Only Serious About You
Jaehyun x Taeyong ft. David
NCT SM kids model SM Entertainment
Warning! MxM. Alternate Universe. Parenting!AU. Typo(s). OOC(s)
Remake dari Manga:
Only Serious About You by ASOU Kai
.
"Cucian. Cucian." Sosok itu beralih cepat ke balkon, di mana ia menjemur cuciannya pagi tadi. Ini adalah hal yang biasa dia lakukan setiap hari, meski begitu ia masih sering melupakannya. Jika bukan karena melihat note di ponselnya, tentu ia akan melupakan nasib cuciannya itu. "Baguslah. Semuanya kering," desahnya lega sambil mulai mengangkat semua jemurannya. Cuacanya memang sedang bagus akhir-akhir ini, pikirnya.
Membawa serta semua jemurannya, ia kembali ke tempatnya semula. Duduk di samping putra satu-satunya yang sedang makan siang. Dia mulai melipat semuanya dengan rapi, sesuai dengan jenis dan ukurannya, sebelum menyimpannya ke dalam lemari.
Lee Taeyong, nama pemuda tadi, melirik anak laki-lakinya yang baru berusia lima tahun itu sejenak. Sadar jika makanan yang ia siapkan di atas meja makan berkaki rendah mereka hanya berkurang sedikit sekali. Tidak seperti biasanya. "Ayo dikunyah dengan benar," ujarnya.
"Hm."
"Setelah makan, pergi gosok gigimu, oke?"
Sosok kecil itu mengangguk, "Oke."
"Piyama... handuk…"
Taeyong sibuk menyiapkan segala macam keperluan anaknya. Memasukkan benda-benda yang dibutuhkan ke dalam tas dan mengabsennya sekali lagi, memastikan tak ada yang tertinggal. Dan sekali lagi dia menyadari jika tangan anaknya sudah berhenti menyumpitkan makanan sejak semenit lalu. "Ada apa?" tanyanya. "Jika tidak cepat-cepat nanti terlambat."
"Iya…"
Anaknya menjadi sedikit pendiam hari ini. Mungkin dia bosan dengan menu makan siangnya, pikir Taeyong merasa cukup bersalah. Mereka memang bukan orang berlebih, hidup serba sederhana dan tinggal di sebuah apartemen yang tak bisa dibilang besar. Tapi mengeluarkan uang sedikit lebih banyak untuk menu makan siang anak sesekali tidak ada salahnya. Taeyong berjanji dalam hati akan membuat sesuatu yang lebih enak dari ini besok.
"Jika kenyang, David tidak harus memakan semuanya. Pergi siap-siap saja, bagaimana?"
"Maafkan aku, papa," sosok kecil itu menunduk. Menaruh sumpitnya di meja. "Terimakasih makanannya."
Taeyong tersenyum kecil dan bergerak mendekat, mengusak surai kecoklatan anaknya dengan sayang. Pandangannya melembut. "Maaf. Papa sibuk bekerja dan tidak punya banyak waktu untuk main denganmu. David pasti kesepian."
David mengangkat wajahnya, menggeleng pelan. "Tidak juga. David baik-baik saja." Senyum manisnya terlihat. Wajahnya berubah cerah. "David bisa bertemu mama akhir pekan ini dan papa juga selalu libur tiap hari Minggu. David hanya harus menunggu dua hari lagi."
"Anak baik." Taeyong memeluk anak lelakinya itu sebentar, gemas dengan tingkahnya. "Papa janji akan bermain denganmu sepanjang hari di hari Minggu nanti."
"Okay!" balasnya semangat.
Sosok kecil itu bangkit dari duduknya dan menuju kamar mandi untuk menggosok giginya. Taeyong tak bisa lebih bersyukur melihat anaknya tumbuh dengan baik. Setelah perceraiannya dengan istrinya setahun lalu, satu-satunya alasan yang bisa membuat Taeyong mampu membesarkan David seorang diri hingga saat ini adalah karena David menjadi anak baik yang bisa dia andalkan. David melakukan apa yang dia bisa sendiri di usianya yang masih sangat kecil.
Taeyong sudah mengecewakan anaknya sekali dengan tak bisa menjaga keutuhan keluarga mereka. Membiarkan anaknya yang masih sangat kecil melihat orangtuanya berpisah karena ego. Dan ia tak ingin mengulanginya lagi.
