshi-sama."
Aku menghela napas lega. "Begitu ya."
"Beberapa hari yang lalu saat kau masih tak sadarkan diri, beliau memberitahuku bahwa kau sedang dirawat oleh Onene-sama. Aku tak menyangka kau masih hidup..."
"Aku juga. Padahal aku sudah memutuskan untuk menyerah..." gumamku. Aku menghindari kontak mata dengan Tuan Yoshitsugu. Entah dia mendengarku atau tidak, tapi ia hanya terdiam.
"Shiraishi, apa yang akan kau lakukan setelah ini?"
"Itu pertanyaan yang ingin kujawab secepat mungkin, Ōtani-dono. Tapi aku... tidak ingin terlibat perang lagi..."
Ia terdiam sejenak. "Begitu 'kah? Shiraishi, aku akan mentraktirmu manju. Ikuti aku."
"Eh? Ah, baik."
Sesampainya di kedai manisan, aku duduk di luar sembari menunggu Tuan Yoshitsugu. "Ini." Pria bermanik abu-abu itu memberiku sepotong manju.
"Ah, itadakimasu." Lalu Tuan Yoshitsugu duduk disebelahku.
"Kau yakin, Shiraishi?"
"Apanya?" tanyaku menatapnya.
"Padahal gadis kecil seusiamu dengan keahlian yang hebat bisa membantu Hideyoshi-sama." Ia menurunkan sedikit kerahnya lalu memakan manju.
"Aku tidak mau terlibat perang." sahutku seraya memerhatikan para penduduk yang sibuk berjalan kian kemari. "Tapi, jika aku pergi dari sini, Chiyome-sama mungkin saja akan menemukanku dan menjadikanku sebagai kunoichi seperti mendiang bibiku. Aku tidak mau..."
"...kau kehilangan arus tujuanmu, ya?"
Aku mengangguk. "Ōtani-dono. Menurutmu, apa aku harus kembali pada Chiyome-sama?"
"Aku tidak berhak menentukan tujuan hidupmu, Shiraishi. Itu semua tergantung pilihanmu." Mendengar jawabannya, aku menghela napas kecewa. "Tapi, aku punya usulan untukmu."
"Eh?"
"Seperti yang kukatakan tadi. Kau memiliki kecakapan yang tidak dimiliki oleh anak-anak pada umumnya. Kau sudah mengenal situasi dunia, tapi kau ingin menghindari aliran itu. Namun menurut pandanganku, kau mampu melawannya, Shiraishi."
"Melawannya?"
"Apa kau mengerti maksudku?" tanya Tuan Yoshitsugu mulai menatapku.
Sejujurnya aku belum yakin dengan dugaanku tapi aku benci mengatakannya. "Artinya, aku tidak bisa menghindari perang?"
"Aku tidak mengatakan tidak bisa, tapi kau mampu menghadapinya."
"..." Aku kembali mengalihkan pandangan. Tuan Yoshitsugu mengatakan aku bisa melakukannya. Tapi, aku tidak mau terlibat. Aku tidak bisa menanggung semua resiko itu.
"Tak apa, aku tidak akan menyangkal keputusanmu. Berpikir sebelum bertindak." Ia beranjak lalu pergi meninggalkanku.
"Ah, tunggu dulu, Ōtani-dono!"
"Hm?" Ia menoleh kearahku.
"Tōdō-dono dimana? Apa dia tidak bersama Ōtani-dono?"
Ia membalikkan badan. "Sayang sekali, tidak. Kami memiliki arus yang berbeda."
"Eh?" Memiliki arus yang berbeda, katanya? Apa mereka bermusuhan?
Tatapan matanya melembut. "Jangan khawatir. Aku yakin dia akan tahu bahwa kau masih hidup. Dan kami tidak bermusuhan." ucapnya sembari mengusap kepalaku. "Ternyata dugaanku benar kalau kau menyukainya."
Pipiku memanas. "B-Bukan begitu, Ōtani-dono! Aku hanya mengagumi Tōdō-dono... hanya itu kok," gumamku sambil mengalihkan pandangan.
Ia mendengus pelan. "Nah, aku memiliki urusan yang harus kukerjakan. Shiraishi, gadis kecil sepertimu jangan sampai pulang larut malam," ucapnya sambil berjalan meninggalkanku.
"Sekarang 'kan masih siang!" balasku sambil menatapnya pergi. "Dasar, aku tidak mau diperlakukan seperti anak kecil. Aku ingin tumbuh dewasa dengan cepat." gerutuku sambil melahap manju.
...
Tadi Tuan Yoshitsugu bilang kalau aku mampu melawannya?
Bagaimana caranya? Aku tidak punya tempat untuk pulang, aku tidak punya orang yang ingin kulindungi. Aku ini hanya gadis kecil, lemah, dan sendirian-
Aku tidak tahu.
Aku tidak mengerti.
-Shiraishi Suzu's Perspective END
-XxX-
-XxX-
A/N : Oke! Ini fanfic pertama saya untuk fandom SW. Maafkan bila ada kesalahan pada gaya tulisan saya yang makin gaje. Mohon berikan kritik dan saran pada kotak review dibawah ini!
Buat fic saya yang belum selesai di fandom sebelah. Maaf ya, soalnya saya cuma bisa fokus ke satu fic. *sujud gaje*
Sampai jumpa di chapter berikutnya!
