Bagian 1

Bencana Yang Diramalkan

.

.

Marituga di malam hari yang damai. Rembulan bersinar separuh, menghiasi angkasa yang pekat hitamnya, tanpa bintang.

Sassafras masih terjaga di dalam kediaman mungilnya yang nyaman. Wanita tua berbadan kecil itu tengah berkutat dengan bola kristal kesayangannya. Sendiri, di tengah keheningan yang—entah mengapa—meremangkan bulu roma.

"Bencana ...," suara tuanya gemetar tanpa bisa dicegah, meningkahi suara samar ombak dari kejauhan. "Bencana besar akan menimpa penguasa tujuh elemen ... dan Marituga—tidak ... dunia!"

.

.


Animasi "BoBoiBoy Galaxy" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Animonsta Studios/Monsta©

Animasi "Zak Storm" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Zagtoon/Method Animation/De Agostini Editore/SAMG Animation/MNC Animation/Man of Action©

Fanfiction "Purnama Merah" ditulis oleh kurohimeNoir, untuk event #CrossTwins. Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun atas fanfiction ini.

BoBoiBoy & Zak Storm crossover. Canon. Slight BoYa & ZakCece pairing.


.

.

Chaos berlayar tenang di atas laut yang menggelap. Malam terpantul di permukaan airnya, seiring ombak yang membuat kapal bajak laut itu terayun sama tenangnya. Selayak buaian yang akan mengantar manusia ke alam mimpi.

Tapi Kapten Zak Storm masih terjaga. Dia sama sekali sedang tak berminat bertualang di dalam mimpi, walaupun malam sudah cukup larut. Ayolah, hidupnya belakangan ini saja sudah lebih dahsyat dari mimpi mana pun yang pernah dialaminya.

Tapi, sayangnya, ini bukan mimpi.

Sendirian, dia berdiri di atas dek, memegang kemudi. Chaos—nama kapal yang luar biasa ini—tidak terlalu memerlukan dirinya untuk memegang kendali saat ini. Malam di atas kapal saat laut tenang seperti ini, selalu dilewatkan dengan mengikuti arus. Zak tahu itu, tapi ketika keluar ke dek sendirian di malam buta begini, dia tetap merasakan dorongan yang sangat kuat untuk berada di belakang kemudi itu.

"Hai, Zak."

Sapaan halus itu mengejutkan Zak yang hampir terbenam di dalam angan sambil memandangi bintang-bintang. Langit selalu sama di mana pun. Tapi dia selalu berpikir, bintang di Samudra Beru—di Segitiga Bermuda—tampak lebih cemerlang.

"Cece?"

Tak perlu menoleh pun, Zak tahu siapa yang kini beranjak mendekatinya. Putri Atlantis berpakaian dominan ungu dan berambut merah muda seperti koral, yang nama lengkapnya tak pernah bisa dia sebutkan dengan benar.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Zak.

Cahaya bulan membuat sisik-sisik keunguan di sisi wajah Cece tampak berkilau. Indah, sungguh.

"Harusnya aku yang tanya, Zak Storm," Cece menyahut dengan nada angkuhnya yang biasa.

"Yah ... biasa, lah," kata Zak. "Keseharian kapten kapal."

"Galau sendirian sambil memandangi bintang di malam hari?"

Ucapan Cece membungkam Zak. Jujur, ia ingin membantah. Tapi—sayangnya—Cece sudah menangkap basah dirinya. Dan ia sendiri sedang malas berdebat.

"Ada apa?" Cece bertanya lagi. "Tidak biasanya kau seperti ini."

Zak menghela napas samar. Enggan menjawab.

"Biar kutebak," terpaksa Cece yang harus melanjutkan percakapan lagi. "Kau rindu rumah?"

Kali ini Zak tersentak. "Bagaimana kau—"

"Bagaimana aku tahu?" sela Cece. "Bukan cuma kau yang jauh dari rumah."

Zak paham itu berarti Cece juga merindukan rumahnya, keluarganya. Yah, siapa yang tidak? Dia cukup yakin, semua kawannya juga punya perasaan seperti itu.

"Kadang-kadang aku berpikir, aku takkan pernah bisa keluar lagi dari Bermuda."

Cece terdiam. Dipandanginya kapten muda sebayanya, yang selalu tampak atraktif dalam pakaian khas merah-hitamnya itu. Semilir angin membuat rambut cokelatnya yang lembut bergerak-gerak pelan. Menggemaskan bagi Cece, selalu membuatnya ingin menyentuh. Meskipun, tentu saja, dia takkan pernah mau mengakuinya.

