Hei, hal yg paling berarti buat kalian itu apa?

Apakah sebuah perhiasan yg bermerek dan mahal harganya?

Ataukah sebuah mobil mewah dan rumah yang besar?

Kalau menurutku, hal yg berharga itu sudah pasti tidak dapat dilepaskan dengan mudah..

Apa kalian pernah merasakan hal itu? Perasaan tidak ingin melepaskan ataupun kehilangan sesuatu..

Jika aku telah kehilangannya, kuharap suatu hari nanti aku dapat memilikinya kembali..

»• My Baby Blue •«

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto-sensei

My Baby Blue © Kagami

Genre: Romance

Pairing: Naruto Uzumaki & Hinata Hyuuga

Rated: Teen

Warning: Full Hinata P.O.V

::

::

Saat ini aku benar-benar terkejut, orang yang kusukai selama ini menyatakan cintanya kepadaku. Dihadapanku, berdiri sesosok pria berwajah cerah bagaikan matahari dan memiliki mata seindah lautan.

Apa kalian tahu apa yang kusukai darinya? Sifatnya yang pantang menyerah, selalu tersenyum walaupun kesulitan tengah dihadapinya itulah yang membuat mataku selalu tertuju padanya.

"Jadi.. Bagaimana?" aku tersadar dari lamunanku karena mendengar suara darinya. Aku menundukkan wajahku, sekarang ini pasti wajahku sudah semerah kepiting rebus dan jantungku pasti berdebar sangat kencang.

Sejenak aku berpikir, apakah ini hanya mimpi? Jadi untuk memastikannya aku secara sembunyi-sembunyi menyubit tanganku sendiri dengan sekuat tenaga.

"Aw!" seruku kesakitan dalam hati. Rasanya sakit! Jadi.. Benarkah ini bukan mimpi? Ini benar-benar kenyataan? Aku kembali mengangkat wajahku, tampak wajah lelaki tersebut tegang karena menunggu jawaban dariku.

"Jadi.. Bagaimana?" lelaki itu kembali menanyakan hal yang sama padaku. Aku meneguk ludah, sudah sepantasnya aku menjawan iya, karena inilah yang selama ini kutunggu-tunggu.

"I.. Iya. Aku mau." jawabku, seharusnya aku berteriak. Berteriak sangat kencang saking senangnya. Tapi aku tidak mungkin melakukan hal itu, melihat sifatku yang pemalu seperti ini. Kulihat ekspresinya saat ini, dia terlihat sangat senang sekali. Akupun jadi semakin senang melihatnya.

Apakah saat ini aku sudah memiliki sesuatu yang berharga bagi diriku?

"Terima kasih Hinata." aku kembali terkejut. Tiba-tiba saja ia memelukku, aku merasa malu dan juga sangat senang. Dengan pelan aku membalas pelukannya. Perasaan hangat mengalir dalam tubuhku. Apakah ini yang dirasakan oleh orang-orang kebanyakan disaat cintanya terbalas?

"Terima kasih." kembali lagi ia mengucapkan kata-kata tersebut. Aku semakin mempererat pelukanku kepadanya. Hari ini adalah hari yang paling berkesan dalam hidupku.

Hari dimana aku mendapatkan cintaku dan hari dimana aku memiliki seseorang yang berarti bagiku untuk yang kedua kalinya setelah keluargaku.

Tapi aku tidak tahu, bahwa sesuatu yang mengejutkan akan terjadi padaku. Andai saja saat itu aku berpikir, untuk memohon doa kepada Kami-sama supaya hari ini akan terlewatkan dengan baik-baik saja, mungkin ini semua tidak akan terjadi...

Tidak akan pernah..

::

::

"Hari ini benar-benar sangat menyenangkan ya, Hinata?" setelah menyatakan cintanya, ia mengajakku ke suatu tempat, tempat yang sangat indah untuk menghabiskan waktu berdua.

"Iya." jawabku singkat, aku menundukkan wajahku senang. Kembali lagi aku mengangkat wajahku, kulihat matahari jingga menyelimuti hari ini. Sayang sekali tidak secerah perasaanku sekarang.

