Naruto © Masashi Kishimoto
[Uchiha Sasuke x Haruno Sakura]
Islamic content, AU, OOC, Typo(s), EBI belum sempurna.
.
.
.
"Komitmen?"
"Ya. Ini suatu ikatan dimana kau dan Sasuke memiliki hubungan sakral, meskipun kalian masih sama-sama menempuh program Magister,"
Iris serupa batu emerald itu menatap lekat ibunya. "Apa tidak terlalu dini?"
Wanita yang bersangkutan hanya tersenyum tipis –terkesan serba salah, karena tak ada pilihan lain yang harus diputuskan.
"Polemik hidup harus diselesaikan tanpa kesia-siaan,"
.
.
Secarik Hibat © Wickey-Pooh
Chapter 1
Present
.
.
Gadis blasteran Jepang-Mesir tengah termenung seraya menopang tangannya di dagu yang tertutupi oleh cadar. Realitas menunjukkan bahwa interaksinya dengan Sasuke masih samar, tapi dirinya sudah terikat hubungan yang jelas dengan pemuda tersebut.
Kendati demikian, dirinya sepakat akan beradaptasi dengan baik dan taat pada pemuda raven itu sesuai keputusan keluarga mereka. Pemilik nama lengkap Sakura Humaira Haruno tersebut tengah memikirkan serpihan memori yang melintas dalam pikirannya, sebenarnya dia tidak terlalu mempermasalahkan perkara ini dan bahkan tidak keberatan dengan keputusan orangtuanya karena...
.
.
Keluarga Uchiha mengadakan acara amal dan mengundang anak-anak yatim untuk berbagi sedekah dan makan bersama, juga sebagai bentuk syukur atas keberhasilan bisnis yang sudah dicapainya. Tidak hanya itu, Fugaku –kepala keluarga Uchiha– turut menghadirkan sejumlah kerabat dan mengadakan pengajian.
"Ruangan untuk pengajian sudah ditata sesuai perintah Haji-sama," ujar salah satu pekerja di Manshion mewah ini.
Onyx Fugaku memicing. "Sudah kubilang jangan memanggilku seperti itu,"
Fugaku selalu merasa sungkan jika dirinya dipanggil dengan sebutan haji. Kendati sudah melakukan ibadah haji, tak membuatnya besar kepala. Secara fisik, dirinya terlihat seperti kalangan pebisnis lainnya, bukan tipikal ahli agama.
Sang pekerja lantas mengangguk cepat. Dia tahu, sekalipun majikannya berwatak tegas, namun eksistensi laki-laki tersebut penuh akan kedermawanan.
Tatapan Fugaku mengalih ke sisi kiri. "Seperti biasa, kau yang akan memimpin acara, Syekh,"
Syekh –panggilan untuk Kizashi– mengangguk dengan wajah ramah. Mereka merupakan kawan seperjuangan semasa duduk di bangku kuliah, Universitas Al-Azhar. Qizasyi atau lebih akrab dilafalkan Kizashi ini merupakan laki-laki asal Mesir, sementara Fugaku asli keturunan Jepang dimana dia merantau untuk menempuh jenjang pendidikan di negeri pemilik Sungai Nil itu.
Beberapa tahun setelah lulus, Kizashi menetap sementara di Jepang untuk bekerja di Perusahaan Uchiha sebagai pendamping Fugaku, di negara matahari terbit inilah dia menemukan tambatan hatinya, Mebuki –seorang muallaf yang sebelumnya menganut kepercayaan Shinto. Setelah menikah, Kizashi memutuskan untuk berhenti bekerja pada Fugaku dan menjadi seorang pendakwah serta pedagang.
Kembali pada keadaan Manshion, Sakura memerhatikan interaksi dua orang dewasa itu. Dirinya yang masih berusia tujuh tahun terlihat kurang tertarik dengan suasana ini, akhirnya memutar tubuh untuk berkeliling. Dia sudah mengenal Manshion Uchiha karena sering berkunjung.
Gadis kecil itu mengambil satu cup minuman yang disediakan di meja, lantas melangkah ke halaman belakang –dimana lokasi tersebut berhasil menarik perhatiannya karena terdapat tataan indah bunga yang heterogen.
Saat hendak duduk di sebuah ayunan rendah, dahinya mengernyit kala menemukan sosok laki-laki yang sudah dikenalnya, namun tidak pernah akrab sama sekali.
'Sasuke Uchiha,'
Sakura bergeming, emeraldnya memerhatikan sang empu dengan intens, tubuhnya seakan hanyut oleh euforia. Tak lama setelahnya, lantas bertanya hati-hati. "Kenapa tidak bergabung dengan yang lainnya?"
Sungguh ulu hati gadis ini berdenyut dinamika.
Sasuke –yang usianya lebih tua tiga tahun– sedikit terusik, dia memicingkan onyxnya sejenak dengan tatapan tidak tertarik. Tampaknya laki-laki ini sengaja menjaga jarak dari acara di Manshion, tipikal yang tidak menyukai keramaian. Namun pada akhirnya dia menyahut ringan. "Bukan urusanmu," padat dan datar.
Gadis kecil itu menatap Sasuke lama seraya menghela napas. Sudah lama dia mengenal Sasuke, tapi tidak pernah terjalin hubungan yang akrab selayaknya teman, berbeda dengan Itachi yang terlihat ramah.
.
Karena...
Cinta datang tanpa direncanakan. Sakura menyadari ada yang tidak baik pada diri Sasuke, ada yang aneh dengan interaksi keduanya, ada yang salah dengan perasaannya saat ditemukan ketidaksinkronan antara tipe pemuda yang dicita-citakan untuk menjadi suaminya dengan pusat hatinya yang kini berlabuh pada seorang pemuda diluar tipe yang diharapkan.
Karena...
Saat dulu berkunjung ke Manshion Uchiha –sesering apa pun itu– dia tidak pernah mengalihkan atensinya pada sang Uchiha bungsu.
Karena...
Perasaannya sudah tertambat jauh sebelum dia pulang ke Mesir, dan masih tetap sama saat dirinya kembali ke Jepang.