David adalah segalanya bagi Taeyong, dan Taeyong akan melakukan apapun untuk menjaga senyum dan kebahagiaan anaknya itu.
.
Setelah memastikan David duduk dengan aman di boncengan sepedanya, barulah Taeyong naik ke atas sepeda. Mereka sudah akan pergi tapi sosok bibi yang merupakan tetangga di samping apartemen mereka tiba-tiba lewat. Membuat mereka berhenti sejenak untuk menyapa.
"Astaga. Kau baru saja pulang dari TK, dan sekarang sudah akan pergi ke daycare?" tanya sang bibi. Wanita paruh baya itu terlihat menggelengkan kepalanya. Mengusap kepala David pelan, "David pasti kesepian tanpa mamanya. Kau tidak ingin menikah lagi, Taeyong-ah?"
"Itu―"
Taeyong tak bisa menemukan jawaban untuk pertanyaan itu.
"David masih sangat kecil, tapi harus memaksakan dirinya," nada yang dikeluarkan bibi itu terdengar prihatin. "Jika butuh apa-apa, kau bisa datang pada bibi, ne, David?"
David mengangguk kecil.
Taeyong memberikan senyum terpaksa sebelum pamit pergi dengan mengayuh sepedanya. Sesuatu yang terasa tak mengenakkan selalu ia rasakan setiap kali selesai berbincang dengan bibi yang merupakan tetangga mereka itu. Satu hal baru yang ia ketahui setelah menjadi seorang single parent adalah, senyuman yang dia berikan untuk para tetangga menjadi jauh lebih sulit dibandingkan senyuman yang ia pakai di tempat kerjanya.
"David benci bibi itu." Taeyong merasakan cengkraman David di bajunya dari belakang mengerat, "Bibi itu selalu berkata seperti itu setiap kali bertemu, menyebalkan sekali."
Taeyong menghentikan laju sepedanya, tak menyangka akan mendengar hal seperti itu dari anaknya yang baru berusia lima tahun.
"Bibi itu hanya mengkhawatirkan David," ujarnya memberi pengertian.
"Tapi―"
"Dan apa yang papa bilang tentang membenci orang lain?"
David menunduk, menyesal. "Membenci orang lain itu tidak baik."
Taeyong mengangkat tubuh kecil anaknya dari boncengan sepeda. Mereka sudah ada di depan daycare. Dan saatnya ia kembali ke tempat kerjanya karena ia mulai kehabisan waktu. Ia membantu memakaikan tas David, sebelum mengusak rambutnya sayang. "Nah, kalau begitu yang tadi itu kita lupakan saja, hm?"
"Baiklah."
Taeyong berjongkok, menyamakan tingginya dengan David. Merapikan rambutnya. "Papa akan menjemput jagoan kecil papa nanti. Jangan nakal, oke?"
David memberinya ciuman di kedua pipi papanya. Lalu tertawa. "Okay!"
.
Taeyong memarkirkan sepedanya di depan restoran yang tak terlalu besar. Ia memang bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran keluarga yang berjarak cukup jauh dari tempat tinggalnya. Meski begitu, terkadang ia juga akan mengambil bagian untuk membantu urusan di bagian dapur dengan menjadi koki. Kemampuannya dalam memasak semakin baik sejak ia hanya tinggal berdua dengan David.
"Aku kembali," ujarnya saat masuk.
"Taeyong-hyuuuuung." seruan yang memanggil namanya terdengar. Lee Minhyung, atau Mark, adalah mahasiswa tingkat tiga yang mulai bekerja sebagai pekerja part time yang baru di restoran sejak tiga hari lalu, sekaligus sepupu dari bosnya, Seo Johnny. Taeyong cukup kaget saat melihat wajah dongsaengnya itu pucat sekali. "Aku baru saja mau menghubungimu, hyung," lanjutnya lagi.
"Apa yang salah? Kenapa restorannya ditutup?"
"Johnny-hyung!" serunya panik, ia terlihat kebingungan untuk memulai ceritanya dari mana. Matanya bergerak-gerak gelisah dan Taeyong harus menenangkannya dulu sebelum akhirnya bicara, "Johnny-hyung jatuh di kamar mandi tadi dan pinggangnya terluka. Jadi ia harus berbaring di tempat tidur. Aku tidak tahu harus bagaimana jika ada pelanggan jadi aku tutup saja."
