Benci & Cinta

Scorpius Hyperion Malfoy

Lily Luna Potter

Disclamer : J.K Rowling

***Chapter 1 ***

Tidak ada satu pun yang kurang dari seorang Scorpius Hyperion Malfoy, ia memiliki wajah yang sangat tampan dan rupawan berkat darah Veela yang mengaliri tubuhnya –yang merupakan turunan dari Ibunya, mempunyai otak cerdas, bergelimang harta, penuh pesona, pewaris tunggal Malfoy Corporation dan bisa mendapatkan apapun yang diinginkannya dengan mudah. Ia juga saat ini berpacaran dengan Thalia Zabini, teman seasramanya yang memiliki predikat perempuan tercantik di Hogwarts.

Tetapi ditengah kesempurnaannya itu, namanya juga hidup pasti ada saja yang membuatnya merasa kesal. Salah satu nya adalah Lily Luna Potter, Ketua Murid Wanita yang menurut kebanyakan orang adalah idaman semua pria Hogwarts.

Aku tidak tuh. Scorpius refleks setiap kali memikirkan itu.

Lagipula menurut Scorpius, jika bukan karena kedua orang tua nya –yakni Harry & Hermione Potter, Scorpius ragu cewek itu akan mendapat perhatian lebih seperti sekarang. Tapi susah juga, soalnya menurut dia cewek itu suka mencari perhatian.

Persis seperti sekarang ini.

"Bisakah Anda menunjukan Patronus Anda kepada kami?" Scorpius mendengus pelan saat mendengarnya, hanya ia dan David Parkinson yang bisa mendengarnya.

"Tentu Ms Potter." Profesor Bane menyetujui, kemudian menggoyangkan tongkatnya dan keluarlah bayang-bayang besar keperakan dari ujung tongkat itu berbentuk kuda, melayang-layang dihadapan para siswa kesana kemari.

Scorp melirik ke arah Lily yang wajahnya kelihatan takjub sekali, sebenarnya bukan hanya dia saja –hampir semua siswa sama terpukaunya. Cih, kampungan sekali.

Patronus tersebut meletus dan perhatian siswa kembali pada Profesor Bane. "Patronus adalah kekuatan positif, proyeksi hal-hal yang menjadi makanan Dementor, harapan, kebahagiaan, keinginan bertahan hidup, tetapi dia tidak bisa merasakan keputusasaan seperti yang dirasakan manusia , maka Dementor tidak bisa menyakitinya. Banyak penyihir berkualitas yang mengalami kesulitan dalam mantra ini."

Aku sudah tahu. Scorpius membolak-balik buku Pertahanan Tingkat Tujuh-nya dengan malas, dia tak berselera mengikuti pelajaran ini akibat melihat wajah sok Potter.

"Patronus memiliki bentuk yang unik tergantung bagaimana penyihir memunculkannya dengan mantra yang hanya berhasil jika memiliki konsentrasi penuh pada suatu kejadian yang sangat menyenangkan atau memori bahagia dalam hidup penyihir tersebut," lanjut Profesor Bane.

"Nah coba angkat tongkat kalian dan ucapkan Expecto Patronum."

"Expecto Patronum." Nol besar termasuk Scorpius sendiri, ia mendecak kesal.

"Jangan patah semangat, memang seperti itu, coba pikirkan kejadian yang paling membahagiakan bagi kalian."

Scorpius fokus memikirkan kenangan yang paling membahagiakan baginya. Benar, itu dia –saat ia berhasil mempermalukan Lily dengan mengalahkan dia sewaktu Duel asrama. Demi semua yang dimiliki Scorpius, wajah shock nya membuat Scorpius ingin guling-guling saat itu juga. Ya, itu pasti kenangan terbaiknya.

"Coba sekali lagi."

"Expecto Patronum." sesuatu mendesau dari ujung tongkatnya, terlihat seperti gumpalan asap keperakan.

"Belum sempurna," desah Scorpius, tapi David heboh saat melihatnya. Ya ampun, kok bisa sih aku punya teman seperti itu.

