Once Upon a Red String

(Yuri's POV)

"Yuri, apa kau percaya pada benang merah takdir?" Nee-san menceletuk tiba-tiba. Mulutnya asik mengunyah keripik kentang dan matanya terpaku pada layar TV yang menyiarkan drama Korea.

Aku nyaris tersedak mendengar ocehan kakakku itu. "Ma-Mana mungkin aku percaya. Itu kan legenda bocah."

"Tch. Kau ini serius amat," Nee-san memutar badannya 180 derajat hingga menghadapku. "Yang namanya takdir itu sudah ditentukan sejak kau lahir! Seperti takdirku bersama Joong Ki! Nyuuu~" aku berjengit geli menatap Nee-san memajukan mulutnya lima senti hendak mencium layar TV.

Takdir ya? Ada-ada saja. Namun, mau tak mau aku jadi teringat pada kejadian 17 tahun silam. Tentang apa yang semula kuyakini sebagai takdir. Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk kisah sebelum tidur macam takdir benang merah. Coba kau katakan itu pada sosok usia enam tahunku, pasti aku akan menangis hebat lantaran mendengar bahwa takdir itu hanya hal konyol. Itu dulu, sekarang tidak.

(Author's POV)

"Nii-san! Pelan-pelan! Kaki Yuri sakit…" Anak kecil itu mengusap-usap kedua matanya yang sembab. Ia berjongkok, memeluk lututnya erat-erat.

"Ayo, sedikit lagi Yuu-chan! Yuu-chan sudah enam tahun loh, masa masih cengeng? Siapa yang kemarin merengek minta nonton kembang api bersama?" Seorang anak laki-laki bersurai keperakan meraih tangannya sambil cengengesan. "Nah, mau kugendong?"

"U…Un." ujar si kecil malu.

Anak yang lebih tua itu pun membungkuk dan membiarkan Yuri naik ke punggungnya.

"Y-Yuri berat ya, Victor-nii?"

Victor tertawa renyah, "Kata siapa Yuu-chan berat?"

"Nee-san bilang Yuri mirip babi ngepet…"

"Umph. Hahaha! Mari-nee ada-ada saja! Manis begini, kok dibilang mirip babi ngepet?" Victor tahu pipi Yuri sudah semerah kepiting rebus di balik punggungnya. Ingin sekali bocah Rusia itu mencubit pipi kenyal Yuri.

Victor juga tahu kebiasaan Yuri untuk terus diam ketika malu atau kesal. Lantas mereka melanjutkan perjalanan ke atas bukit dalam kesunyian. Victor mengecek jam tangan bergambar Ultraman di pergelangan tangannya. Tepat pukul lima sore. Masih ada satu jam lagi sebelum sang raja siang kembali ke peraduannya. Mereka masih bisa menikmati semilir angin di bukit sebelum acara kembang api dimulai.

Setelah dirasa cukup tinggi, Victor menurunkan Yuri perlahan dari punggungnya. Yuri yang semula terayun-ayun antara alam sadar dan tidak, mulai mengerjapkan matanya, takjub. Pemandangan Kyoto saat senja telah menyita napasnya. Yuri jarang mengunjungi Kyoto, hanya sesekali ketika libur musim panas. Kakek dan neneknya pemilik penginapan terbesar di kota budaya tersebut, sehingga tak heran banyak orang asing yang singgah di penginapan mereka. Termasuk keluarga Nikiforov yang menjadi langganan mereka tiap tahunnya.

"Yuu-chan," cetus Victor perlahan. "Indah ya? Kau tahu apa yang lebih indah dari hamparan sawah di sore hari?"

Yuri mengangguk, lalu menggeleng.

Victor menarik seutas benang merah dari sakunya. Lantas mengikatkan benda itu di jari kelingking Yuri. "Menurutku benang ini indah. Warnanya, aku suka. Tapi lebih dari itu, aku juga suka cerita di balik benang ini."

Bocah dengan rambut sehitam obsidian itu mengangkat jari kelingkingnya, memicingkan kedua matanya. Victor mengenggam ujung lain dari benang itu, lalu mengikatnya pada jari kelingkingnya sendiri. "Konon, dulu ada sepasang kekasih. Yang perempuan sakit-sakitan dan yang laki-laki dari keluarga miskin. Mereka tahu, cepat atau lambat mereka akan berpisah.