Kami berdua berjalan bergandengan tangan menyusuri jalan menuju ke rumah kami. Untuk hari ini kami akan mengakhiri kebersamaan kami dan kami lanjutkan esok hari. Itupun jika hari esok kami masih memiliki kekuatan untuk menjalani hidup ini.

"Sayang sekali waktu sesingkat ini ya. Padahal aku ingin selalu bersamamu. Jadi pingin kuculik deh."

"Eh? Tidak boleh!" mendengar penuturannya aku terkejut. Siapa orang yang tidak terkejut mendengar hal seperti itu? Duh~ Wajahku pasti sudah memerah karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Haha, kamu benar-benar menarik Hinata. Sampai disini dulu ya Hinata." Naruto mengucapkan kalimat perpisahan padaku setelahnya, aku tersenyum. Lalu Naruto membalikkan tubuhnya, aku menatap kepergian Naruto, rasanya kenapa perasaanku tidak enak ya menatap kepergiannya.

Tanpa berpikir panjang, langsung saja aku menghilangkan prasangka buruk yang ada dalam pikiranku. Aku menunggu lampu hijau untuk berjalan karena memang aku harus menyebrangi jalan terlebih dahulu jika ingin sampai dirumahku.

Saat lampu sudah hijau, aku langsung saja berjalan dengan santai, karena saat ini sama sekali tidak ada satu kendaraanpun yang lewat, dan aku berpikir, sampai aku disebrang jalan tidak akan ada kendaraan yang lewat pada akhirnya.

Tapi ternyata perkiraanku salah. Aku tidak melihat, bahwa ada sebuah truk besar yang dengan cepat menghampiriku.

Aku kaku ditempat disaat aku tersadar bahwa truk tersebut tepat berada di depanku. Aku sama sekali tidak dapat menggerakkan tubuhku, untuk berteriakpun aku tidak sanggup.

"Oh iya, ada yang lupa kukatakan."

Apakah ini semua akan segera berakhir?

"Hah? Hinata awas!"

BRUAK!

"HINATA!"

Sekilas aku mendengar suara teriakan Naruto, suara itupun hanya sebagai perantara antara hidup dan matiku. Setelah itu pandanganku menjadi gelap gulita. Aku tidak menyangka, di hari kebahagianku, kehidupanku akan berakhir seperti ini.

::

::

"Apa yang terjadi?" aku tersadar dari pingsanku. Ah~ kepalaku sakit.. Tapi aku masih mengingat, saat itu, aku tertabrak. Setelah aku tertabrak, apa yang terjadi?

Aku pun mengangkat kedua tanganku, melihatnya.. Tunggu! Apa-apaan ini? Apa yang terjadi padaku? Kami-sama, tolong beritahu aku..

Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tanganku tembus pandang seperti ini? Dan.. Tubuhku, ada apa ini?

Aku menengok ke arah bawah. Ini aku.. Kenapa.. Aku melihat tubuhku sendiri berlumuran darah dibawah sana? Dan Naruto, ia menangis. Kenapa? Apakah aku sudah mati?

Itu tidak mungkin kan? Aku melihat Naruto membawa tubuhku ke rumah sakit, aku hanya dapat mengikutinya. Aku tidak tahu apa yg harus aku lakukan. Ini semua terlalu tiba-tiba!

Kenapa ini semua harus terjadi kepadaku? Kenapa harus disaat-saat seperti ini? Tapi, kenapa jiwaku tidak dapat langsung kembali kepada-Nya? Bukankah jiwa yang sudah meninggal akan kembali kepada penciptanya?

Apa karena ada sesuatu yang harus kulakukan terlebih dahulu sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan dunia ini? Tapi aku tidak mau pergi, aku ingin hidup.

"Hinata mengalami koma, kita tidak tahu apakah ia akan tersadar kembali atau akan pergi meninggalkan kalian semua." mendengar pernyataan dari dokter, aku tidak terkejut. Karena aku memang tahu, bahwa tidak lama lagi aku akan benar-benar meninggal.

Dapat kurasakan dari tubuhku yang perlahan-lahan semakin melemah dan mulai menghilangkan sosoknya, suatu hari pasti aku akan menghilang juga dari dunia ini. Tapi aku tidak ingin itu.