"Kurasa kau butuh penyegaran."

Kalimat Cece yang tak ada ujung pangkalnya itu, membuat sebelah alis Zak terangkat.

"Dalam lima belas menit," sambil bicara, Cece mengibaskan acuh tangan kirinya ke arah barat laut, "kita akan sampai ke Marituga."

.

Oo)=-=-=-=o=-=-=-=(oO

.

Marituga di malam hari yang terang, oleh bulan, bintang, maupun penerangan yang dibuat manusia. Meskipun tidak sesemarak siang hari, yang jelas tempat ini belum tidur. Atau mungkin memang tak pernah tidur.

"Lalu ... kenapa kita lewat sini?" tanya Zak.

Ia dan Cece sedang menyusuri sebuah gang kecil yang sepertinya malah menjauhi keramaian. Kalau hanya itu, sebenarnya bukan masalah. The Seven Cs sudah cukup mahsyur karena keberaniannya menentang Skullivar. Sudah berapa kali mereka bertaruh nyawa menghadapi Jenderal Golden Bones beserta pasukan tengkorak hidupnya itu. Tentu saja, beberapa bandit yang mungkin menyergap di gang sepi begini sama sekali bukan masalah.

Tapi, Zak mengenal gang itu, dan arah mana yang mereka tuju.

"Di depan sana pondok Sassafras," kata Zak lagi. "Baik sekali kau mengajakku mengunjungi seorang nenek tua malam-malam begini."

Cece melirik Zak sekilas. "Sebenarnya, aku tahu sebuah kedai yang enak di sekitar sini. Mereka hanya buka pada malam hari."

"Ooh ... Benarkah? Apa mereka juga menjual sesuatu yang terbuat dari karamel?"

Cece memutar bola matanya yang beiris merah jambu. Semua orang tahu, Marituga adalah surga karamel.

"Yang terbaik," dijawab juga oleh Cece. "Omong-omong, idemu tidak buruk juga, Zak Storm. Mumpung ada di sini, sekalian saja kita kunjungi Sassafras. Siapa tahu, kita bisa mendapatkan informasi menarik."

"Seperti?"

"Entahlah. Kita akan tahu kalau sudah berkunjung."

Zak berpikir sebentar. "Ya sudahlah. Tidak ada salahnya juga. Sekalian lewat—"

Brak.

Sebuah pintu rumah terbuka tiba-tiba tiga langkah di depan Zak. Terkejut, dia spontan menghentikan langkah. Begitu pula Cece. Tidak sekeras atau semengejutkan itu sebenarnya. Mungkin pengaruh malam, atau gang yang terlalu sepi. Atau keduanya.

"Akhirnya kalian datang," wanita tua yang barusan membuka pintu pondoknya, berkata tanpa basa-basi. "Ayo, masuk."

Si nenek masuk kembali ke dalam rumah. Cece memandang Zak yang hanya mengangkat bahu, bersepakat dalam diam untuk memenuhi undangan tadi.

"Sassafras," Zak menyebut nama sang tuan rumah, begitu dirinya dan Cece sudah berada di dalam pondok mungil sederhana itu. "Tumben sekali kau mengundang kami masuk secara sukarela?"

Biasanya, dimintai tolong pun, dia tidak akan mau melakukannya secara cuma-cuma.

Di samping Zak, Cece mengerutkan kening. Tampak jelas di matanya, ada sesuatu yang tidak beres. Sang penyihir yang keseluruhan rambutnya telah memutih itu, berdiri diam di samping meja tempatnya meletakkan sebuah bola kristal. Cece cukup mengenal Sassafras untuk tahu, tatapan mata wanita tua itu tidak pernah seserius ini.

"Dengar, Bocah." Sang penyihir tua menumpukan pandang kepada Zak. "Kusarankan kau berhati-hati. Bencana sedang mengintaimu."

Cece tersentak pelan, tapi Zak hanya mengangkat sebelah alis.

"Apa kau sedang mengutukku?" tanya sang kapten muda.

"Tidak, tidak. Tidak ada untungnya bagiku," Sassafras menyahut. "Bola kristalku yang memberitahu, bencana besar akan datang. Dan itu bersumber pada kekuatan tujuh elemen. Siapa lagi yang punya kekuatan tujuh elemen di sini selain kau?"

