Do You Wanna Build A Snowman?

"Moooommm.. salju salju!" gadis kecil berambut blonde terlonjak dari kursinya melihat salju yang mulai turun. Ia menghampiri sang ibu yang tengah membuat biscuit kesukaan gadis kecil tersebut untuk kemudian memeluk kaki ibunya senang. Ia tak percaya salju datang secepat ini, musim yang paling ia tunggu-tunggu. "Mom, look there! Snoooowww.." sang ibu terkekeh melihat anaknya yang begitu senang.

"Kau senang?" tanya sang ibu. Sang ibu meletakkan sarung tangannya, merendahkan tubuhnya untuk memposisikan agar ia sejajar dengan anaknya. "So, what would you do, honey? Ingat sesuatu?" ibunya mengerlingkan mata memberikan syarat untuk si gadis kecil, Jessy. Sudut bibir Jessy melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman lebar. Ia menggangguk berkali-kali penuh semangat.

"Do you wanna build a snowman?" Jessy merentangkan kedua tangannya, memutar-mutarkan tubuhnya seraya bernyanyi. Yaaa, membuat boneka salju adalah alasan kenapa ia sangat menyukai musim salju. Itu berawal ketika ia diajak menonton animasi Frozen oleh Daniel. Sejak saat itu ia tergila-gila pada si boneka salju hidup, Olaf. Jessy segera menyambar jaket dan sarung tangan di lemarinya, tak lupa scarft tebal ia juga lilitkan di leher. Kaki kecilnya melangkah ke sebuah rumah minimalis yang hanya terhalang oleh dua rumah di sampingnya.

"Daniel.. Daniel.. Ayo main! Salju sudah turun. Danieeellll.." Jessy mengetuk pintu beberapa kali. Tubuhnya meloncat-loncat untuk melihat ke dalam melalui celah yang ada di pintu. Ia tersenyum lebar saat pendengarannya mendengar langkah kaki yang mendekat. Daniel! Yah, Jessy harap itu Daniel.

"Hello Jessy," Jessy harus kecewa karena yang keluar bukan Daniel melainkan Nyonya Kurt, ibu Daniel. Nyonya Kurt tersenyum melihat wajah Jessy berubah sedih. "Hari ini Daniel tak rumah, honey," ucap Nyonya Kurt penuh kelembutan seraya mengusap kepalanya. Jessy memajukan bibir bawahnya dan mengangguk lemah.

Dengan berat hati Jessy kembali. Ia berjongkok, mengambil salju dan membentuknya menjadi bulatan-bulatan kecil. "Daniel, Jessy mau buat Olaf," lirihnya. Satu persatu bulatan kecil salju itu disusun. "Kenapa tak jadi Olaf? Jessy tak tahu caranya.."

"Daniel.. Daniel.. Ayo main! Salju sudah turun. Danieeellll.."

"Hello Jessy, Daniel sedang belajar tak bisa diganggu."

…..

"Daniel.. Daniel.. Ayo main! Salju sudah turun. Danieeellll.."

"Hello Jessy, Daniel pergi keluar dengan ayahnya."

….

"Daniel.. Daniel.. Ayo main! Salju sudah turun. Danieeellll.."

"Hello Jessy, sorry tapi Daniel baru saja pergi."

Tiga belas tahun berlalu. Jessy tumbuh menjadi gadis cantik dan kesukaannya pada musim salju tak pernah berubah. Hari ini musim salju ke delapan belas yang datang dalam hidupnya. Kedua tangannya ia masukan kedalam saku mantel merah yang membalut tubuh mungilnya, kepalanya mendongak menatap langit. Buliran salju putih sesekali mengenai wajahnya, meleleh di atas permukaan kulit putih milik Jessy.

"Haahh.." Jessy menghela nafas dalam senyumannya. Daniel tak pernah datang.

Jessy melakukan hal yang sama yang selalu ia lakukan. Mencoba membuat manusia salju semirip Olaf. Air matanya turun mengaliri pipinya, menetes melelehkan benda putih dingin itu.

"Do you wanna build a snowman?"

Jessy terdiam. Perlahan kepalanya menoleh pada sumber suara di belakangnya. "Daniel?" lirihnya.

Sosok tinggi tampan itu melangkahkan kakinya mendekati Jessy. Tubuhnya merendah bersimpuh di depan Jessy. Jemari tangannya mengusap aliran cairan bening yang keluar dari mata Jessy.

"I'm here, Jessy.. Maaf untuk baru datang setelah tiga belas tahun."

THE END