Sakura tidak butuh 'karena yang spesifik' untuk menunjukkan bahwa dirinya merasa tidak keberatan dengan keputusan pernikahan ini.
Katakanlah jika itu cinta monyet, tapi faktanya hingga kini perasaan Sakura tetap sama.
.
Pikiran sang gadis kembali teralihkan oleh realitas. Sekarang dia sudah dewasa, sudah lama tak ada interaksi diantara keduanya pasca enam belas tahun yang lalu –saat acara amal keluarga Uchiha berlangsung. Satu bulan setelah acara tersebut, keluarga Haruno pindah ke kampung halaman di Mesir. Sakura baru kembali ke Jepang tahun lalu hingga membuatnya harus mengambil kuliah S2 di Universitas Tokyo, yang sebelumnya sudah menempuh delapan semester di Universitas Kairo. Gadis ini mengambil program Magister Ilmu Biomedik.
Sasuke juga menempuh pendidikan di Universitas Tokyo dengan program Magister Sains Management. Pasalnya, gedung Fakutas Kedokteran dengan Fakultas Ekonomi saling bersebelahan.
Sakura menghela napas pelan. Meski kedua belah pihak sudah menyepakati pernikahan mereka, namun sang gadis merasa sedikit sangsi karena pemuda raven itu masih menunjukkan sikap tak acuhnya, bahkan tidak untuk sekadar bertegur sapa.
.
Keputusan menikahkan Sakura dan Sasuke adalah tindakan yang dirasa tepat oleh Fugaku. Disamping menjalin ikatan resmi sebagai suatu keluarga dengan teman seperjuangannya –Kizashi, yang paling penting ialah membentuk karakter baik untuk Sasuke itu sendiri. Fugaku meyakini bahwa watak buruk anak bungsunya bisa berubah dengan bantuan keluarga Haruno, terlebih dimerger bersama seorang gadis yang diharapkan akan mendominasi perubahan cara hidup dan lingkungannya –sang istri Haruno Sakura.
Bukan hanya itu, Fugaku berasumsi bahwa Sakura adalah gadis sempurna yang tidak boleh disia-siakan untuk menjadi menantu seorang Uchiha, apalagi Mikoto sudah menunjukkan afeksi yang kuat terhadap gadis bercadar pink tersebut.
Sudah banyak usaha yang terbuang percuma untuk mendidik anak bungsunya, dimulai dari perlawanan keras yang ditonjolkan pemuda berambut raven itu saat dirinya berniat untuk memasukan Sasuke ke sekolah keagamaan, beberapa kali dihadirkan guru yang kompeten hingga ustadz dalam mendidik anaknya, namun tak berbuah baik apa pun.
.
.
"Anggap saja aku seperti boneka pesuruhmu," sindir pemuda berambut darkblue itu.
Suara baritone seakan menyalurkan embusan kelam hingga menciptakan ketegangan.
"Sasuke!" tegur Itachi dengan nada mengingatkan karena sahutan adiknya dirasa tidak sopan.
Rahang sang kepala keluarga mengeras. "Tidak ada cara lain untuk membuatmu sadar. Jangan membantah dan tidak ada penolakan apa pun!" disertai mimik tegas dan terkesan final.
Sasuke memicingkan onyxnya sambil berdecih pelan. Dia merasa tidak diberikan kesempatan untuk turut andil dalam memutuskan perkara yang menyangkut masa depan dirinya. Betapa dia memendam kekesalan yang tak berujung, menganggap ini suatu cambuk diluar batas kewajaran.
Pernikahan adalah hal yang belum terpikirkan olehnya untuk saat ini, bahkan dia merasa usianya masih sangat muda untuk menyandang status sebagai 'suami'. Terlebih dia masih menempuh jenjang pendidikan dan menjelang penyusunan tesis di semester mendatang.
Kendati demikian, keputusan ini merupakan suatu hal mutlak yang tidak bisa diabaikan. Ikatan ini sudah mencengkram dirinya dan tidak ada jalan untuk lari dari keadaan.
.
Pertemuan kedua keluarga berjalan cukup baik karena memberikan euforia hangat satu sama lain, tak lupa bertegur sapa untuk mengetahui kabar masing-masing diselingi tawa alami. Tapi ada satu orang yang terlihat tanpa minat.
Menyadari Sakura adalah calon istrinya, bola kelam mendelik tajam memerhatikan gadis tersebut. Sakura tampak jauh berbeda dari yang terakhir kali dia melihatnya saat acara amal di Manshion Uchiha. Pemuda raven ini tidak begitu bisa menebak aura yang ada pada sang gadis karena penampilannya yang begitu tertutup.
Sasuke sama sekali tidak bisa menghilangkan stigma buruk yang kini ramai diperbincangkan dunia mengenai wanita-wanita bercadar.
'Seperti tidak ada gadis lain yang lebih normal saja,' batinnya, kemudian mengerling singkat pada ayahnya dengan tatapan monoton –seolah kepala keluarga Uchiha itu melemparkan wanita buruk untuk menjadi istri anaknya.
Sadar akan atensi yang mengarah pada dirinya, Sakura balas menatap Sasuke. Sejenak gulita onyx dan cahaya emerald saling mengikat, tak menunggu waktu lama bagi sang gadis untuk memutuskan kontak mata dan lekas menunduk.
Garis aristokrat dan maskulin itu–
Sakura segera menetralisir detak jantung yang memukul dada dan meminimimalisir zina matanya.
–tidak pernah hilang dari dulu hingga sekarang.
.
.
Detik berjalan mengarungi waktu, takdir mulai memainkan titik kehidupannya hingga menggulirkan dua jiwa pada situasi yang menyulitkan.
.
.
Suasana kamar tampak senyap, tidak ada sedikit pun tanda-tanda Sasuke akan beranjak atau menoleh pada gadis yang beberapa jam lalu sudah sah menjadi istrinya. Pernikahannya hanya dihadiri oleh kerabat dekat saja dan cenderung tertutup –adalah permintaan Sasuke. Dengan berbagai usaha yang dia kerahkan, akhirnya Sasuke ikhlas menikah dengan putri Kizashi itu.