"Woah. Lagi?" Taeyong tak kaget dengan cerita itu. Berbeda dengan Mark, ini sudah kesekian kalinya Taeyong mendapati bosnya itu berlaku ceroboh dan berakhir melukai dirinya sendiri. Benar-benar merepotkan. "Baguslah aku datang lebih cepat."
Taeyong berjalan ke lantai atas dan mengganti pakaiannya dengan pakaian pegawai sebelum kembali pada Mark. Hanya akan ada dirinya dan Mark sepanjang hari ini, tapi itu bukan masalah besar. Ia bisa menggantikan Johnny menjadi koki. Mark? Jangan ditanya, pemuda itu payah berurusan dengan dapur. "Jangan khawatir, lagipula sepertinya hari ini tak terlalu ramai. Lakukan saja seperti biasanya. Jika aku butuh bantuan aku akan memanggilmu, oke?"
"Okay, hyung!"
Taeyong tersenyum. Memilih untuk mempersiapkan beberapa hal sebelum beranjak ke depan dan membalik plang di depan restoran menjadi 'open' lagi. Segala hal tentang David dan pekerjaannya ini membuat waktu berlalu dengan sangat cepat. Taeyong tak punya cukup banyak waktu luang untuk memikirkan hal ini, termasuk mengenai pernikahan. Ah, jangankan berfikir tentang menikah lagi, ia bahkan tak punya waktu untuk sekedar jatuh cinta.
"Astaga!" Taeyong mundur karena kaget saat mengangkat wajahnya, melihat sosok lain berdiri tepat di depannya, di balik pintu masuk yang transparan. Sosok yang sudah tak asing itu membuat Taeyong menghela nafasnya berat. Meski begitu Taeyong tetap membukakan pintu dan menyapa pelanggannya dengan sopan. "S-selamat datang."
"Taeyong-hyung, tidakkah kau jadi sedikit dingin padaku akhir-akhir ini?" komentarnya sambil masuk. Mendudukan diri di meja yang paling dekat dengan meja kasir. Tempat favoritnya.
Restoran itu memang tak terlalu besar, hanya terdapat beberapa meja dan kursi. Meski begitu suasananya sangat nyaman dengan desain dan interior kayu.
"Mana mungkin." Taeyong menjawab sambil menyodorkan buku menu, dan menaruh segelas air putih di meja. "Itu hanya perasaanmu saja, Jung Jaehyun-sshi."
Jaehyun memandangnya ragu-ragu sebelum beralih ke buku menu. "Aku kaget saat melihat restoran ini tutup. Kukira takkan buka lagi hari ini."
"Ah, itu. Ada sesuatu terjadi barusan. Tapi bukan masalah."
Taeyong memandangi lekat figur pria di depannya. Sosok tampan bermarga Jung itu berusia dua tahun lebih muda darinya. Tipikal pegawai kantoran muda yang memiliki wajah tampan dan badan yang terbentuk bagus. Ia sudah menjadi pelanggan tetap restoran ini sejak lama dan Taeyong cukup mengenalnya. Pemuda itu bahkan sudah memanggilnya dengan panggilan hyung dan memaksanya memanggil Jaehyun tanpa embel-embel sshi meski ia menolak. Tapi kalau boleh jujur, Taeyong punya sedikit masalah jika harus berurusan dengannya. Dia memang orang yang ramah dan baik tapi―
"Haruskah aku membawakan yang seperti biasa?" tawarnya.
Jaehyun tersenyum mengangguk.
Jung Jaehyun benar-benar kebalikan dari Lee Taeyong. Ia punya banyak kisah cinta.
"Taeyong-hyung, jika kau memang sendiri sekarang. Kenapa kau tidak mau kencan denganku?" Jaehyun berkata santai dengan tangan menopang dagu. Senyumnya berdimplenya tidak juga hilang meski kalimat berikutnya termasuk dalam cerita tragedi, "Aku baru saja dicampakkan Doyoung-hyung beberapa hari lalu."
Jung Jaehyun memang orang yang ramah dan baik tapi akhir-akhir ini dia selalu merayu Taeyong seperti itu. Dan itulah yang membuat Taeyong memiliki masalah jika berurusan dengannya.