"Bagus sekali Mr Malfoy dan Ms Potter, tapi kenangan kalian belum terlalu kuat." Wajah Scorpius makin menekuk saat mengetahui bahwa Lily juga hampir berhasil seperti dirinya. "Tapi untuk orang yang baru pertama mencobanya, itu hebat. Mungkin kalian bisa lebih konsentrasi dan memikirkan kenangan bahagia yang lain."

"Ayo pikirkan sesuatu," gumam Scorpius, ia menyuruh otaknya bekerja keras untuk mencari memori bahagia. Saat tim Quidditch Slytherin memenangkan piala, itu terlalu biasa. Saat pertama kali berciuman dengan Thalia, ya ampun itu biasa sekali. Saat Ayahnya pertama kali membelikan ia sapu terbang, apalagi ini.

Tiba-tiba sebuah kenangan melayang dalam kepalanya, kenangan yang sangat complicated yang ia tak tahu apakah itu sesuatu yang bahagia atau buruk. Pada tahun kelimanya, ia mendapat detensi bersama Lily di Hutan Terlarang. Dan terjebak disebuah lubang didalamnya selama dua hari disana, tongkat mereka jatuh diatas, Lily terluka karena mencoba memanjat –lebih detailnya disitu Scorpius melihat Lily yang tak seperti biasanya, lemah, tak berdaya dan kesakitan. Jahatnya dia saat bahagia dikala orang lain menderita.

Peduli dengan itu.

"Pada hitungan ketiga," kata Profesor Bane melirik Lily dan Scorpius bergantian.

Dan berhasil, sebuah bayang-bayang keperakan Pegasus keluar dari tongkat Scorpius. Dia tersenyum puas, apalagi saat mengetahui jika Lily hanya menghasilkan gumpalan asap saja. Cewek itu menatap Scorpius dengan pandangan sebal.

"Bagaimana kau melakukan itu?" Nott bertanya takjub, David belum pulih dari masa transnya.

"Mudah saja." Scorpius membusungkan dada bangga, ia melirik sekilas pada Lily yang duduk di depan. Rupanya Rose Weasley tengah memberinya semangat.

Ini memperjelas sesuatu. Bahwa Scorpius memang bahagia melihat Lily menderita.

"Bagus sekali Mr Malfoy, semuanya diharapkan untuk berlatih mantra Pantronus karena itu akan dimuculkan dalam NEWT kalian. Kelas minggu ini berakhir, buat essay tentang Patronus sebanyak dua jengkal. Terimakasih."

Scorpius memasukan semua bukunya ke dalam ransel, menghiraukan David yang bertanya trik melakukan mantra Patronus yang baik dan memilih untuk menghampiri pacarnya –Thalia yang duduk dipojok belakang.

"Kau mau kemana setelah ini?" ia bertanya.

"Ruang rekreasi, aku ingin istirahat," jawab Thalia tanpa memandang Scorpius.

"Kau baik-baik saja?" Scorpius kembali bertanya, ada kekhawatiran diwajahnya. Thalia memandangnya dan mengangguk. "Bagaimana jika kau makan siang terlebih dahulu?"

"Aku belum lapar." Thalia berdiri, "Nah aku pergi duluan."

Scorpius mendesah, selalu seperti itu. Thalia memang bukan tipe pacar yang bisa di ajak romantis, awalnya itu yang membuat Scorpius tertarik padanya –selain fakta bahwa wajahnya cantik luar biasa, tapi ini justru lebih baik daripada pacar-pacarnya terdahulu yang hobi menempel padanya.

Scorpius mulai akan melangkah, sebelum sebuah ide terbetik dikepalanya. Ia tak melangkah ke arah pintu kelas melainkan ke arah Lily yang masih membereskan alat tulisnya.

"Potter," hanya satu kata dan Lily sudah memberikan tatapan kesal padanya.

"Ada apa Malfoy?" tanyanya dengan nada keras.