Sakura menghela napas sambil memerhatikan suaminya yang telentang diatas kasur, tampak fokus dengan buku bacaannya –atau sebagai bentuk alihan perhatian dari kehadiran gadis bercadar itu. Bahkan pemuda tersebut masih mengenakan kemeja putihnya pasca pengucapan akad nikah, dia hanya menanggalkan jasnya saja.
Mereka seperti dua jiwa yang tidak saling mengenal.
Gadis blasteran Jepang-Mesir ini tengah berusaha mengumpulkan keberanian untuk memecahkan keheningan. Hanya berselang beberapa menit, dia lantas bergumam minim, "Sasuke-san,"
Tidak ada sahutan apa pun dari si empunya, hanya sekadar embusan napas yang menimpali suasana.
Kesunyian mengambil alih, hingga sang gadis kembali menyahut ringan dengan hati-hati, "Sasuke-san,"
Merasa jengah, akhirnya Sasuke mengubah posisi telentang menjadi duduk seraya melemparkan bukunya. "Berisik!" desis pemuda tersebut, lantas berdiri dan mengambil handuk serta beberapa pakaian, lalu berjalan ke arah kamar mandi.
Sakura menatap nanar punggung Sasuke, dia merasa akan banyak jalan berliku yang sudah siap menunggunya. Gadis ini termenung sejenak, perlahan mulai menatap cermin dan memerhatikan refleksi dirinya yang begitu kosong. Dia membuka cadarnya pelan-pelan hingga memandang pantulan emeraldnya yang tampak sayu.
Tidak ada yang spesial di hari pernikahannya.
.
Untuk pertama kalinya, sang onyx dapat melihat tampilan Sakura tanpa jubah tertutup ataupun cadarnya hingga berhasil membuatnya tertegun. Dulu sebelum menikah alias masih dalam tahap khitbah, beberapa kali ibunya menyarankan Sasuke untuk nazhor (melihat wajah calon mempelai) tapi selalu dia tolak dengan alasan sibuk atau malas. Kini, pesona Sakura tampak membius indera penglihatannya, seolah suasana di sekelilingnya berjalan lambat, seolah kenyataan sudah menampar telak dirinya.
Wajah itu...
Lebih menawan dari seorang Cleopatra, pipinya tampak putih kemerah-merahan –tipikal gen Mesir. Sangat sempurna untuk membius naluriah laki-laki, bersyukurlah dia menutup kecantikannya dengan cadar untuk menjaga kehormatannya dan membantu para laki-laki dalam menjaga nafsunya.
Sang onyx seakan terjerat rupawan sampai asumsi mengelus sanubarinya. Tiba-tiba waktu mengikis pusat sorotnya hingga terpaku pada satu arah dan hatinya bereaksi tidak normal seolah merasakan getaran-getaran absurd, seperti tidak ada hal konyol lain yang harus dipikirkan.
Namun...
Hanya sekilas Sasuke berpikir positif tentang gadis tersebut, lantas mengunci pikirannya rapat-rapat, selanjutnya dia kembali bersubyektif di luar nalar. Walau bagaimanapun, meski sudah ikhlas dengan status barunya, tapi Uchiha bungsu ini masih merasa sedikit tidak senang dengan jalan takdirnya. Astaghfirullahal'adzim.
'Ini tidak mengubah apa pun,' batin pemuda darkblue tersebut, lantas mengalihkan pandangan dan mulai berbaring di kasur dengan posisi membelakangi Sakura.
Suasana kamar mendadak dingin seolah tak berpenghuni, tidak seperti kamar pasangan pengantin baru karena tidak ada kehangatan yang terjalin.
Sakura menatap punggung Sasuke sejenak. 'Selamat tidur,' ucap sang gadis di dalam hati, turut berbaring di kasur yang sama, diiringi perasaan hampa.
Posisi tidur Sasuke yang membelakanginya membuat kehadiran Sakura seakan tidak diharapkan.
.
Sakura tampak menyiapkan sarapan dengan semangat. Sebagai istri yang baik, dia harus melayani suaminya dengan baik pula. Hanya berselang beberapa waktu, gadis ini menyadari ada suara langkah yang mendekatinya, lantas menoleh ke sumber suara. Sakura mendapati sosok suaminya sedang berjalan ke arahnya, atau lebih tepatnya berjalan menuju dapur.
Senyuman terlukis di wajah cantik gadis tersebut. "Selamat pagi Sasuke-san, aku sudah membuatkan sarap–"
"Aku sarapan di luar," potongnya cepat dan datar, lalu mengambil segelas air di pantry dan meminumnya.
Tanpa jeda yang panjang, pemuda raven itu melangkah menjauh dan berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan Sakura yang tengah terpaku. Berkali-kali sang gadis memotivasi dirinya untuk selalu bersabar dan yakin akan keadaan yang kelak bisa mengubah sikap keras suaminya.
Nyatanya, pagi enggan menyambut hari Sakura dengan baik.
"Akan selalu ada harapan," gumamnya.
Manshion sederhana yang dihuni oleh mereka berdua terasa semakin sepi. Jika bukan karena paksaan ayahnya, sudah dipastikan Sasuke tidak akan tinggal di tempat tersebut.
Perempuan seperti Sakura tidak mungkin sembarangan dalam memilih seorang suami, dia paham betul karakteristik antara pemuda berakhlak baik dengan yang buruk, berulang kali dia belajar akan hal itu. Tapi mengenai Sasuke, gadis ini selalu merasa ada harapan baik yang kelak dituainya. Terlebih tindakan Mikoto kala itu, istri Fugaku tersebut memohon agar Sakura menerima keputusan pernikahan keluarga mereka, dia merasa Sakura akan membawa dampak yang baik untuk perubahan pola hidup anak bungsunya.
Yang Sakura tahu ialah bahwa seorang suami akan menuntun dan mendidik istrinya, bukan sebaliknya. Dengan demikian, memilih suami yang berakhlak baik merupakan puncak sempurna dari bahtera rumah tangga, karena akan saling merangkul guna menggapai jannah.
