비밀이야 (Bimiliya)

Tidak ada yang lebih peka dari musim gugur.

Entah itu suhu yang berubah dingin, atau pada dedaunan rapuh yang ditertawakan angin. Tanpa ada benci pada mereka.

Walau sebenarnya, membencimu begitu aku sangat ingin.

※※※※※

Senja kala itu menghamburkan oranye sendu. Menyatu pada kuning rimbun yang melekat pada dahan beku.

Penat. Aku ingin pulang. Namun teringat rengekan mu meminta menunggu. Lalu semenjak kapan aku mampu berucap tidak, jika itu padamu.

Bahkan jika bibir ini mengatup, isyarat mengkhianati dengan anggukan. Hanya padamu, Kim Taehyung.

Hanya sekedar duduk pada bangku taman, aku sudah lelah. Hanya mondar mandir selayaknya pandir. Sekolah sudah lengang, bahkan kawan dari klub basket mu sudah turun, menuju peraduan. Aku sempat berpikir mungkin kau tak ingin pulang, menginap di sekolah bisa jadi.

Hingga bayangan yang ku kenal muncul dalam jarak beberapa meter. Masih belum sanggup ku tangkap jelas tanpa bantuan kacamata minus yang kali ini absen bertengger pada tulang hidung ku. Namun aku tahu, itu Park Jimin. Datang tergopoh, semakin antusias usai melihatku bersandar pada badan akasia di samping bangku taman.

"Kenapa belum pulang, kook?"

Bahkan bernapasnya belum benar. Surai yang berantakan, melekat pada dahinya yang basah. Tak yakin aku, apakah itu keringat sisa pergulatan dengan bola oranye ataukah dia mengguyur seluruh badan dengan air suci.

Dan hanya kerutan pada dahi kulayangkan. Sebenarnya mempertanyakan maksud si pemuda atletis– namun mini, yang menanyakan tujuan keberadaanku.

Aku pikir dia tahu. Selalu tahu, harusnya. Karena aku selalu menunggu Kim Taehyung, kawan bermain basket dari pemuda di hadapan ku kini.

"Aku? Tentu saja menunggu Taehyung"

Aku tidak paham arti dari reaksi selanjutnya karena saat ini, Park Jimin justru membulatkan mata bulan sabitnya dengan kedua bilah bibir membuka seolah hendak menyangkal namun bingung bersamaan.

"Aku kira kalian tak pulang bersama— maksudku, Taehyung sedang dengan Jihoon sekarang"

※※※※※

Aku sudah bilang, betapa aku sangat ingin membencimu, Kim.

Jika aku adalah rimbunan daun yang memayungi sebatang pohon kini, mungkin aku sudah mati pada setiap hempasan angin yang meruntuhkanku.

Bahkan aku lupa kapan mulanya ini terjadi. Begitu malu malu, mereka bermunculan menghampirimu— kakak senior jago basket yang keren. Tak perlu menyeret jutaan cenayang hanya untuk menafsirkan sinar dari tatapan mereka. Mendamba.

Tak ingin ku akui, namun seperti itu pula caraku menatapmu, Kim Taehyung. Dan aku benci karena aku tahu seperti apa pula mereka memendam sebuah rasa. Aku tahu, jelas, seperti apa perasaan itu.

Dan aku jengah. Terus saja kau berlaku ramah. Dalam binar kepolosan menjadikan setiap uluran tangan hanya sebatas kekerabatan. Itu adalah maksud yang kau tuju, namun tidak dalam pengertian mereka.

"Kau cemburu? Ayolah, Kookie, kau tetaplah sahabat terbaikku"

Hingga aku hafal pada ucapanmu dalam balutan lengan yang merangkul pada bahuku. Selalu seperti itu. Melihatku sebatas itu.

Menembus senja yang sendu, aku turut tenggelam dalam runtuhnya jingga pada langit. Menginjak dedaunan kering yang beriak kecil. Siapa yang peduli pada lamunanku? Siapa yang peduli pada gelisahku? Siapa yang peduli bahkan jika aku berteriak aku mencintaimu? Kau, tidak.

Aku sudah terlalu penat. Keinginan untuk segera pulang, hanya aku ladeni dengan seretan kaki menuju rumah. Bergerak lamban, aku bahkan tak tahu apakah langkah kaki ku bertambah memberikan jarak.

"Kau tidak menepati janji.."

Hingga suara berat yang begitu kurindukan itu menembus gendang telingaku. Merobohkan segala pusat semestaku. Beralih sekali lagi padamu.

Berdiri begitu tenang, membentengi laju langkahku. Aku tak tahu apakah ini hanya sebatas imaji karena dambaanku padamu yang sudah dalam tingkat tak tertolong, atau memang hembusan angin mengibarkan helaian lembut rambutmu, memberikanku sebuah tamparan. Ini tentang pesonamu.

"Aku sudah bilang untuk menungguku, kenapa malah pergi duluan, kook? Untung saja Jimin bilang padaku.."

Brengsek, Kim. Segala umpatan dan caci maki yang sudah ku susun dalam kepalaku, runtuh bersamaan pada bayangan yang mulai tertelan malam. Senja yang sendu. Aku bahkan tak mengerti kenapa aku tercekat.

Sekali saja pita suaraku beresonansi, aku pecah.

Aku ingin diam saja, Kim. Tapi kenapa kau terus melayangkan tatapan menuduh padaku?

"Kenapa aku yang salah?"

Aku bahkan hanya membisik. Suara yang bahkan kalah dari cicitan burung kenari.

Kepala ku tundukan, aku tak sanggup bertemu tatap denganmu, Taehyung.

"Hanya sebentar, Kook. Kenapa kau tak bisa menungguku?"

