Bertahun-tahun, atau bahkan beratus tahun dia hidup sebagai seorang pemburu?

Menguntit, membaui, menjadikan mereka sebagai miliknya. Yang muda, berbakat, dan paling penting laki-laki. Semakin tampan semakin baik karena akan memudahkan segala urusan.

Oh, tidak, dia tidaklah kejam. Dia murah hati hingga memberikan apapun yang diinginkan mereka: ketampanan, inspirasi, kematian. Ia mampu mengubah kehidupan klise menjadi luar biasa, dan dialah hal terbaik yang pernah ada dalam kehidupan para lelaki itu.

Tapi, hari ini, dalam keteduhan pohon-pohon birch, seseorang telah memanggilnya, menjadikan wujud tak kasat mata itu menjadi tubuh fisik. Tak ada seseorang pun disana, namun ia dapat mencium sisa-sisa mantra, suara kaki yang menginjak dedaunan kering, dan itu membuatnya semakin gelisah. Tangan halusnya perlahan-lahan menyusuri tubuh halus telanjangnya yang tampak rapuh.

Bau thyme dan dedaunan terbakar, mantra untuk memanggil, dan api unggun separo meredup tertangkap indra manusia lemahnya. Kaki-kaki lembut itu berjalan perlahan, membawa pemiliknya menyingkir dari tempat itu.

"Hai, Peri."

Dia berbalik, dalam waktu bersamaan, tongkat besi menghantam wajahnya.

.

.

.

BALLAD

HunHan Fanfiction

Se Hun/Lu Han/Baek Hyun

REMAKE!Ballad, A Gathering of Faerie

by

Maggie Stiefvater

Chara belong to themselves

Yaoi/HunHan broken!HunBaek/Typo's Area/OOC

Happy Reading!

.

.

.

Kepada: Se Hun

Dari: Baek Hyun

Kau masih cenayang? Bisakah kau melihat masa depan kita di TA? Aku merasa segala hal yang terjadi pada musim panas lalu masih membuntuti kita. Kupikir semuanya telah berakhir.

Kirim pesan? Tidak

Simpan pesan? Ya, selama 30 hari

~o0o~

Se Hun

Aku benar-benar mencintai musik.

Kubaca benar-benar brosur Thornking-Ash School of Music sebelum medaftar. Menurut selebaran warna pastel itu, TA julukan gaulnya, mampu mengasah bakat musik yang sudah menjanjikan ini. Sekolah itu akan menantang kemampuan akademik dan menjanjikan kita meninggalkan bangku sekolah menengah sebagai akademisi olah raga yang membuat kita mudah memasuki Ivy League dengan satu ekstrakulikuler saja.

Keren juga, pikirku saat itu, dan juga Baek Hyun akan mendaftar sehingga aku tidak ragu-ragu mendaftar.

Tapi itu sebelum aku benar-benar memasuki TA. Sekolah tetap saja sekolah, batinku meniru Margaret Thatcher. Sama halnya dengan enam adalah setengah lusin.

Baru tujuh hari aku berada di TA, jadi wajar saja aku belum mengetahui semuanya. Tapi, aku tidak pandai bersabar. Entah bagaimana, aku tidak memahami teori musik di kelas, dan tidur di asrama membuat kita berbeda dengan pelajar sekolah menengah umumnya.

Sejak hari pertama hingga keenam, aku dan teman-teman sekelas "diorientasi". Mereka menunjukkan ruang-ruang kelas, guru-guru, kapan santapan disajikan, pintu-pintu macet, hingga lubang-lubang tikus yang dijaga ketat beberapa perangkap. Dihari kelima, aku mengetahui semuanya, dan dihari keenam, semua hal itu hanya diulang.

Pada hari ketujuh, aku bosan. Malamnya, aku berada dalam mobil kakakku dan mendengarkan musik dengan perasaan marah. Aku duduk dalam dunia kecilku yang interiornya kelabu, menyetel volume keras-keras hingga dentuman basnya terasa. Asrama menetapkan aturan ketat terkait bunyi sehingga sulit mencari tempat mendengarkan musik. Sungguh ironis.

Dalam mobil, musik yang kupasang terdengar begitu keras sehingga ketukan dijendela tak terdengar. Ketika akhirnya aku menyadari hal itu, wajah lelaki kecoklatan memandangku dengan ekspresi tidak yakin. Dia kawan sekamarku, Kai. Pemain oboe. Menurutku, pihak sekolah menganggap kami bisa bergaul dengan baik karena aku memainkan bagpipe yang sama-sama memiliki buluh atau sejenisnya karena kami sama sekali tidak mirip. Kuturunkan kaca jendela.

"Apa yang kau inginkan? Kentang goreng?" tanyaku menyodorkan sekotak kentang.

Kai tertawa keras dan terlihat bangga dengan keberaniannya sendiri. Kupikir aku telah membuatnya takut.

"Lucu sekali, Kawan."

"Yah, itu cuma salah satu hal yang bisa kutawarkan, ada apa?"

"Aku baru mau kekamar mengerjakan PR Kalkulus" -dia menggoyangkan sebuah buku catatan- "kau masih mau mengerjakannya?"

"Mau. Tidak. Perlu. Ya." Aku mengecilkan suara radio. Tiba-tiba aku sadar bulu tanganku meremang dalam udara panas. Kutarik kedalam kantong. Alam bawah sadarku yang peka akan hal supranatural membisikkan sesuatu dalam bahasa yang tak kupahami, membuat tubuhku terasa dingin karena peringatan halus yang disampaikannya: ada yang aneh di sini. Kupikir aku sudah tidak lagi merasakan hal ini sejak musim panas itu. Akhirnya aku memandang Kai kembali. "Yah, tentu saja"

Wajah Kai menyiratkan kelegaan seolah dia menduga aku akan mengatakan sesuatu yang lain. Lalu dia mulai membicarakan guru kalkulus dan teman-teman sekelasnya. Bahkan sekalipun pikiranku tidak tercurah pada rasa dingin yang menjalar di kulitku, aku tidak akan mendengarnya. Orang-orang terlalu banyak berbicara, dan biasanya jika mendengarkan hal pertama dan terakhir yang mereka katakan, kau akan mengerti bagian tengahnya.