Berbicara mengenai ilmu agama –bukan perasaan– seharusnya gadis tersebut lebih memprioritaskan agamanya, mudah sekali untuk menolak permohonan Mikoto dengan banyak alasan yang pasti. Tapi sekali lagi, ini dilema yang tinggi.
Bukankah Fir'aun menikah dengan gadis yang berakhlak baik?
Jangan selalu menggunakan alibi tersebut untuk melakukan pembenaran. Tidak, Sakura meyakini bahwa menuntun Sasuke ke arah yang lebih baik dengan cara menikahinya merupakan tindakan yang tidak terlarang, meskipun dirinya harus kuat mempertahankan nilai-nilai kebenaran tanpa terpengaruh sikap buruk suaminya. Lagipula Uchiha berasal dari kalangan keluarga yang baik-baik.
"Semoga Engkau meridhoi keputusan ini,"
.
Sudah beberapa jam Sakura menahan kantuknya, duduk termenung diatas sofa seraya memerhatikan jam yang dirasa berjalan lambat sekali. Dari jendela, langit terlihat begitu pekat disertai embusan angin yang menusuk kulit.
Gadis tersebut tengah menunggu suaminya yang tak kunjung datang, padahal jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, sang gadis memilih untuk melakukan sholat malam dan berdoa.
"Ya Allaah, semoga Engkau senantiasa melindungi Sasuke dan menjauhkannya dari segala marabahaya," lirih Sakura dengan penuh pengharapan.
Gadis bernama bunga kebanggaan Jepang ini menghabiskan satu jam terakhir untuk khusyu berdzikir hingga suara pintu membuatnya sedikit terkejut dan segera berjalan menuju tempat yang bersangkutan. Dia lantas meraih knop dan membukakan pintu dengan harap-harap cemas, banyak berharap itu adalah kehadiran suaminya.
Realitas tengah berpihak pada gadis tersebut, tampak sosok pemuda raven dengan gestur sempoyongan disertai kepala berat berada di hadapannya. Sang istri cukup terkejut mendapati keadaan suaminya yang sedang mabuk. Dia tampak menghela napas pelan seraya menenangkan gemuruh pikirannya.
Sakura membantu Sasuke untuk berjalan masuk, bersusah payah menopang berat badan suaminya yang tidak stabil. "Sasuke-san, kau mabuk,"
Gadis tersebut membantu postur sang suami untuk berdiri tegap. "Sasuke-san, mabuk-mabukan adalah hal yang dilarang dan dimurkai oleh Allaah, kau harus meninggalkan kebiasaan buruk in–"
"Jangan menceramahiku!" timpal pemuda darkblue itu dengan keadaan setengah sadar, lantas menepis lengan Sakura yang tengah membantu menyeimbangkan tubuhnya.
Sedikit banyak sayatan menerpa perasaan gadis pink tersebut.
Sasuke berjalan kelimpungan menuju arah kamar, sepertinya berniat untuk tidur.
Dengan perasaan hati-hati, khawatir sang suami akan menggertaknya lagi, akhirnya Sakura memberanikan diri untuk berujar. "Sebentar lagi adzan subuh," bermaksud mengingatkan Sasuke dengan cara baik-baik, berharap sang suami paham akan kode untuk menyuruhnya sholat.
Pemuda yang bersangkutan justru mengabaikan sahutan dari sang empu, seolah tak ada suara yang mengingatkannya kala itu, dia tetap berjalan menuju kamar dengan wajah stoic.
Sakura memandang lirih punggung suaminya. "Berikanlah hamba kekuatan untuk membantu Sasuke dalam meraih cahayanya," gumam gadis beriris emerald itu, penuh akan doa.
.
Hari berlanjut tanpa perubahan yang signifikan, Sakura dan Sasuke harus kembali pada rutinitas mereka sebagai seorang mahasiswa dan mahasiswi. Tidak ada seorang pun yang tahu perihal status hubungan keduanya, bahkan Sasuke sendiri selalu terlihat untuk menyembunyikan hal tersebut.
Sakura tengah menyiapkan dasi terbaik yang akan dikenakan oleh suaminya, sudah paham betul bahwa Sasuke selalu mengenakan dasi saat berangkat ke kampus –tipikal magister yang kharismatic dan berwibawa.
Setelah mendapati suaminya yang sudah berpakaian rapih, lantas gadis tersebut mendekati Sasuke guna memasangkan dasi di kerah kemejanya. Namun hal menyakitkan selalu mengusik dirinya, pemuda itu justru menepisnya dan berjalan menuju lemari untuk mengambil dasi yang lain, lantas mengenakan dasi tersebut dengan tangannya sendiri.
Sakura menghela napas ringan. Bibirnya mulai merangkai kata dengan nada pelan, "izinkan aku untuk menjadi selayaknya seorang istri,"
Sasuke mendelik dengan sorot onyx yang tampak meremehkan, lantas mendengus pelan. Tanpa menunggu waktu lama, dia melangkah menjauh hingga berhenti di ambang pintu, terdiam sejenak lalu menyahut tegas, "aku berangkat sendiri."
.
Sakura harus membiasakan diri untuk berangkat berdua dengan supir pribadinya –suruhan keluarga Uchiha. In Syaa Allaah terpercaya karena bekerja secara profesionalisme seraya menjaga jarak dan batasan. Sebenarnya hal ini berlaku untuk Sasuke juga, namun tampaknya pemuda tersebut merasa sangsi dan khawatir teman-temannya akan memergoki keberadaan mereka yang terlihat tidak biasa, lantas pemuda raven itu selalu memilih untuk turun di sepertiga jalan. Untuk kali ini, suaminya lebih memilih berangkat sendiri tanpa mobil dan supir pribadi.
Sang istri bernapas lega tatkala melihat Sasuke yang kini sedang berjalan di koridor Fakultas Ekonomi. "Alhamdulillah, dia baik-baik saja," ucapnya lembut.
