a/n: yukari isn't my favorite character, tapi saya tiba-tiba ingin menulis fic tentangnya. haha. maaf bila kalian temukan beberapa kesalahan diksi pada fic antah berantah ini.
Tidak ada yang lebih menenangkan dibanding berada di rooftop. Nyaris semua siswa-siswi Gekkoukan High menyukai tempat ini ; tempat yang menyediakan beberapa bangku kecil yang nyaman, sekaligus pemandangan yang ditawarkan lokasinya—pemandangan menakjubkan kota Iwatodai dari lokasi teratas di Gekkoukan High.
Termasuk ia, Takeba Yukari.
Yukari bukan ahli filsafat atau ahli apapun lah itu, namun ia meyakini bahwa tempat ini adalah tempat terbaik untuk siapapun yang ingin mencari inspirasi atau pun bagi yang ingin menenangkan diri. Bagi Yukari sendiri, ada ketenangan tersendiri tiap kali memandang langit di kejauhan.
Ini adalah hari terakhirnya di Gekkoukan High—hari terakhirnya sebagai seorang siswi tingkat tiga koukousei, dan ini adalah hari kelulusannya. Maka tidak ada salahnya berdiam sejenak di tempat ini, pikir Yukari. Setelah ini, mungkin Yukari akan menyusul Fuuka, Junpei, dan Aigis nantinya.
Ah, Aigis. Human-android keluaran Kirijo Corporation tersebut...—Entahlah, Yukari selalu merasa hatinya sesak tiap kali melihat ataupun mendengar namanya.
Katakanlah bahwa Yukari begitu iri dengan Aigis. Padahal Aigis bukanlah manusia, tetapi kenapa—
—kenapa ia lebih beruntung dibanding dirinya?
Bukan, bukan masalah penampilan. Yukari justru mengangumi sepasang mata safir milik Aigis; sepasang mata yang mengingatkannya akan langit biru. Dan juga rambut pirangnya yang akan lebih memukau andai saja sinar matahari menerpa rambutnya. Hanya saja...
Hanya saja...
Iri. Benci. Kesal. Marah. Semua emosi negatif tersebut selalu menyeruak setiap kali ia teringat akan Aigis.
Kenapa harus Aigis? Kenapa harus Aigis—yang satu-satunya mendapatkan cintanya? Kenapa harus Aigis, yang melewatkan detik-detik terakhir bersamanya?
Bersamanya... Bersama seorang pemuda berambut biru gelap, dengan sepasang mata keperakannya yang indah. Dan wajah yang terkesan stoic, namun menyimpan sejuta perasaan.
Andai saja pemuda itu masih hidup. Andai saja pemuda itu juga menghadiri upacara kelulusan hari ini. Andai saja pemuda itu berada di samping Yukari, bukan sebagai teman—tetapi kekasih. Mungkin, Yukari akan lebih menikmati saat-saat di rooftop ini. Saat-saat ketika musim semi terasa begitu hangat.
Angin hangat berhembus. Pelan, tetapi juga lirih. Angin musim semi yang begitu hangat, angin yang sarat dengan aroma sakura. Angin yang juga mengombang-ambingkan kelopak-kelopak sakura yang tadinya sedang mekar penuh, dan membuat kelopak-kelopak sakura tersebut berjatuhan di bahu Yukari. Angin yang membuat surai brunette Yukari menari-nari ditiup angin.
Namun, bukan angin itu yang membuat tubuh Yukari bergetar. Bukan angin itu yang membuatnya tertunduk. Bukan angin itu yang mempuat pikirannya dipenuhi memoar-memoar mengenai Sang Pemuda berambut biru tua. Bukan angin itu yang membuat garis tipis bening mengalir di pipinya—bukan angin itu yang membuatnya menangis.
Bukan angin itu.