Zak dan Cece saling pandang sejenak.

"Tentang bencana itu," Cece ikut bicara, "seperti apa tepatnya?"

"Tidak bisa kulihat dengan jelas. Hanya ... putih ... Lalu ... kehancuran!"

"O ... ke ...," Zak berkomentar. "Itu tidak terlalu membantu—"

"Sangat tidak jelas, aku tahu," sela Sassafras. "Aku sama frustasinya denganmu."

"Aku tidak frustasi."

"Omong-omong," Sassafras mengabaikan perkataan Zak, "kenapa pedang ajaibmu yang cerewet itu tidak kedengaran suaranya?"

Pertanyaan sang penyihir membuat Zak teringat bahwa ia masih membawa sebuah pedang di punggungnya. Diambilnya pedang itu, lantas dipandangnya tengkorak di dekat hulu pedang yang bergeming sunyi.

Sassafras benar. Tidak biasanya seperti ini.

"Cal?" Zak mencoba memanggil, tidak ada respon.

"Apa yang terjadi dengan Calabrass?" tanya Cece sambil ikut menatap tengkorak itu.

Zak mengangkat bahu. "Kalau kuingat-ingat, dia memang sedikit bicara hari ini. Malah benar-benar diam sejak malam turun—"

"Sejak bulan muncul," potong Sassafras.

Zak mengerutkan kening. "Bulan? Apa hubungannya dengan bulan?"

"Erat. Sangat erat." Sassafras memberi jeda sejenak. "Semuanya akan dimulai saat purnama merah. Gerbang akan terbuka, dan sang penguasa tujuh elemen akan kehilangan kendali. Menghilang. Tersesat. Satu keputusan yang salah, dan dunia akan dilanda malapetaka!"

Hening.

Zak dan Cece—mau tak mau— terpana. Baru saja, mereka melihat Sassafras bicara dengan tatapan menerawang jauh. Seolah bisa melihat sesuatu yang tak disadari oleh makhluk mana pun.

"Wow ... Itu ... mengerikan," kata Zak kemudian.

"Bisa tolong jelaskan satu per satu?" sambung Cece. "Seperti ... apa yang dimaksud dengan purnama merah, gerbang, dan yang lainnya?"

"Sayang sekali, Putri Atlantis," jawab sang penyihir. "Hanya itu yang bisa kukatakan. Tapi ..."

"Tapi?"

Sassafras menatap Zak dalam diam selama tiga detik.

"Aku melihat ada dua pemilik kekuatan tujuh elemen," katanya. "Kalau hanya kau sendiri, gerbang tidak akan terbuka."

Zak berpikir sebentar. "Kalau begitu aman, 'kan? Aku tidak pernah dengar ada pedang lain yang bisa bicara di sekitar sini."

"Aku tidak pernah bilang tentang 'di sekitar sini'."

"Maksudmu?"

"Dunia ini sangat luas. Bukan tidak mungkin, di suatu tempat ada pemilik kekuatan tujuh elemen yang lain."

Sang penyihir menatap Zak semakin tajam.

"Bocah," lanjutnya, "sebaiknya kau tidak menyepelekan peringatanku."

"Baiklah, baiklah." Zak masih berpikir Sassafras berlebihan. Namun, di sisi lain, kemampuan wanita itu sebagai penyihir tak perlu diragukan lagi. "Tapi ... memangnya kapan purnama merah itu akan terjadi?"

Zak terdiam. Mendadak dia merasakan déjà vu. Dulu Sassafras pernah bicara tentang bahaya yang hanya akan terjadi bila muncul bulan hijau setiap lima ribu tahun. Dan tepat setelah dia mengatakan itu, bulan hijau benar-benar muncul begitu saja.

"Jangan khawatir," kata sang penyihir. "Terakhir kali purnama merah terjadi sekitar 152 tahun yang lalu."

"Jauh lebih singkat daripada 5000 tahun," komentar Zak sambil menatap ventilasi berbentuk segienam di langit-langit pondok, menampilkan angkasa malam. "Dan sekarang sedang bulan purnama."

"Bukan masalah besar. Kalaupun terjadi purnama merah malam ini, belum tentu bisa terlihat dari sini."

Zak masih memandang rembulan. Sassafras dan Cece pun ikut melihat ke arah yang sama. Satelit Bumi itu bersinar begitu terang, sekaligus lembut. Ukurannya pun tampak lebih besar daripada biasanya.