Tidak. Kau salah. Jika kau tahu, aku sudah menunggumu bukan hanya satu atau dua hari. Aku sudah menunggu, bahkan sebelum kau meminta. Aku sudah menunggu, bahkan bukan hanya sekedar "sebentar" seperti yang kau inginkan. Kau memintaku menunggu berapa lama lagi, Taehyung?

"Jungkook, kau menangis?"

Getaran rendah itu tedengar gusar. Yang justru menimbulkan gelitik aneh pada perutku. Sebuah rasa bahagia yang aneh. Karena aku merasa kau peduli padaku. Hanya jika aku menangis?

Aku bahkan tak sadar mulai terisak dalam diam. Segera ku hapus sebelum mengalir membentuk sebuah titik yang menabrak bumi.

"A-aku oke.. kenapa? Maaf, aku.. malah meninggalkanmu"

Bahkan untuk sebuah kata maaf yang aku tak tahu untuk apa. Kenapa aku yang meminta maaf.

"Aku hanya–"

"Kook, lihat"

Melihat pada apa? Aku bahkan masih tak sanggup menoleh tepat pada wajahnya, dalam cerita yang tengah ku utarakan dan dia menyela sesuka hati. Selalu begitu.

"Daunnya gugur.."

Seolah tak sabar menanti tatapan mataku, jemari kurus Taehyung mengulurkan sehelai daun tepat dihadapanku. Warnanya pucat, dengan semburat kecoklatan, senada dengan warna rambut Taehyung kini. Aku menyukainya.

"Jeon Jungkook, aku menyukaimu"

Hingga kalimat selanjutnya membuatku kembali tenggelam pada goresan imaji. Pada jutaan lengkungan meliuk sewarna kabut. Aku rasa sudah dibutakan. Dan tak bisa memberikan batas pada kewarasan dan ketidakmasuk akalan.

"Kau seperti daun ini. Dan aku bukan pohon kokoh yang kau payungi. Tak pernah membenci pada angin, aku justru adalah angin yang menghempaskanmu jutaan kali"

"Sebuah rahasia yang juga ku pendam, sama sepertimu menelan pahitnya sendiri. Aku tak akan menyebutmu bodoh, kook. Karena aku juga begitu"

Kali ini keingintahuan menelan habis ketakutanku. Keberanian yang ku dapat darimana, membuatku sanggup menatap pada manik sewarna musim gugur miliknya. Samudera yang menelanku secara utuh.

"Kenapa tiba tiba?"

Senyuman itu terlalu lembut. Terlalu sederhana dalam sebuah situasi serumit ini. Sama sekali bukan jawaban yang aku inginkan darinya. Kecuali untuk tautan jemarinya yang begitu pas padaku. Menggenggam begitu erat. Hangat dekapannya menyapu hingga pipiku. Semburat merah jambu yang mengalahkan kuasan oranye pada langit senja. Aku menginginkan ini untuk selamanya.

※※※※※

– Epilog –

"Tae-hyung!"

Itu Jihoon. Setengah berteriak dan berlari kecil menuruni tangga menuju lapangan basket tempat berkumpulnya gerombolan pemuda berbau menyengat usai beradu dengan dua ronde berlatih.

Pemuda manis, adik kelas dari sang bintang basket— Kim Taehyung, dan merupakan penggemar nomor satu. Menjanjikan untuk bertemu dengan pemuda Kim usai pagi tadi mengatakan telah menemukan sebuah buku di sudut perpustakaan sekolah. Bukan buku milik Taehyung memang. Tapi milik Jungkook. Ada nama tertera kecil pada sudut bagian bawah.

Membuat Taehyung lebih dahulu melayangkan ancaman untuk jangan dibaca atau dibuka barang selembar pun.

"Seperti yang hyung minta, aman tanpa ku lihat satu mili pun isinya"

Disertai kekehan menggemaskan yang menenggelamkan matanya. Kedua pipi pemuda manis itu tertarik membentuk senyuman yang membuat pekikan tertahan bagi siapa pun yang melihat.

Park Jihoon itu penurut. Dan Taehyung percaya karena bocah itu terlalu lugu.

"Terima kasih banyak ya, Jihoonie"

Tentu dengan bonus sebuah usakan lembut pada puncak kepala si pemuda manis Park Jihoon.

Dan berpisah pada tepi lapangan. Keduanya menuju arah berlawanan.

Sepeninggal Jihoon, Taehyung berhenti menahan diri. Membuka tergesa namun hati hati, tak ingin memberikan goresan cela sedikitpun pada lembaran kertas di genggamannya kini.

Terlihat jelas tulisan tangan milik Jungkook. Taehyung selalu mengagumi seperti apa goresan yang Jungkook buat. Bahkan membuat ia tak pernah membuat catatan di dalam kelas hanya untuk bisa meminjam buku catatan milik Jeon Jungkook.

Suatu saat nanti kau akan menyadarinya, aku percaya itu. Maka aku menunggu.

Bahkan hingga pada guguran daun terakhir. Hingga butiran salju pertama menyapa kulitku. Aku menunggu. Tanpa kau minta sekalipun.

Karena nyaliku terlalu kecil untuk ukuran seorang anak laki-laki, yang jatuh hati. Aku tahu ini kesalahanku. Menunggumu yang bahkan tak lebih peka dari musim gugur. Sebuah rahasia kecilku, Kim Taehyung. Yang aku kira, semestinya kau tahu tapi menutup matamu.

Aku akan setia meneduhkanmu seperti dedaunan memayungi kokohnya raga yang menjulang tinggi. Sama tingginya pohon dan dirimu yang begitu sulit ku raih.

※※※※※