"Tidakkah kau ingin tanya bagaimana aku bisa menghasilkan Patronus yang sempurna?" seringai tampak pada wajah tampan Scorpius.

"Pentingkah itu bagiku?" balas Lily sedikit menggeram.

Scorpius duduk diatas meja dan kembali menghadapnya. "Tentu saja, kalau tidak peringkatmu akan tergeser olehku."

"Kau kira hanya dengan menghasilkan Patronus lebih baik dariku kau bisa menggeser peringkatku?" Aishh nada bicaranya itu, berlebihan sekali. Scorpius mengangkat bahu, seringaian masih tampil sempurna menghiasi wajahnya.

"Mungkin saja."

"Segera bangun dari mimpimu Malfoy," sentak Lily keras, menyampirkan tas selempang dibahunya. "Dan aku sedang malas berdebat denganmu, membuang-buang waktu." Dan dia langsung pergi dari hadapan Scorpius. Saat ia sampai dipintu, Scorpius berseru. "Kau yang perlu hati-hati Potter."

"Kenapa sih kau selalu seperti itu dengan Lily, dia kan baik-" Scorpius memotong omongan David. "pintar, cantik, ramah, cewek idaman."

Mata David membulat sejenak. "Nah kau sudah tahu." Bagaimana Scorpius tidak tahu, jika sahabatnya itu selalu mengucapkan kalimat tersebut setiap kali Scorpius mengatakan bagaimana kesalnya dia pada Lily.

"Percaya padaku deh, Lily itu tak sesempurna kelihatannya."

"Oh sudahlah, sepertinya kau perlu makan," jawab David yang menarik tangan Scorpius.

"HEI!"

Dalam perjalanan menuju Aula Besar untuk makan siang, Scorpius kembali dibuat sebal oleh Potters, kali ini Al Potter –adik si Lily yang tak kalah sok dengan berlagak membentak tiga cewek Hufflepuff yang mengganggunya membaca.

Jika bukan karena orang tuamu, cewek-cewek itu tak bakal deh melirikmu. Memangnya apa lagi yang dilihat dari Albus itu, wajahnya pas-pasan, otaknya juga, memang sih menurut Scorpius dia sedikit pandai mengolah Quaffle dan melemparnya, tapi secara garis besar dia 'biasa saja'.

"Kenapa kau memandangi Potter bungsu seperti itu?" David memang selalu ingin tahu, sifat yang sangat dibenci Scorpius kendati dia juga memiliki sifat itu.

"Bukan apa-apa."

"Jangan bilang kau ingin menghajarnya."

"Apa ada alasan aku agar menghajarnya?" kini giliran Scorpius memandang David ingin tahu.

Mereka sudah sampai di Aula Besar yang penuh dengan para siswa saat David mulai menjelaskan. "Kata Laura, si Potter itu menarik tangan Thalia dan entah membawanya kemana."

"APA?" teriak Scorpius, membuat beberapa pasang mata melirik tak suka padanya. "Kenapa kau baru bilang sekarang?" tuntutnya.

"Kau kan baru tanya tadi," balas David tak terima, Scorpius mengambil makanan didepannya asal. Dia memikirkan apa yang dilakukan Al pada Thalia. Awas saja anak itu.

"Ku dengar kau berbicara dengan Potter," ucap Scorpius saat ia dan Thalia duduk diruang rekreasi Slytherin –sebuah ruangan beratap rendah, terlihat seperti ruang bawah tanah dengan lampu dan kursi berwarna kehijauan, untuk mengerjakan esai Transfigurasi, ada David dan Laura Spinnet disana.

"Maksudmu Al?" Dia bahkan memanggil nama depannya.

"Siapa lagi," balas Scorpius agak malas.

"Ya, kenapa memangnya?"

"Apa yang kalian bicarakan?"

"Soal pelajaran."

"Benarkah?"

Thalia menutup bukunya kasar, "Ayolah Scorpius, masa kau cemburu pada dia sih." Loh kenapa sekarang dia yang marah, seharusnya Scorpius yang berhak marah. "Aku sudah selesai, Ra aku duluan ke kamar."