Bukan bermaksud menguntit, gadis tersebut tak sengaja mendapati sosok suaminya melalui gedung atas Fakultas Kedokteran, gedung mereka tidak tersekat jarak yang panjang. Langkah kaki gadis bercadar ini mulai terpacu hingga menggema di sepanjang lorong menuju kelas.
Setibanya di kelas, sosok gadis berkerudung merah menyambutnya dengan hangat. "Ohayou, Sakura,"
Gadis yang bersangkutan tersenyum dibalik cadar pinknya. "Ohayou, Karin,"
Mereka sudah bersahabat sejak pertama masuk di Fakultas Kedokteran. Kedekatan keduanya membuat mereka merasa nyaman satu sama lain karena adanya kesamaan tujuan, harapan, dan agama. Namun hal tersebut tak lantas membuat mereka menutup diri dari lingkungan sekitar, tapi banyak orang memperlakukan mereka dengan pandangan yang berbeda karena banyaknya rumor islamophobia.
.
Sepoi angin mengiringi langkah konstan Sakura yang hendak menuju kelas suaminya, beruntung hari ini salah satu mata kuliah diliburkan sehingga dia bisa pulang bersama dengan Sasuke. Pasalnya jadwal pemuda raven tersebut berakhir di jam satu siang, sedangkan Sakura biasanya sampai pukul tiga sore, tapi hari ini dia bisa pulang lebih awal.
"Aku belum pernah pulang bersama Sasuke-kun,"
Gadis tersebut terlihat nyaman menunggu di luar kelas, iris serupa permata klorofil itu menyusuri pilar interior yang memukau. Tampaknya jam kuliah suaminya belum berakhir, menyisakan beberapa menit terakhir. Hingga tak lama berselang waktu, suara derap langkah berhasil menerobos gendang telinga, menunjukkan bahwa mahasiswa magister mulai berhamburan.
Saat di luar kelas, beberapa pasang mata mendelik ke arahnya dengan tatapan berbeda dan sedikit orang mengambil langkah jauh untuk menjaga jarak –pengaruh stigma atas penampilannya. Tiba-tiba bola onyx terkejut mendapati sosok Sakura sedang berdiri di depan kelasnya, dia lantas melontarkan tatapan tajam yang sengit, diiringi isyarat mata seolah mengatakan jangan-coba-coba-mendekatiku!
Berusaha mempertahankan gestur tenangnya, pemuda darkblue itu berjalan lurus tanpa mempedulikan keberadaan sang istri, seperti tidak ada hal penting yang harus diselesaikan. Tidak habis pikir, perempuan bercadar itu benar-benar mencari masalah dengan dirinya.
"Annoying!" batin Sasuke dengan perasaan kesal.
Sakura memejamkan matanya sejenak dan menghela napas pelan-pelan. Tampak raut khawatir mendominasi garis wajahnya. "Apa aku melakukan hal yang salah?" ujarnya lemah pada dirinya sendiri.
Gadis tersebut menarik napas pelan seraya memejamkan kedua matanya. Detik berlalu dengan hening, tanpa jeda yang menyekat, kelopak matanya kembali terbuka.
"Kapan kita berinteraksi selayaknya seorang suami istri?"
Sakura meremas sedikit roknya. "Atau sebagai orang yang saling mengenal?"
.
Ruangan kamar terasa begitu menyesakkan bagi Sakura saat ini, embusan angin menerpa kelopak matanya yang sedikit berembun. Di hadapan gadis tersebut, tampak sosok suami sedang menatapnya dengan pancaran dingin, tangan pemuda tersebut tengah menekan kedua pipi sang gadis dengan kuat.
"Berhenti bersikap menyebalkan," desis suara baritone.
Mimik yang selalu terpasang stoic kini terlihat sedang menggambarkan ekspresi. Ekspresi yang berhasil menikam ulu hati sang istri.
Rahang tegas Sasuke yang kian mengeras menunjukkan bahwa sang empu tengah memendam amarah.
Tak lama setelahnya, pemuda raven ini melontarkan pandangan sengit. "Jangan gegabah melakukan tindakan bodoh lagi," terdengar mengancam seolah menarik pikiran Sakura pada bayangan dimana dia berdiri di depan kelas Sasuke.
Bungsu Uchiha tersebut segera melepaskan cengkraman tangannya di pipi sang gadis dengan cukup keras, menimbulkan efek merah yang terlihat kontras di pipi putih itu.
Tanpa memberikan jeda, Sasuke berjalan dan sepertinya hendak keluar rumah. Sakura memegangi kedua pipinya yang terasa sakit, lalu menurun hingga memegang dadanya yang terasa sesak.
Cahaya emerald itu semakin meredup, bahkan genangan air pun sempat terurai jikalau sang pemiliknya tak segera menghapus dengan punggung tangan. Tatapannya tertuju ke depan, menatap punggung kokoh yang semakin menjauh dan menghilang.
Sakura tidak dapat menyembunyikan nada sendu dan getir yang terkandung di dalam munajatnya. "Aku percaya, rencana-Mu adalah yang terbaik,"
.
Sakura tipikal gadis yang tangguh, kuat menahan gejolak mental ataupun perasaan yang senantiasa menahan luka. Gadis tersebut harus berani mengambil risiko dari segala keputusan yang sudah diambilnya, dia tidak bisa mundur atau lari dari tanggungjawab.
Seburuk apa pun interaksinya dengan sang suami, dia tetap berkewajiban untuk meminta izin manakala hendak bepergian. Hari ini dirinya berencana untuk berkunjung ke kediaman Akasuna Karin sebagai bentuk silaturahmi.
Akhir-akhir ini Sasuke banyak menghabiskan waktu di luar sehingga pertemuan mereka sangat terbatas, seolah rumah adalah neraka terburuk yang tidak nyaman untuk ditinggali. Hal tersebut menyebabkan sang istri meminta izin tidak secara langsung, melainkan dengan cara mengirim pesan.
.
To: Sasuke-kun (Work)
Sent Monday 13.20
Hari ini aku akan berkunjung ke rumah Karin.
.