"Siapa tahu kau bisa jadi cintaku yang berikutnya."
Taeyong menghela nafas. Membuat ekspresi lelah. Wajahnya tak berekspresi sekarang, mungkin karena hal inilah Jaehyun mengatainya dingin. Lagipula, ia tak lagi menganggap ajakan kencan dari Jaehyun itu serius―seperti saat ia pertama kali mendengarnya, karena demi rambut belah tengah bosnya, ia tahu persis Jaehyun hanya senang menggodanya.
"Aku straight."
Taeyong sudah bosan menekankan hal ini. Tak mau memikirkannya, Taeyong masuk ke dapur, membuat pesanannya dan kembali tak lama kemudian.
"Kenapa tidak dicoba sekali saja? Denganku?"
"Terimakasih tawarannya, tapi tidak." Taeyong memindahkan makanan dari nampan yang ia bawa ke meja, menaruhnya tepat di hadapan Jaehyun. "Selamat dinikmati."
"Ah, sayang sekali," gumam Jaehyun. Sama sekali tak ada kesan kecewa di wajahnya. Ia justru tersenyum dan dengan santainya mengambil sumpit lalu mulai makan. "Selamat makan."
Taeyong berpindah cepat ke balik meja kasir, sementara Mark menyambut pengunjung yang baru datang. Ini mungkin karena Taeyong mengenal Jaehyun sejak ia mulai bekerja di sini. Ia juga terbuka dan sama sekali tak keberatan dengan orientasi sexualnya yang jelas-jelas pemuda itu akui, menyimpang. Pemuda Jung itu selalu membawa kekasih lelakinya, kekasih lelakinya yang lain, dan kekasih lelakinya yang lain lagi ke sini. Ya, begitulah.
Dia akan datang dengan pemuda berbeda tiap kali. Mengenalkan mereka sebagai kekasihnya. Taeyong bahkan kehilangan hitungan, berapa banyak tepatnya mantan kekasih Jaehyun itu.
Taeyong, dalam hati, selalu beranggapan jika Jaehyun adalah sosok yang riang dalam urusan percintaan. Maksudnya, ia menganggap semua itu hanya sekedar hiburan. Dia selalu berkata dengan percaya diri bahwa ia hanya akan berkencan dengan satu pemuda dalam satu waktu, tapi ia sendiri yang melanggarnya. Ia benar-benar ahli mencampakkan seseorang dan membuat mantan kekasihnya menangis. Tapi tak pernah berlaku sebaliknya, jika ia diperlakukan sama.
"Aku dicampakkan lagi. Hahahaha."
Ia akan selalu tertawa dan tersenyum seperti itu saat balik diputuskan kekasihnya, karena ketahuan berselingkuh atau karena alasan lain. Sungguh tak adil.
Taeyong sama sekali tak tahu kenapa orang-orang menginginkan pemuda seperti itu untuk menjadi kekasih mereka. Dia memang tampan, dan cukup mapan, tapi apa iya cukup hanya dengan itu? Setia adalah salah satu poin penting dalam suatu hubungan, kan?
"Taeyong-hyung, kau melamun? Kau memikirkan aku, ya?" ujarnya percaya diri.
Taeyong tak memberikan jawaban apapun, selain gelengan kepala.
"Bisa bawakan aku soju, hyung?"
Taeyong menyerhit, "Kau mau mabuk siang-siang begini, Jaehyun-sshi?"
Jaehyun mengangguk sambil tersenyum. Mengerling jahil. "Tenang saja, hyung. Tak usah mengkhawatirkan aku begitu. Aku memang sedang ingin mabuk dan aku sudah ijin untuk datang setengah hari saja ke kantor hari ini."
Baiklah, itu tak seperti biasanya. Jadi sepertinya, seseorang yang bernama Doyoung yang baru saja memutuskannya itu berpengaruh cukup besar bagi Jaehyun. Tapi setelah diingat-ingat, mereka memang pernah putus sekali dan kembali bersama―meski awalnya Doyoung bersikeras menolak. Mungkin Jaehyun sudah mulai serius dengan yang satu itu, tapi semuanya tak berjalan baik. Tak pernah ia sangka Jaehyun bisa menjadi se mellow ini karena urusan percintaan.