Scorpius memandangnya tak percaya, ia bahkan tak minta maaf atau mencoba menjelaskan apapun. Sabar Scorpius, dia memang berbeda dari yang lain.

"Apa wanita selalu seperti itu?" gerutu Scorpius.

"Tentu saja tidak, aku contohnya." Scorpius dan David mendengus.

"Tapi Laura, bisakah kau jelaskan lebih rinci soal Thalia dan Potter."

"Al mencegatnya saat kami akan ke Aula Besar, Al berkata dengan wajah coolnya 'Aku ingin bicara' lalu Thalia membalasnya 'Bicara disini saja' Dan Al langsung menarik tangan Thalia agar mengikutinya. Ahh andai tanganku yang ditarik oleh Al," cerita Laura dengan wajah mendamba.

"Masa kau suka dengan anak kecil sih Laura?"

"Hei David kita hanya beda satu tahun, dan wajahnya itu benar-benar tampan."

"Kedengarannya mereka sering bicara," gumam Scorpius.

"Memang, mereka cukup dekat saat Al membantu Tha dalam project Ramuannya tahun lalu. Jangan bilang kau tak tahu?"

Scorpius memang tak tahu, sekali lagi Thalia Zabini bukan tipikal cewek yang banyak bicara dan membeberkan apa yang dialaminya. Tapi menurut hati kecilnya ini benar-benar keterlaluan, mereka sudah berpacaran hampir setahun dan orang tua mereka sudah sepakat akan menjodohkan mereka –tapi Thalia tetap tak bisa terbuka dengannya.

"Kau pacar yang mengerikan Scorpius, jangan salahkan Tha jika dia mencari penghiburan lain." Bahkan Laura menutup buku lebih keras dari Thalia.

"Kenapa aku yang disalahkan?" kesal Scorpius, cukup sudah hari ini.

"Begitulah wanita –tak mau disalahkan dan melimpahkannya pada para pria. Hei Scorpius kau mau kemana?" David bertanya saat melihat Scorpius meninggalkan ruang rekreasi dan berajalan kearah pintu masuk asrama.

"Membunuh seseorang," Scorpius menjawab asal.

"Tidak kakaknya tidak adiknya sama saja." Setelah keluar dari pintu Asrama Slytherin barulah Scorpius sadar ia bingung akan kemana. Dia perlu menghirup angin segar, jadi dia berjalan-jalan saja disepanjang kodidor –mengikuti langkah kakinya. Dan sampailah ia di lantai dasar.

Kira-kira apa yang harus Scorpius lakukan pada Potter bungsu, apa menghajarnya, melabrak atau seperti ucapannya tadi -membunuhnya. Scorpius meringis saat memikirkan itu, tentu saja dia tak akan melakukannya karena itu bukan gayanya sama sekali dan terdengar murahan. Apa kata Hogwarts jika Scorpius Malfoy yang rupawan melakukan hal seperti itu.

"TOLONG!" Sayup-sayup dia mendengar sebuah suara. Dia melirik sekitarnya, dan tidak ada siapapun selain dia.

"Mungkin hanya perasaanku," gumamnya kembali melanjutkan langkahnya.

"TOLONG AKU!" Ini bukan perasaannya, telinganya jelas-jelas mendengar suara seseorang berteriak dan itu berasal dari Danau Hitam. Scorpius memacuh langkahnya dengan cepat ke arah sana, telinganya memang tak salah karena terbukti ada seseorang disana –meringkuk ketakutan disebuah pohon di depan danau, sepertinya perempuan.

"Oh Merlin, bukankah itu anjing hutan kenapa bisa ada disini?" Scorpius mengerti kenapa orang itu ketakutan, satu meter didepannya ada anjing yang siap mengoyak tubuhnya.

Scorpius mengambil sebuah batu berukuran sedang dan melemparkannya pada anjing itu. Luar biasa, sekarang gantian tubuhku yang akan dikoyak. Scorpius menelan ludah saat melihat mata anjing itu yang menyala-nyala. Ia mengeluarkan tongkat dari kantong piyamanya.