Air mataku terus mengalir, membasahi wajah ini. Aku tidak mau meninggalkan mereka semua, padahal aku baru saja menemukan kebahagiaanku. Tapi aku tidak dapat seperti ini terus, ada yang harus kulakukan pasti. Tapi apa yang mengganjal kepergianku?

Lalu.. Sebelum aku pergi, sebenarnya apa yang harus kulakukan? Aku kembali melihat ke arah diriku yang telah dipakaikan beberapa alat medis. Tubuh itu terlihat lemah sekali.

Aku melihat ke arah keluargaku yang tengah menangis, ayah, Hanabi, dan juga.. Naruto..

"Hinata.. Kenapa hal ini harus terjadi kepadamu nak?" ayah, maafkan aku ayah, karena kecerobohanku aku membuat dirimu bersedih. Aku tidak tega melihatmu menangis seperti itu ayah, jadi kumohon.. Berhentilah menangis.

"Sudahlah ayah, kita tidak boleh seperti ini. Kita harus tetap berdoa supaya Hina-nee disembuhkan." Hanabi, kamu memang dewasa. Kamu dapat menanggapi kejadian ini dengan tenang, semoga dengan ketenanganmu kau dapat mengatasi semua ini dengan baik.

Lalu.. Naruto, aku menengokkan kepalaku. Aku melihat Naruto yang menekukkan lututnya dan membenamkan kepalanya disana. Apakah yang kamu rasakan saat ini Naruto?

"Ayah, tidak hanya kita yang bersedih, sepertinya diapun tidak kalah terlukanya atas kejadian yang menimpa Hina-nee." mendengar perkataan Hanabi, aku menjadi berpikir. Sebesar itukah rasa kasihmu kepadaku Naruto? Aku senang sekaligus sedih.

Kulihat ayah menengokkan kepalanya kepada Naruto yang bersandar di sebelah pintu. Lalu ayahpun mendekatkan diri pada Naruto. Ia menepuk pundak Naruto dengan tangannya. Sebenarnya apa yang ingin ayah lakukan kepada Naruto?

"Sudahlah nak, kita harus tetap tegar." mendengar ucapan ayah Narutopun langsung mengangkat kepalanya.

Aku terkejut! Mata Naruto.. Kenapa menjadi kosong seperti itu? Oh Tuhan, jika kepergianku akan menghancurkan hidup Naruto, aku berharap lebih baik ia melupakan diriku saja.

"Nak, kau baik-baik saja?" aku mendekati Naruto. Ada apa dengan dirinya? Aku khawatir, jika terjadi sesuatu terhadap dirinya karena aku, bagaimana dengan masa depannya?

Karena mendengar ucapan dari ayah, perlahan-lahan cahaya mata Naruto kembali terlihat. "Ah~." serunya. "Maafkan aku paman." ucap Naruto. Kembali lagi ia menundukkan wajahnya dalam. Syukurlah, sepertinya Naruto tidak apa-apa. Walaupun aku yakin dia sangat syok karena menyaksikan kejadian mengerikan di depan matanya.

"Sudahlah nak, hal seperti ini diluar perkiraan kita para manusia. Janganlah engkau terus terpuruk dalam keadaan ini." sekali lagi, ayah mengucapkan hal yang benar-benar bijak. Hanabi memang hebat, ia mampu membuat ayah terhenti dari keterpurukannya dalam waktu yang singkat.

Oh ya! Mengingat soal kenapa aku tidak bisa kembali.. Sebenarnya apa yang harus kulakukan di dunia ini? Aku berpikir sejenak, meletakan tanganku dibawah dagu seakan berpikir.

"Maafkan aku." mendengar deru suara Naruto yang amat sangat terpukul, aku kembali merasa sedih. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu seperti itu Naruto, itu bukanlah kesalahanmu.

Aku berdiri di hadapan Naruto, walaupun aku tahu ia pasti tidak akan menyadari keberadaanku. "Naruto, sudahlah. Ini bukan salahmu." ucapku tersenyum pelan menyentuh kepala Naruto lembut.