"Namun laki-laki ini tak mau merelakan kekasihnya begitu saja. Jadi, ia bekerja siang dan malam sampai lupa makan untuk membeli obat. Saat ia sudah berhasil membeli obat, terdengar kabar bahwa kekasihnya sudah sekarat. Obat yang ia beli juga tak dapat menolongnya.

"Putus asa, laki-laki itu mengambil benang putih dan mengikatnya pada jari kelingking mereka. Ikatannya terlalu kuat, sampai darah mengucur dan mewarnai benang itu menjadi merah. Kekasihnya meninggal, namun benang itu terus mengikat mereka. Mereka dipertemukan kembali di kehidupan berikutnya."

Yuri mendongak, menatap manik biru Victor. "Tapi, Yuri takut darah."

"Ahaha. Tenang saja, Yuu-chan. Itu cuma legenda kok," cengir si rambut perak. "Biar begitu, ini ide yang bagus, kan? Kalau kita terikat benang merah, pasti kita akan terus bersama!"

"Terus… bersama?"

"Iya! Kau dan aku!" Victor mengangguk antusias.

BOOM! PRETEK PRETEK!

"Eh, Yuu-chan! Kembang apinya!"

"Bagus sekali, Victor-nii! Yuri ingin bawa pulang!"

"Ayo kita tangkap kembang apinya bersama!"

(Yuri's POV)

Aku sudah tidak begitu ingat tentang waktu itu. Yang benar saja, masa aku harus menghafal setiap detail kejadian yang terjadi nyaris dua dekade lalu? Mengingat apa yang ada di mimpiku semalam saja aku tak mampu. Tunggu, seharusnya aku ingat. Akhir-akhir ini mimpiku pasti menyangkut Victor si tukang tebar pesona. Makan katsudon bersama Victor. Kejar-kejaran dengan anjing kampung bersama Victor. Jalan-jalan ke Rusia bersama Victor. Mandi bersama Victor…

Oke. Stop. Aku harus berhenti memikirkan tentangnya. Jantungku mulai menggedor-gedor dadaku tak keruan. Aku pria dewasa berusia 23 tahun, bukan remaja dengan hormon menggelegak!

"Yuuuuriiii! Sini sini!" serunya gembira. Sial, jantungku belum juga kembali normal, sementara ia sudah mejeng di di atas futon bertelanjang dada.

"Besok perayaan tiga bulan hari jadi kita. Kau ingin ke mana?" tanyanya sambil mengetuk-ngetukkan jari di dagunya.

Aku berpikir sejenak, lalu menjawab mantap, "Taman bermain!"

"Hahaha. Dasar kau ini! Baiklah, kita berangkat jam sepuluh pagi ya. Kau tak mau melewatkan acara salaman dengan Doraemon jam sebelas, kan?"

Mukaku memerah sepersekian detik mendengar ocehannya. "Ti-Tidak! Doraemon apanya? Aku tidak pernah bolos latihan di hari Minggu demi menonton Doraemon, kau tahu!"

Sial, aku malah membocorkan kebiasaan memalukanku di depannya. Ia tersenyum penuh arti, menaikkan sebelah alisnya dengan menyebalkan. Lihat saja, suatu hari aku akan mencabut alisnya saat ia tidur!

"Ah, omong-omong, Yurio menemukan album foto lamaku di kamar asrama kami. Tadi pagi kirimannya sampai. Tapi aku belum membukanya. Mau lihat sama-sama?" tawarnya, sambil masih menahan geli.

Penasaran, aku mengangguk. Kekasihku itu membuka halaman pertama, terpampang foto-fotonya saat masih bayi. Sejumput helaian perak menghiasi kepalanya yang nyaris botak. Ada foto saat dirinya merangkak, mandi, bahkan melompat keluar dari boks bayi. Aku terkekeh melihat fotonya ketika jatuh saat belajar naik sepeda. Wajahnya mencium aspal dengan begitu mesra sampai-sampai aku iri melihatnya. Ada juga foto yang memuat dirinya berdampingan dengan kedua orang tuanya. Aku belum pernah bertemu orang tua Victor, namun mereka terlihat begitu mirip dengannya. Ayahnya bermata biru, sama sepertinya, namun dengan rambut kecokelatan. Kontras, ibunya lah yang memiliki rambut perak indah.

Sampai di halaman terakhir, mulutku menganga lebar, sampai-sampai lalat bisa masuk dan menjarah sisa-sisa katsudon di dalam mulutku.

'Victor (10) dan Yuri (6) menikmati musim panas di Kyoto. Senangnya!'

"H-HEEE?! APA MAKSUDNYA INI?"