1958, Tokyo

Jepang adalah negara yang dinyatakan kalah dalam perang dunia kedua. Tentu, sebagai negara yang kalah, kerugian serta beberapa masalah lain tidak dapat dihindarkan lagi. Apalagi, negara jajahan penuh dengan peluang telah diberikan pada blok barat yang menang atas segala hal.

Meski begitu, Jepang tetap berusaha untuk memulihkan segalanya. Terutama di bidang pendidikan yang menjadi tonggak pertama untuk tetap memajukan negeri dan hal itu berhasil. Sejak diberlakukannya sistem wajib sekolah dua belas tahun tahun, kini Jepang hampir menyaingi Amerika Serikat yang masih dinobatkan sebagai negara adidaya.

Tokyo adalah kota yang kemajuannya sudah tidak bisa diragukan lagi. Semua penjuru dunia sekarang melirik kota terbesar di Jepang itu karena kemajuannya yang sangat signifikan, sehingga para investor berlomba-lomba menanamkan saham pada kota dengan penduduk terpadat di kawasan negeri matahari terbit tersebut.

Salah satu sekolah negeri dengan kualitas tidak diragukan lagi adalah Tokyo Internasional High School.

Sekolah yang berbasis internasional dengan menganut sistem pendidikan barat namun, berkebudayaan Jepang ini adalah sekolah negeri pertama dengan kurikulum modern seantero Jepang. Karena hal itu tentu saja harga sekolah ini mahal bukan main, apalagi mereka memberikan jaminan sukses bagi siapa saja yang lulus dari sekolah ini berapapun nilainya.

Maka, semua orang kaya berbondong-bondong menyekolahkan anak mereka pada sekolah ini. Berharap, anak mereka dapat berkembang dengan baik melalui sekolah yang sudah dua belas tahun tahun berdiri, sekolah tertua di Jepang setelah perang dunia kedua berakhir.

Salah satunya adalah Sakura Haruno, gadis dengan rambut merah muda yang banyak menyita perhatian banyak orang adalah anak tunggal dari pewaris perusahaan besar yang bergelut dalam bidang perbankan ternama di Jepang dan pemilik butik ternama yang terbesar di Asia. Dia terkenal, dengan mata hijau khas orang eropa dan rambut merah muda layaknya bunga kebanggaan Nippon. Dengan popularitas yang tidak bisa diragukan lagi, dia berkembang menjadi anak yang supel, ramah, lagi manis.

Maka, banyak pemuda yang menaruh hati padanya, bukan tanpa alasan. Sakura adalah gadis favorit sekaligus idaman yang mengatasnamakan kebenaran dan kata hati. Jadi, ya. Siapa yang tidak jatuh hati pada perempuan penuh keceriaan ini?

Dibalik seluruh kesempurnaannya, Sakura adalah anak yang kesepian. Dirumahnya yang kelewat besar, dia hanya sendiri. Ayah dan Ibunya bercerai ketika usianya menginjak delapan tahun. Ayahnya menikah lagi dengan wanita muda nan jelita dan Ibunya sibuk untuk melupakannya.

Kedua orang tuanya jarang sekali menghabiskan waktu dengan Sakura, mereka hanya sesekali bertemu. Biasanya hanya tiga bulan sekali, memberikan sejumlah cek untuk Sakura dengan angka fantastis di dalamnya. Dengan uang yang berlimpah ruah, Sakura bisa membeli pulau pribadi mungkin. Tapi, nyatanya. Kalaupun dia membeli pulau itu, dia akan tetap kesepian dengan segala yang ada.

Hanya di sekolahlah dirinya punya kehidupan. Punya kehangatan dan keceriaan yang tidak pernah dia dapatkan kalau berada di rumah. Maka, Sakura adalah siswa dengan semangat membara bila berada di sekolah. Berbeda bila dirinya itu berada di rumah, dia akan menjadi pribadi yang murung seolah tidak mempunyai kehidupan muram.

Ini adalah tahun terakhir dia berada pada sekolah ini. Tentu, ini adalah hal terberat baginya. Tiga tahun menjalani sekolah dengan kehidupan berwarna yang setelah ini akan disambut berkas dokumen perusahaan menyebalkan bersama temaramnya kehidupan, ketika saat itu tiba, Sakura hanya akan menunggu kematian tanpa bisa lagi menyalakan api kehidupan.

Maka, sebelum hari gelap itu datang. Biarlah Sakura menjadi api yang berkobar paling besar seantero dunia. Menyebarkan semangat kepada manusia lain dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya kenangan untuk disimpan.

Ketika itu, hari sudah sore. Hampir semua siswa sudah pulang ke rumah. Kecuali, beberapa siswa yang memiliki kepentingan. Salah satunya adalah Sakura. Si pemilik rambut tak lazim itu sedang sibuk mempersiapkan ulang tahun sekolah yang akan dirayakan secara besar-besaran satu bulan lagi, tepat ketika perayaan musim panas bersama teman-teman seangkatan.