Hei Naruto, apakah kau merasakan kehadiranku? Disaat aku berpikir seperti itu, aku merasa sedih. Setiap kali aku berbicara denganmu kau seperti menganggapku tidak ada.

Aku menyayangimu Naruto..

Eh? Tunggu! Aku belum sempat mengucapkan hal itu kepada Naruto! Iya! Apakah aku tertahan di dunia ini karena belum mengucapkan hal tersebut?

Saat Naruto menyatakan perasaannya padaku, aku hanya berkata iya. Aku sama sekali tidak membalas kata-kata sukanya. Jadi.. Inilah tugas terakhirku di dunia ini, apa yang mengganjal dalam pikiranku ternyata ini. Aku dapat merasakannya, memang inilah tugas terakhirku.

Akan kulakukan! Tapi bagaimana caranya ya? Disini sekarang, aku hanyalah roh yang tidak dapat disadari keberadaannya oleh manusia. Aku hanyalah angin lalu yang tidak dapat dilihat. Aku hanyalah sebutir pasir dari sekian banyak orang di dunia ini. Aku tidak berarti apapun di dunia ini. Tapi aku sangat berarti di mata keluargaku.

Sekarang, ayah dan Hanabi sudah pulang ke rumah. Tertinggal Naruto seorang diri di dalam ruangan ini. Ruangan yang kedap cahaya, berdua, bersama dengan orang yang dikasihi. Menunggu diriku seorang diri yang sebentar lagi akan menuju kematian.

"Naruto.." seruku pelan. Tidak ada reaksi sama sekali dari Naruto. Ia hanya menggenggam tangan dari tubuh yang terbaring itu.

"Cepat sembuh ya Hinata. Aku akan selalu menunggumu." Naruto tersenyum lembut, walaupun aku yakin dari senyum lembutnya tersebut terdapat rasa sakit dalam hatinya.

Tidak bisa begini! Aku harus segera menemukan caranya! Aku harus mengatakan perasaanku sesungguhnya kepada Naruto. Supaya ia dapat melepaskan kepergianku dengan tenang tanpa merasa terbebani sedikitpun.

Naruto mulai bangkit dari duduknya, sepertinya ia ingin kembali ke rumah. Ya memang seharusnya begitu, karena besok pagi ia harus kembali ke kampus untuk mengikuti pelajaran. Ya, daripada aku berdiam diri di sini menatap tubuhku itu, aku memutuskan untuk mengikuti Naruto saja.

Sesampainya di depan rumah Naruto, aku jadi canggung. Apakah aku benar-benar boleh memasuki rumah ini? Sekalipun aku tidak pernah mengunjungi rumah Naruto. Apalagi ayahku melarang keras mengunjungi rumah laki-laki yang tidak jelas asal-usulnya.

Tapi Naruto berbeda, ia adalah laki-laki yang baik. Ayahku pasti akan mengizinkanku jika aku mampir ke rumah ini. Tidak ada halangan, baiklah. Keputusanku sudah bulat, aku akan menetap disini menunggu cara bagaimana aku menyampaikan perasaanku ini kepadanya.

Setelah Naruto masuk, iapun menutup pintunya rapat dan menguncinya. Maafkan anakmu ini ayah. Akupun langsung menerobos dinding tanpa takut akan terhantup.

Disaat aku sudah sampai di dalam rumahnya, aku membuka mataku. Wah.. Benar-benar ruangan yang berantakan! Aku tidak menyangka bahwa Naruto itu orang yang pemalas seperti ini. Walaupun di kampus ia selalu bersemangat dalam mengikuti kegiatan bela diri.

Aku melihat ke kiri dan kanan, bagaimana hal ini bisa didiamkan saja? Naruto harus menghilangkan kebiasaannya malas mengurus rumah. Aku menatap Naruto yang berjalan menuju dapur, kulihat banyak sekali tumpukkan sterofoam mie instan bekas.

Hei, apakah setiap hari Naruto memakan itu? Itu kan tidak baik untuk kesehatan? Kulihat Naruto mulai menyeduh mie instan lagi, apakah saking malasnya membuat makanan ia sampai memakan mie instan terus? Apakah ia tidak memikirkan tubuhnya yang memerlukan asupan yang sehat dan bergizi?

