I've been looking for a next generation adventure fic with H/Hr pairings, but only got a few so far. So, please anyone who know about the other stories tell me. I beg you.


Dia Telah Pergi

Hermione Jane Granger adalah seorang wanita muda di pertengahan 21, dan di usia semuda itu ia telah menjadi seorang ibu. Seorang ibu bagi seorang anak lelaki berusia satu tahun yang sekarang, mungkin, masih tertidur lelap dikamarnya.

Tapi, ketika Hermione membuka matanya malam itu, ketika ia terbangun dari tidurnya entah karena alasan apa. Ia menemukan kenyataan lain.

Hermione tidak terbiasa bangun sepagi ini, kecuali untuk memberi susu kepada putera kecilnya, dan ketika ia terbangun yang ia rasakan hanyalah keterkejutan, seperti sesuatu membangunkannya. Ia menoleh ke sebelahnya, berharap melihat seorang lelaki muda disana, lelaki muda yang selalu menemaninya. Tapi, tidak...

Malam itu lelaki muda itu telah meninggalkannya.

Menyadari ketidak hadirannya, Hermione dengan panik menghidupkan lampu meja disebelahnya hanya untuk menemukan ketiadaan. Harry Potter tak ada dikamar mereka. Hermione beranjak dari tempat tidurnya. Kaki telanjangnya menyentuh karpet, dan dia merasakan air es mengguyur kedua kakinya. Hermione mengerang, tapi ia tidak menyurutkan niatnya.

Hanya dengan menggunakan setelan baju tidur dan piyamanya ia bergerak menuju pintu kamarnya. Rumahnya begitu gelap dan sepi. Ia menghidupkan sakelar yang menghidupkan seluruh lampu rumah. Rumah mereka hanya terdiri dari satu lantai saja, tapi tetap nyaman ditempati. Mereka pindah kesini semenjak Hermione mengetahui bahwa dirinya hamil. Hari yang sangat menyenangkan baginya, bagi mereka.

Tidak seperti rumah-rumah penyihir lainnya, rumah mereka penuh dengan perabotan muggle. Tepat didepan kamar utama ada ruang keluarga, ada seperangkat televisi dan DVD Player berdiri diam disana. Tapi ketika disana tak ada seorang pun juga. Hermione langsung mengalihkan perhatiannya. Ia berjalan menuju sebuah ruangan disamping kamarnya sendiri.

Kamar itu tak sebesar kamarnya. Dinding-dindingnya dilapisi wallpaper bergambar quiditch. Sebuah tempat tidur bayi terletak tepat ditengah ruangan, seperti sebuah titik pusat bagi seluruh ruangan. Mainan-mainan bayi lainnya tergeletak disekelilingnya.

Hermione mengira disinilah ia akan menemukan Harry. Tapi, ia salah. Hari itu adalah hari dimana wanita muda itu kehilangan kekasihnya. Hari itu adalah hari dimana ibu muda itu kehilangan puteranya. Tepat ketika ia melongok ke keranjang bayi dan yang ia temukan ada selimut yang masih terasa hangat dan sebuah surat, tepat disaat itulah dunia kecilnya hancur.

Dear Hermione,

Maafkan aku. Aku terpaksa melakukan ini. Aku terpaksa mengambil putera kita, ini semua untuk keselamatannya. Aku sudah merencanakan semua hal untuknya. Dia akan baik-baik saja.

Maafkan aku. Aku harus pergi seperti ini, tanpa penjelasan apapun. Tapi, Hermione aku melakukan ini demi James. Dan juga demi dirimu. Hanya dengan menjadi kekasih dan ibu dari puteraku, itu sudah membuatmu dalam bahaya. Kumohon mengertilah, Hermione.

Aku mencintaimu, amat sangat. Dan mengambil keputusan ini adalah hal terberat bagiku. Meninggalkanmu mungkin akan membunuhku. Tapi, aku harus.

Ada masalah diluar sana, Hermione. Masalah yang tak bisa kuceritakan padamu. Masalah yang harus kebereskan untuk menjaga keamanan James. Aku dulu mencintaimu, sekarang mencintaimu dan akan mencintaimu. Aku selalu mencintaimu. Selamanya.

Harry.

Sebuah surat seharusnya tak akan pernah menghancurkan hatinya seperti ini. Hatinya serasa hancur lebur. Ia tak pernah merasakan apapun seperti ini. Dan ini terlalu diluar kendalinya. Ia tak bisa percaya.