"Apa itu?" tanya Cece tiba-tiba.

"Apanya?

Pertanyaan Zak segera mendapatkan jawaban. Ia juga melihat apa yang dilihat Cece. Lengkung hitam muncul dari sekitar tepi kiri bawah bulan, lalu bergerak lambat ke arah kanan atas. Perlahan, kegelapan meluas di tubuh sang bulan.

"Gerhana!" seru Zak.

Memang, gerhana bulan bukan hal langka. Tapi gerhana kali ini berbeda. Ketika bayangan gelap yang menutupi bulan belum juga sampai separuhnya, tiba-tiba warna cahaya itu berubah. Bukan lagi putih lembut. Ia memerah. Mulanya samar, lalu semakin jelas.

"Indah sekali," bisik Cece nyaris tanpa sadar. "Iya 'kan, Zak?"

Tak mendapatkan jawaban, Cece mengalihkan pandang sejenak kepada sang kapten. Pemuda itu masih menatap rembulan. Terpana, mungkin. Tapi Cece segera menyadari sesuatu yang lain. Bahwa tatapan mata Zak kosong.

"Zak Storm?" Kali ini Cece mencoba mengguncangkan pundak kawannya, tapi tak ada reaksi. "Zak? Zak, kau dengar aku?"

Pada guncangan ketiga, barulah Zak tersentak.

"A-Apa?" pemuda itu tergagap. Ditatapnya Cece, bingung.

"Kau baik-baik saja?" Cece mulai cemas.

"Ya ... Kurasa ..."

Bahkan Zak bisa merasakan keraguan di dalam suaranya sendiri. Ia merasa ada yang aneh dengan dirinya. Seperti dorongan misterius yang membuatnya kembali menatap bulan. Rasanya sulit untuk berpaling lagi. Ia bahkan mulai mendengar seperti ada suara-suara aneh bicara padanya. Tak jelas, seperti frekuensi radio yang tumpang tindih.

"Zak?" sekali lagi panggilan Cece mengembalikan akal sehat pemuda itu. "Ada apa denganmu?"

Zak menatap Cece, terlihat lebih bingung daripada sebelumnya. Kali ini, gadis Atlantis itu benar-benar cemas.

"Aku—"

Kata-kata itu terputus. Zak terhuyung, hampir roboh andai Cece tak menahan tubuhnya.

"Zak!"

Cece makin panik saat Zak tiba-tiba seperti kesakitan sambil memegangi sisi kepalanya dengan tangan kanan, sementara kedua matanya terpejam rapat. Gadis itu berusaha tetap tenang, walaupun saat ini dia merasakan firasat buruk.

Benar-benar buruk.

"Biarkan dia duduk," Sassafras memberi saran.

Cece mengangguk pelan. Namun, belum sempat niat itu terlaksana, tiba-tiba Zak mendorongnya menjauh dengan kasar. Nyaris saja menabrak tubuh kecil Sassafras yang tingginya tidak lebih dari pundak Zak.

Sementara itu, ketujuh mata yang mengelilingi tengkorak Calabrass mulai bersinar dalam tujuh warna berbeda. Badan pedang sendiri ikut bersinar, hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Sinar itu mulanya putih lembut, sedikit keemasan. Pelan-pelan meluas, menyelimuti pula seluruh tubuh Zak. Lantas cahayanya memerah, samar. Semakin pekat seiring bulan yang sudah nyaris seutuhnya ditelan gerhana.

"Zak ...?" Cece memanggil ragu.

Sosok Zak di bawah cahaya purnama merah darah itu tampak rapuh. Kosong. Gadis itu beranjak, tetapi Sassafras menahan langkahnya dengan sebuah cekalan lembut di lengan.

Tepat pada saat itulah, di belakang Zak muncul semacam pusaran cahaya putih menyilaukan. Hampir bundar, tetapi tidak beraturan, dengan diameter sedikit melebihi tinggi badan Zak. Firasat buruk Cece makin menjadi. Dia ingin mendekat, tapi dari arah yang ditujunya seolah ada kekuatan yang mencegahnya bergerak selangkah pun. Begitu berat dan menekan.

"Zak!"

Seruan Cece tak sampai pada Zak yang mematung dengan tatapan hampa. Masih menggenggam pedang. Masih diselimuti cahaya merah yang kini tampak mengancam.