"Stupefy." Dan hebatnya anjing itu menghindar, 2 mantra Scorpius berikutnya juga bisa dihindarinya dan anjing itu sekarang sudah semakin mendekat.

"Impedimenta." Scorpius bisa bernafas lega saat anjing itu terlempar, tapi dia mendekat kembali. Mantra pembeku yang dilemparkan Scorpius jauh dari sasaran dan jarak dia dan anjing itu kurang dari 1 meter.

"Sial, apakah aku akan berakhir hari ini." Dia menghindari anjing itu, memekik kesakitan begitu tangan kanannya terkena cakar anjing itu.

"Dasar anjing sialan –rasakan ini, Reducto." Scorpius mengerahkan semua tenaganya saat mengucapkan mantra itu dan hasilnya begitu baik karena anjing itu terlempar kurang lebih 15 meter darinya. Ia bergegas berlari mendekati orang itu.

"Tidak apa-apa kau aman, ayo kita harus pergi dari sini."

Memang seorang perempuan, jubah Hogwartsnya robek dibagian bawah dan rambutnya yang acak-acakan tidak bisa membuat Scorpius mengenalinya. Ia membantu perempuan itu berdiri dan langsung menggendongnya, sekilas ia mendengar isakan dari perempuan itu.

Begitu sudah memasuki area kastil dan dirasa aman, Scorpius menurunkan perempuan itu dari punggungnya –bukan karena berat tapi karena isakannya yang sudah berubah menjadi tangisan.

"Kau sudah aman sekarang jadi berhentilah men- POTTER?" Scorpius kaget setengah mati saat menyadari bahwa perempuan itu adalah Lily Potter.

Jika aku tahu itu dia, aku biarkan saja deh.

"Terimakasih sudah… menolongku," jawab Lily masih terisak, Scorpius agaknya tidak merasa menyesal karena sudah menolongnya saat melihat wajah tak berdayanya itu.

"Lain kali gunakan tongkatmu," bentak Scorpius.

"Ter..tinggal." Bukan Lily yang biasanya tangguh, cerdas dan tegas tapi lemah dan tak berdaya.

"Aishh kau ini penyihir apa bukan sih?" Scorpius mengacak rambutnya kesal, kembali duduk didekat Lily. "Kakimu berdarah."

Scorpius memeriksa kaki kanan Lily yang berdarah dengan tangannya dan selama dua detik ia merasa bahwa dunia telah berputar. Ia mengerjapkan mata untuk mengembalikan kesadarannya, bahkan kakinya ikut terasa nyeri.

"Tanganmu juga berdarah," kata Lily pelan.

Scorpius baru sadar jika tangannya berdarah. "Ah, iya sebentar."

"Ferula." Dan kaki Lily yang terluka sudah dibalut perban, ia mengarahkan tongkatnya juga pada tangan kanannya yang berdarah.

"Bisakah kau berjalan ke Menara Gryffindor?" Lily mengangguk.

"Baguslah, karena jika aku harus mengantarkanmu jam tidurku bisa telat." Scorpius berjalan meninggalkan Lily, tapi perempuan itu memanggilnya.

"Terimakasih Scorpius."

"Tak usah dipikirkan dan bisakah kau melupakan kejadian ini, anggap saja aku tak pernah membantumu agar membuatku merasa nyaman." Merasa nyaman untuk semakin membenci dan mengejekmu tentu saja.

"Tentu, tapi sekali lagi terimakasih."

Scorpius melanjutkan langkahnya menuju Asrama Slytherin yang terletak diruang bawah tanah sambil memikirkan wajah tak berdaya Lily. Andai dia membawa kamera tadi,dia akan memotonya dan memasangnya di majalah sekolah.

Pasti menyenangkan sekali.

"Aww." Scorpius memegang bahunya yang tiba-tiba sakit mendadak, pasti efek menggendong Lily tadi –pikirnya.

****TBC****