Tidak ada balasan apa pun untuk banyaknya menit yang terbuang percuma. Sebenarnya Sakura sudah menebak hal tersebut akan terjadi, realitas mengatakan bahwa Sasuke akan selalu mengabaikannya. Mengerti ini bukan masalah sepele, lantas Sakura berusaha untuk menelpon Uchiha bungsu itu.
Tidak ada jawaban.
Hingga panggilan yang ketiga kali, barulah Sasuke mengangkatnya. Belum sempat gadis ini berkata 'Assalamu'alaikum', sang suami sudah terlebih dahulu menyela. "Lakukan apa pun yang kau mau dan jangan menggangguku!"
Panggilan dimatikan.
Terdengar kentara bahwa Sasuke sangat kesal. Sakura merasa tak enak hati dan menganggap apa yang dilakukannya selalu berisiko. Berusaha mengabaikan perasaannya yang sedikit teriris, lantas bergegas menuju rumah Karin, dia berasumsi bahwa perkataan sang suami tadi bermakna telah mengizinkannya.
Menghabiskan waktu bersama Karin adalah salah satu rutinitas terbaik yang dirasakannya karena mereka akan saling memperoleh ilmu satu sama lain.
"Kita jangan hanya menganggap kisah Drakula sebagai mitos dan fiksi belaka, karena nyatanya Drakula pernah hidup di dunia nyata, dimana dia seorang pangeran Wallachia yang sudah membunuh lebih dari 300.000 pasukan muslim saat Perang Salib pada masa Turki Utsmaniyyah yang dipimpin Sultan Mehmed II atau lebih akrab dipanggil Muhammad Al-Fatih," tukas Karin.
Sakura mengangguk pelan. "Aku pernah membaca itu. Dia –Drakula– menyiksa korbannya dengan cara khas menyula, dimana sang korban akan ditusuk duburnya dengan kayu tajam hingga merobek organ tubuh dan menembus kepalanya sampai terbunuh,"
"Benar-benar kejam,"
Karin memasang wajah serius dan melanjutkan perkataannya. "Dia tipikal laki-laki yang haus darah dan senang akan lolongan kesakitan korbannya, sesuai dengan sajian fiktifnya sebagai makhluk penghisap darah,"
Sang lawan bicara hanya mendengarkan dengan saksama.
Gadis berkacamata itu kembali melontarkan suaranya. "Tak habis pikir, padahal dia dibesarkan dan dididik di Sekolah Militer Turki, berharap kelak menjadi panglima perang yang hebat. Tapi setelah besar, justru menjadi pengkhianat pasukan Turki Utsmaniyyah dan sangat piawai dalam menyerang lawan –pasukan muslim– karena sudah hapal betul strategi perang yang hendak dijalankan pasukan Sultan Mehmed II."
Keheningan memberikan efek baik untuk mendukung suasana tenang.
"Sangat ironi,"
Suara baritone spontan menginterupsi udara, berhasil mengejutkan dua wanita di depannya.
Sontak Karin dan Sakura menoleh pada sumber suara. Didapati seorang pemuda bersurai merah dengan wajah babyfacenya, namun tak menghilangkan garis maskulin yang terpancar jelas.
"Sasori-nii," ucap Karin.
Pemuda tersebut menimpali dengan sunggingan senyum yang menawan, memberikan kesan kharismatic yang kian meluap.
Karin memiliki seorang kakak bernama Sasori yang usianya selisih empat tahun, kebetulan pemuda tersebut menjabat sebagai Proffesor muda di bidang biologi molekuler dan genetik di Fakultas Kedokteran. Meski demikian, tetap sportif dalam menilai dan mendidik mahasiswanya, kendati itu adik kandungnya sendiri.
Tak lama berselang waktu, manik hazel pemuda tersebut terarah pada sosok gadis bercadar di hadapannya. "Kaifa haaluk, yaa Humaira? (Apa kabar, Humaira?)"
Seperti yang kita tahu, Humaira adalah nama tengah atau nama arabic Sakura.
"Thoyyib alhamdulillah (baik, alhamdulillah),"
Sasori membalas dengan menampilkan wajah ramahnya.
Akasuna merupakan keluarga keturunan Pakistan, tidak heran jika keluarga mereka menganut agama islam dan sedikit paham akan bahasa Arab. Sasori adalah tipikal pengajar yang ramah dan friendly –menghilangkan label killer, hal tersebut membuatnya banyak disenangi oleh mahasiswa lain.
"Jangan lupa belajar untuk kuis minggu depan, ladies," ujar sang proffesor dengan logat mengingatkan, namun kentara nada jenaka menembus gendang telinga mereka.
Sang adik mendengus kecil, lantas pura-pura merajuk. "Menyebalkan sekali Sasori-nii,"
Sakura hanya terkikik geli.
.
Sudah tak terhitung banyaknya Sakura merasa kebas pada dasar hatinya, tapi ini merupakan denyut perih yang lebih besar dari biasanya. Dia tidak bisa menghilangkan raut gusar yang tampak kentara dari pancaran bola klorofilnya.
Gadis musim semi ini tidak bisa untuk tidak berpikir buruk mengenai apa yang dia lihat saat ini. Sosok suaminya sedang duduk bersebelahan dengan seorang gadis lavender. Ini tidak terlihat seperti biasa-biasa saja, ada yang janggal dari mereka dan itu berhasil menciptakan prahara untuk perasaannya disertai praduga yang menyakitkan.
Sakura mengelus dadanya seolah ada tekanan disana.
"Ya Allaah..." bisiknya lemah, berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Banyak berharap jikalau perkara ini hanya suatu hipotesis yang keliru, mata yang sedang membohongi fakta, pengecap yang berlebihan. Sang gadis tidak bermaksud untuk suudzon pada apa yang dia lihat, hanya saja perasaan was-was mengambil alih ketenangan jiwanya, membuat ketakutan memanipulasi dirinya.
Menarik napas tenang. "Semoga apa yang aku lihat tidak seperti apa yang dibayangkan," gumamnya meyakinkan dirinya sendiri.