Hermione berlari keluar, memeriksa seluruh rumah dan meneriakkan nama Harry, berkali-kali. Tapi tak ada respon kecuali suaranya sendiri. Hermione pergi ke halaman, kedapur, kesetiap kamar dan pojok rumahnya, tapi nihil. Mata Hermione dipenuhi air mata. Suaranya semakin serak dan bergetar dalam setiap nama yang ia ucapkan. Ia memeriksa setiap pojoknya dua kali, tiga kali, mungkin lebih dari enam kali. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin terus mencari. Hermione bukanlah orang yang bodoh, malahan penyihir terpintar yang mungkin pernah ditemui. Dan itu cukup untuk mengetahui bahwa Harry telah pergi. Tapi, ia tidak bisa percaya itu. ia hanya ingin terus mencari sehingga ia bisa terus memiliki harapan yang semakin lama semakin redup.

Pada akhirnya ia kembali ke kamar James. Duduk bersandar ditembok dan menggapai boneka teddy bear milik James. Hermione mengubur wajahnya yang basah oleh air mata kedalam bulu lembut si teddy bear.

Ia merasa hancur, merasa kehilangan, merasa sedih, dan diatas semuanya, ia merasa dikhianati. Dan perasaan itu membangun perasaan lain kepada Harry, rasa benci, karena lelaki itu telah merenggut semuanya darinya. Mungkin perasaan itu jauh lebih kecil dari rasa cintanya tapi tetap saja perasaan itu ada.

Hermione Granger bukan lagi gadis cengeng. Dan kehilangan bukan sesuatu yang baru lagi baginya. Menjadi sahabat Harry Potter selama bertahun-tahun telah mengajarinya akan kesedihan akan petualangan. Hermione Granger sudah berubah, ia tumbuh menjadi wanita cantik. Rambutnya coklat, tidak lagi keriting lebat, tapi berombak teratur hingga kepunggung. Matanya tetap sama, coklat muda yang hangat. Giginya sudah tidak lagi besar-besar seperti dulu, berkat Draco Malfoy. Dan tubuhnya lebih berlekuk. Menjadi ibu bukanlah masalah bagi wanita muda itu untuk terus terlihat cantik. Tapi, bahkan sekarang ketegaran malah menjadi hambatan.

Hermione dulu mencintai Ron Weasley, tapi tidak sama lagi setelah lelaki itu meninggalkan ia dan Harry ketika mereka mencari hocrux. Hari-hari kepergian Ron, membuat Hermione sadar bahwa ia mempunyai perasaan kepada Harry. Ia tersiksa karena perasaan itu. ia terus menangis dan bersedih. Tapi, disaat itulah Hermione berubah menjadi sosok tegar.

Hari demi hari membawa keintiman sendiri bagi kedua remaja itu. bahkan ketika Ron Weasley kembali. Meminta maaf agar ia bisa diterima lagi. perasaannya sudah berubah. Ia memutuskan segala bentuk ikatan, selain pertemanan, kepada Ron.

Ron sedih tentu saja, tapi ia tahu Ron. Dan ia tahu Ron akan bangkit demi dirinya dan Harry. Di Perang Hogwarts, Harry telah menyatakan perasaannya kepada Hermione. Dan bagi Hermione, ia tidak tahu apa lagi yang bisa membuatnya lebih bahagia selain ini, walaupun dunia sedang kolaps disekelilingnya.

Perang pertama setelah kembalinya Pangeran Kegelapan itu dinamai Perang Hogwarts karena bertempat di Hogwarts. Perang itu berakhir tanpa kemenangan, bagi pihak manapun. Pangeran Kegelapan memilih mundur.

Hermione tak kembali ke Hogwarts. Ia memilih berjuang bersama Orde, bersama Harry dan Ron. Ia dan Harry memulai suatu hubungan yang dilandasi cinta, yang membuat hari-hari mereka lebih cerah di saat-saat yang gelap. Hingga pada akhirnya Hermione mengetahui dirinya hamil. Kenyataan itu sempat membawa ketakutan dalam hati Hermione. Saat-saat perang seperti ini bukanlah saat yang tepat untuk membawa seorang anak kedunia. Tapi, dengan adanya Harry disekelilingnya, yang tersenyum dan berkata semua akan baik-baik saja, ia yakin, ia bisa melalui ini. Kemudian mereka menemukan rumah ini. Mereka bersembunyi disini. Dan tampaknya semua akan baik-baik saja. Memang, Lord Voldemort masih diluar sana, disuatu tempat. Perang sedang berkecamuk diseluruh penjuru Dunia Sihir. Tapi, mereka baik-baik saja.