"Calabrass!" Cece ganti memanggil pedang yang merupakan wadah kekuatan tujuh samudra Segitiga Bermuda itu. "Calabrass, bangun!"

Sama sia-sianya. Sementara, kekuatan misterius itu semakin terasa menekan dari arah pusaran cahaya putih di belakang Zak.

"Sebenarnya apa itu?!" Cece berseru setengah putus asa.

"Itu gerbangnya," Sassafras menyahut. "Penglihatanku tidak pernah salah. Dan sekarang akan jadi kenyataan."

"Tidak ..."

Bulan purnama semerah darah sempurna sudah. Begitu pula 'gerbang' yang disebut Sassafras. Tubuh Zak terangkat lembut dari tanah, hanya seinchi. Untuk kemudian terhisap masuk ke dalam gerbang cahaya putih.

"ZAAAK!"

.

.

.

Oo)=-=-=-=o=-=-=-=(oO

.

.

.

Pulau Rintis, menjelang pukul delapan malam.

Dua pasang kaki melangkah ringan ke arah pantai berpasir putih. Pemiliknya adalah dua remaja yang berjalan beriringan sambil menjaga jarak. Yang satu adalah seorang gadis remaja berhijab dengan penampilan didominasi warna merah jambu. Dan yang satu lagi, pemuda sepantarannya yang lekat dengan warna jingga, tak lupa topi dino yang dipakai dengan lidah menghadap ke belakang.

Hampir setiap orang yang berpapasan, menyapa mereka dengan antusias. Khususnya kepada sang pemuda yang baru berusia 14 tahun. Keduanya pun membalas setiap sapaan dengan ramah.

"BoBoiBoy," si gadis merah jambu memanggil saat langkah mereka telah mencapai pantai. "Lihat! Ramai sekali pantainya!"

"Jelas, lah!"

Bukan BoBoiBoy—pemuda bertopi dino jingga itu—yang barusan menyahut, melainkan robot kuning-hitam kecil seukuran bola sepak yang sejak tadi melayang mengikuti mereka.

"Super blue blood moon terakhir kali terjadi 152 tahun yang lalu," si robot melanjutkan. "Tentu saja semua orang ingin melihatnya."

BoBoiBoy tertawa kecil. Di antara mereka bertiga, sepertinya sahabat robotnya itulah yang paling antusias.

"Bukan cuma orang, robot juga." BoBoiBoy mengerling sang robot mungil. "Iya 'kan, Ochobot?"

"Ish! Kalian ini," si gadis berhijab merah jambu ikut bicara. "Kita ke sini bukan untuk main-main, tahu!"

BoBoiBoy dan Ochobot tahu. Kepulangan mendadak mereka ke Bumi kali ini membawa satu misi. Stasiun TAPOPS mendeteksi anomali energi yang sangat misterius. Bahkan komputer tercanggih di tempat itu pun tak mampu mengidentifikasi energi tersebut. Yang jelas energi itu sangat kuat, tetapi terus muncul dan menghilang begitu saja dari pantauan.

"Santai sedikit, lah, Yaya," BoBoiBoy menimpali ucapan si gadis tadi. "Kalau sekaku itu, nanti mencurigakan."

Yaya cemberut. "Mencurigakan apanya?"

"Bahwa ada sesuatu yang nggak beres di sini," sahut BoBoiBoy. "Nanti orang-orang panik."

Yaya tersenyum samar. Sejak dulu BoBoiBoy memang tidak pernah berubah. Selalu saja memikirkan orang lain.

"Di situ cukup sepi." Tiba-tiba BoBoiBoy menunjuk tempat lapang yang masih jauh dari posisi mereka sekarang. "Kita ke sana saja, yuk!"

Tanpa menunggu jawaban, BoBoiBoy berlari ke tempat yang ditujunya. Tak sampai semenit kemudian, pemuda superhero elemen itu sudah duduk-duduk santai di atas sebuah batu besar. Yaya ikut duduk di sampingnya, dengan Ochobot di pangkuan.

"Kamu menemukan sesuatu, Ochobot?" tanya Yaya.

Ochobot masih memindai setiap inchi tempat itu dengan teliti, tapi tak menemukan apa pun yang salah. "Tidak ada apa-apa, tuh."

"Aneh," komentar BoBoiBoy. "Koordinatnya benar di sini, 'kan?"

"Benar, kok," jawab Yaya. "Sudah dua kali aku cek ulang. Iya, 'kan, Ochobot?"