Dan Lee Taeyong, apa kau tak punya urusan lain selain mengurusi kehidupan percintaan orang lain?
Taeyong menaruh dua botol soju di meja Jaehyun. "Ini."
"Selamat datang," suara Mark yang menyapa pelanggan terdengar.
"Ah, ternyata benar," sosok lain datang dan mendekat ke meja Jaehyun. Langsung mendudukkan dirinya di sampingnya dengan senyum cerahnya. "Aku tau kau pasti ada di sini, Hyunnie."
Ah, itu mantan kekasih Jaehyun yang lain.
"Ten-hyung."
Jika Taeyong mengingatnya dengan benar, Ten adalah mantan kekasihnya dulu. Mereka berpisah dan Ten mempunyai kekasih baru, namun kekasihnya itu brengsek. Jaehyun menghibur Ten itu saat ia patah hati. Membawanya pulang dan memeluknya sepanjang jalan, lalu bom! Doyoung tak sengaja memergoki mereka. Jadi ya, begitu…
"Aku masih penasaran apa yang terjadi setelah itu, Hyunnie." Ten mendekat ke arah Jaehyun, memegang bahunya. "Aku mengirim pesan, tapi kau tidak memberikan jawaban yang jelas."
"Ya… beberapa hal terjadi."
Ten terkekeh. Merangkul tangan Jaehyun dan menaruh kepalanya di bahu Jaehyun."Haruskah aku yang menghiburmu kali ini, Hyunnie?"
Dan Taeyong tak bisa membayangkan situasi yang lebih canggung dari itu saat melihat pintu kembali terbuka dan Doyoung berdiri tepat di depan pintu, menatap Jaehyun dan Ten dalam posisi seperti itu.
"Doyoung-hyung…"
"Aku akan datang lagi lain kali."
Sosok yang baru datang itu seketika berbalik pergi. Taeyong hanya meringis diam-diam sambil mengasihani Mark yang kebingungan melihat pelanggan mereka yang baru datang sudah pergi lagi.
"Eh? Bukannya dia kekasihmu yang sebelumnya, Hyunnie?"
Taeyong menghela nafas. Kenapa pula pemuda bernama Ten itu baru sadar?
"Ya." Jaehyun menjawab pelan. Wajahnya menjadi jauh lebih suram dari yang sebelumnya, Taeyong lihat.
"Kau tidak mau mengejarnya, Hyunnie?" Ten bertanya, bersandar lebih dekat ke arah Jaehyun.
"Kau ingin aku mengejarnya, hyung?"
Ten mengangkat bahu. Tersenyum lebar lagi. "Hm? Jika kau mau kau pasti sudah pergi sekarang kan?" Ia justru mengeratkan gandengannya. "Tidak usah mengejarnya. Biar aku yang menghiburmu."
Taeyong memandang semua itu dari balik meja kasir.
Jaehyun tak menghiraukan Ten, justru memandang Taeyong dengan ekspresi mengiba. "Taeyong-hyung hibur aku…"
"HEI!"
Taeyong hanya mengangkat bahunya. Dalam hati bertanya kapan drama seperti ini akan berhenti menemaninya di tempat kerja. Rasanya mulai menjengkelkan. "Aku hanya bisa menyediakan makanan dan minuman. Tak lebih dari itu."
"Kalau begitu bawakan aku lebih banyak soju, hyung."
"Ah, kalau begitu aku akan menemani Hyunnie minum." Ten mulai memilih makanan yang ada di menu, Taeyong mencatat pesanannya dan pamit ke dapur untuk membuatkannya segera. "Semua makanan di sini enak. Hyunnie memang punya kebiasaan membawa orang yang kau sukai makan di tempat yang punya makanan enak."
"Begitulah…"
"Tapi bukankah dengan membawa semua kekasihmu kemari, justru semakin besar kemungkinan kau bertemu dengan kekasih dan mantan kekasihmu yang lain? Seperti tadi?"
"Aku tidak peduli, hyung. Aku sudah cukup senang dengan makan makanan enak."
Makanan enak. Entah kenapa Taeyong merasa senang mendengarnya, meski ini bukan restorannya. Pujian sederhana tak langsung seperti itu bisa membawa senyum di wajahnya.