Semua sempurna ketika James Sirius Potter lahir tepat ditanggal yang sama dengan ayahnya, 31 Juli. Semuanya begitu sempurna. James begitu mirip dengan ayahnya, mata emerald dan rambut hitam berantakan. Dulu begitu sempurna.

Tapi, Harry sudah pergi sekarang. tak akan ada lagi yang berkata semua akan baik-baik saja.

Hermione terisak didalam tangisnya, mengingat semua kenangan yang telah ia lalui bersama Harry. Bagaimana ia bisa tega melakukan hal seperti ini kepadanya?

Hari-hari belakangan tak ada yang tampak aneh dari sikap Harry ia seperti biasanya, normal.

Tiba-tiba terdengar dering ponsel. Harry, Hermione dan Ron sudah membiasakan diri menggunakan telepon. Teknologi itu bisa sangat bermanfaat sekali waktu, tak ada salahnya bersiap-siap.

Hermione mengerutkan kening. Itu bukan ponselnya, ponselnya ada dilaci meja kamarnya. Itu ponsel Harry.

Hermione mencari-cari ponsel itu. ia bergerak kearah suara itu berasal. Dari sebuah meja berisi botol-botol susu James. Ia menemukan ponsel itu tergeletak diujung. Monitornya bergambarkan fotonya, Harry dan James diulang tahun pertama James, bertuliskan Ron.

"Hallo, Harry aku ingin membicarakan tentang..." suara Ron tercekat, Hermione menyadari ia terisak-isak dan pasti Ron mendengarnya."Hermione?"

"Ron..." ujar Hermione disela isakannya, suaranya gemetar.

"Hermione, ada apa?" Ron terdengar panik.

"Harry...Harry..." tapi Hermione tak mampu berkata-kata lagi, ia tak bisa berkata Harry pergi. Karena itu hanya akan menambah rasa sakit yang ia derita.

"Oke, Hermione. Aku akan kerumahmu sekarang. tunggu, oke?"

Hermione tak menjawab. Sambungan telepon telah terputus. Hermione jatuh terduduk dilantai. Dindingnya bersandar pada dinding. Ponselnya terlempar disebelahnya.

Beberapa detik kemudian Ron membuka pintu kamar James, untuk menemukan Hermione yang hancur. Terduduk menangis dilantai. Ia jelas sekali baru bangun tidur. Rambutnya merahnya kusut, garis abu-abu terlihat dibawah matanya. Kemejanya dikancingkan sekenanya.

"Astaga! Hermione apa yang terjadi?" Ron datang dan memeluk Hermione. Ketika mereka menarik diri mereka masing-masing beberapa detik kemudian. Tanpa suara, Hermione memberikan surat Harry kepada Ron. Ron tampak ragu dan bingung, tapi ia membacanya. Wajahnya menjadi pucat dan sinar ketidak percayaan terlihat jelas dimatanya.

"Harry..." erangnya."Apa yang kau lakukan?" Ron melirik Hermione dan memeluk wanita muda itu. Hermione mengubur wajahnya dibahu Ron. Menangis sepuasnya disana.


Malam itu hujan lebat dan berangin di pinggiran pantai Edinburg. Air pasang dilautan, dan ombak menyambar pesisir dengan ganas. Beberapa kilometer dari pesisir Edinburg, tinggallah sebuah keluarga kecil. Terdiri dari sepasang suami istri, nama mereka Jack dan Jenna Arlington, keduanya sukses. Jack Arlington adalah seorang pengusaha real estate terkenal sementara Jenna Arlington adalah seorang pengacara. Mereka adalah pasangan serasi, seperti orang-orang selalu katakan. Jack tampan, tinggi dan atletik, rambutnya berwarna hitam dengan sepasang mata biru gelap menawan. Jenna cantik, tipe wanita yang dikala mudanya diperebutkan banyak lelaki, rambutnya pirang gelap dan bermata biru hanya saja birunya lebih muda darippada mata suaminya. Tapi ada satu hal belum mereka dapatkan, diusia akhir 30-an, setelah menikah selama lebih dari sepuluh tahun, mereka belum juga dikarunia seorang anak.

