Bleach © Kubo-sensei (Tite Kubo)

Rated : T

Pairing : HitsuRuki

Genre : Adventure & Romance

Warning : cerita dan deskripsi tidak jelas, membosankan, typo(s), aneh, dan berbagai kekurangan lainnya.

.

.

DON'T LIKE? DON'T READ!

.

.

.

320 DISTRICTS

.

Prolog

.

.

Ia bersembunyi di balik batang pohon kayu besar dengan deburan napas letih, serasi dengan irama dadanya yang naik turun. Berupaya mengurangi peluh yang sudah bertabur penuh di wajah, punggung tangan kanannya menyekanya hingga tak sengaja ia menyisakan darah―bekas saat ia menutupi luka sabitan di lengan kirinya―di dahinya. Area salju yang ditapakinya ketika menyusuri pelosok hutan, ditandai dengan deretan tetes merah pekat yang tanpa henti mengalir dari luka menganga di lengan, menurun hingga mencapai kelima jarinya, dan akhirnya menodai pula salju yang menjadi pijakannya sekarang.

Sesekali ia melongokkan kepalanya, mengamati sekitar. Merasa diberi waktu untuk bernapas sebentar, ia menyandarkan punggungnya, memejamkan mata sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

Tapi sungguh, itu tak lama. Sosok Hitam berkelebat―diterpa secuil cahaya yang menerobos rindangnya dedaunan―berjarak sekitar sepuluh meter di atas kepalanya, siap menerjangnya dengan pedang diacungkan langsung. Andai ia tak cakap Shunpo, mungkin kepalanya sudah menjadi area tancapan katana si Sosok. Reflektifnya pun sangat bagus, ia menghindar cepat dengan hanya goresan luka tak dalam di bahu kiri, dan mendarat di dahan pohon yang bersebelahan dengan pohon yang ia sandari tadi.

Kalau tak begitu, sudah lama ia dipecat dari jabatan kaptennya di Batalion 13.

Tak mau menjadi orang bodoh menonton si Sosok Hitam berusaha menarik setengah badan pedangnya yang melesak ke tanah, ia kembali menjauh.

Luka yang menggorogoti setengah bagian tubuhnya sungguh mempengaruhi kecepatan geraknya menyusuri dahan pohon satu per satu. Penglihatannya mulai rabun, dan… oh… sedikit ketidakseimbangan pada langkahnya berhasil membuatnya jatuh tersungkur ke bawah dengan pose tertelungkup. Jatuh dari ketinggian lima belas meter dengan tubuh penuh luka sungguh bukan pengalaman yang menyenangkan. Memegang lutut, ia bangkit berdiri, tapi hanya itu yang mampu dilakukannya karena si Sosok Hitam berdiri tepat di hadapannya, menghunuskan katana, siap memutuskan urat nadi leher sang Kapten.

Salju mulai turun, beberapa butir putihnya singgah di bilah pedang yang teracung padanya. Gerak bilah semakin dalam, berhasil menggores tipis kulit terluar leher sang Kapten.

Tapi entah kenapa, tak tampak sama sekali inisiatif untuk menarik Zanpakutou yang masih bertengger nyaman di punggungnya, setidaknya untuk membela diri atau memperpanjang nyawanya yang sudah berada di ujung tanduk. Atau mungkin, di batinnya terdapat keyakinan bahwa si Sosok yang tak jelas bagaimana wujudnya, takkan membunuhnya. Atau spekulasi lain―ia tak mampu melukai sosok itu.

Tak jelas, ekspresi apa yang ditunjukkan si Sosok yang siap mencabut nyawanya. Kebencian? Kegeraman? Atau kekosongan? Sungguh buram. Tapi terserah apa ekspresinya, karena sang Kapten membalasnya dengan tatapan pilu. Tangan kanan sang Kapten bergerak, bukan ke belakang tapi ke depan, menggenggam tangan si Sosok yang berada di gagang pedang. Pelan-pelan ia berdiri, mendekat lambat, walau bilah tajam masih bergesekan dengan kulit lehernya.

Seakan si Sosok mengasihaninya, dilonggarkannya sedikit mata pisau pedangnya, lalu diturunkannya perlahan hingga ujung katana menyentuh salju di tanah. Tindakan itu tak disia-siakan si Kapten, tubuhnya kian mendekat, tangan kanan dialihkannya ke bagian belakang si Sosok, bersiap merengkuhnya.

Sayangnya, rengkuhan hanya sekedar usul di kepalanya.

"Ekhkh…" ia mengerang samar bersamaan dengan menyemburnya sedikit darah dari mulutnya. Ia menengok ke bawah, katana telah menembus bagian perut kirinya, dan kembali cairan merah pekat itu menodai putihnya salju. Kesadarannya sendiri semakin tak bisa dikuasainya.

Sisa energi dipaksanya keluar setidaknya untuk berucap satu kata, "Sadarlah!"

Dan detik kemudian, kegelapanlah yang menyambutnya.

.

.

.

Toushirou tersentak bangun dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya.

Tak ada salju. Tak ada luka. Tak ada darah. Tak ada pula si Sosok.

Ia menebarkan pandangan ke sekeliling. Ini bukan Soul Society, tapi di Karakura, tepatnya di kediaman keluarga Kurosaki. Oh, ia ingat! Ia berlibur di sini. Kemarin ia baru saja bermain sepak bola dengan adik perempuan si Shinigami Pengganti, lalu bertemu dengan Haru-baachan dan Yosuke.

Ia menggeser posisinya, duduk sedikit membungkuk dengan kedua tangan digenggamnya.

"Mimpi apa itu?"gumamnya.

Setelah menggosok-gosok rambutnya, ia bangkit berdiri dari sofa menuju kamar mandi. Di sana ia mengusap wajahnya dengan air segar, lalu mengangkat kepalanya dan mendapati wajahnya yang sedikit pucat. Ia menghela napas sejenak, berusaha tak memikirkan mimpi mengerikan itu.

Keluarnya, ia disambut oleh keheranan Karin kalau ternyata rekan bermain bolanya itu punya kebiasaan bangun pagi juga. Tak tanggung-tanggung, Yuzu pun yang telah bersiap menyiapkan sarapan pagi di dapur kembali menggoda kalau mereka sangat kompak bangun pagi serentak.

Dan keramaian si Kembar cukup berhasil melelehkan firasat buruk atas mimpinya semalam.

.

.

.

To Be Continue

.

.

.

Bingung, kenapa pendek banget? Tenang! Ini masih prolog.

Setting waktu mimpi Toushirou ini adalah saat dia menginap di rumahnya Ichigo, di episode filler 316 (Toushirou Hitsugaya's Holiday!). Yah… saya modifikasi dikitlah.

Yap! Jika berkenan, Readers, tolong tinggalkan R-E-V-I-E-W

SEE YOU AGAIN di chapter selanjutnya.

Ray Kousen7

22 Mei 2012