Ochobot membenarkan, membuat BoBoiBoy pasang tampang berpikir.

"Hmm ... Apa karena sinyal energinya terus muncul dan hilang, ya ...?" katanya. "Ya sudah. Kalau begitu, kita awasi saja pantai ini. Sekalian lihat gerhana, hehehe ..."

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk sekarang. Ketiga sahabat itu pun bergabung dengan para pengunjung pantai lain untuk menjadi saksi peristiwa alam langka berjeda seratus tahun lebih. Tak perlu menunggu lama, bayangan hitam mulai merambah permukaan bulan dari sisi kiri bawahnya. Lengkungan itu terus bergeser pelan-pelan, memperlihatkan bentuk yang semakin mendekati bulatan di badan sang rembulan.

Semua orang menunggu dengan sabar, sampai bayangan gelap semakin banyak menutupi purnama. Sampai lebih dari separuh bulan telah menggelap, sesuatu terjadi. Bayangan hitam perlahan berubah jingga, begitu seterusnya sampai seluruh bulan tertutup dalam cahaya jingga itu. Lambat, tetapi orang-orang terpukau hingga tak mampu melepaskan pandang darinya.

"Cantiknyaaa," Yaya berkata takjub.

Bulan berubah menjadi jingga seutuhnya. Lantas warna jingga itu kembali berubah, semakin lama semakin pekat hingga menjadi merah.

"Keren!" Ochobot ikut terpukau. "Keren sekali, BoBoiBoy!"

Untuk sesaat Ochobot tidak mempermasalahkan kawannya yang acuh membisu. Mungkin karena begitu terpananya dia menyaksikan keindahan yang takkan mampu ditiru dengan teknologi secanggih apa pun ini. Tapi kemudian, dia tergerak juga untuk menoleh. Entah sejak kapan, BoBoiBoy sudah tidak lagi duduk di atas batu. Dia berdiri, mendongak ke arah sang dewi malam.

"BoBoiBoy?" Ochobot memanggil sekali lagi.

Masih tak ada sahutan. Yaya pun ikut tertarik menoleh ke arah pemuda itu. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak enak. Seperti firasat yang tidak baik. Namun, ditepisnya pikiran itu.

"BoBoiBoy?" dia ikut memanggil.

Kali ini, BoBoiBoy tersentak. Ia pun menoleh ke arah kedua kawannya. Entah mengapa, pemuda itu tampak bingung.

"Eh? A-Apa ...?" tergagap dia bertanya.

"BoBoiBoy, kamu nggak apa-apa?" Ochobot berkata cemas sembari melayang ke dekat sahabatnya.

"Aku ... baik-baik saja ..."

Yaya ikut berdiri. Nada suara BoBoiBoy barusan terdengar tidak yakin terhadap dirinya sendiri. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Yaya cemas.

Kecemasan Yaya sepertinya bukan tidak beralasan. Karena setelah itu, tiba-tiba BoBoiBoy memegangi sisi kepalanya dengan sebelah tangan. Kedua matanya terpejam rapat, menyembunyikan sepasang iris cokelat yang biasanya selalu memancarkan semangat dan keberanian. Namun, yang membuat Yaya maupun Ochobot takut, adalah ekspresinya yang tiba-tiba kesakitan.

"BoBoiBoy!" Yaya dan Ochobot berseru berbarengan.

Tepat pada saat itulah, tiba-tiba Jam Kuasa di pergelangan tangan kanan BoBoiBoy bercahaya keemasan. Sangat terang melebihi biasanya, tetapi hanya sekejap. Kemudian warna itu berubah menjadi warna yang tidak pernah terpancar sebelumnya. Putih lembut berbaur dengan sedikit warna emas. Mulanya hanya terpancar dari Jam Kuasa, lalu mulai meluas, hingga akhirnya menyelimuti seluruh tubuh BoBoiBoy.

"BoBoiBoy!" Yaya kembali berseru cemas. "BoBoiBoy, kamu dengar aku?"

Sepertinya tidak. Pemuda berambut cokelat gelap itu sudah tidak kesakitan lagi, tetapi tatapannya kini hampa. Seperti kekosongan pada ekspresi wajahnya.

"Ochobot, kenapa ini?" tanya Yaya. "Apa Jam Kuasa BoBoiBoy rusak lagi?"

"Entahlah. Biar kuperiksa."

Ochobot mendekat sedikit, lantas memindai Jam Kuasa milik BoBoiBoy.