Mereka sudah merindukan kehadiran seorang anak ditengah-tengah mereka. Seorang anak yang akan memanggil mereka "Mum" dan "Dad". Tapi, semua itu hancur ketika Jenna divonis mengidap kanker serviks dan rahimnya harus diangkat untuk menyelamatkan nyawanya. Hari-hari terasa begitu pedih bagi Jenna Arlington. Tapi, Jack selalu ada disisinya dan bersumpah tidak akan meninggalkan Jenna. Dan sumpah itu ditepatinya. Sekarang, di awal empat puluhan mereka sudah tidak lagi membicarakan tentang mempunyai anak. Walau begitu, mereka masih merindukan kehadirannya.

Malam itu mereka tengah meringkuk, saling berpelukan, menghangatkan diri masing-masing, sambil menikmati secangkir kopi dan menonton film di televisi. Jack baru saja menceritakan apa yang terjadi dikantornya hari itu. sementara Jenna menceritakan kasus yang tengah ia tangani dengan bangga karena ia baru saja dinyatakan menang.

"...dan oh, kau harus bertemu dengan hakimnya. Lelaki tua berjanggut lebat yang galak..." ujar Jenna sambil tertawa. Ia meneguk sedikit tehnya dan meletakkan cangkir itu kembali kemeja.

"Yah, aku ingin bertemu dengan lelaki yang telah membuat istriku sebal. Tapi sekarang..." Jack tidak meneruskan kata-katanya, dibibirnya tersungging senyum nakal sementara ia mendekatkan wajahnya kewajah sang istri. Menempelkan bibirnya ke bibir Jenna. Jenna tersenyum dalam ciumannya. Ciumannya mereka awalnya begitu lembut begitu penuh cinta. Tapi lama-kelamaan menjadi lebar kasar, lebih bernafsu. Jack melingkarkan tangannya dipinggang Jenna, menarik wanita itu lebih dekat kepadanya. Jenna baru saja mengalungkan tangannya dileher Jack ketika terdengar suara bell pintu berbunyi.

Dengan cepat mereka menarik diri masing-masing."Oh, sial" umpat Jack sambil mengigit bibirnya yang membengkak akibat ciumannya. Ia mengubah ekspresinya sehingga Jenna terkikik melihatnya.

Jenna mendorong Jack dengan agak kasar sambil tertawa."Bukakan pintunya, Jack. Kasihan diluar hujan," ujar Jenna.

Jack mendesah tapi tetap berdiri."Sebentar," teriaknya, memberikan kerlingan kepada istrinya dan berjalan menuju pintu depan.

Jack dan Jenna Arlington mungkin saja pasangan terkaya diseluruh kompleks tempat tinggal mereka, tapi sekaya apapun mereka, mereka tak pernah menunjukkannya. Mereka tinggal dikompleks biasa, dengan rumah biasa, dua mobil biasa dan kehidupan yang biasa. Maka, tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di pintu.

Ketika ia membuka pintu, ia berkerut ketika tidak melihat seorangpun kecuali buntalan keranjang ditanah. Ia mengambil buntalan dalam keranjang itu dan tersadar itu adalah seeorang bayi. Bayi tampan berambut hitam yang tak mungkin lebih dari satu tahun. Jack menggendong bayi itu dengan lembut dalam pelukannya. Detik itu juga kerinduannya kepada seorang anak terobati.

"Jack, siapa yang..." ujar Jenna, muncul di koridor. Kata-katanya terhenti kerena si bayi mulai menangis."Jack, Astaga! Bayi siapa itu?" tanya Jenna terkejut. Ia mendekati suaminya. Jack memberikan bayi itu kepada Jenna. Jenna menggoyang-goyangkan bayi itu lembut agar si bayi tenang.

"Bayi ini ada disini ketika aku membukanya, aku tidak tahu-" Jack berhenti sejenak ketika ia melihat sebuah surat dikeranjang,"Hei, tunggu" ujar Jack, merunduk dan mengambil surat itu dan membacanya.

"Apa isinya, Jack?" tanya Jenna dengan nada penuh harap. Ia berharap bayi ini ditelantarkan disini, bukan harapan yang baik, tapi itulah yang ia harapkan. Sehingga ia bisa membesarkan bayi ini.

"James..." Jack berhenti sejenak,"Namanya James,"

Tepat saat itu bayi itu berhenti menangis dan membuka matanya, menampakkan sepasang mata hijau bersinar seperti batu emerald yang membuat pasangan itu jatuh cinta kepadanya.

James Arlington