"Kau mulai lagi. Sebenarnya kau hanya kesepian, kan? Dengan begitu kau punya kesempatan lebih besar untuk bertemu lagi dengan mereka," Ten tertawa dan dengan jahil menusuk-nusuk pipi Jaehyun. "Hyunnie-ku benar-benar kesepian."
Taeyong yang baru saja menaruh pesanan Ten di meja bisa melihat lebih jelas jika Jaehyun memasang ekspresi yang seperti bukan dirinya. Tidak seperti biasanya, lagi. Mungkin yang diucapkan Ten benar, karena Jaehyun seperti habis terkena tamparan tak kasat mata tepat di wajah.
Sekali kau dan pasanganmu menghadapi sebuah konflik serius, tentu akan sangat sulit kembali tertawa bersama seperti sedia kala. Taeyong tahu sekali rasanya, karena itulah yang ia rasakan saat bersama dengan mantan istrinya―Irene. Setidaknya untuknya seperti itu. Dan tentu itu takkan jauh berbeda untuk kasus hubungan antar lelaki, ia pikir. Tapi Jaehyun, pemuda itu sebaliknya. Jaehyun bisa mudah akrab kembali dengan mantan kekasihnya. Jadi, ekspresi seperti itu benar-benar baru Taeyong lihat dari Jaehyun.
.
Ten berdiri dari tempatnya, berjalan ke arah kasir untuk membayar makanannya. "Aku pulang," pamitnya kemudian.
"Tunggu dulu, Ten-sshi." Taeyong menengok ke balik bahu Ten dan melihat Jaehyun terkapar di meja, mabuk hingga tak sadarkan diri. "Tidak bisakah kau membawa Jaehyun-sshi pulang? Ia tak bisa tinggal di sini."
Ten mengibaskan tangannya tak berdosa, "Hyunnie terlalu berat untuk dijadikan souvenir. Sayang sekali, aku harus angkat tangan untuk yang satu itu." Ten melambai sekali lagi, masih dengan senyum lebarnya. "Terimakasih makanannya."
Mark membukakan pintu, "Terimakasih telah berkunjung."
Taeyong menghela nafas lagi, berjalan mendekati meja Jaehyun yang ditinggalkan begitu saja oleh mantan kekasihnya. Berbaik hati membangunkannya dengan mengguncangkan bahunya pelan, "Jaehyun-sshi, Ten-sshi sudah pulang."
Tubuh besar itu hanya menggeliat sebentar. "Hm…"
Taeyong baru kali ini melihat Jaehyun sampai seperti ini, rasanya tidak tega juga. "Apa kau mau istrirahat di lantai atas?"
"Mm…"
Gumaman tak jelas itu Taeyong anggap sebagai tanda persetujuan. Jadi detik berikutnya ia harus rela merepotkan diri dengan membopong, membawa tubuh yang lebih besar darinya itu hingga ke lantai atas.
Hari ini, entah kenapa melelahkan sekali.
"Haaaaah."
.
"Persiapan untuk besok sudah selesai." Taeyong mengalihkan nampan di tangannya ke meja, mulai membuka apron pinggangnya dan berjalan mendekati tangga, berujar pada Mark sebelum naik. "Tinggal bereskan meja dan kita bisa pulang. Tolong ya, Mark. Aku akan bangunkan Jaehyun-shhi di atas."
"Okay, hyung!"
Sebenarnya Taeyong masih penasaran dengan Jaehyun hari ini. Karena pemuda itu selalu tersenyum seperti tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Mungkin kejadian hari ini benar-benar memukulnya telak hingga begini. Tapi jika dipikir lagi, semua ini memang salahnya sejak awal, yang suka sekali main-main dalam urusan perasaan.
Taeyong membuka pintunya perlahan. "Jaehyun-shhi, restorannya akan segera tutup."
Jaehyun terduduk sambil memegangi kepalanya yang sepertinya masih pusing. Meski begitu ia membalas dengan suara serak, "Ya, aku bangun."
"Kau ingin minum?'
"Mm…"
Taeyong menyodorkannya segelas air putih dan Jaehyun menerimanya, mulai meminumnya perlahan. "Ah. Maafkan aku merepotkanmu, hyung."
Taeyong menghela nafas. "Tidak apa-apa. Tidak biasanya kau juga seperti ini."