Aku duduk di seberang bangku meja makan Naruto, menatapnya yang menunggu mie instan tersebut siap santap. Menopang daguku, menatap kecerahan mata saphire itu kembali. Dikala menunggu, kulihat ekspresi wajah Naruto kembali memurung.

"Hinata.." serunya lirih. Hatiku sakit seketika, air mataku tidak dapat berhenti mengalir. Naruto, kumohon, setelah aku meninggal nanti lupakanlah aku.

Aku tidak ingin kau merasa bersedih terus. "Tetaplah bersemangat dalam menjalani hidup." ucapku menyentuh tangan Naruto.

"Ya, aku harus semangat." aku terkejut mendengar ucapan Naruto, seakan ia mendengar apa yang kukatakan kepada dirinya. Semangat untuk menjalani hidup, menjadikan diri sendiri berharga dimata diri itu.

"Aku tidak boleh seperti ini terus. Aku yakin Hinata pasti akan tersadar kembali. Itadakimasu~." hatiku tercekat, mendengar perkataannya yang yakin bahwa aku akan tersadar kembali. Itu tidak mungkin, aku tahu itu tidak akan mungkin terjadi.

Aku tersenyum, aku tidak bisa terus bersedih. Kulihat Naruto yang telah kembali bersemangat dengan tatapan sendu. Untuk aku yang telah diberikan rasa yang membahagiakan ini olehnya, aku juga harus bersemangat. Karena aku harus mencari cara mengungkapkan rasaku kepadanya.

Tunggulah sampai hari itu tiba Naruto.

::

::

Kring... Kring..

Mendengar suara deringan telepon, aku mendekati telepon tersebut. Kutatap telepon yang berdering itu, ingin sekali kuangkat telepon tersebut. Tapi untuk menyentuhnya saja aku tidak bisa, karena aku tembus pandang dan tidak dapat menyentuh benda duniawi.

Tapi bagaimana ya, kalau tidak diangkat bisa-bisa teleponnya keburu mati. Sedangkan Naruto baru saja mandi. Kulihat pintu kamar mandi yang belum lama tertutup itu, kapan Naruto akan keluar ya?

Aduh~ Bagaimana ini? Aku kembali mendekati telepon tersebut dan mendekatkan wajahku pada telepon itu lebih dalam. Kulihat nomor telepon yang masih berdering ini. Kuperhatikan nomornya.

"Ayah!" seruku dalam hati. Ada urusan apa ayah menelepon Naruto? Apa ayah sudah mencari segala sesuatu informasi mengenai Naruto dan ingin melakukan suatu hal terhadapnya?

Tapi apapun yang terjadi, aku harus yakin dengan apa yang akan ayah perbuat. Apa yang ia perbuat pasti itu yang menurutnya benar. Jadi aku akan melihat apa yang akan dilakukan oleh ayah. Saat itu, aku akan mengikuti Naruto dan melihat apa yang akan dilakukan oleh ayah.

Tapi, bukan itu masalahnya! Teleponnya masih berdering! Bagaimana ya? Aku mondar-mandir sendiri di depan telepon sambil memegang daguku. Aku berpikir, aku benar-benar bingung apa yang harus kulakukan supaya telepon itu segera bisa diangkat.

Cekrek..

Mendengar suara pintu terbuka, aku langsung menengokkan kepalaku menuju asal suara tersebut. Wah~ Naruto sudah keluar! Cepat sekali! Baru juga masuk mandi masa baru satu menit Naruto sudah keluar.

"Ah~ Lupa ngambil handuk lagi." oh begitu ya, ternyata kelupaan ngambil handuk. Kulihat Naruto menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal akibat kecerobohannya tersebut.

Oh ya! Teleponnya! Kukembali menatap telepon yang masih berdering itu. Syukurlah masih belum mati. Aku kembali menatap Naruto, sepertinya ia menyadari bahwa ada yang meneleponnya.

Narutopun mendekati telepon tersebut, aku bergeser sedikit supaya aku tidak menghalangi jalan Naruto. Ya walaupun aku tidak akan tersentuh.