Bahkan tanpa dia sadari, jiwanya merasa ragu dengan apa yang diyakininya.
Diperhatikan secara saksama, gadis lavender itu terlihat sangat menawan, anggun, dan tampaknya berasal dari keluarga dengan kasta yang tinggi.
Ingin sekali dirinya menghampiri keberadaan sang suami, meminta konfirmasi jelas mengenai apa yang dia lihat. Tapi dia urungkan niat tersebut, mengingat sikap Sasuke yang selalu menyuruhnya untuk menjauh dan tampak menyembunyikan status hubungan keduanya.
Sakura perlahan mengembuskan napasnya. "Aku menyimpan kepercayaan padamu, Sasuke-kun," sesaat sebelum dirinya berbalik dan meninggalkan tempat tersebut.
.
Mahasiswa magister ekonomi sedang berkumpul di depan Auditorium, mereka sedang menunggu acara seminar yang akan dilaksanakan beberapa menit mendatang. Beberapa diantaranya sudah ada yang masuk Auditorium untuk menerima materi.
Di samping itu, Sakura harus berjalan melewati tempat tersebut guna mencapai gedung Fakultas Kedokteran. Dia berjalan konstan tanpa beban yang dirasakan. Namun tiba-tiba terdengar satu suara yang mengeksploitasi pusat atensinya.
"Menurutmu, apa dia membawa barang yang mencurigakan?" gurau seorang pemuda berhelai perak –Suigetsu.
Kalimat tersebut lebih terdengar sebagai sebuah sindirian dan olok-olok bagi Sakura, hingga berhasil memancing kestabilan tubuhnya dan mendadak bergetar kecil, orang lain tidak akan menyadari hal itu. Bermaksud untuk mengabaikan perkara tersebut, kakinya kian melangkah untuk menghindar.
"Ya, jika dia berhasil lolos dari sistem keamanan," balasan temannya terdengar nyaring seakan memekakkan telinga gadis beriris emerald itu.
Tidak lama setelahnya, terdengar kikikan seperti mengejek.
Sakura paham kemana arah pembicaraan ini berlangsung, bahkan stigma-stigma itu tidak surut dari tempat yang diyakininya mempunyai nilai toleransi yang baik.
Hingga suara lain berhasil menyedot suasana, memberikan puncak keresahan yang kian menyudutkannya.
"Kuharap kau tidak mencari gedung kosong untuk merakit bom,"
Gotcha!
Dengan spontan tubuh Sakura menjadi kaku, lantas merotasikan bola emeraldnya menuju sumber suara. Dia tidak begitu mengenal pemuda kasar itu –pemuda berambut orange dengan tubuh kekar, tapi perkataannya sangat menohok dan menggores hatinya. Dia ingin melawan namun tak cukup kekuatan.
Secara tidak sengaja, diantara kerumunan mahasiswa disana terlihat sosok Sasuke sedang duduk dengan tampang stoic seperti biasa, memerhatikan guyonan kasar yang menghina Sakura –tanpa pembelaan, perlindungan, atau sekadar menjaga kehormatan istrinya.
Gadis pink ini harus kembali menelan kekecewaan terhadap sang suami, juga menahan rasa malu diantara banyak orang yang menyaksikan.
Tanpa diduga, tiba-tiba seorang pemuda tinggi datang dan tampak menengahi peristiwa tersebut. Dialah Sasori, muncul dengan kontur tegasnya. Sang hazel menelusuri setiap raga yang menjulang disana.
Dia bergeming sejenak dengan maniknya yang menyorot tajam, lantas berkata. "Menempuh program magister tapi tidak belajar attitude, sangat menyedihkan,"
Telak.
Mengakibatkan beberapa pasang mata membulat sempurna, merasa tidak terima dengan hinaan tersebut. Padahal apa yang dikatakan Sasori adalah benar. Seorang mahasiswa tidak sekadar belajar teoritis dan penelitian, tapi harus pula ditunjang dengan aplikasi etika yang baik. Seseorang yang berpendidikan tinggi harus mencerminkan sikap yang berpendidikan juga.
Attitude adalah prioritas dan kebutuhan primer. Seseorang yang berilmu tapi tidak memiliki attitude adalah nothing.
Namun tampaknya para lawan bicara hanya bungkam, enggan membalas sahutan dari proffesor muda tersebut, bahkan beberapa diantaranya memilih untuk meninggalkan lokasi dan masuk ke Auditorium.
Sang emerald mengerling pada pemuda berhelai merah itu, lalu bergumam, "Syukron (terima kasih)."
Sasori hanya mengangguk dengan wajah teduhnya.
Merasa keadaan sudah baik-baik saja, Sakura bermaksud untuk melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda dengan perasaan sakit yang masih membekas. Dia berjalan pelan dan berusaha melupakan kejadian tadi.
Keheningan ini menyebabkan sang gadis merasa sedikit tenang dan mengontrol kestabilan hatinya.
"Mereka tidak mengenal Islam yang sesungguhnya,"
Ucapan tersebut lantas membuat Sakura menoleh, dia tidak sadar bahwa Sasori sedari tadi berjalan di belakangnya. Tak membutuhkan waktu yang lama bagi pemuda tersebut untuk menyejajarkan langkah mereka.
"Aku melihat banyak stigma dan diskriminasi yang dialami seorang muslim," lanjutnya, terkesan membuka topik.
Gadis musim semi itu hanya mendengarkan dengan saksama. Angin sepoi-sepoi mengiringi langkah keduanya. "Yang harus kita lakukan adalah menunjukkan apa yang sebenarnya tidak mereka pikirkan," ungkap Sasori lagi.
Keheningan mengambil alih beberapa detik hingga suara berat itu kembali mengudara. "Teroris bukan bagian dari agama kita. Mereka tidak memiliki pedoman. Adapun pelaku bom yang mengatasnamakan Islam adalah karena minimnya keimanan dan pengetahuan, mereka hanya memahami Kitab Suci dan Al-hadits melalui kerongkongan saja sehingga menciptakan kekeliruan makna, tanpa mau mengkaji lebih dalam,"
Sakura merespon dengan sebuah anggukkan.