Seketika perhatianku kembali pada Kai karena satu frase, seolah-olah satu suara muncul di antara suara-suara lain. Aku memutar kenop radio, mematikannya.

"Apa barusan kau bilang? Lalu mayat pun bernyanyi?"

Kai mengernyit.

"Lalu mayat pun bernyanyi. Kau baru bilang itu?"

"Tidak, tentu saja. Kubilang-" lanjutannya terpotong digantikan seruan ketika aku membuka pintu mobil, berlari, menggapai suara itu lebih dekat. Aku berlari memasuki area parkir, sneaker-ku menginjak jalur pejalan kaki dari batako ketika mengikuti nyanyian itu.

Suara musik itu terdengar semakin jelas, berbaur dengan musik yang selalu kudengar dii benakku-ramalan omong kosong tentang keberadaanku, yang mengatakan tempatku di dunia ini.

Aku tiba di ujung jalur pejalan kaki yang terbuat dari batako tetapi aku terus berlari dan terhuyung-huyung di lahan penuh rerumputan tinggi tak rata. Aku merasa seolah jatuh di pinggiran dunia. Sinar matahari sore pada musim gugur menyiram perbukitan dan satu-satunya yang kupikirkan adalah aku terlambat.

Tapi, laki-laki itu berjalan di sana, siapa pun dia- jauh di perbukitan, hampir tidak kentara dimataku. Keberadaannya lebih dari sekedar siluet, tapi sosok gelap dengan tinggi yang tidak bisa disebutkan, yang berada di atas bukit tak berujung warna emas berkilauan. Kedua tangannya terjulur di samping dengan gerakan menekan ke bawah seolah dia menahan tanah agar tak bergerak. Tepat sebelum dia bergerak menjauhiku sehingga sosoknya bisa dibedakan dengan pepohonan gelap di belakang, dia berhenti.

Alunan musik terus terdengar, sekeras ketika kau mendengarkan lewat headphone-yang terdengar seolah-olah musik itu diciptakan oleh otakku hanya untukku sendiri. Tapi entah bagaimana kini aku tahu, musik itu bukan untukku. Musik itu untuk seseorang atau sesuatu yag lain, dan aku ketiban sial karena mendengarnya juga.

Aku merasa luluh lantak.

Sosok itu berbalik ke arahku. Untuk beberapa saat lamanya dia berdiri di depanku. Aku terpaku di atas tanah-bukan oleh musiknya, yang masih terdengar dan berbaur dengan musik yang mengalun di kepalaku, mengatakan grow rise follow- tapi oleh sosoknya yang asing.

Oleh jari-jemarinya yang berada di atas tanah dan menekankan sesuatu pada tanah; oleh bahu kotaknya yang memancarkan kekuatan dan pengetahuan yang tak dikenal; dan yang terpenting, oleh tanduk besarnya yang berduri, mencuat dari kepala, dan menjulang kelangit seperti dahan.

Kemudian dia menghilang, dan aku kehilangan jejaknya karena kepergiannya yang mendadak ketika matahari menghilang dipinggir bukit, sehingga dunia kini temaram oleh senja. Aku berdiri terpaku, dengan nafas tersengal. Kupandangi tempat dia berada tadi. Aku tidak tahu mana yang lebih kuharapkan, apakah berharap seandainya aku tidak melihat sosok semacam rusa tadi, sehingga aku bisa bersikap seperti biasa, ataukah aku berharap seandainya tiba lebih awal sehingga aku bisa mengetahui mengapa aku melihat makhluk seperti dia kembali.

Aku membalikkan tubuh untuk kembali ke sekolah, tapi sesuatu yang keras menghantam perutku. Aku terjajar dan terjatuh. Dengan susah payah, aku kembali berdiri.

Si pemilik tubuh menahan nafas, "Astaga, maafkan aku!"

Suara itu membuatku terenyak dan terdengar tidak asing. Baek Hyun. Sahabatku. Masih bisakah kau menyebutnya sahabat? Aku menghela nafas, "tidak apa-apa. Aku hanya perlu satu ginjal"

Baek Hyun memutar tubuhnya, wajahnya bersemu merah. Ekspresinya berubah begitu cepat sehingga aku tidak tahu ekspresi sebelumnya. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari wajahnya. Aku sudah sering melihatnya-mata cokelat yang mendominasi wajah pucatnya yang mungil-dengan mata tertutup sehingga aneh rasanya melihat dengan mata terbuka.

"Se Hun. Se Hun! Kau melihat mereka? Mereka datang karena kau!"

Aku bersusah payah memusatkan perhatian, "siapa mereka?"

.

.

.

TBC

.

.

.

A/N:

~Daun Thyme:rempah daun yang bisa digunakan sebagai hiasan atau pemberi rasa dan aroma

~Ivy League:asosiasi delapan universitas di Amerika yang sempurna (Havard, Brown, Dartmouth, Columbia, Cornell, Yale, Princeton, dan Pennsylvania)

Ada yang pernah baca bukunya? Sebenernya aku pengen remake Therese Raquinnya Emille Zola, tapi berhubung NC-nya banyak, aku ganti jadi Ballad, A Gathering of Faerie. Diawal-awal memang susah dipahami tapi semakin kebelakang masuk akal asal bacanya pelan-pelan

Next or delete?