Ini memasuki musim peralihan. Yaitu dari musim semi ke musim panas, sehingga udara menjadi sedikit aneh dan sering membuat siswa sakit flu. Termasuk Sakura sendiri. Ayahnya yang kebetulan mampir menyuruhnya untuk izin tadi pagi. Tapi, gadis keras kepala itu tetap kekeuh masuk karena dia cinta dengan sekolah. Alasan yang lain, dia tidak ingin sendirian di rumah. Itu terlalu menyedihkan.

Dari tadi, dia bersin-bersin kecil.

"Hachi!"

Ini sudah yang kedua puluh kali dalam sehari ini, astaga. Hidungnya gatal sekali.

Wajahnya sudah lumayan pucat, hidung memerah, mata sedikit sayu, dan dia menggigil walau tubuhnya benar-benar panas. Ketua kelasnya, Shikamaru yang biasa tidak pedulian, menyuruh Sakura untuk pulang ketika tengah hari, bahkan, ia dengan baik hati menawarkan untuk mengantarnya pulang.

Tapi, Sakura menolaknya. Ini hanya flu ringan, dia bisa mengatasi. Palingan satu hari lagi sudah sembuh.

Setelah rapat untuk acara tadi, Sakura berjalan menuju gerbang sekolah. Melewati lorong panjang. Semilir angin membuatnya lagi-lagi menggosok hidungnya dengan ibu jari saking gatalnya.

Langit mendung. Dia semakin mempercepat langkahnya, takut hujan. Rumah neneknya juga lumayan jauh dan kereta terakhir akan berangkat setengah jam lagi. Sakura akan pulang ke rumah neneknya hari ini karena neneknya tadi pagi menelepon, kangen katanya.

Suara tetesan hujan membuatnya berhenti melangkah dan melihat keluar jendela.

"Hei, jangan hujan dulu!" Teriaknya dengan suara khas orang sakit, berusaha menghentikan tetesan air hujan. Tapi, hujan itu tetap turun bahkan, tambah deras.

Ya ampun.

Dia pasti akan ketinggalan kereta, bagaimana ini? Tapi Sakura juga tidak ingin berhujan-hujan! Itu akan membuat flunya tambah parah dan dia pasti akan dirawat di rumah sakit karena hal itu. Dia terlalu sayang sekolah, tak ingin izin sakit.

Akhirnya, dia cuma bisa mengerucutkan bibirnya. Lalu, berjalan menuju depan sekolah yang dilengkapi kursi panjang untuk menunggu. Langkahnya terhenti ketika melihat seorang laki-laki berambut biru tua.

Itu Sasuke Uchiha. Si misterius yang tidak pernah punya teman sejak kelas satu. Bahkan, suaranya tidak ada yang pernah mendengar. Saat presentasi, dia hanya akan diam tanpa suara. Apakah dia benar-benar bisu seperti yang dikatakan orang-orang?

Bulu kuduknya bergidik, benarkah rumor-rumor itu? Bahwa Sasuke adalah psikopat, dia tinggal dirumah angker, dia itu tidak punya keluarga, sering dianiaya oleh keluarga tirinya.

Namun, Sakura menghembuskan nafasnya dan duduk di sebelah laki-laki itu dengan pandangan menunduk, sembari memainkan jari jemarinya gelisah.

Sasuke melirik perempuan yang berani duduk disebelahnya lalu kembali terfokus pada tembok sekolah.

Sakura semakin gelisah.

Astaga, kenapa hidungnya mulai gatal. Oh Tuhan, jangan sekarang. Tolong jangan sekarang. Kalau Sakura bersin sekarang, bagaimana kalau rumor Sasuke psikopat itu benar dan dia akan membunuh siapapun yang bersin dihadapannya?

Sakura menahan bersinnya. Masih menahannya. Masih. Sampai.

"Hatchi!"

Suara tawa terdengar dari sebelahnya, Sakura menoleh dan mendapati Sasuke yang tertawa penuh kebahagiaan dengan suara tawanya yang khas melongo.

Suara tawanya indah dan menggembirakan.

"Suara bersinmu seperti anak kucing." Katanya seraya terus tertawa. Sakura mengusap hidungnya yang tambah memerah dengan muka padam.

Sasuke, pemuda itu mengulas senyum pelan ketika tawanya berhenti dan merogoh sesuatu dari kantong jaketnya.

Dia menyodorkan sapu tangan warna biru tua kepada Sakura yang masih melongo.

"Pakai sapu tangan ini, maka, bakteri atau debu tidak akan masuk kehidungmu. Tenang saja, itu bersih kok."

Dengan uluran tangan yang lambat, Sakura mengambil sapu tangan biru tua itu dari tangan Sasuke dan menutup hidungnya dengan sapu tangan terlembut yang pernah dia rasakan.

Ternyata Sasuke tidak seburuk yang dia pikirkan

Apakah ada yang rindu kami? hehehe

Mohon kritik dan sarannya, terimakasih