Jaehyun menggumamkan sesuatu yang tak jelas lagi. Lalu setelah merasa kesadarannya mulai kembali, ia melihat sekitarnya. "Kau tinggal di sini, Taeyong-hyung?" tanyanya penasaran.
Taeyong menggeleng, "Ini tempat bermalas-malasan bos Seo. Dan pintu di samping itu locker room untuk pegawai di sini."
"Hm… begitu."
Taeyong sudah akan bangkit dan pergi dari sana, tapi Jaehyun menahannya dengan sengaja menidurkan kepalanya di pangkuannya tanpa izin. Dan bukan hanya itu tangannya juga meraba pahanya.
"Hei! Jangan jadikan aku bantal." Taeyong terkaget, berteriak panik sambil berusaha menyingkirkan kepala Jaehyun, tapi pemuda Jung itu justru mengeratkan pegangannya pada pahanya, "Dan berhenti memegang pahaku seperti itu!" protesnya.
Seakan tak terganggu, Jaehyun malah menutup matanya. "Hm…"
Taeyong menghela nafasnya lagi, berat kali ini. Ia mendorong kepala Jaehyun menjauh, namun tak berhasil. Tenaga Jaehyun kuat sekali. "Jika kau ingin seseorang untuk menghiburmu kau bisa meminta pemuda tadi, Jaehyun-sshi."
"Ten-hyung?"
"Ya! Ten-sshi bisa melakukan ini untukmu," timpalnya cepat, ia merasa tak nyaman dengan posisi seperti ini, apalagi dengan seseorang yang berjenis sama dengannya. Rasanya canggung sekali. Atau mantan mantan kekasihmu yang lain. Jangan libatkan aku, tambah Taeyong dalam hati.
Jaehyun membuka matanya perlahan. Dan pegangannya melonggar, meski kepalanya masih ada di tempat yang sama. "Aku tidak mau membuatnya khawatir saat ia punya hubungan yang baik dengan kekasih barunya."
"Huh?"
"Aku bisa tahu hanya dengan melihat wajahnya."
Suara Jaehyun yang jauh lebih tenang dari biasanya membuat Taeyong berhenti memberontak. Dan itu juga yang membuat Jaehyun akhirnya mengangkat kepalanya dari pangkuan Taeyong.
Pemuda Jung itu tersenyum lembut, "Ten-hyung hanya khawatir padaku dan datang untuk melihat keadaanku. Benar-benar perhatian..."
Seperti yang Taeyong pikirkan sebelumnya, ia memang takkan pernah bisa mengerti sosok ini.
Bahkan setelah mereka berpisah, mereka masih bisa saling menghargai satu sama lain hingga seperti itu. Mereka bisa mengerti satu sama lain dengan sangat baik, tapi keadaan membuat mereka tak bisa kembali pada jenis hubungan seperti sebelumnya. Memilih berpisah jalan untuk menemukan pasangan yang baru. Menjalani hubungan baik seakan melupakan kesalahan masa lalu semudah membalikkan telapak tangan. Taeyong tak tahu bagaimana bisa Jaehyun, dan orang-orang lain di dunia ini, menerima hubungan seperti itu.
"Woah, ini sudah larut sekali. Maaf, hyung. Aku merepotkanmu bahkan setelah restoran tutup," Jaehyun melirik jam di tangannya, kemudian meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Sepertinya efek mabuknya sudah berangsur-angsur hilang, "Aku juga belum membayar billnya."
"Tenang saja. Ten-sshi sudah membayar semuanya sebelum pergi."
"Ah, begitu…"
Sekali lagi, sebuah senyum yang jauh lebih tulus dan lembut dengan dihiasi dimple menghiasi wajah rupawan Jaehyun, membuat Taeyong diam menatapnya. "Ten-hyung benar-benar pemuda yang baik," gumamnya. Perlakuannya dulu membuat Jaehyun merasa cukup merasa bersalah, karena ia begitu brengsek. Ia bukan kekasih yang baik saat mereka bersama dulu. "Harusnya aku bisa membahagiakan mereka saat bersamaku dulu. Ten-hyung, dan Doyoung-hyung juga."
Hening.
Taeyong membuat wajah tanpa ekspresi.