"Moshi-moshi! Uzumaki Naruto disini. Siapa ya?" seru Naruto dikala ia telah mengangkat teleponnya. Naruto kemudian duduk di sofa yang berada di sebelah teleponnya. Akupun ikut duduk di sampingnya dan menatapnya. Rasanya ini akan membutuhkan waktu lama, jadi aku memutuskan untuk tidak berdiri menunggu apa yang akan dikatakan oleh Naruto.

"Sebelumnya saya ucapkan maaf karena sudah mengganggu anda pagi-pagi seperti ini." mendengar suara ayah, sepertinya Naruto sedikit bingung dengan seseorang yang menelponnya di seberang sana. Yah~ Sepertinya Naruto masih belum dapat mengingat suara ayah.

"Ah~ Tidak mengganggu kok. Siapa ya?" ya, sebenarnya Naruto merasa tidak terganggu dengan telepon ini, dapat kulihat dari raut wajahnya yang biasa saja. Dapat kubayangkan pasti saat itu ayah sedang minta maaf karena sudah mengganggunya.

"Saya Hyuuga Hiashi, ayah Hinata."

Glek

Kulihat Naruto menunjukkan ekspresi berbeda, ia meneguk ludahnya. Kira-kira apa yang mereka bicarakan ya disana? Aku ingin mendengarnya, tapi aku tidak bisa.

"I.. Iya, ada apa paman?" seru Naruto menjawab telepon dari ayah.

"Ada yang ingin saya bicarakan denganmu, apa anda memiliki waktu?"

"Setelah ini saya harus kuliah, mungkin setelah pulang kuliah saya memiliki waktu. Sekitar jam empat sore. Ada apa ya?" hm? Apakah ayah akan membuat pertemuan dengan Naruto? Aku sudah tidak terkejut sih. Pasti ayah ingin bertanya banyak seputar kejadian kemarin aku tertabrak. Karena memang Naruto sebagai saksi mata aku tertabrak.

"Saya ingin membicarakan seputar anak saya, apa bisa?"

"Bi.. Bisa paman. Dimana tempat saya bisa bertemu dengan anda?" kenapa Naruto tiba-tiba bicara se-formal itu ya? Ya sudahlah, bukan hal penting juga.

"Di Cafe Konoha, hari ini jam empat sore."

"Jam empat sore di Cafe Konoha, baiklah paman. Sampai berjumpa." dan kulihat, Naruto meletakan gagang teleponnya. Mataku terus tertuju padanya. Ia menghela nafas dan..

"Aduh!~ Gimana ini? Bagaimana ini? Ayah Hinata meminta bertemu untuk berbicara! Bagaimana ini?" Naruto, dia tegang! Ekspresi ini baru pertama kali kulihat, aku senang. Baiklah, aku akan mengikutinya hari ini seharian penuh~ Aku akan menjaganya walaupun aku tidak dapat melakukan apapun.

"Ah~ Lihat saja nanti! Sekarang aku harus bersiap kuliah." Narutopun kembali melesat menuju kamar mandi. Aku hanya dapat melihat pintu itu tertutup untuk yang kedua kalinya.

"Aduh, lupa handuk lagi." hihi, karena terlalu tegang Naruto sampai lupa tujuannya keluar kamar mandi. Benar-benar Naruto, tidak berbeda seperti di kampus. Tetap saja ceroboh~.

"Hei Hinata, kali ini kamu tidak dapat mengelak."

"Hah?" aku yang tidak mengertipun mengangkat wajahku, menatap wajah sahabatku yang sepertinya sudah siap mengorek segala informasi dariku.

"Apa maksudnya?" seruku tidak mengerti.

"Kamu suka Naruto, kan? Ya kan? Ayo ngaku! Jangan mengelak lagi deh!" mendengar perkataan itu langsung saja aku terkejut. Sampai-sampai aku tidak sadar bahwa aku sudah menggebrak meja kencang dan membuat beberapa orang menatapku.

Tanpa kuperdulikan dan karena aku malu diperhatikan seperti itu, akupun kembali duduk dengan tenang di kursiku. Aku menarik nafasku dalam, dan..

Tetap tenang.

