'Jangan pernah menyangkal eksistensi segala hal yang membahagiakanmu apalagi hanya demi harga diri. Karena kau tidak akan tahu kapan kebahagiaanmu akan berakhir – Aomine Daiki'

.

.

.


DENIAL

riryzha

Characters

Fujimaki Tadatoshi

Main pairing :

-Aomine Daiki

-Kagami Taiga

Mature

(Mohon maaf untuk typo yang berterbaran, EYD yang tidak tepat maupun ke-OOC-an karakter)


.

.

.

.

.

Prolog

Aku menggeram. Meremas kuat seprai kasur kamarku yang sudah berantakan. Terima kasih atas kekasihku yang telah membuat itu semua terjadi dan sekarang berada tepat di atas tubuhku tengah mendorong masuk kejantanan miliknya ke lubang milikku. Tanpa mempersiapkan diriku terlebih dulu dan hanya mengoleskan lube pada miliknya yang sudah menegang begitu menginjakkan kaki di kamar apartemen yang kita berdua tinggali.

"Kenapa kau menahan desahanmu, Tiger~" Godanya sambil memainkan puting milikku yang memerah.

"Mngh!" Desahku tertahan karena kuatnya gigiku menggigit bibir.

Mana mau aku kalah tanpa perlawanan di hadapan orang macam dia. Terlebih dia semakin sering meremehkanku karena berpikir aku terlalu mudah digoda.

"Baiklah kalau ini cara mainmu. Kita lihat sampai berapa lama kau bisa menahan diri, Tiger~"

Dan ia pun mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur. Menghentakkan miliknya lalu menariknya hingga hampir keluar selama berulang kali.

"Mghhh! Dai-" Dengan cepat aku kembali menggigit bibirku.

"Babe~ Keluarkan saja. Suara desahanmu itu sangat seksi." Ia pun semakin menggodaku dengan menggigit kemudian menjilati telinga sebelah kiriku.

'Hentikan suaramu itu! Aku tidak tahan mendengar suara seksimu.'

"Taiga baby~"

Dan pertahananku pun luntur.

"Daiki!"

"Begitu sayang~ Keluarkan saja." Ia menyeringai dan semakin mempercepat tempo gerakannya.

"Ahhh~ Di sanaaaa..hah. Te…r..ush Daih..kih…"

Dan kamar dipenuhi suara decitan tempat tidur dan desahan yang saling bersahutan hingga pukul 2 pagi.

"Mgh…" Gerakanku terhenti begitu mendengar gumaman tidak jelas dari bibir yang sedikit bengkak milik lelaki bersurai biru tua yang tertidur lelap di kasur.

"Teriyaki.. mmhmh.." Aku kembali memasukkan beberapa helai pakaian dan celana ke dalam koper.

Setelah mengecek semua barang yang dibutuhkan, aku mengangkat koper berukuran sedang berwarna merah tua milikku dan menaruhnya di samping rak sepatu. Kemudian aku sedikit berjongkok untuk memakai sepatu Air Jordan merah-hitam-putih yang berhasil kubeli dari hasil kerja part time di café seberang sekolah saat libur musim panas kelas 2 di Seirin. Sementara sepatu merah-hitam pemberian kekasihku teronggok manis di rak sepatu paling bawah.

Bukan karena aku terlalu sayang pada sepatu itu makanya aku menyimpannya.

Tapi karena aku belum tahu apakah akan menjadi keputusan yang tepat untuk membawa satu barang apapun dari orang yang bahkan belum aku yakini hatinya.

Terlebih dengan semua sifat egoisnya…

Setelah selesai memakai sepatu, akupun langsung berdiri dan menarik koperku lalu membuka pintu.

"Ittekimasu…" Ujarku sambil menutup pintu kemudian menguncinya dan menyimpan kunci apartemen ke dalam saku jaket warna hitam milikku.

Tanpa menoleh ataupun memelankan langkah sedikitpun, aku meninggalkan daerah apartemen dan bergegas menuju taksi yang sudah menungguku di belokan jalan.

Nyanyian dering ponsel yang sangat memekakkan itu akhirnya tertangkap indera pendengaran lelaki yang masih menggeliat manja di atas kasur dengan seprai abu-abu yang berantakan. Dengan kasar ia mengambil benda dengan layar 5 inchi tersebut dan menekan sembarang layar kemudian meletakkannya di samping telinga sementara tangannya jatuh ke sisi tempat tidur.

"Dai-chan!"

Suara melengking dari seberang telepon telak membuat sang lelaki terlonjak kaget hingga jatuh ke lantai kamar.

"Itte!"

"Dai-chan! Ini sudah jam 3 sore dan kau baru bangun tidur?!"

Menguap lebar tanpa berusaha menutup mulut baunya, lelaki itu melirik sebentar layar teleponnya.

"Ah, sepertinya aku hibernasi setengah hari penuh." Jawabnya asal sambil meletakkan telepon genggamnya di meja kecil samping tempat tidurnya.