"Begitu juga dengan Eunwoo-sshi, Dokyeom-sshi, Jongkook-sshi, dan Yugyeom-shi, kan?" tanyanya dengan nada datar.
"Eh? Eh? Eh?" Jaehyun gelagapan saat sebagian dari nama mantan kekasihnya disebut.
"Apa aku salah?"
Jaehyun menunduk membuat aura suram di sekitar tubuhnya, "…Tidak sih."
"Hm."
Jaehyun merajuk, "Taeyong-hyung, kau dingin sekali padaku!"
Taeyong mengangkat bahunya cuek. Ia hanya membeberkan fakta. Tidak ada yang salah.
Jaehyun dengan cepat bangun dari keterpurukannya. Senyumnya yang biasa―yang sering kali ia pasang saat merayu Taeyong tahu-tahu sudah kembali. "Hm. Harusnya aku menyadari ini lebih cepat. Satu-satunya solusi untuk menghilangkan patah hati adalah dengan mencari kekasih baru. Aku janji akan melakukan sebisaku untuk hubunganku yang berikutnya." Tangannya bergerak nakal menggenggam tangan Taeyong, dan pemiliknya tak punya cukup waktu untuk bereaksi―apalagi menolak. Jaehyun membawa wajahnya mendekat, "Jadi Taeyong-hyung, kau mau kan berkencan denganku?"
Taeyong menghela nafasnya lagi. Jauh, jauh, jauh, jauh lebih berat dari sebelumnya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi. Jengah setengah mati. "Inilah kenapa kau selalu gagal dalam hubungan seperti ini, Jaehyun-sshi. Kau selalu menganggap semuanya mudah."
Jung Jaehyun, pemuda itu mempunyai banyak kisah cinta. Sesuatu yang tak bisa Taeyong rasakan lagi sejak perceraiannya.
"Taeyong-hyung!"
Suara langkah kaki menaiki tangga terdengar tergesa. Keduanya mengalihkan pandangan ke arah pintu dan mendapati Mark dengan ekspresi cemas.
"Ada telpon dari daycare center. David demam dan suhunya benar-benar tinggi. Mereka bilang tak bisa membiarkan anak kecil yang sakit di sana. Jadi kau diminta utuk menjemputnya secepatnya."
Taeyong mengerjap mendengar semua penjelasan itu. David? Putra kecilnya demam?
Jadi karena itu ia tak menghabiskan makan siangnya dan menjadi lebih pendiam hari ini, batin Taeyong. Harusnya ia menyadarinya lebih cepat. Harusnya ia sadar dengan suhu tubuh anaknya yang lebih hangat dari biasanya. Harusnya ia sadar dengan mendengar suaranya yang agak serak. Harusnya ia sadar, tapi Taeyong tak menyadari apapun. Ayah macam apa dirinya?
Taeyong berdiri cepat, nafasnya memendek. Rasa khawatir membuatnya panik. "T-tapi, tapi bagaimana dengan―"
"Biar aku saja yang mengurus sisanya di sini. Hyung, kau harus segera pergi," potong Mark.
"O-okay!" Taeyong mengangguk kaku. Terlihat hilang arah selama beberapa saat, sebelum berlari secepat kilat mengganti pakaiannya di locker room. Tanpa menghiraukan hal lain lagi, berlalu dari sana.
"Terimakasih banyak, Mark!" teriaknya.
Mark mengangguk dari kejauhan.
Lihat kan?
Tangannya bergetar hebat saat ia meraih sepedanya untuk segera menuju daycare center menemui anak laki-lakinya.
"David…"
Taeyong tak punya waktu untuk sekedar memikirkan tentang cinta.
.
To be Continued
.
A/N:
Err, bawa lagi sesuatu yang baru meski yang lama belum pada tamat. Jangan bunuh saya TT
Udah sejak lama pengen buat parenting!AU. Dan kebetulan ga sengaja nemu manga ini, tertarik buat JaeYong version, dan taraaaa jadilah. /apasih/
Semoga punya waktu luang dan bisa cepet update lagi. Aamiin.
Oh, iya. Seperti biasa terimakasih buat temen-teman yang selalu nyempetin fav, follow, review di cerita yang lain. Kalian terbaaaaaaik (((big love)))
Ditunggu komentarnya ya. Saran, kritik, masukan dan lain-lainnya~
REVIEW JUSEYONG?