"Apa ini?" Ochobot tersentak. "Semua elemen tiba-tiba aktif!"

Proyeksi hologram di atas Jam Kuasa menunjukkan lambang enam elemen yang aktif seperti biasanya. Hanya saja, satu elemen terakhir yang seharusnya masih kosong, tiba-tiba ikut menampilkan lambang elemen yang seharusnya 'belum ada'. Tapi gambar itu muncul dan hilang terus-menerus dalam kecepatan tinggi.

"Jam Kuasa BoBoiBoy kacau!"

Tepat di akhir kalimat Ochobot itu, tiba-tiba cahaya yang menyelimuti BoBoiBoy maupun Jam Kuasa-nya, berubah. Tidak lagi putih keemasan, melainkan merah. Pekat seperti warna darah. Belum cukup sampai di situ, di belakang BoBoiBoy mendadak tercipta semacam pusaran cahaya putih misterius. Berbentuk lingkaran yang tidak begitu rata, terposisi vertikal dengan diameter sedikit melebihi tinggi badan BoBoiBoy.

"Portal?!" kaget Ochobot. Dipindainya portal misterius yang baru saja tercipta entah dari mana itu. Bahkan teknologi mutakhir yang dimilikinya pun tidak mampu mendeteksi apa-apa, selain medan energi yang luar biasa besar.

Sementara itu, Yaya berdiri diam di belakang Ochobot. Tak tahu apa yang harus diperbuat membuat kecemasannya berlipat-lipat. Ia pun bisa merasakan tekanan yang luar biasa dari cahaya putih di belakang BoBoiBoy.

"Ochobot, lakukan sesuatu ...," pintanya, nyaris gemetar.

"Sedang kucoba," sahut Ochobot yang masih berkutat di dekat sahabatnya. "Tapi .. tidak bisa ..."

Di tengah kebingungan Ochobot dan Yaya, tubuh BoBoiBoy mendadak terangkat sedikit dari tanah. Pada saat yang sama, sebentuk energi tak kasatmata tiba-tiba menghempaskan badan robot Ochobot yang mungil, asalnya dari portal putih itu. Untung saja, Yaya dengan sigap menangkapnya. Akan tetapi, gadis remaja itu tak bisa melakukan apa-apa saat melihat tubuh BoBoiBoy terhisap ke dalam portal. Begitu pula Ochobot.

"BOBOIBOOOY!"

.

.

Bersambung ...

.

.


* Author's Note *

.

Hai, haiii~! \(^o^)

Hime kembali dengan sebuah fic dalam rangka event #CrossTwins. Tadinya pengin one-shot aja, tapi sepertinya ini akan jadi miniseri three-shots. Mudah-mudahan lancar sampai deadline yang ditentukan.

Sesuai tema event ini, untuk mempertemukan dua karakter 'kembar' dari dua fandom berbeda, Hime akan coba mempertemukan BoBoiBoy dengan Zak Storm. Jelas sekali, keduanya adalah pengguna kekuatan elemen. Sama-sama punya tujuh elemen pula, walaupun nggak semua elemennya sama, alias ada beberapa yang beda. Kostum mereka juga sama-sama berubah warna tiap kali memakai kekuatan elemen yang berbeda. Hime sendiri juga sering salfok ke dek Boy tiap kali nonton Zak Storm, hehehe ... :-p

Selain soal kesamaan kekuatan, BoBoiBoy dan Zak juga punya kemiripan sifat. Ada sifat humoris dan jahilnya, maupun kualitas kepemimpinan yang terus berkembang seiring cerita. Zak juga punya semacam papan seluncur yang bisa terbang, sangat mengingatkan pada hoverboard milik BoBoiBoy Taufan, cuma papan seluncur Zak berwarna merah.

Eh, usia mereka juga sepantaran, ya? Hehehe ... Warna rambut mereka juga sama-sama cokelat, walaupun cokelatnya beda.

Terus, untuk ide cerita, mungkin udah ketebak. Dari 'purnama merah' yang belum lama ini terjadi. Sebenernya inti ceritanya sederhana aja, kok (sederhana banget malahan). Tapi nggak nyangka bagian pertamanya jadi sepanjang ini. XD

Hmm ... apa lagi, ya ... Itu dulu, deh. Kalau ada lagi, nanti saya tambahin di A/N chapter selanjutnya.

See you and enjoy the story~ :")

.

Regards,

kurohimeNoir

17.02.2018