Dengan cepat ia mengambil pakaian miliknya yang berada di lemari di depan tempat tidur dan mengabaikan cuitan –omelan- teman sejak bayinya tersebut sambil memakai baju dan boxer. Mengabaikan keanehan yang ia lihat di lemari, ia segera mengambil teleponnya dan mengatakan,"nanti aku hubungi lagi." sebelum memutus sambungan telepon dan keluar kamar.

Dibukanya pintu kulkas dengan kasar dan kemudian tanpa ampun ia segera meneguk susu langsung dari kotaknya hingga habis dan melemparnya ke tempat sampah.

'Hangatkan makanan yang ada di lemari es sebelum kau makan. Ingat, jangan sentuh tombol apapun selain on/off! –K. Taiga'

Ia membaca sebentar catatan yang menempel pada pintu kulkas sebelum membuka dan menutup kembali pintu kulkas setelah mengambil kotak Tupperware berisi makanan. Setelah menaruh makanan pada piring dan memasukkannya ke dalam oven listrik, ia menekan tombol on.

"Kutinggal mandi sebentar saja…" Gumam lelaki tersebut sembari melangkah pergi menuju kamar mandi.

Setelah lima jam lebih sepuluh menit lelaki itu terbangun, kondisi apartemen menjadi sangat kacau.

"AAARRRGGGGHHHH!" Teriak lelaki itu sambil melempar majalah-majalah hingga berhamburan kesembarang arah.

"SIAL! BANG*AT!" Makinya pada apartemen yang hanya ada dirinya di sana.

"Dai-chan! Buka pintunya!" Sebuah ketukan cukup keras terdengar dari luar.

"Aomine-cchi! Buka pintunya!"

"Mine-chin cepat buka pintunya… Kami kedinginan di luar."

"Aomine."

Suara-suara yang sangat dikenalnya tengah menggedor pintu apartemen. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan mereka dan mengunci diri di dalam kamar kalau saja tidak ada perintah mutlak dari Emperor yang ada di balik pintu.

"Buka pintunya sekarang atau aku akan mengusirmu secara paksa dari apartemen ini."

.

.

.

"Jadi… Ada perlu apa kalian ke sini?" Tanya Aomine dengan tampang kusutnya.

"Aomine, kau kelihatan sangat kacau." Ujar Midorima sambil melirik Aomine.

"Jelas! Aku sangat lapar dan semua makanan sudah kuhabiskan semua."

"Kau kan bisa ke Majiba."

"Malas." Momoi hanya bisa menggeleng pasrah.

"Kenapa tidak pesan saja-ssu?"

"Aku tidak tahu cara memesan makanan. Biasanya itu jadi urusan Bakagami." Aomine membuang mukanya yang memerah karena malu.

Kelimanya hanya bisa menghela nafas.

"Aku saja bisa memesan makanan tanpa bantuan Muro-chin." Sindir Murasakibara.

"Urusai! Kau sendiri tidak bisa mencuci pakaianmu sendiri."

"Aomine-cchi juga. Yang mencuci baju Aomine-cchi malah Kagami-cchi, ssu."

"Tch."

"Yang selalu memasak dan membuatkan bekal adalah Kagamin."

"Yang membersihkan apartemen selalu Kagami."

"Yang-" ucapan Murasakibara terputus oleh erangan dari Aomine.

"Oke! Kalian benar! Tetapi tetap saja aku masih bisa hidup tanpa si Bakagami itu!"

Pernyataan tersebut membuat kelimanya saling melempar tatapan penuh arti.

"Benarkah itu, Daiki?" Akashi menatap tajam Aomine.

"Te-tentu saja! Aku sudah bukan anak kecil lagi." Jawab Aomine sedikit takut. Mana mungkin ia mengaku di hadapan teman-temannya itu.

Akashi kemudian menatap Momoi, Midorima dan yang lainnya sambil menggelengkan kepala.

"Oh ya! Ngomongin soal Baka… Kemana dia?! Aku sudah meneleponnya puluhan kali dan selalu dialihkan! Padahal ini sudah malam dan aku sudah sangat kelaparan!" Racaunya menggebu-gebu.

Akashi menghela nafas begitu mendapat tatapan 'cepat kau jelaskan. Kau kan ketuanya' dari mantan rekan satu timnya di Teiko.

"Daiki." Panggil Akashi.

"Ya Akashi?" Aomine menatap bingung Akashi yang sepertinya sedang menimbang harus mengatakannya atau tidak.

"Apa yang akan kau lakukan jika ada orang yang menyakiti Satsuki?"

"Tentu aku akan menghajarnya!" Jawabnya sambil meninju udara.

"Kalau kau mendapat peluang bermain basket ke ranah yang lebih besar?"

Dahi Aomine mengkerut dengan pertanyaan random yang diberikan Akashi. Tetapi ia tetap menjawabnya.

"Tentu akan aku ambil peluang tersebut."

"Apa kau akan mengizinkan Satsuki ikut?"

Kerutan di dahinya semakin dalam.

"Walau ia selalu menyebalkan, tapi aku tidak mungkin melarang dia untuk ikut."

"Dai-chan…" Mata Momoi berkaca-kaca.