"Tidak mungkin kan." layaknya orang dewasa yang dapat mengatasi segala situasi dengan tenang akupun mengayunkan pelan tanganku ke samping, benar-benar seperti orang dewasa.

"Bohong."

"EH?" aku terkejut karena biasanya dia pasti akan langsung diam dan tidak menanyakan seputar Naruto lagi kini berkata bahwa aku bohong.

"Aku tidak berbohong!" sekuat tenaga aku berusaha menutupi perasaanku ini supaya tidak ada yang mengetahuinya. Bisa gawat kalau sampai dia tahu perasaanku pada Naruto, dia pasti akan menggodaku setiap hari.

"Aku tidak percaya." kulihat dirinya yang sudah lumayan tenang memalingkan wajahnya kesal padaku. Ya sudah, mau diapakan lagi. Aku tidak mau ada seorangpun yang tahu tentang perasaanku, maaf ya atas keegoisanku.

"Ya sudah kalau kamu tidak percaya, bukan urusanku juga kamu mau berpikir seperti apa." aku menutupi perasaanku dengan kata-kata yang kejam, kulihat sahabatku mulai merasa kesal.

"Uh~ Hinata kejam!" dan diapun langsung pergi meninggalkanku sendirian di dalam kelas yang penuh dengan orang ini.

Aku hanya menatap kepergiannya, dan akupun kembali menatap ke arah jendela luar. Hari benar-benar tenang dikala aku sendirian. Rasanya..

"Sepi ya?"

"Hah?" aku terkejut dikala mendengar suara seseorang yang berada dekat denganku. Akupun menengokkan kepalaku menuju seseorang yang sepertinya berkata kepadaku itu.

"Na.. Naruto." seakan darah mengalir kepipiku, rasanya dibagian itu terasa panas. Ada apa ya?

"Kalau sahabat tidak ada rasanya jadi sepi ya." kulihat dia yang menatap ke arah langit luar. Jendela yang terbuka membuat angin sepoi-sepoi memasuki ruangan kelas kami. Rambutnyapun berterbangan akibatnya, membuat dadaku serasa berdetak kencang dan pipiku memanas.

Sungguh seseorang yang benar-benar menjadi pemikiranku selama ini. Uh~ Kenapa aku bisa menyukainya sih? Akupun hanya dapat menundukkan wajahku dalam.

"Iya."

Kisah ini akan terus berlanjut kan, Naruto?

To Be Continue

(Ch 1, end)

Yehaaa! Akhirnya cerita terbaruku selesai juga~ Diluar perkiraan sebelumnya ternyata fic ini terbagi menjadi beberapa chapter dan aku tidak tahu itu.

Gomenasai, padahal kalian menunggunya hanya karena ini oneshot. Tapi karena tidak sesuai harapan kalian, kalian pasti akan meninggalkannya. Huhu #nangis #plak

Lagi pula siapa yang nunggu ya? Gak ada kan #ditabok

Emang gak ada kok~

Baiklah, daripada ngoceh sendiri. Bagaimana dengan karya terbaruku ini? Gomen endingnya rada-rada ya, udah gitu malah pas bagian flashback lagi di berhentiin. Soalnya aku buatnya jam dua belasan malam sih, jadi rada gimana gitu deh~

Untuk karya sebelumnya yang judulnya Blue Devil, ada beberapa readers yang meminta saquel. Sebenarnya ada, tapi disaat chapter tiga, eh author kena WB. Jadinya tidak dilanjutkan deh~ Author benar-benar mengucapkan gomenasai yang sedalam-dalam(?)Nya~

Yah~ Pokoknya aku sangat bersyukur sudah menyelesaikan chapter ini. Aku merasa sangat suka dengan cerita ini bahkan sudah sampai menyiapkan saquelnya segala tanpa memikirkan ada yang memintanya atau tidak. Padahal yang ini aja belum selesai ceritanya.

Yah, karena senang makanya bersemangat ya kan? Oke, aku sudah cukup banyak berkata-kata kepada kalian. Bagi kalian yang membaca sampai di tulisan ini, jangan lupa memberikan kritik dan sarannya ya.

Kutunggu kehadiran kalian semua~

Masih ada kan? #ending gaje

::

::

V