07-Ghost © Yuki Amemiya and Yukino Ichihara. Tidak mengambil keuntungan material apapun dari fanfiksi ini. Semoga menyenangkan.

Note: another reality, canon.

.

.

.

.

Prompt belongs to thejohnfox dot com/While painting a portrait of what was thought to be a fictional subject, an artist has a revealing flashback about their childhood that uncovers some forgotten memories.


"Ini tehnya, Teito-sama."

"Ah, terima kasih."

Sang pelayan mendekap nampan yang lebih besar, pamit undur diri. Teito melanjutkan untuk menyisir warna di bagian kiri kanvas. Teh Raggs masih hangat ketika ia menyesapnya. Teito akan melanjutkan lagi setelah terhenti sesaat oleh kehadiran Millea.

"Selamat pagi, Bu. Pagi yang cerah." Memberikan senyuman sebagai vitamin untuk menghadapi hari.

"Tiashe semakin mirip Krom-sama."

Millea memperhatikan anaknya yang terkekeh. "Ibu bisa saja." Mengidik bahu, "Aku kan anaknya. Anak kalian berdua, maksudku. Tetapi kenapa Ibu tidak pernah mengatakan bahwa kita mirip?"

Kali ini Millea yang tertawa kecil. Maju untuk membelai rambut Teito. Putranya malah mengelak layaknya anak kecil.

"Pasti sedang melukis langit, ya." tebak Millea memutar posisi badan. Yang didapatinya adalah lukisan perempuan.

"Ibu pasti hanya menebak lewat apa yang Ayah lakukan, 'kan?" sergah Teito, "Aku tidak sesering itu melukis langit."

Kursi di samping Teito membuat tungkai Millea pegal. Kemudian disinggahilah kursi tersebut, mengambil cangkir teh di meja sebelahnya.

"Hei, itu teh milikku, Bu."

Tanpa menggubris protesan itu, Millea lanjut menyesap. Anaknya tidak akan kurang ajar untuk merebutnya, 'kan. Alih-alih, Millea mencubit lengan Teito. Lukisannya hampir bergeser dari rencana.

"Tiashe genit, ah. Sekarang sudah mulai melukis-lukis perempuan."

Teito terbeliak, hampir-hampir tersendak ludahnya sendiri.

"Itu tidak seperti yang Ibu pikirkan. Tadinya aku hanya menggambar asal-asalan. Hingga menemukan pola, lalu kubentuk seperti ini."

Teh Raggs disesap sekali lagi. Millea memulai pembicaraan serius.

"Tiashe kan sudah mengemban tahta selama tiga tahun, tidak ada niatan untuk memiliki pendamping?"

Teito menghembuskan napas, menutup mata. "Dan Ayah lima tahun melakukannya."

"Jadi kau ingin menyamai Ayahmu sampai semirip-miripnya?" goda Millea.

Teito membuang muka, "Setidaknya dalam hal pasangan, aku ingin wanita seperti Ibu."

Millea tertawa kecil, merapatkan mantelnya.

"Sudah berjumpa, bukan?" Perlahan bangkit dari kursi. Sebelum benar-benar meninggalkan Teito dengan kanvasnya, Millea menepuk kepala Teito. "Melukis seperti ini, Ibu harap kau tidak melupakan acara pertemuan dengan Kekaisaran Barsburg." Memberi jeda untuk meringankan beban pikiran, "Sepertinya Ouka juga sedang digencar-gencar untuk menikah."

Dengan kaku Teito memandang kepergian Millea. Terima kasih, telah mengingatkan acara penting itu. Terima kasih telah memberi tahu bahwa putranya memiliki teman seperjuangan. Tetapi, apa maksud kalimat paling awal?

Teito menggeleng. Empat tahun yang lalu adalah pesta ulang tahun Putri Ouka yang ke enam belas. Acara mengait calon kaisar gagal. Tahun berikutnya hingga sekarang Kaisarina Ouka belum memilih. Ya sudah, Teito merapikan alat lukis untuk bersiap-siap.

Terakhir sebelum melenggang, ketika mengusap pipinya yang mungkin tertinggal jejak warna merah, matanya terpaku kepada lukisan. Gadis kecil, dengan mata berlinang, tapi kali ini bibirnya tersenyum, mengimitasi Teito tersenyum. Nyata, lukisannya adalah Ouka empat belas tahun silam.

Ya, benar, Bu. Aku sudah bertemu dengannya.


a/n: asdfghjkl aku suka teitouka! tiap kali mikirin plot, selalu mereka yang terbayang, argh!/orz. terima kasih sudah mampir :)