"Serius Akashi… Apa maksud pertanyaan - pertanyaanmu itu?"

"Ini yang terakhir Aomine… Jadi jawab saja." Akashi mendelik.

"O-ok." Aomine meneguk ludahnya.

"Apa kau yakin kau bisa hidup dengan baik tanpa Kagami Taiga?"

Kalau saja ada mesin waktu, ingin rasanya Aomine kembali ke waktu saat Akashi menanyakan pertanyaan-pertanyaan setengah jam yang lalu. Atau mungkin kemarin malam saat ia baru pulang dari kerja kelompok dan menemukan Taiga tengah tertidur pulas di kamar mereka berdua. Ah, tidak. Mungkin sebaiknya ia kembali ke waktu saat mereka mulai pacaran untuk memperbaiki semuanya dari awal sehingga Taiga tidak akan menerima tawaran tersebut.

.

.

"Apa kau yakin kau bisa hidup dengan baik tanpa Kagami Taiga?"

Karena merasa pertanyaan yang dilontarkan Akashi seperti pertanyaan untuk menghinanya, tanpa ragu dan dengan emosi ia menjawab, " Tentu saja! Jangankan bila tiba-tiba si Bakagami itu pergi. Ia tidak perlu kembali pun aku akan hidup bahagia!"

"Kau yakin dengan ucapanmu Aomine?" Tanya Midorima dengan tatapan menyelidik.

"Tentu saja!" Aomine menggeram. Teman-temannya terlalu meremahkan kemampuannya untuk bertahan hidup. Walau sebenarnya ia sendiri mulai meragukannya semenjak kehadiran Kagami dalam hidupnya.

"Aomine-cchi…"

"Dai-chan…" Kise dan Momoi menggeleng kepala sambil menatap kecewa Aomine.

"Berarti Kaga-chin dan Kuro-chin tidak perlu kembali." Gumam Murasakibara sembari mengetik sesuatu di layar telepon genggamnya.

"He-Hei! Ada apa sebenarnya ini?! Apa hubungannya dengan Kuroko?" Aomine menatap bingung mereka. Perasaannya tidak enak.

'Tidak kembali? Apa maksudnya?'

"Kau sudah merekam perkataan Daiki, Atsushi?" Tanya Akashi.

"Sudah, Aka-chin. Aku juga sudah mengirimkannya ke Muro-chin."

"Hei! Apa yang terjadi sebenarnya?! Dan apa yang kau rekam?!" Aomine berteriak murka karena diabaikan. Sungguh perasaan tidak enak ini semakin mencekiknya.

"Daiki…" Akashi menghela nafas kemudian melanjutkan, "Kagami Taiga dan Kuroko Tetsuya pergi menjadi perwakilan dari Jepang untuk NBA di Amerika. Dan kalau berhasil, ah tidak. Mereka pasti sukses mengharumkan nama Jepang. Sepertinya mereka tidak akan kembali ke Jepang untuk waktu yang cukup dekat." Jelas Akashi yang berhasil membungkam mulut Aomine.

"Dan beruntung buat kau, Aomine. Kagami mengatakan kau boleh menempati apartemen ini. Ia sudah meminta izin ayahnya untuk membalik nama apartemen ini menjadi atas namamu, nanodayo." Lanjut Midorima.

"Kata Muro-chin barusan ia akan mengembalikan kunci cadangan yang Kaga-chin bawa minggu depan." Sambung Murasakibara sambil menunjukkan isi pesan yang dikirimkan oleh Himuro.

"H-ha?" Nafas Aomine tercekat sementara matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar. Butuh waktu yang lama untuknya mencerna semua perkataan Akashi dan Midorima terlebih masalah kunci serta semua pertanyaan random yang ditanyakan Akashi sebelumnya.

"Sepertinya kau butuh waktu sendiri untuk mencerna semua, Daiki. Kalau begitu sebaiknya kami pamit. Selamat malam dan semoga kau hidup bahagia ke depannya."Akashi memimpin jalan disusul Midorima dan Murasakibara.

"Aomine-cchi.."

"Dai-chan.."

Kise dan Momoi menatap lirih Aomine dan menepuk pundaknya sebelum menyusul Akashi dan yang lainnya.

"Tu-tunggu! A-apa maksudnya Taiga benar-benar tidak akan kembali? Bagaimana dengan barang-barang miliknya? Dan bagaimana dengan diriku…." Tanya Daiki pada angin malam yang berhasil masuk saat Akashi hendak menutup pintu apartemen yang sekarang jadi milik Aomine.

.

.

.

.

Halo Minna!

Happy AoKaga Day!

Sorry kalau AoKaga Day nya malah ku isi dengan hal galau macam ini ;-;

Oh Tuhaaann~

Ku posting apa~

Kenapa gini~

Kenapa galau~

Aku gatau~

(Malah nyanyi -_-")

.

.

Oh ya, sepertinya angst-nya kurang dapet yah *bermuramdurja*

Maafkan penulis abal-abal ini *membungkuk*

Sudahlah kalau begitu...

See ya next time~