"Padahal untuk menafsirkan satu ayat saja membutuhkan sekitar 72 atau 73 cabang ilmu, termasuk Asbabbun nuzul dan hadits-hadits dengan derajat shahih dan hasan," sambung pemuda Akasuna itu.
Sang gadis setuju dengan apa yang dikatakan oleh pengajarnya. Dalam memahami konteks Al-Qur'an tidak dibutuhkan cara yang instan. "Mereka tidak mengimaninya secara baik," tukas gadis ini.
Iris hazel itu membidik sosok sang gadis sejenak. "Kita jangan menghilangkan jati diri sebagai seorang muslim dan jangan menyerah dengan stigma-stigma itu," nasihat Sasori.
"Inilah risiko menjadi minoritas," lanjutnya kemudian.
Mereka berjalan dengan tenang, sesaat kesunyian memanipulasi suasana. Lama dalam keadaan seperti ini membuat sang gadis merasa sedikit tidak nyaman, dia menyadari bahwa mereka bukan mahrom dan harus menghindari khalwat (berdua-duaan dengan non mahrom), terlebih statusnya sebagai istri orang lain.
Belum ada yang tahu perihal hubungannya dengan Sasuke, bahkan Karin yang notabene sahabatnya sendiri.
Merasa ini waktu yang tepat untuk menghindar, lantas sang gadis berkata, "terima kasih atas informasinya, ada hal yang harus saya selesaikan, Sir," dengan langkah yang dipercepat.
Sakura tidak berbohong, nyatanya dia harus mengembalikan buku ke Perpustakaan, meskipun itu bukan hal yang diprioritaskan.
Sang lawan bicara mengangguk, paham bahwa gadis tersebut akan meninggalkannya. Sasori tiba-tiba berujar. "Kau harus yakin, masih banyak yang peduli dengan Islam," berharap gadis yang bersangkutan mendengarnya walau dirinya sudah tertinggal jauh di belakang.
Gadis musim semi itu menolehkan kepalanya ke belakang dan mengangguk kecil.
Sang pemuda bernapas lega diiringi langkahnya yang tenang, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Tiba-tiba dia berbisik sambil tersenyum getir.
"–dan peduli padamu,"
.
Lampu merah menghentikan laju mobil, sang supir terlihat fokus pada jalanan dan memerhatikan beberapa pelajar sedang menyebrang di zebra crosss.
"Padahal kau tidak perlu repot-repot mengantarku pulang, Sakura," ucap suara sopran di dalam mobil tersebut.
Gadis yang dipanggil namanya menoleh dengan ramah. "Tidak apa-apa Karin, jalan rumah kita searah,"
Lagipula Sasuke tidak pulang bersamaku...
"Maaf sudah merepotkan,"
Gadis pink itu menggeleng pelan. "Sama sekali tidak,"
"Terima kasih," seraya menyunggingkan senyum manis.
Mata Sakura menyipit menunjukkan bahwa dia sedang balas tersenyum di balik cadarnya. Suasana mendadak hening, hanya terdengar suara mesin kendaraan yang sedang menunggu lampu hijau menyala.
Tiba-tiba manik emerald itu tak sengaja membidik mobil yang baru saja berhenti di samping mobilnya –sama-sama terhenti oleh lampu merah. Namun bukan itu yang menjadi titik fokusnya, melainkan orang yang ada di dalam mobil tersebut, sangat jelas karena kaca mobil dalam keadaan menurun.
Gadis ini kian memicingkan matanya seolah memastikan penglihatannya yang dirasa salah. Tapi apa yang dia lihat adalah suatu kebenaran, tiba-tiba oksigen terasa berhenti dari sistem pernapasannya.
'Sasuke,' batin Sakura penuh luka, tak sadar bahwa tangannya sedang meremas gamisnya sendiri.
Gadis itu...
Gadis yang sama saat terakhir kali dia melihatnya bersama Sasuke.
Dia sedang bersama Sasuke lagi.
Ada apa dengan mereka?
'Apa yang sudah aku lewatkan selama ini?' ucap Sakura di dalam hati dengan nada sendu.
Menyadari pusat atensi Sakura begitu fokus pada objek di sampingnya, Karin turut mengedarkan pandangan. Tatapan emerald itu penuh akan makna yang tidak bisa diartikan oleh sang sahabat.
Karin berdehem, namun tampaknya Sakura tidak menyadari hal tersebut.
Hingga pada akhirnya gadis berkerudung merah itu membuka suara. "Kenapa kau begitu tertarik dengan mereka?" seraya menepuk bahu sang lawan bicara.
Hal tersebut berhasil membuyarkan konsentrasi Sakura, lantas tersenyum kikuk. Gadis pink itu berusaha menyembunyikan ekspresi dan rasa terkejutnya agar tidak ada kecurigaan yang dirasakan oleh Karin.
"Mereka dari Fakultas Ekonomi," jelas Karin.
Sakura terdiam.
"Mereka banyak dikenal orang, aku sedikit tahu tentang mereka," ungkapnya kemudian, hingga menyebabkan bola mata Sakura mengerling padanya.
Karin membalas tatapan si empunya. "Itu adalah Sasuke Uchiha dan Hinata Hyuuga,"
Sakura bergeming, berusaha mencerna informasi yang diutarakan oleh sahabatnya. Lama termenung seolah sedang menyelami pikirannya sendiri.
Jadi namanya Hinata Hyuuga...
Tak dapat menutupi rasa ingin tahunya, Sakura kembali menatap Karin. "Hinata?" ucapnya penuh penasaran.
Karin tersenyum kecil, bola rubbynya menatap Sakura lekat.
"Hinata adalah..."
.
.
.
Bersambung
.
.
.
Hallo, saya kembali. Maaf tidak bisa membalas inbox satu-satu yang bertanya tentang fanfic sebelumnya, terutama penikmat Embun Lensa, saya minta maaf karena semuanya sudah dihapus (^_^) semoga teman-teman bisa memaklumi ya.
